“Mirip bapaknya banget, susah dibangunkan.” Yuli menarik nafas, lalu membuangnya seolah putus asa.
“Eh, ini apa atuh malah nyalahin yang sudah enggak ada ... Sudah, biar Teteh saja yang bangunkan.” Bu Nisma melirik Yuli yang sedang mengaduk-aduk nasi di meja makan untuk didinginkan.
Sebagai kakak dia harus bijaksana, tidak boleh memihak salah satu dari adik ipar atau almarhum adiknya, apalagi hanya mempermasalahkan sifat anaknya yang malas bangun menurun dari siapa.
Kalau bicara keturunan, tentu tidak hanya dari orang tuanya saja bukan. Kakek, buyut, canggah, wareng, udeg-udeg, gantung siwur, dan seterusnya bisa jadi ikut andil. Gen dalam darah kan menetes ke bawah, tidak ke atas, kecuali bisa disedot.
“Eh, tidak usah, Teh. Biar saya saja, sekali lagi.” Yuli mencegah sambil senyum-senyum malu. Padahal dia tadi hanya bercanda, menyebut bapaknya itu hanya untuk menunjukkan saja kepada kakak iparnya, bahwa dia selalu mengenang suaminya itu, tidak pernah melupakannya sedikitpun.
“Ya sudah, Teteh juga masih ada yang harus dikerjakan di dapur.” Bu Nisma berbalik ke arah dapur, mengusap pundak adik iparnya.
Dari subuh dia sibuk sekali menata oleh-oleh. Berbagai macam makanan kampung di masukan ke dalam kantong besar, termasuk beberapa butir kelapa yang sudah dikupas mohak.
“Jangan repot-repot, Teh. Buat di sini saja, kita kalau mau tinggal beli di jalan.” Yuli malah berbalik membantu Bu Nisma yang kerepotan.
“Hus! kamu harus bawa ini. Kalian juga harus mencicipi hasil dari sawah dan kebun Bapak, karena kalian juga berhak. Jangan sedikit-sedikit beli, sayang uangnya."
"Maafkan kalau Andrea merepotkan selama di sini, Teh."
"Apa sih, Yul. Enggak kok, Teteh senang Andrea di sini. Teteh jadi punya teman ngobrol. Kamu tahu sendiri, Dodo senangnya keluyuran. Tidak pernah ada di rumah."
Yuli tersenyum. "Maaf juga saya baru bisa menjemput, banyak banget pekerjaan yang harus diselesaikan dulu."
"Iya, Teteh ngerti kok. Udah sana, bangunkan lagi si Neng! Sebentar lagi Teteh bikinin nasi goreng kesukaannya."
Walau tidak enak, Yuli tidak bisa menolak, Bu Nisma adalah kakak satu-satunya almarhum suaminya yang juga sudah menjanda.
“Do, kamu bawa ke mobil, nih!” perintah Bu Nisma kepada anak laki-lakinya yang sedang melihat-lihat sarapan di meja makan. Dodo pura-pura tidak mendengar, malah mengeloyor ke depan televisi dan menonton.
Bu Nisma geleng-geleng kepala, tetapi membiarkan anak laki-lakinya itu begitu saja.
"Heran, sejak datang ke sini perlakuannya sudah seperti ke putri raja," gumam Dodo. Kesal kepada ibunya, memperlakukan sepupunya yang sedang liburan di rumahnya, melayaninya melebihi ke anaknya sendiri.
Ibunya sengaja meliburkan semua pembantu, demi melayani anak dari pamannya itu. Rela masak dan bersih-bersih sendiri, padahal itu tidak pernah dilakukannya selama ini. Mereka terpandang di kampung ini, warga menyebut mereka juragan.
"Do, bantuin dong!" Bu Nisma kerepotan membawa kantong besar. Terlihat lelah dari raut wajahnya.
"Lho, bukannya itu keinginan Mbu, melayani sendiri anak manja itu?" Dodo malah melawan. "Pake meliburkan para pembantu segala."
"Do, jangan keras-keras, tidak enak sama Bibi dan adikmu!"
"Bodo amat." Dodo mengganti-ganti saluran televisi sambil rebahan di sofa.
"Mbu kan sudah bilang, Andrea di sini hanya liburan doang, kita harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Dia amanat dari paman kamu."
"Lebay banget sih, Mbu! Dia sudah gede kali."
"Sudah sudah! Bosen, Mbu dengar kamu protes melulu." Bu Nisma berlalu ke dapur.
