Di dalam mobil, Andrea terlihat resah. Dia masih memikirkan Dodo. Sepanjang jalan dia melihat-lihat ke luar kaca mobil.
"Kamu kenapa, Ndre?"
"Si Aa kabur ke mana ya?" Andrea celingukan ke arah jembatan yang memotong sungai. "Jangan-jangan dia nyangsang di sana," gumamnya.
"Kamu ini, emang Dodo pohon pisang hanyut dibawa banjir bandang."
"Aku jadi kasihan, dia itu butuh perhatian sebenarnya."
"Maksud kamu, Ua istri kurang perhatian?" tanya Yuli.
"Bukan begitu, akhir-akhir ini Si Aa seperti sedang menyimpan sesuatu. Apa ada hubungannya sama aku, ya? Dia semakin tidak peduli sama aku. Ibu bayangkan saja, selama aku di sini, dia tidak mau menyapa aku. Boro-boro ngajak jalan-jalan. Maunya menyela saja apa yang aku lakukan. Kan aku jadi keki," kata Andrea.
"Dia sedang dalam masa kenakalan remaja, jadinya susah diatur dan maunya menang sendiri. Kalau ada masalah, dia pasti bilang. Sudah, kamu jangan pikirkan. Ua istri tahu kok apa yang harus dilakukan."
"Menjual warisan?"
Yuli tersenyum. "Kamu setuju?"
"Enggak," tegas Andrea. "Peninggalan Aki itu sangat berharga tahu, Bu. Itu adalah kenangan kita tentang Aki dan Ayah."
"Kamu tenang saja, Ua tidak mungkin akan melakukan itu."
"Maksudnya?"
Yuli sedikit melambatkan laju mobil. "Ua istri tadi tidak serius kok. Ibu dan dia yang merencanakan semua itu semalam. Ua kamu curhat kelakuan Dodo yang tidak peduli dengan warisan Aki yang terbengkalai, jadi kita berencana begitu untuk membuat Dodo mikir. Kalau tidak ada yang mengurus, bagaimana warisan Aki bisa menghasilkan lagi," beber Yuli.
“Jadi, tadi itu akting?” Andrea merasa mendapat kejutan.
“Iya lah, ibu membantu Ua. Makanya Ibu juga setuju-setuju saja, tidak membantahnya. Ua sudah tidak tahan dengan kecuekan anak itu, boro-boro memikirkan masa depan, sekolah tinggi, bekerja, punya pacar yang serius saja tidak mau. Kalau ditakut-takuti tidak ada lagi warisan yang membuatnya aman, mungkin dia bisa berubah." Yuli bicara sambil tetap fokus ke jalanan.
"Kasihan, Ua istri juga kan suatu hari punya menantu. Mana tau dengan ancaman mau menjual semua warisan, Dodo jadi berpikir lebih dewasa, mau mengurus peninggalan Aki dan membuat tenang Ua. Demi masa depan dia juga sih.”
“Ooh, pantas saja. Aku juga berpikiran aneh tadi. Bukankah dari dulu kita sudah sepakat kalau warisan Aki itu Ua istri yang urus sepenuhnya ya, Bu?"
“Hmm, kesepakatan masih seperti itu kok," kata ibunya.
Andrea tersenyum. “Kenapa tidak kasih tahu dari awal sih, Bu? Pantas tadi kalian bisik-bisik tetangga."
“Wahh, kalau kamu diberi tahu rencananya bisa gagal. Kamu kan suka ceplas-ceplos, takutnya kamu keceplosan ngomong sesuatu. Jadi biar aman, kamu juga kita kerjai.”
"Iiih, Ibuuu ...."
Andrea cemberut, tetapi hatinya lega karena tidak ada yang dikhawatirkan lagi dengan Dodo.
“Si Aa mungkin sekarang lagi banyak pikiran ya, takut miskin, hihi ... syukur biar botak sekalian, rambut dicukur disisa-sisa begitu, kan sayang ....”
Andrea merasa geli memikirkan sepupunya yang tengil itu sedang misuh-misuh sendiri. Bagaimanapun dia sangat menyayangi Dodo, dan berharap dia berubah seperti dulu lagi. Biar mereka bisa menjaga Ibu dan Uanya bersama-sama.
Keluarga mereka sekarang tinggal berempat, Andrea selalu berusaha untuk tetap menjaga kehangatan keluarganya itu, makanya dalam hati dia berjanji, tidak akan pernah melewatkan liburannya untuk pulang ke kampung, menemani Uanya yang semakin menua dan butuh teman bicara. Anak lelakinya sedang tidak bisa diandalkan, sibuk jutek dan menyebalkan.
"Coba Ua ikut kita saja ya," kata Andrea.
"Waduhh, malah semakin menjadi nanti kelakuan Dodo."
"Siapa tahu, Si Aa bisa berubah kalau ditinggalkan begitu. Dia kan tidak bisa apa-apa, masak air aja gosong."
"Masa? Memang kamu bisa masak air?"
"Lahh, masak air doang mah tinggal ...."
