Mencintai Dalam Diam

Mencintai Dalam Diam

Part 1

"Udah denger belom? Pengganti buk Rosa orangnya ganteng banget Din." celoteh Dewi sembari menyantap sarapan paginya di kantin kantor. Dina cuma menggeleng, dia memang tak pernah perduli dengan mahluk bernama pria. Apa lagi sekelas bos, dia sama sekali tidak tertarik.

Masih hangat perkataan Dewi, buk Mila datang mengumumkan agar semua section head setiap devisi berkumpul di ruang rapat. Buk Rosa akan memperkenalkan CEO baru di perusahaan EFO. Perusahaan besar di kota kecil ini.

Saat ini seluruh section head ditiap devisi sudah berkumpul di ruang rapat. Ada sekitar lima belas orang berkumpul di ruangan ini. Menunggu kedatangan CEO baru di perusahaaan ini. Buk Rosa baru saja menikah dan terpaksa pindah kerja mengikuti suaminya di luar kota.

Lima menit kemudian pintu ruang rapat tampak terbuka. Pak Heri kepala HRD, masuk bersama seorang pria muda yang tak lain adalah CEO baru mereka.

Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan punggung tegap, sembari menatap seluruh orang di ruangan ini, tak terkecuali Dina. Tatapannya berhenti cukup lama pada Dina, lalu memulai sesi perkenalan.

Sementara Dina membeku di tempatnya, netranya menatap nanar CEO baru yang sedang memperkenalkan diri di depanya.

Pria ini, kenapa harus bertemu lagi setela sekian lama.

Saat pria itu bicara, tak satupun ucapannya yang mampu di ingat Dina. Dia sedang perang batin, otaknya tiba-tiba kosong.

Sudah tujuh tahun, dia dan pria itu tak bertemu. Banyak perubahaan pada diri pria itu, tubuh dan wajahnya tak sama seperti saat dia memutuskan pindah kekota kecil ini. Saat itu dia berhasil membujuk ibunya, agar mengijinkannya tinggal bersama nenek. Melanjutkan kuliah di kota kecil itu, sembari menjaga nenek. Walau kenyataan nya dia memillih tinggal di kosan dekat kampus.

Sedang nenek tetap tinggal di kampung dengan lahan sayurnya yang luas.

Semua dia lakukan demi bisa lepas dari jeratan cinta pertama yang tak mungkin dia gapai.

Mengingatnya membuat Dina menarik nafas berat, sialnya di saat itu CEO baru mereka baru selesai bicara. Sontak semua mata tertuju padanya. Helaan bafas beratnya menarik perhatian peserta rapat.

"Nona Anandita Paradina, nafasmu terdengar sangat berat. Apa ada masalah dengan ucapan saya?" Lelaki berparas tampan itu memanggil nama lengkap Dina sebagai bentuk protes atas sikap Dina barusan.

Tapi yang menjadi pertanyaan semua orang, dari mana CEO baru ini tau nama lengkap Dina?

Dina pias, dengan cepat dia menggeleng. "Maaf pak, saya sedikit kurang berkosentrasi." ucapnya jujur.

Pria tampan itu mengerutkan keningnya sembari menatap lekat ke Dina. "Baiklah saya maafkan. Tapi lain kali jangan ulangi. Saya paling anti dengan karyawan yang tidak profesional saat bekerja." sahutnya dengan ekpresi dingin.

Ini baru sesi perkenalan, tapi Dina sudah menorehkan citra buruk di mata CEO barunya, sia al!

Sampai kembali ke ruang kerjanya Dina masih saja tak mampu berkosentrasi. Laporan bulanan yang menumpuk menambah Dina kian prustasi.

Dina menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi. Matanya terpejam erat, sementara pikirannya kembali mengembara memikirkan lelaki bernama Adhitama itu. Angin apa yang membuatnya sampai di tempat antah berantah ini. Tempat ini hanya kota kecil, tidak cocok untuk lelaki ambisius seperti seorang Adhitama.

"Din, makan siang yuk." Dewi yang masuk ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, mengejutkan Dina yang sedang melamun.

"Kebiasaan deh kamu, masuk gak ketuk pintu." omel Dina. Dewi cuma nyengir menanggapi omelan Dina.

"Gak bawa bekal?" tanya Dina. Biasanya Dewi selalu bawa bekal dari rumah. Penyakit alergi terhadap makanan tertentu memaksanya membawa bekal dari rumah.

"Pembantu pulang dadakan, udah gitu aku bangun kesiangan lagi. Ya udah deh gak sempat masak."

"Masak, macem bisa aja kamu masak. Rebus air aja kamu gosong apa lagi masak." cibir Dina. Sejak kos dulu Dewi paling malas kalau di suruh masak, paling banter juga rendem mie.

