Dina memarkir mobilnya di tempat biasa. Biasanya mobilnya berdampingan dengan mobil Dewi. Tapi sepertinya Dewi belum datang. Sebab tempat disampingnya masih kosong.
Dina baru menyentuh handle pintu dan hendak keluar, saat mobil mewah berwarna hitam parkir tepat di samping mobilnya. Dan itu jelas bukan mobil Dewi.
Mungkin saja tamu, sebab Dina belum pernah melihat mobil ini di kendarai karyawa di sini.
Dina turun dari mobil, bersamaan dengan terbukanya pintu belakang mobil mewah tadi, tepat di sebelah Dina. Jantungnya berhenti berdetak, demi melihat siapa yang keluar dari mobil itu.
Tama, dia keluar dari mobil itu. Sekilas dia menatap Dina, kemudian berlalu dari hadapan Dina.
Dina terpaku di tempatnya. Wajah tampan dan dewasa milik Tama masih membuat desiran halus di hatinya.
Dina menarik nafas lega. Ini memang yang di inginkan Dina. Bersikap biasa saja tanpa ada interaksi yang berlebihan. Walau ada nyeri yang menghujam relung harinya karena sikap dingin yang di diperlihatkan Tama. Bukan kah ini yang dia harapkan? Lalu kenapa hatinya merasa kecewa?
Ini sungguh hari-hari terberat untuk Dina, sampai dia terbiasa oleh kehadiran Tama di sekitarnya. Bohong kalau dia bilang rasa itu sudah hilang.Tapi untuk membiarkan rasa itu kembali bersemi seperti dulu Dina tak berniat.
Dina menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Lalu mengeluarkan bekal dari rumah, roti bakar juga teh hangat yang dia bawa di termos kecil.
Mulutnya menggigit potongan kecil roti, sementara tangannya sibuk menekan tombol keyboard di laptopnya. Dina tak memiki banyak waktu, semua report yang di minta kantor pusat harus selesai hari ini. Baru besok akan di kirim ke pusat.
Sesekali dia menyesap teh hangat di cawan batu, sembari mengunyah roti yang masih tersisa sedikit di piring.
Dina baru akan menyuap potongan roti terakhir. Ketika telpon di mejanya berdering.
"Selamat pagi dengan Paradina disini, ada yang bisa saya bantu," ucap Dina sebagai greeting wajib di kantor ini.
"Dina, bisa keruangan saya. Tolong bawa hard copy proposal yang saya minta kemarin."
"Baik pak."
Itu adalah pak Davit atasannya Dina. Ruangnya bersebelahan dengan ruang pak Tama. Dia adalah branch manager di kantor cabang ini. Sementara Tama adalah CEO yang memiliki saham di perusahaan ini. Jadi Davit masih bawahan Tama.
Dina naik kelantai tiga dengan beberapa berkas di tangannya. Salah satunya berkas laporan bulanan yang harus di tandatangi oleh Tama. Karena satu ruangan, Dina sekalian membawanya biar tidak bolak balik kelantai atas. Sisanya bisa besok, dia akan mengirim report yang sudah selesai agar di periksa oleh pusat.
Dina mengetuk pintu pak Davit, lalu terdengar suara pak Davit mempersilahkan masuk.
"Duduklah," pintaanya hanya dengan gerakan bibir. Sebab dia sedang menerimaa telpon seseorang.
Dina mengangguk lalu duduk di kursi, di depan pak Davit.
Davit menutup telpon lalu memandang Dina dengan senyum di bibirnya.
"Ini proposal yang bapak minta." Dina mengulurkan map pada Davit. Davit memeriksa dengan seksama, lalu mengangguk puas.
"Apa ada yang perlu di perbaiki pak?"
"Tidak ada, ini sudah sesuai dengan permintaan saya kok." sahut pria tampan itu dengan nada ramah.
"Itu berkas apa?" pak Davit menunjuk berkas di pangkuan Dina.
"Ooo ini, report yang harus di tandatangani pak Tama pak." jelas Dina, tampak pak Davit mengangguk pelan.
"Kamu tadi kenapa tidak sarapan di kantin?"
"Saya bawa bekal pak."
"Ooo."
Ini memang kebisaan pak Davit, membahas hal pribadi disaat membahas kerjaan. Juga sering memberikan perhatian perhtian kecil padanya, Dina anggap itu sebagai bentuk perhatian atasan pada bawahan.
"Saya permisi dulu pak, mau menemui pak Tama."
"Ooh iya, silahkan."
Keluar dari ruangan pak Davit, Dina langsung menuju ruang kerja pak Tama.
Dina menarik nafas sejenak sebelum mengetuk pintu Tama, dia butuh persiapan mental menghadapi Tama.
"Masuk." terdengar suara berat dan dalam milik Tama mempersilahkan masuk.
Dina memutar handle pintu lalu masuk kedalam. Tama terlihat sibuk berkutat dengan tumpukan berkas di atas meja kerjanya.