"Aku juga bosen, dengar Mbu bela dia terus," ketus Dodo.
Di kamar depan, adegan wajah tegang juga terjadi dari ibu seorang gadis yang susah dibangunkan.
Andrea Indah Sari, gadis manis dan berwajah imut, usia kelas sebelas. Sementara ini, kemanisannya sedikit memudar, karena sedang menikmati pulau kapuk bergaya kayang, dengan mulut sedikit mangap.
Hawa pegunungan yang sejuk selalu membuatnya malas bangun. Ibunya hampir senewen bolak-balik membangunkan sampai harus menyalahkan leluhurnya seperti tadi.
“Bangun, Ndre! Ngga malu apa sama ayam? Tuh sudah cari makan sejak subuh, ini malah tidur lagi." Yuli menarik selimut Andrea.
"Ayo sekalian beres-beres barang! Kita berangkat pagi biar tidak kena macet ... Ayo dong, Ndre! Ini ke lima kali lho Ibu bangunin. Mobilnya hanya disewa sehari, kalau sampai kena macet dan datang malam, Ibu harus bayar lebih ...,” omel Yuli lagi.
“Iiihh, Ibuuu... Sebentar lagi, aku masih ngantuk.” Andrea menggerutu, menarik selimut ke kepala.
“Ayo dong, Ndre! Kebiasaan deh kalau habis liburan malasnya kumat lagi.”
Tarik menarik selimut pun terjadi.
"Cepat! Libur telah usai," ujar ibunya lagi.
“Iya,” sahut Andrea, ogah-ogahan mengangkat badannya dengan mata masih terpejam.
Ibunya menggeleng, lalu pergi ke luar kamar.
Andrea membuka mata, dilihatnya sekeliling ruangan empat kali lima meter itu. Kamar itu terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
Dia selalu memilih kamar almarhum kakeknya untuk tidur. Selain furniturnya antik, kamar kakeknya itu sangat nyaman karena Uaknya selalu merawatnya dengan baik.
Andrea menguap. Jam dinding menunjukkan waktu jam 8 pagi. Ibunya sudah terdengar kembali ngobrol di ruang makan setelah memastikan anak gadisnya itu bangkit dari peraduan.
Aroma nasi goreng campur terasi menyentuh hidungnya.
"Lapar," gumamnya.
Andrea menghitung dengan jarinya untuk menghitung berapa jam perutnya kosong. Terakhir dia makan mie instan itu jam 12 malam, sambil ngintipin Dodo kakak sepupunya nonton bola. Diambil dua jam untuk lambungnya mencerna jadi perutnya kosong sejak jam dua pagi dan sekarang sudah jam delapan.
"Pantas saja sudah lapar, kosong sepuluh jam," gumamnya sambil garuk-garuk kepala.
Kalau ingat hitung menghitung, Andrea jadi teringat Bu Anis guru matematikanya.
Ah, dia jadi rindu guru, dan teman-teman sekolahnya.
Tenang, gaes, i’m home today, batinnya.
Jendela kamar sudah terbuka lebar, menyebarkan hawa segar. Andrea berjalan mendekati jendela. Memandangi hamparan sawah, seperti permadani yang mengalasi megahnya gunung di atasnya.
Ya, rumah kakek Andrea ada di kawasan kaki gunung. Dari jendela itu Andrea bisa memandang gunung yang seolah menjaga kawasan di bawahnya. Terdiri dari beberapa puncak gunung dengan ketinggian berbeda.
Kalau cuaca cerah dan tanpa awan, Andrea bisa melihat tiga puncak berderet di sana, salah satunya bentuknya unik, seperti punggung yang bungkuk, Andrea suka memandanginya, karena mirip haseupan uaknya.
Menjatuhkan pandangan dengan jarak lebih pendek, mata Andrea tertumpu pada kolam ikan besar.
Ada rona menyesal di matanya. Dulu, kolam itu dihuni ikan-ikan peliharaan kakeknya yang sangat banyak. Ketika diberi makan, ikan-ikan itu berebut makanan seperti tidak pernah kenyang.
Sekarang kolam itu kering, mungkin lebih pas disebut lobang lebar. Lumpurnya sudah memadat karena sudah sering dipakai bermain anak-anak kampung bermain bola. Menyisakan bambu lapuk, tempat duduk kakeknya dulu.
