My Secret Bodyguard
“Mirip bapaknya banget, susah dibangunkan.” Yuli menarik nafas, lalu membuangnya seolah putus asa.
“Eh, ini apa atuh malah nyalahin yang sudah enggak ada ... Sudah, biar Teteh saja yang bangunkan.” Bu Nisma melirik Yuli yang sedang mengaduk-aduk nasi di meja makan untuk didinginkan.
Sebagai kakak dia harus bijaksana, tidak boleh memihak salah satu dari adik ipar atau almarhum adiknya, apalagi hanya mempermasalahkan sifat anaknya yang malas bangun menurun dari siapa.
Kalau bicara keturunan, tentu tidak hanya dari orang tuanya saja bukan. Kakek, buyut, canggah, wareng, udeg-udeg, gantung siwur, dan seterusnya bisa jadi ikut andil. Gen dalam darah kan menetes ke bawah, tidak ke atas, kecuali bisa disedot.
“Eh, tidak usah, Teh. Biar saya saja, sekali lagi.” Yuli mencegah sambil senyum-senyum malu. Padahal dia tadi hanya bercanda, menyebut bapaknya itu hanya untuk menunjukkan saja kepada kakak iparnya, bahwa dia selalu mengenang suaminya itu, tidak pernah melupakannya sedikitpun.
“Ya sudah, Teteh juga masih ada yang harus dikerjakan di dapur.” Bu Nisma berbalik ke arah dapur, mengusap pundak adik iparnya.
Dari subuh dia sibuk sekali menata oleh-oleh. Berbagai macam makanan kampung di masukan ke dalam kantong besar, termasuk beberapa butir kelapa yang sudah dikupas mohak.
“Jangan repot-repot, Teh. Buat di sini saja, kita kalau mau tinggal beli di jalan.” Yuli malah berbalik membantu Bu Nisma yang kerepotan.
“Hus! kamu harus bawa ini. Kalian juga harus mencicipi hasil dari sawah dan kebun Bapak, karena kalian juga berhak. Jangan sedikit-sedikit beli, sayang uangnya."
"Maafkan kalau Andrea merepotkan selama di sini, Teh."
"Apa sih, Yul. Enggak kok, Teteh senang Andrea di sini. Teteh jadi punya teman ngobrol. Kamu tahu sendiri, Dodo senangnya keluyuran. Tidak pernah ada di rumah."
Yuli tersenyum. "Maaf juga saya baru bisa menjemput, banyak banget pekerjaan yang harus diselesaikan dulu."
"Iya, Teteh ngerti kok. Udah sana, bangunkan lagi si Neng! Sebentar lagi Teteh bikinin nasi goreng kesukaannya."
Walau tidak enak, Yuli tidak bisa menolak, Bu Nisma adalah kakak satu-satunya almarhum suaminya yang juga sudah menjanda.
“Do, kamu bawa ke mobil, nih!” perintah Bu Nisma kepada anak laki-lakinya yang sedang melihat-lihat sarapan di meja makan. Dodo pura-pura tidak mendengar, malah mengeloyor ke depan televisi dan menonton.
Bu Nisma geleng-geleng kepala, tetapi membiarkan anak laki-lakinya itu begitu saja.
"Heran, sejak datang ke sini perlakuannya sudah seperti ke putri raja," gumam Dodo. Kesal kepada ibunya, memperlakukan sepupunya yang sedang liburan di rumahnya, melayaninya melebihi ke anaknya sendiri.
Ibunya sengaja meliburkan semua pembantu, demi melayani anak dari pamannya itu. Rela masak dan bersih-bersih sendiri, padahal itu tidak pernah dilakukannya selama ini. Mereka terpandang di kampung ini, warga menyebut mereka juragan.
"Do, bantuin dong!" Bu Nisma kerepotan membawa kantong besar. Terlihat lelah dari raut wajahnya.
"Lho, bukannya itu keinginan Mbu, melayani sendiri anak manja itu?" Dodo malah melawan. "Pake meliburkan para pembantu segala."
"Do, jangan keras-keras, tidak enak sama Bibi dan adikmu!"
"Bodo amat." Dodo mengganti-ganti saluran televisi sambil rebahan di sofa.