"Tau aja kamu bestie," kekeh Dewi sembari bergelayut manja pada tubuh Dina yang sudah dalam posisi" berdiri.

"Udah ayo, aku juga laper."

Dina menarik lengan Dewi menuju kantin. Gedung ini memilliki tiga lantai, kantin ada di lantai bawah, sedang ruang kerja mereka di lantai dua.

Dewi bergegas masuk ke lift sembari menarik tubuh Dina. Didalam, lift terlihat sudah hampir penuh. Lia bagian pemasaraan yang juga berada di lift yang sama mengangguk menyapa Dina.

"Bu Dina."

"Iya." sahut Dina ramah.

Tiba-tiba Dewi menarik kuat lengannya sembari mengkode dengan matanya agar melihat kebelakang. Tapi Dina tak menggubris, membuat Dewi mencebik kesal.

"Dasar kamu!" gerutunya kesal sembari memukul bahu Dina kuat-kuat.

"Pelan dong, sakit tau!" sentak Dina sembari mengusap lengannya yang memerah.

Dewi cuma nyengir. "Gemes."

"Segitunya?"

"He,eh."

Setelahnya hening, karena hanya mereka yang bicara di dalam lift ini. Tiba di lantai satu Dina keluar lebih dulu karena dia berada di paling depan.

"Din tau gak, di belakang kita tadi itu ada pak pak Tama. Nyesel kamu gak liat kebelakang." bisik Dewi antusias.

Dina menarik nafas lega, untung dia tak mengikuti arahan Dewi, kalau tidak.

"Tuhkan nyesel. Di lihat dari deket pak Tama ganteeeng banget! Tau gak sih."

Hadeh...Dina memutar bola matanya kesal. "Terus?"

"Sayang tau kalau di anggurin."

"Maaf aku gak..."

"Jangan bilang kamu gak minat, kalau sama pak Tama kamu juga gak minat. Kayaknya kamu perlu berobat deh Din."

"Kamu pikir aku gak normal?"

"Iya siapa tau kan."

"Udah sana pesan. Seperti biasa ya."

Mereka sudah sampai di kantin, Dina langsung menuju kursi favoritenya di sudut ruangan dari sudut ini dia bisa bebas melihat.

Dina duduk menghadap pintu masuk, bersamaan dengan Dewi yang datang membawa dua piring nasi padang. Di belakangnya tampak pak Tama berjalan kearahnya membawa piring berisi makan siang nya. Dina menahan nafas sampai dadanya terasa sesak. Sedang apa pria itu di kantin, ini sama sekali bukan gayanya.

Tinggal satu meja lagi pak Tama sampai ke tempatnya, dia berhenti di meja kosong di depan Dina lalu duduk disana.

Kehadiran Tama mengundang bisik-bisik yang mengandung pujian atas sikap nya. Orang sekelas Tama jarang mau makan di kantin kantor dengan menu sederhana seperti ini. Menu yang di khususkan untuk karyawan bergaji pas-pasan.

Tama terlihat begitu tenang mengunyah makanan di mulutnya dengan sangat hati-hati, menikmati setiap gigitannya seakan tak mau melewatkan kenikmatan hidangan di setiap gigitannya. Sementara netranya berulang kali menatap Dina dengan sorot mata tajam. Membuat Dina risih.

Dina berulangkali menepis tatapan tajam Tama dengan memalingkan muka ketempat lain. Kelakuan Tama sungguh membuatnya canggung.

Tergesa Dina menghabiskan makan siang nya. Sebelum jantungnya copot oleh tatapan tajam Tama.

"Aku dulu ya, mau ke toilet." bisik Dina. Dewi yang makan sambil bermain gawai mengangguk pelan.

Dina berajak bangkit, kemudian berlalu melewati Tama yang mengikutinya dengan tatapan tajamnya.

Begitu keluar dari kantin, Dina bernafas lega bisa lepas dari Tama. Kehadiran pria itu sungguh membuatnya tersiksa, melihat sosoknya mengorek kembali rasa yang lama terkubur dalam hati.

Walau begitu, dia masih bersukur, setidaknya Tama bersikap dingin padanya. Kalau bisa meminta, dia berharap Tama tak mengenali dirinya. Tapi sepertinya tak mungkin. Dia bahkan hapal nama lengkapnya.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Renesme Kiky

Renesme Kiky

lanjut

2022-11-28

0

titissusilo

titissusilo

lanjut ya Thor,jngn lupa up jg yg novel istri tujuh belas ya🙏🤭

2022-10-17

1

Novida Yanti

Novida Yanti

penasaran bngat deh

2022-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!