Kakeknya suka memanggil dari balik jendela ini ketika tidur siangnya terganggu karena jeritan Andrea ketika bermain dengan Dodo, sepupunya.
“Jangan main-main di pinggir kolam! Nanti nyebur!" Teriak kakeknya waktu itu.
Dan itu memang benar. Pernah suatu hari Andrea kecil jatuh ke dalam kolam besar itu karena main kejar-kejaran dengan Dodo. Andrea yang belum bisa berenang hampir tenggelam, kalau saja tidak ada kakeknya yang menolong.
Dodo kena omel sang kakek, lalu pundung di dekat kandang ayam, Andrea dengan sukarela menemaninya, sampai Dodo tersenyum lagi. Lalu keduanya menemui kakeknya untuk meminta maaf. Laki-laki tua berkharisma, seorang mantri hutan yang disegani itu memeluk mereka dengan penuh kasih.
Andrea tersenyum mengingat kejadian itu. Sekarang yang tersisa hanya kolam kecil di sudut taman, dihuni ikan-ikan hias peliharaan Dodo.
Andrea sayang sekali dengan kakeknya, dan Dodo. Masa kecilnya sangat menyenangkan, bertabur kasih sayang dari kakek dan kakak sepupunya, walaupun ayahnya sudah tiada sejak dia bayi.
"Sudah, kamu jangan menangis, Aa akan selalu jaga kamu," kata Dodo dulu, kalau Andrea sedih.
Andrea merasa sangat nyaman, ketika Dodo mengusap air matanya dan memeluknya. Kehangatan kasih sayangnya masih terasa sampai sekarang.
Ah, indah sekali waktu kecilnya. Andrea merasa aman dan nyaman waktu itu. Sebelum kakeknya tiada, menyusul ayahnya, dan sebelum Dodo berubah jutek bin menyebalkan seiring waktu.
Senyum Andrea berubah manyun, mangingat perlakuan Dodo terhadapnya sekarang.
Memang, sejak kakeknya meninggal, ibunya membawanya tinggal di kota, karena mendapat panggilan kerja. Setelah itu, hanya liburan yang bisa membawanya ke rumah besar ini. Jadi, Andrea tidak mengerti kenapa kakak sepupunya jadi seperti itu. Seperti musuh abadi untuknya.
Tidak ada senyum, apalagi sapa. Yang disodorkan Dodo hanya wajah asam, paling sering melengos. Adapun kata yang terucap, bantahan, dan celaan. Membuat sakit hati.
Tetapi dia tidak ambil peduli, yang penting sekarang uaknya sangat sayang kepadanya. Membuat liburan-liburannya tetap menyenangkan.
Selesai melamun, Andrea beranjak, karena tiba-tiba juga tercium aroma ikan asin menyengat hidung, membuat usus di perutnya semakin meronta minta jatah pagi.
Setengah berlari Andrea menuju pintu kamar, tanpa sengaja bahunya menyenggol lemari besar. Sebuah benda melayang jatuh dari atas lemari, Andrea sigap menangkapnya.
"Upsss ...."
Dia mengusap-usap dadanya karena kaget. Sebuah botol kaca setinggi geretan ada di tangannya.
“Lucu banget." Andrea melemparkan botol itu ke kasur, karena takut didemo lebih anarkis oleh ususnya.
(Andrea tidak tahu, benda itu yang akan jadi kunci dalam memecahkan masalahnya nanti)
bersambung
Andrea mendapati ibu dan uaknya di ruang makan.
“Hayu geulis sarapan dulu, mumpung masih hangat!” Bu Nisma tersenyum, membereskan rambut Andrea yang jatuh tidak beraturan di bahunya. Terlihat sangat menyayangi keponakan satu-satunya itu.
“Iya, Ua.”
"Tidak terasa ya sudah mau pulang lagi, padahal Ua masih kangen." Bu Nisma menyendok nasi.
"Tenang, Ua, kan liburan semester depan aku kesini lagi." Andrea mulai melahap nasi goreng kesukaannya.
"Iya, hobinya kan merepotkan." Yuli menyindir anak gadisnya.
"Yeyy, Ibu mah sirik aja."
"Emang iya kan? Kamu di sini pasti membuat repot," ujar Yuli.
"Ngga kok, Andrea juga suka bantuan Ua kok," bela Bu Nisma.
Andrea tersenyum, tapi bingung.
"Bantu apa?" tanya Yuli.
"Bantu menghabiskan stok terasi," kata Bu Nisma sambil tertawa. Diikuti ibunya.