"Mbu kan sudah bilang, Andrea di sini hanya liburan doang, kita harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Dia amanat dari paman kamu."
"Lebay banget sih, Mbu! Dia sudah gede kali."
"Sudah sudah! Bosen, Mbu dengar kamu protes melulu." Bu Nisma berlalu ke dapur.
"Aku juga bosen, dengar Mbu bela dia terus," ketus Dodo.
Di kamar depan, adegan wajah tegang juga terjadi dari ibu seorang gadis yang susah dibangunkan.
Andrea Indah Sari, gadis manis dan berwajah imut, usia kelas sebelas. Sementara ini, kemanisannya sedikit memudar, karena sedang menikmati pulau kapuk bergaya kayang, dengan mulut sedikit mangap.
Hawa pegunungan yang sejuk selalu membuatnya malas bangun. Ibunya hampir senewen bolak-balik membangunkan sampai harus menyalahkan leluhurnya seperti tadi.
“Bangun, Ndre! Ngga malu apa sama ayam? Tuh sudah cari makan sejak subuh, ini malah tidur lagi." Yuli menarik selimut Andrea.
"Ayo sekalian beres-beres barang! Kita berangkat pagi biar tidak kena macet ... Ayo dong, Ndre! Ini ke lima kali lho Ibu bangunin. Mobilnya hanya disewa sehari, kalau sampai kena macet dan datang malam, Ibu harus bayar lebih ...,” omel Yuli lagi.
“Iiihh, Ibuuu... Sebentar lagi, aku masih ngantuk.” Andrea menggerutu, menarik selimut ke kepala.
“Ayo dong, Ndre! Kebiasaan deh kalau habis liburan malasnya kumat lagi.”
Tarik menarik selimut pun terjadi.
"Cepat! Libur telah usai," ujar ibunya lagi.
“Iya,” sahut Andrea, ogah-ogahan mengangkat badannya dengan mata masih terpejam.
Ibunya menggeleng, lalu pergi ke luar kamar.
Andrea membuka mata, dilihatnya sekeliling ruangan empat kali lima meter itu. Kamar itu terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
Dia selalu memilih kamar almarhum kakeknya untuk tidur. Selain furniturnya antik, kamar kakeknya itu sangat nyaman karena Uaknya selalu merawatnya dengan baik.
Andrea menguap. Jam dinding menunjukkan waktu jam 8 pagi. Ibunya sudah terdengar kembali ngobrol di ruang makan setelah memastikan anak gadisnya itu bangkit dari peraduan.
Aroma nasi goreng campur terasi menyentuh hidungnya.
"Lapar," gumamnya.
Andrea menghitung dengan jarinya untuk menghitung berapa jam perutnya kosong. Terakhir dia makan mie instan itu jam 12 malam, sambil ngintipin Dodo kakak sepupunya nonton bola. Diambil dua jam untuk lambungnya mencerna jadi perutnya kosong sejak jam dua pagi dan sekarang sudah jam delapan.
"Pantas saja sudah lapar, kosong sepuluh jam," gumamnya sambil garuk-garuk kepala.
Kalau ingat hitung menghitung, Andrea jadi teringat Bu Anis guru matematikanya.
Ah, dia jadi rindu guru, dan teman-teman sekolahnya.
Tenang, gaes, i’m home today, batinnya.
Jendela kamar sudah terbuka lebar, menyebarkan hawa segar. Andrea berjalan mendekati jendela. Memandangi hamparan sawah, seperti permadani yang mengalasi megahnya gunung di atasnya.
Ya, rumah kakek Andrea ada di kawasan kaki gunung. Dari jendela itu Andrea bisa memandang gunung yang seolah menjaga kawasan di bawahnya. Terdiri dari beberapa puncak gunung dengan ketinggian berbeda.
Kalau cuaca cerah dan tanpa awan, Andrea bisa melihat tiga puncak berderet di sana, salah satunya bentuknya unik, seperti punggung yang bungkuk, Andrea suka memandanginya, karena mirip haseupan uaknya.
Menjatuhkan pandangan dengan jarak lebih pendek, mata Andrea tertumpu pada kolam ikan besar.