"Suruh Bi Cicih, kan?" sela Yuli, menyebut pembantu paruh waktu di rumah mereka. Andrea cengengesan, kena sekak mat.
"Bi Cicih kan enggak mungkin membuat gosong air, paling bikin gosong pantat ceret. Kalau A Dodo memang beneran tidak bisa. Nahh, kalau Ua tinggalkan dulu sementara, mungkin dia bisa belajar. Kan tidak mungkin dia merepotkan tetangga. Atau, kalau sudah putus asa dia akan buru-buru melamar cewek dan menikahinya ...."
"Terus?" tanya Yuli.
"Terus disuruh masak air ...."
"Kamu itu kalau ngomong gampang banget," sergah Yuli, "mana ada gadis mau dinikahi cuma untuk masak air doang."
"Yaa, intinya kan dia bisa berubah."
"Bagi orang tua, anak adalah segalanya. Ua istri mungkin saja sedang sangat kesal dan khawatir sekarang, tetapi dia tidak akan begitu saja membiarkan Dodo kesulitan."
"Makanya manja, kan?"
"Iya, kayak kamu, terlalu sering dimanja Ua istri."
"Aah Ibu mah, kan kita lagi bahas A Dodo, kenapa jadi aku juga?"
"Karena, kalian sama saja, manja."
Andrea merengut. Tetapi tidak bisa dipungkiri, sandiwara warisan tadi cukup membuatnya tenang lahir batin. Membuatnya senyum-senyum sendiri.
Tanpa terasa mobil sudah meluncur di jalan mengular yang naik turun dan berkelok-kelok ciri khas jalur selatan. Jalur ini adalah jalur yang selalu mengalahkan keceriaan Andrea dari kecil, karena di sana Andrea rawan mabuk darat. Tetapi sekarang tidak lagi, dia sudah terbiasa.
Yuli melihat Andrea terdiam, satu pak kantong keresek hitam segera dia ambil dari laci dashboard.
“Jangan muntah di mana saja, ini mobil orang,” kata Yuli.
“Apaan sih, Bu. Aku bukan anak kecil lagi tau, sudah kebal!”
"Ya sudah." Yuli menyimpan kembali kantong keresek.
"Kalau diibaratkan, jalan ini sudah menjadi sahabat aku."
"Oya?"
"Ibu kan tahu dalam setahun aku bolak-balik jalan ini berapa kali. Jalan ini sudah seperti sahabat karib. Tanjakannya bikin ngegas, tetapi turunannya bisa bikin ngerem. Persis persahabatan kan? tidak selamanya menjalani persahabatan itu adem ayem, ada panasnya tapi juga ada ademnya. Kalo ngeflat seperti jalan pantura, kurang asyik." Andrea nyerocos tidak jelas.
Yuli mengernyitkan dahi.
"Tanjakan, turunan, kalau belokan?" tanya Yuli, kebetulan dia sedang memutar setir mobil di belokan tajam. Andrea sampai oleng ke kiri.
"Nahh, belokan juga banyak terjadi dalam persahabatan. Namanya menikung, hehehe ...."
"Hahahaa, ahh ... kamu, ya." Yuli tidak bisa menahan tawanya.
Mereka akhirnya bisa mengakhiri perjalanan jalur selatan dengan mulus, tanpa muntahan, tanpa kemacetan. Setelah mengisi bahan bakar mobil, tubuh, dan salat di Rest Area, mereka lanjutkan perjalanan dengan ceria.
"Kita harus sampai sore ini, biar kamu bisa istirahat. Besok kan sudah mulai sekolah."
"Iya, tahu."
"Soalnya kamu itu suka banyak alasan kalau hari pertama masuk sekolah."
"Enggak lah, aku juga sudah kangen sama teman-teman."
"Oiya, teman-temanmu sudah dibelikan oleh-oleh?"
"Sudah, nihh beli dodol saja." Andrea menunjukkan beberapa kotak dodol khas Garut.
"Dodol? Tiap liburan masa oleh-olehnya dodol. Yang lain dong, Ndre."
"Eggak apa-apa, sengaja aku bawakan mereka dodol, biar mereka ketemu saudaranya sendiri. Teman-temanku kan dodol semua." Andrea cengengesan.
Yuli mengangkat bahu, lalu memasang sabuk pengaman, bersiap berangkat. "Melewati sahabatmu yang keriwil sudah, sekarang sahabatmu yang habis rebonding."
"Hah??" Andrea tidak menyangka ibunya bisa ngocol juga.
Yuli hanya melirik dan tersenyum sambil mengenakan kacamata hitamnya. "Biasa saja kali, Bu!" serunya lagi.
"Kita tancap gas," ajak Yuli. Dia benar-benar menancap gas di jalan tol yang lengang.
Andrea geleng-geleng kepala melihat kelakuan ibunya.
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
ᴘɪᴘɪᴡ ❶ ࿐ཽ༵ ᴮᴼˢˢ
Smangat slalu ya
2020-09-18
0
Mia Poei
Next kak
2020-09-04
0
Yhu Nitha
next like
2020-08-24
0