Andrea merengut karena ditertawakan ibunya.
Dodo lewat.
"Aa ...." Andrea menyapa. Dia tidak pernah menganggap kejutekan Dodo jadi sesuatu yang akan merenggangkan hubungan mereka. Baginya hubungan keluarga ini adalah hal yang istimewa.
Dodo tidak peduli, dia masuk ke kamarnya. Lalu keluar lagi, menyambar kunci motor.
“Mau ke mana lagi, Do? Sebentar, Ibu mau bicara.” Bu Nisma bicara.
Mau tidak mau Dodo berhenti. "Bicara apa?" tanyanya, sambil melipat tangan jaketnya. Rambut spike di kepalanya membuat wajahnya terlihat semakin ganteng.
"Ada yang mau Mbu bicarakan," ujar Bu Nisma.
Dodo menyeret kursi meja makan, lalu duduk.
“Enak, ngga, A dijegal?" tanya Andrea. Seperti biasa, mengajaknya bercanda, walau tidak pernah ditanggapi.
Dodo tampak kesal mendengar Andrea bertanya. “Jadi kita rapat, Mbu? Kok mendadak, enggak dari kemarin-kemarin?” Dodo tidak menggubris pertanyaan Andrea.
“Ini tidak mendadak, sudah dipikirkan Mbu sejak lama, tapi baru diberi kesempatan saja berkumpul sekarang.”
“Ooh, ada apa sih, serius pisan, penting pisan, ya?” Dodo bicara dengan nada konyol.
“Do! Dengarkan dulu Mbu ngomong!” ucapan Bu Nisma meninggi.
“Iya nih, dengar dulu saja, Aa. Aku juga sibuk, biasa aja.” Andrea menyeletuk, entah kenapa dia senang sekali melihat wajah sepupunya itu kesal berlipat-lipat. Ada lucu-lucunya gitu.
“Sibuk manja aja bangga,” gumam Dodo.
“Daripada bangga ngejomlo," sahut Andrea, lidahnya melet. Tetapi Dodo malah semakin kesal.
“Mulai deh, Ndre!” Yuli melotot ke arah Andrea, ngeri juga melihat Dodo yang terlihat kesal ke Andrea.
“Apa, wekk ....” Andrea malah menantang tatapan Dodo.
“Andrea Indah Sari, bisa diam kan?" Yuli bicara sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak gadisnya itu.
“Sudah-sudah!" Suara lembut Bu Nisma menjadi pengurai.
Andrea dan Dodo yang mulai memasang wajah perang segera menghentikan aksi mereka.
"Begini, mumpung ada Yuli dan Andrea di sini, sebenarnya ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada kalian, sekalian Dodo juga.” Bu Nisma berhenti bicara, menarik nafas dalam-dalam.
"Duh, aku kok jadi deg-degan." Andrea menatap wajah Bu Nisma, ibunya, dan Dodo bergantian.
"Ndreee ...." Yuli menyimpan telunjuk di mulutnya. Andrea buru-buru menyumpal mulutnya dengan kerupuk, tetapi suasana malah jadi janggal, suara kerupuk beradu dengan giginya memecah ketegangan.
Kresss ... Kresss ....
Bu Nisma menunggu Andrea menghabiskan kerupuknya.
“Selama ini kita tidak pernah membahasnya, dan kalian juga sepertinya tidak terlalu mau tahu, tapi sepertinya sekarang saatnya kita membicarakan warisan Bapak."
"Oohh." Dodo tersenyum sinis. "Warisan rupanya, bener tuh, bagi-bagi saja, biar semuanya jelas, dan kita hidup masing-masing."
"Aldo Pribadi! Diam dulu kalau Mbu sedang bicara!" Sekarang giliran Bu Nisma menegur anaknya.
Aldo terdiam, tetapi wajahnya masih jutek sejutek-juteknya.
"Terus terang saja, peninggalan Aki sekarang tidak terurus. Kolam kering, sawah disewakan, kebun sudah mirip leuweung geledegan, penggilingan padi jarang beroperasi. Kalian tahu sendiri, Aki paling tidak suka kebun yang tidak terawat, sawah tidak menghasilkan, apalagi binatang peliharaannya punah. Saya dan Dodo ternyata tidak sanggup mengurus peninggalan orang tua.” Bu Nisma bicara dengan suara parau, seperti menahan tangis.
