Kurikulum dengan sistem fullday school memang menyenangkan untuk siswi energik seperti Andrea, tetapi hari ini Andrea sedikit penat dan sedikit kelelahan, mungkin efek dari perjalanan jauhnya pulang liburan.
Sepulang sekolah badannya langsung dijatuhkan begitu saja di atas kasur, untung saja dia langsing, coba kalau gemuk, dikira karung jatuh.
Krekk!
“Aww, apa sih ini?” Andrea menggerutu, menyingkirkan sesuatu yang mengganjal dan membuat sakit punggungnya. Ternyata dia menjatuhkan tubuhnya di atas ransel yang sejak datang liburan masih di kasur, bergosip dengan barang-barangnya yang lain.
"Ya Allah, ini ransel masih di sini aja, bukannya merapikan diri." Kalau saja ranselnya bisa ngomong, pasti akan menjawab, terserah Gue, hidup-hidup Gue.
Andrea melemparkan ranselnya ke pojokkan. Terbayang kan kesalnya itu ransel.
Bletukk!
Andrea terkejut ranselnya mengeluarkan bunyi aneh. Dengan malas dia bangun untuk mengambilnya, khawatir itu ponsel atau sesuatu yang penting, karena selama ini tidak merasa memasukkan benda berat dari perjalanan liburannya kemarin.
“Lho, ini kan botol parfum Aki,” gumamnya, mendapati botol kaca lucu yang ditemukannya di kamar kakeknya. "Kok bisa ada di dalam ransel? Apa terbawa ya?" Dia mencari benda yang lainnya, karena tidak mungkin botol kaca sekecil itu bersuara keras ketika dilempar.
Hoodie, syal, dompet, aksesoris rambut, cangkang permen, cangkang kacang, segera keluar dari ranselnya.
Dia juga menemukan sebuah pulpen bambu yang dibelinya di tempat oleh-oleh. Rencananya buah tangan untuk Zellina, tapi dia lupa. Zellina kan hobi koleksi pulpen unik, untuk digigiti ujungnya. Entah penyakit apa namanya, yang jelas tidak ada satu pun pulpen Zellina yang ujungnya utuh, pasti aja gerepes bekas gigitan.
Selanjutnya dia menemukan sebuah kotak kayu di dasar ransel. Kotaknya kelihatan antik, dan dia baru melihatnya.
Sambil mengingat-ingat membeli itu di mana, Andrea membuka kotaknya. Ternyata isinya sebuah gembok.
"Apa ini?” Andrea meneliti gembok kuningan beserta anak kuncinya yang menggantung pada gelang besi kecil yang eksis juga dalam kotak kayu itu. Bau besi kuningan sangat menyengat ketika dia menciumnya.
Andrea menutup hidungnya. Ditelitinya lagi benda itu, ukiran menghiasi badan gembok, mirip tulisan dengan huruf kuno.
Dengan hati penasaran, dia memasukkan anak kunci satu-satunya ke lubang gembok. Klek, gembok terbuka.
Aroma wangi tercium, Andrea mengendus-endus menebak-nebak wangi apa. Dia tidak tahu.
Belum bisa menebak wanginya Andrea tiba-tiba dikejutkan dengan seseorang yang berdiri di depannya.
"Ecopot jantungku!" Andrea memekik sambil memegangi dadanya. Jantungnya benar-benar seperti mau copot, karena kaget.
Sekali loncat dia sudah merapatkan tubuhnya ke tembok kamar dengan tangan masih memegangi dadanya, gembok di tangannya terlempar ke lantai.
Klek! besinya masuk lagi ke dalam lubang, dan mengunci kembali.
Beberapa detik dia menatap sosok lelaki tegap ada di depannya, lalu dia memekik, dan terbirit-birit keluar kamar.
“Ibuuuuu … ”
Yuli yang baru melepas lelah dengan bersantai sambil menonton TV tentu saja kaget. Bi Cicih, pembantunya, ikut datang, tergopoh-gopoh dari dapur, membawa singkong mentah.
"Apa, Ndre?"
"Co ... co .... co ....."
"Copet??" tanya ibunya. Andrea menggeleng, dengan wajah pucat.
"Comro? Belum mateng." Bi Cicih ikut bertanya, tangannya mengacungkan singkong.
Andrea menggeleng lagi, dia beberapa kali menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering dan susah bicara.
"Apa, Ndre? Minum dulu, minum dulu, Bi ambilkan minum!"
"I ... iya, Bu." Bi Cicih segera ke dapur, lalu datang lagi dengan gelas di tangan. Singkongnya entah dilempar kemana.
Setelah minum, Andrea sedikit tenang, dia langsung meloncat ke sofa dan memeluk bantal.
"Itu, tadi di kamar aku, ada cowok ... nyusup," kata Andrea. Yuli dan Bi Cicih saling pandang.
"Siapa Yusup?" tanya Bi Cicih.
"Nyusup, Bi, nyusup ... bukan Yusuf," sahut Andrea.