Ada rona menyesal di matanya. Dulu, kolam itu dihuni ikan-ikan peliharaan kakeknya yang sangat banyak. Ketika diberi makan, ikan-ikan itu berebut makanan seperti tidak pernah kenyang.
Sekarang kolam itu kering, mungkin lebih pas disebut lobang lebar. Lumpurnya sudah memadat karena sudah sering dipakai bermain anak-anak kampung bermain bola. Menyisakan bambu lapuk, tempat duduk kakeknya dulu.
Kakeknya suka memanggil dari balik jendela ini ketika tidur siangnya terganggu karena jeritan Andrea ketika bermain dengan Dodo, sepupunya.
“Jangan main-main di pinggir kolam! Nanti nyebur!" Teriak kakeknya waktu itu.
Dan itu memang benar. Pernah suatu hari Andrea kecil jatuh ke dalam kolam besar itu karena main kejar-kejaran dengan Dodo. Andrea yang belum bisa berenang hampir tenggelam, kalau saja tidak ada kakeknya yang menolong.
Dodo kena omel sang kakek, lalu pundung di dekat kandang ayam, Andrea dengan sukarela menemaninya, sampai Dodo tersenyum lagi. Lalu keduanya menemui kakeknya untuk meminta maaf. Laki-laki tua berkharisma, seorang mantri hutan yang disegani itu memeluk mereka dengan penuh kasih.
Andrea tersenyum mengingat kejadian itu. Sekarang yang tersisa hanya kolam kecil di sudut taman, dihuni ikan-ikan hias peliharaan Dodo.
Andrea sayang sekali dengan kakeknya, dan Dodo. Masa kecilnya sangat menyenangkan, bertabur kasih sayang dari kakek dan kakak sepupunya, walaupun ayahnya sudah tiada sejak dia bayi.
"Sudah, kamu jangan menangis, Aa akan selalu jaga kamu," kata Dodo dulu, kalau Andrea sedih.
Andrea merasa sangat nyaman, ketika Dodo mengusap air matanya dan memeluknya. Kehangatan kasih sayangnya masih terasa sampai sekarang.
Ah, indah sekali waktu kecilnya. Andrea merasa aman dan nyaman waktu itu. Sebelum kakeknya tiada, menyusul ayahnya, dan sebelum Dodo berubah jutek bin menyebalkan seiring waktu.
Senyum Andrea berubah manyun, mangingat perlakuan Dodo terhadapnya sekarang.
Memang, sejak kakeknya meninggal, ibunya membawanya tinggal di kota, karena mendapat panggilan kerja. Setelah itu, hanya liburan yang bisa membawanya ke rumah besar ini. Jadi, Andrea tidak mengerti kenapa kakak sepupunya jadi seperti itu. Seperti musuh abadi untuknya.
Tidak ada senyum, apalagi sapa. Yang disodorkan Dodo hanya wajah asam, paling sering melengos. Adapun kata yang terucap, bantahan, dan celaan. Membuat sakit hati.
Tetapi dia tidak ambil peduli, yang penting sekarang uaknya sangat sayang kepadanya. Membuat liburan-liburannya tetap menyenangkan.
Selesai melamun, Andrea beranjak, karena tiba-tiba juga tercium aroma ikan asin menyengat hidung, membuat usus di perutnya semakin meronta minta jatah pagi.
Setengah berlari Andrea menuju pintu kamar, tanpa sengaja bahunya menyenggol lemari besar. Sebuah benda melayang jatuh dari atas lemari, Andrea sigap menangkapnya.
"Upsss ...."
Dia mengusap-usap dadanya karena kaget. Sebuah botol kaca setinggi geretan ada di tangannya.
“Lucu banget." Andrea melemparkan botol itu ke kasur, karena takut didemo lebih anarkis oleh ususnya.
(Andrea tidak tahu, benda itu yang akan jadi kunci dalam memecahkan masalahnya nanti)
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
ᴘɪᴘɪᴡ ❶ ࿐ཽ༵ ᴮᴼˢˢ
Mampir disini thor
2020-09-18
0
Maricha
aku mampir kaka
2020-09-02
1
ig : skavivi_selfish
ninggal jejak kak 😊
2020-08-24
0