Andrea menghentikan menyendok nasi di piring. Yuli menunduk, sedangkan Dodo memandang ke luar jendela kaca. Pikirannya entah ke mana.
“Maka dari itu, lebih baik kita jual saja, hasilnya kita bagi saja menurut pembagian tata cara agama kita," lanjut Bu Nisma.
Tidak ada yang bicara. Hanya ada suara sendok Andrea yang mulai beradu lagi dengan piring.
Andrea baru sadar, dia pemecah hening, lalu segera melanjutkan makan. Dia paling tidak suka suasana mengharukan.
“Jadi Mbu mau menjual warisan Aki?” akhirnya Dodo bersuara.
“Menurut kamu?"
"Baguslah. Jual saja!"
"Maka dari itu kita bicara sekarang di sini. Peninggalan Aki bukan hanya milik kita, tetapi juga ada hak Andrea."
"Iya, aku tahu. Bagikan saja secepatnya. Setelah itu, kita hidup masing-masing. Bagian Om Danu suruh mereka bawa ke kota." Dodo bangkit dari duduknya.
"Bi Yuli senang bukan?" lanjutnya, menatap Yuli.
Andrea terkejut, Dodo akan bersikap tidak sopan seperti itu kepada ibunya.
"Aa yang sopan ya sama ibuku!" Andrea melotot. Dia tidak mempermasalahkan sikap sepupunya itu terhadapnya, tetapi tidak terima jika ibunya juga dijutekin seperti itu.
"Kenapa? Ada yang salah?" Dodo menggarang.
"Maksud Aa apa?" Andrea berdiri.
"Eeh, apa-apaan ini, kok malah pasea. Stop! Kalian teh sudah besar, tetapi malah kayak anak kecil." Bu Nisma melerai.
"Kalau Mbu mau bagikan warisan Aki, silakan, aku setuju." Dodo masih emosi. "Tetapi rumah ini harus jadi milik kita."
"Sayangnya semua harus dijual, Do. Dan kita juga mungkin akan pindah ke kota," ujar Bu Nisma.
"Mbu apa-apaan sih?" Dodo terkejut. "Ngapain kita pindah, aku ngga mau pindah dari rumah ini!"
"Lho, kan tadi kamu sendiri yang bilang, bagikan saja, susah kan kalau membagikan mentahnya bulat-bulat, tidak akan adil untuk Andrea." Bu Nisma sedikit ngotot, membuat Dodo semakin berang. Ibunya terus saja membela Andrea.
"Pokoknya aku tidak mau pergi dari rumah ini," kata Dodo, matanya berkaca-kaca. Dia masih tidak mau terima, warisan kakeknya punah begitu saja. Dari dulu dia sangat mencintai kakeknya.
Andrea tertegun, dia juga merasakan apa yang dirasakan Dodo.
"Ua, A Dodo benar. Rumah ini jangan dijual. Aku juga tidak mau, pasti Aki juga tidak mau harta warisannya habis begitu saja." Andrea bicara.
Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara.
"Terus, kalau warisan Aki tidak dijual, kamu mau mengurus warisan aki? tiap hari keluyuran begitu." Bu Nisma menatap Dodo.
Dodo melengos.
"Mbu tidak akan menjual semua ini kalau kamu atau Andrea mau mengurusnya dengan baik."
“Kok aku, Ua? Aku kan masih sekolah.” protes Andrea.
"Ua kan hanya menawarkan."
"Enggak ah, Aa Dodo saja yang nganggur." Serasa disediakan senapan, Andrea langsung menembak telak Dodo, tetapi yang ditembak sedang tidak mood meladeni adik sepupunya itu, dia mengeluarkan kunci motor dari saku celananya.
Tiba-tiba Dodo berdiri dari meja makan, badannya menggeser kursi seolah sebuah protes. Pelan sih tapi lumayan membuat piring-piring di atasnya berbunyi. “Ya sudah, jual saja! riweuh pisan." Tanpa menunggu lama lagi Dodo pergi ke luar.
“Kamu lihat sendiri kan, Yul? Teteh tidak tahu harus bagaimana lagi melihat kelakuannya ....” Bu Nisma menghela nafas panjang. Yuli tersenyum kecil. Bu Nisma dan Yuli saling pandang.
Tinggal Andrea yang menjadi tidak berselera makan, pikirannya campur aduk, bingung harus bagaimana. Dia pamit ke kamar.