"Ada apa?" tanya Tama tanpa menoleh ke Dina.
"Ada report yang harus bapak tandangi."
"Letakkan saja di meja." ucapnya lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas.
Seperti perintah Tama, Dina meletakkan berkas di meja kerjanya.
"Baik pak saya permisi dulu." ucapnya lalu beranjak pergi dari ruang kerja Tama.
Tama mengangkat wajahnya begitu mendengar ketukan langkah Dina, menatap punggung indah itu entah dengan perasaan apa.
Sementara Dina bergegas kembali keruang kerjanya, ada banyak berkas yang sedang menunggunya. Dan harus segera di selesaikan.
Dina memegangi perutnya yang terasa perih karena lapar, tak terasa sudah waktunya makan siang. Berjibaku dengan berkas membuatnya lupa waktu.
Mau bagaimana lagi, untuk turun makan siang saja Dina benar benar tak punya waktu. Kalau sudah begini pak Jaka security kantor, dapat tugas tambahan dari Dina.
"Siang pak Jaka, bisa tolong belikan saya makan siang." pinta Dina melalui panggilan telepon.
"Oke, baik buk." terdengar jawaban penuh semangat dari pak Jaka. Dengan begitu dia bakal mendapat uang tambahan dari Dina.
Kembali Dina berjibaku dengan setumpuk berkas. Lima belas menit kemudian, terdengar ketukan di pintu. Itu pasti pak Jaka.
"Masuk." titah Dina tampa beralih pandang dari pekerjaannya. Begitu pintu terbuka, terdengar suara langkah kaki. Tunggu! Itu bukan ketukan langkah pak Jaka, itu seperti...
Dina menengadah menatap tubuh jangkung yang menjulang tinggi di hadapannya.
"Pak Davit?" ternyata pak Davit, tapi kenapa ketukan langkah mereka begitu mirip.
"Belum turun makan siang?"
"Gak sempat pak, ngejar deadline." sahut Dina sambil nyengir.
Davit mengangguk sambil tersenyum. "Mau saya belikan makan siang?" tawar pak Davit.
Dina menggeleng. "Tidak usah pak, saya suda minta pak Jaka beli punya saya."
"Ooh baguslah, kalau begitu saya kembali keruangan saya dulu."
"Baik pak."
Begitu pak Davit pergi, Dina menyentuh pangkal hidungnya memijitnya hingga memerah. Bagaimana bisa dia berpikir langkah itu milik Tama? Pekerjaan yang menumpuk membuatnya linglung.
Ketukkan di pintu kembali terdengar. Kali pak Jaka yang datang bersama Dewi.
"Ciee, yang dapat kunjungan pak Davit." ledek Dewi begitu pak Jaka pergi.
"Apaan sih."
"Apaan, apaan. Kamu tuh jadi perempuan jangan pasif dong. Pak Davit udah kasih kamu sinyal, masa kamu gak peka sih." omel Dewi.
Dina tertawa pelan, lalu membuka kotak makan siangnya kemudian mulai makan.
"Udah balik sana kerja, gosip aja. Deadline tau." usir Dina sembari mengunyah nasi di mulut nya.
"Iya pusing aku, nunggu laporan dari anak-anak belum semua setor." keluh Dewi.
"Kamu kurang ketat sih, jadinya nyantai mereka. Jadinya kamu juga yang susah."
Dina benar, dia tak setegas Dina. Setiap akhir bulan gini dia pasti keteteran.
"Ya udah aku balik dulu, oh ya aku dengar semua section head di wajibkan lembur sama pak Tama?"
Andin mengangguk. "Yang kasian bagian pemasaran, tujuh hari ini mereka harus bisa melampaui target."
"Wah, ketat juga pak Tama. Imbang kayak kamu." cibir Dewi.
"Bedalah, dia pria ambisius." ucap Dina menerawang.
"Dari mana kamu tau?" tanya Dewi curiga.
"Nebak dari cara kerjanya. Kan keliatan."
"Kirain, soaalnya dia kalau liat kamu itu kayak ada yang beda gitu."
"Udah ah, balik sana. Aku mau kerja."
Dewi terkekeh kemudian beranjak pergi.
Bersambung.
Hay readers emak jangan lupa tingalin jejak ya readers 🥰🥰🥰🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
lovely
baruu nyimakkk udah gregett lebih baik dicinta daripada mencintai 🥴
2022-11-27
0
Yanti Jambi
penasaran sebenar nya hubungan mereka di masa lalu bagaimana ya
2022-10-17
2
🌷💚SITI.R💚🌷
masih penasaran apa yg trjadi di antara dina sm tama di masa lalu..apa mereka sebenary saling suka tp ga berani ngungkapin atau mereka musuhan..ayo dina ksmu jangan kslah menjadi lemah sm sikapy tama..ksmu jg hrs jaim jd cewe..lanjuuut
2022-10-17
1