"Cowok siapa?" tanya Yuli.
"Enggak tahu, enggak kenal."
"Siapa, Bi?" Yuli bertanya pada Bi Cicih, karena di rumah ini yang ada di rumah dari pagi hanya Bi Cicih.
"Tidak tau, Bu, perasaan tidak ada tamu datang hari ini."
"Rampok ... iya, mungkin rampok." Andrea kembali membuat gugup. Yuli dan Bi Cicih jadi ikut-ikutan takut dan duduk berdempetan di sofa sambil memandangi pintu kamar Andrea. Mereka panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Beberapa menit, tidak ada pergerakan apa-apa dari kamar Andrea.
"Tenang, kita apa-apaan sih, kalau ketakutan begini malah tidak bisa berbuat apa-apa." Yuli segera melepaskan pelukannya pada Andrea. Bi Cicih tetap memeluk bantal.
"Sebaiknya Ibu hubungi Pak RT." Akhirnya Andrea bisa berpikir jernih.
"Iya, Bu." Bi Cicih ikut nimbrung.
"Nanti dulu, mungkin kamu halu, Ndre." Yuli menatap lagi kamar Andrea yang sepi-sepi saja padahal pintunya juga tidak tertutup sepenuhnya.
"Ck, aku tidak bohong, Bu, ada orang di sana. Berdiri di depanku," tegas Andrea.
Bu Yuli yakin tidak ada apa-apa, dia segera memberanikan diri memeriksa kamar Andrea dengan mengajak Bi Cicih.
"Enggak ah, Ibu saja," rengek Bi Cicih.
"Euuh kamu mah, badan saja bohay."
"Emang kalau bohay tidak boleh takut?" tanya Bi Cicih, membela diri.
"Tidak boleh, kalau takut mah ngga akan bisa dikorbankan bulan haji," ujar Andrea. Ketakutannya sudah mulai pudar, kayak lagunya Rosa.
"Sapi kali Bibi teh." Bi Cicih keki.
Setelah suasana dirasa aman-aman saja, Yuli segera memeriksa kamar Andrea dengan tangan memegang senapan angin peninggalan suaminya yang biasa dipakai untuk berburu burung. Kamar Andrea kosong.
"Mana, Ndre?"
Bi Cicih yang ikutan bersiaga dengan sapu di tangan memberi isyarat kepada Andrea bahwa di kamarnya tidak ada siapa-siapa. Andrea yang masih setia di sofa bersikeras ada orang di kamarnya.
“Mungkin tikus,” kata Bi Cicih dari balik pintu, dia tidak berani masuk. Andrea menghampiri, menempel di belakangnya.
“Kok tikus? Bukan … Orang kok Bi … tadi di situ, pakai baju hitam.” Andrea meyakinkan Bi Cicih lagi.
“Mungkin sudah kabur.” Yuli memeriksa jendela, masih terkunci. Kakinya menendang gembok antik masuk ke kolong ranjang. “Ya sudah, nanti Ibu lapor Pak Hansip.”
Malam itu Andrea jadi tidak berani tidur di kamarnya, dia nyempil di kamar ibunya. Tamu tak diundang berbaju hitam itu masih terbayang di matanya, seperti mau mencekiknya.
“Tidak ada apa-apa kok, Ndre. Biasanya kamu berani.” Yuli protes.
“Kalau begitu, Ibu saja yang tidur di kamarku! Orang aku lihat sendiri, orangnya tinggi pakai baju hitam,” rengek Andrea.
“Ogah, nanti orangnya cekik Ibu.”
“Lahh, kalau aku yang dicekik?”
“Biarin, itu kan kamar kamu sendiri.”
“Aah, Ibuu maaahh.” Andrea merajuk kepada ibunya, tetapi dijawab tarikan selimut oleh ibunya.
Meskipun tomboi, kalau dikejutkan seperti itu ketar-ketir juga.
“Makanya perbanyak mengaji, jangan main HP melulu,” gumam ibunya.
“Maksud ibu, kamarku ada setannya?”
“Bisa jadi.”
Andrea mendengus kesal, lalu berbalik ke tubuh ibunya yang sedang memunggunginya, memeluk punggung ibunya.
“Kamu sudah gede, Ndre .…”
"Bodo."
"Manja."
Andrea menggerak-gerakkan kakinya kesal, lalu meringkuk lagi setelah menyadari malam itu adalah malam Jumat. Bayangannya masih kepada lelaki di kamarnya tadi. Dia yakin tidak sedang bermimpi. Kalau diingat-ingat, wajahnya tidak menyeramkan sih, malah terlihat lumayan tampan, seperti bukan wajah perampok atau penculik gadis dan para janda.
Tetapi baju yang dipakainya serba hitam. Seram. Andrea menarik selimut sampai ke kepalanya, dia benar-benar ketakutan.
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2020-12-03
0
Mia Poei
aku mampir lagi ya
2020-09-04
0
Yhu Nitha
like
2020-08-26
1