Bagaimanapun mengesalkannya sikap Dodo, dia adalah satu-satunya saudara baginya.
Berbeda dengan dulu, sekarang Dodo semakin menyebalkan. Padahal setiap liburan tiba, tujuan Andrea adalah menemuinya, ingin menghabiskan waktu seperti waktu kecil dulu. Andrea jadi semakin sedih, sekarang Dodo benar-benar tidak menyayanginya lagi.
Kini uaknya akan menjual seluruh warisan, dan mereka pasti akan semakin jauh. Andrea tidak menginginkan itu, keluarga dia dari pihak ayahnya hanya Bu Nisma dan Dodo saja, karena kakek dan neneknya hanya mempunyai dua orang anak saja, ayahnya dan uaknya itu.
“Ndre, udah beres? Ditunggu di depan ya,” panggil ibunya.
Andrea yang masih duduk di pinggir ranjang segera menyambar ranselnya, lalu tergesa memasukkan hoodie dan syal yang berserakan di kasur ke dalam ransel. Andrea gadis cantik, tetapi penganut malas melipat. Dia mengikat rambutnya, lalu kaluar kamar.
Ibunya sudah menunggu di teras, mereka akan berpamitan.
“Jaga diri kalian baik-baik ya.” Bu Nisma memegang pundak Yuli.
“Iya, Teteh juga ya. Jaga kesehatan, jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Kapan-kapan kita ke sini lagi.”
Keduanya berpelukan hangat. Tidak seperti Andrea, ketegangan obrolan di meja makan tadi tidak membekas sama sekali di mata mereka.
"Kamu jangan terlalu capek, Yul, lihat sekarang kamu kurusan." Bu Nisma meneliti tubuh adik iparnya. Yuli hanya tersenyum.
Andrea melihat-lihat berkeliling, mencari Dodo. Kalau waktu kecil Dodo suka pundung di dekat kandang ayam, sekarang dia tidak tahu harus mencari kemana, karena kandang ayam kakeknya sudah dipugar menjadi kandang mobil kolbak.
"Si Aa kemana ya?" tanya Andrea.
"Sudah biarin saja, nanti juga kalau lapar dia akan pulang," kata Bu Nisma.
"Kalau begitu, pamitkan saja ya, Teh. Semoga Dodo marahnya tidak berkepanjangan," kata Yuli. "Dan semoga, rencana kita berhasil," bisik Yuli ke telinga Bu Nisma.
"Kamu doain saja," bisik Bu Nisma.
Andrea melihat heran ke arah ibu dan uaknya. Sudah kayak ibu-ibu komplek bergosip.
Bu Nisma melepas kepergian Andrea dan ibunya.
"Hati-hati menyetir," ujarnya, sambil melambaikan tangan.
Sementara itu, sepasang mata Dodo mengawasi gerak mobil dari balik pohon malaka besar, tatapannya menyorotkan kesal, cemburu, dan dendam.
"Rasain tuh peliharaan baru, biar ada mikirnya hidup, Lu. Anak manja," gumamnya. Senyuman sarkas tersungging di bibirnya.
Bu Nisma menjatuhkan bokongnya di sofa, mengurut leher. Bermain drama selama satu minggu lebih membuatnya letih.
Dia mulai menghubungi *badeg*anya.
"Ohen, kembali bekerja, panggil si Ecin. Aku capek sekali."
"Baik, juragan." Terdengar suara Mang Ohen, pegawai setianya.
bersambung
Di dalam mobil, Andrea terlihat resah. Dia masih memikirkan Dodo. Sepanjang jalan dia melihat-lihat ke luar kaca mobil.
"Kamu kenapa, Ndre?"
"Si Aa kabur ke mana ya?" Andrea celingukan ke arah jembatan yang memotong sungai. "Jangan-jangan dia nyangsang di sana," gumamnya.
"Kamu ini, emang Dodo pohon pisang hanyut dibawa banjir bandang."
"Aku jadi kasihan, dia itu butuh perhatian sebenarnya."
"Maksud kamu, Ua istri kurang perhatian?" tanya Yuli.
"Bukan begitu, akhir-akhir ini Si Aa seperti sedang menyimpan sesuatu. Apa ada hubungannya sama aku, ya? Dia semakin tidak peduli sama aku. Ibu bayangkan saja, selama aku di sini, dia tidak mau menyapa aku. Boro-boro ngajak jalan-jalan. Maunya menyela saja apa yang aku lakukan. Kan aku jadi keki," kata Andrea.
"Dia sedang dalam masa kenakalan remaja, jadinya susah diatur dan maunya menang sendiri. Kalau ada masalah, dia pasti bilang. Sudah, kamu jangan pikirkan. Ua istri tahu kok apa yang harus dilakukan."
"Menjual warisan?"
Yuli tersenyum. "Kamu setuju?"
"Enggak," tegas Andrea. "Peninggalan Aki itu sangat berharga tahu, Bu. Itu adalah kenangan kita tentang Aki dan Ayah."
"Kamu tenang saja, Ua tidak mungkin akan melakukan itu."
"Maksudnya?"
Yuli sedikit melambatkan laju mobil. "Ua istri tadi tidak serius kok. Ibu dan dia yang merencanakan semua itu semalam. Ua kamu curhat kelakuan Dodo yang tidak peduli dengan warisan Aki yang terbengkalai, jadi kita berencana begitu untuk membuat Dodo mikir. Kalau tidak ada yang mengurus, bagaimana warisan Aki bisa menghasilkan lagi," beber Yuli.
“Jadi, tadi itu akting?” Andrea merasa mendapat kejutan.
“Iya lah, ibu membantu Ua. Makanya Ibu juga setuju-setuju saja, tidak membantahnya. Ua sudah tidak tahan dengan kecuekan anak itu, boro-boro memikirkan masa depan, sekolah tinggi, bekerja, punya pacar yang serius saja tidak mau. Kalau ditakut-takuti tidak ada lagi warisan yang membuatnya aman, mungkin dia bisa berubah." Yuli bicara sambil tetap fokus ke jalanan.
"Kasihan, Ua istri juga kan suatu hari punya menantu. Mana tau dengan ancaman mau menjual semua warisan, Dodo jadi berpikir lebih dewasa, mau mengurus peninggalan Aki dan membuat tenang Ua. Demi masa depan dia juga sih.”
“Ooh, pantas saja. Aku juga berpikiran aneh tadi. Bukankah dari dulu kita sudah sepakat kalau warisan Aki itu Ua istri yang urus sepenuhnya ya, Bu?"
“Hmm, kesepakatan masih seperti itu kok," kata ibunya.
Andrea tersenyum. “Kenapa tidak kasih tahu dari awal sih, Bu? Pantas tadi kalian bisik-bisik tetangga."
“Wahh, kalau kamu diberi tahu rencananya bisa gagal. Kamu kan suka ceplas-ceplos, takutnya kamu keceplosan ngomong sesuatu. Jadi biar aman, kamu juga kita kerjai.”
"Iiih, Ibuuu ...."
Andrea cemberut, tetapi hatinya lega karena tidak ada yang dikhawatirkan lagi dengan Dodo.
“Si Aa mungkin sekarang lagi banyak pikiran ya, takut miskin, hihi ... syukur biar botak sekalian, rambut dicukur disisa-sisa begitu, kan sayang ....”
Andrea merasa geli memikirkan sepupunya yang tengil itu sedang misuh-misuh sendiri. Bagaimanapun dia sangat menyayangi Dodo, dan berharap dia berubah seperti dulu lagi. Biar mereka bisa menjaga Ibu dan Uanya bersama-sama.
Keluarga mereka sekarang tinggal berempat, Andrea selalu berusaha untuk tetap menjaga kehangatan keluarganya itu, makanya dalam hati dia berjanji, tidak akan pernah melewatkan liburannya untuk pulang ke kampung, menemani Uanya yang semakin menua dan butuh teman bicara. Anak lelakinya sedang tidak bisa diandalkan, sibuk jutek dan menyebalkan.
"Coba Ua ikut kita saja ya," kata Andrea.
"Waduhh, malah semakin menjadi nanti kelakuan Dodo."
"Siapa tahu, Si Aa bisa berubah kalau ditinggalkan begitu. Dia kan tidak bisa apa-apa, masak air aja gosong."
"Masa? Memang kamu bisa masak air?"
"Lahh, masak air doang mah tinggal ...."
"Suruh Bi Cicih, kan?" sela Yuli, menyebut pembantu paruh waktu di rumah mereka. Andrea cengengesan, kena sekak mat.
"Bi Cicih kan enggak mungkin membuat gosong air, paling bikin gosong pantat ceret. Kalau A Dodo memang beneran tidak bisa. Nahh, kalau Ua tinggalkan dulu sementara, mungkin dia bisa belajar. Kan tidak mungkin dia merepotkan tetangga. Atau, kalau sudah putus asa dia akan buru-buru melamar cewek dan menikahinya ...."
"Terus?" tanya Yuli.
"Terus disuruh masak air ...."
"Kamu itu kalau ngomong gampang banget," sergah Yuli, "mana ada gadis mau dinikahi cuma untuk masak air doang."
"Yaa, intinya kan dia bisa berubah."
"Bagi orang tua, anak adalah segalanya. Ua istri mungkin saja sedang sangat kesal dan khawatir sekarang, tetapi dia tidak akan begitu saja membiarkan Dodo kesulitan."
"Makanya manja, kan?"
"Iya, kayak kamu, terlalu sering dimanja Ua istri."
"Aah Ibu mah, kan kita lagi bahas A Dodo, kenapa jadi aku juga?"
"Karena, kalian sama saja, manja."
Andrea merengut. Tetapi tidak bisa dipungkiri, sandiwara warisan tadi cukup membuatnya tenang lahir batin. Membuatnya senyum-senyum sendiri.
Tanpa terasa mobil sudah meluncur di jalan mengular yang naik turun dan berkelok-kelok ciri khas jalur selatan. Jalur ini adalah jalur yang selalu mengalahkan keceriaan Andrea dari kecil, karena di sana Andrea rawan mabuk darat. Tetapi sekarang tidak lagi, dia sudah terbiasa.
Yuli melihat Andrea terdiam, satu pak kantong keresek hitam segera dia ambil dari laci dashboard.
“Jangan muntah di mana saja, ini mobil orang,” kata Yuli.
“Apaan sih, Bu. Aku bukan anak kecil lagi tau, sudah kebal!”
"Ya sudah." Yuli menyimpan kembali kantong keresek.
"Kalau diibaratkan, jalan ini sudah menjadi sahabat aku."
"Oya?"
"Ibu kan tahu dalam setahun aku bolak-balik jalan ini berapa kali. Jalan ini sudah seperti sahabat karib. Tanjakannya bikin ngegas, tetapi turunannya bisa bikin ngerem. Persis persahabatan kan? tidak selamanya menjalani persahabatan itu adem ayem, ada panasnya tapi juga ada ademnya. Kalo ngeflat seperti jalan pantura, kurang asyik." Andrea nyerocos tidak jelas.
Yuli mengernyitkan dahi.
"Tanjakan, turunan, kalau belokan?" tanya Yuli, kebetulan dia sedang memutar setir mobil di belokan tajam. Andrea sampai oleng ke kiri.
"Nahh, belokan juga banyak terjadi dalam persahabatan. Namanya menikung, hehehe ...."
"Hahahaa, ahh ... kamu, ya." Yuli tidak bisa menahan tawanya.
Mereka akhirnya bisa mengakhiri perjalanan jalur selatan dengan mulus, tanpa muntahan, tanpa kemacetan. Setelah mengisi bahan bakar mobil, tubuh, dan salat di Rest Area, mereka lanjutkan perjalanan dengan ceria.
"Kita harus sampai sore ini, biar kamu bisa istirahat. Besok kan sudah mulai sekolah."
"Iya, tahu."
"Soalnya kamu itu suka banyak alasan kalau hari pertama masuk sekolah."
"Enggak lah, aku juga sudah kangen sama teman-teman."
"Oiya, teman-temanmu sudah dibelikan oleh-oleh?"
"Sudah, nihh beli dodol saja." Andrea menunjukkan beberapa kotak dodol khas Garut.
"Dodol? Tiap liburan masa oleh-olehnya dodol. Yang lain dong, Ndre."
"Eggak apa-apa, sengaja aku bawakan mereka dodol, biar mereka ketemu saudaranya sendiri. Teman-temanku kan dodol semua." Andrea cengengesan.
Yuli mengangkat bahu, lalu memasang sabuk pengaman, bersiap berangkat. "Melewati sahabatmu yang keriwil sudah, sekarang sahabatmu yang habis rebonding."
"Hah??" Andrea tidak menyangka ibunya bisa ngocol juga.
Yuli hanya melirik dan tersenyum sambil mengenakan kacamata hitamnya. "Biasa saja kali, Bu!" serunya lagi.
"Kita tancap gas," ajak Yuli. Dia benar-benar menancap gas di jalan tol yang lengang.
Andrea geleng-geleng kepala melihat kelakuan ibunya.
bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!