NovelToon NovelToon

Mencintai Dalam Diam

Part 1

"Udah denger belom? Pengganti buk Rosa orangnya ganteng banget Din." celoteh Dewi sembari menyantap sarapan paginya di kantin kantor. Dina cuma menggeleng, dia memang tak pernah perduli dengan mahluk bernama pria. Apa lagi sekelas bos, dia sama sekali tidak tertarik.

Masih hangat perkataan Dewi, buk Mila datang mengumumkan agar semua section head setiap devisi berkumpul di ruang rapat. Buk Rosa akan memperkenalkan CEO baru di perusahaan EFO. Perusahaan besar di kota kecil ini.

Saat ini seluruh section head ditiap devisi sudah berkumpul di ruang rapat. Ada sekitar lima belas orang berkumpul di ruangan ini. Menunggu kedatangan CEO baru di perusahaaan ini. Buk Rosa baru saja menikah dan terpaksa pindah kerja mengikuti suaminya di luar kota.

Lima menit kemudian pintu ruang rapat tampak terbuka. Pak Heri kepala HRD, masuk bersama seorang pria muda yang tak lain adalah CEO baru mereka.

Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan punggung tegap, sembari menatap seluruh orang di ruangan ini, tak terkecuali Dina. Tatapannya berhenti cukup lama pada Dina, lalu memulai sesi perkenalan.

Sementara Dina membeku di tempatnya, netranya menatap nanar CEO baru yang sedang memperkenalkan diri di depanya.

Pria ini, kenapa harus bertemu lagi setela sekian lama.

Saat pria itu bicara, tak satupun ucapannya yang mampu di ingat Dina. Dia sedang perang batin, otaknya tiba-tiba kosong.

Sudah tujuh tahun, dia dan pria itu tak bertemu. Banyak perubahaan pada diri pria itu, tubuh dan wajahnya tak sama seperti saat dia memutuskan pindah kekota kecil ini. Saat itu dia berhasil membujuk ibunya, agar mengijinkannya tinggal bersama nenek. Melanjutkan kuliah di kota kecil itu, sembari menjaga nenek. Walau kenyataan nya dia memillih tinggal di kosan dekat kampus.

Sedang nenek tetap tinggal di kampung dengan lahan sayurnya yang luas.

Semua dia lakukan demi bisa lepas dari jeratan cinta pertama yang tak mungkin dia gapai.

Mengingatnya membuat Dina menarik nafas berat, sialnya di saat itu CEO baru mereka baru selesai bicara. Sontak semua mata tertuju padanya. Helaan bafas beratnya menarik perhatian peserta rapat.

"Nona Anandita Paradina, nafasmu terdengar sangat berat. Apa ada masalah dengan ucapan saya?" Lelaki berparas tampan itu memanggil nama lengkap Dina sebagai bentuk protes atas sikap Dina barusan.

Tapi yang menjadi pertanyaan semua orang, dari mana CEO baru ini tau nama lengkap Dina?

Dina pias, dengan cepat dia menggeleng. "Maaf pak, saya sedikit kurang berkosentrasi." ucapnya jujur.

Pria tampan itu mengerutkan keningnya sembari menatap lekat ke Dina. "Baiklah saya maafkan. Tapi lain kali jangan ulangi. Saya paling anti dengan karyawan yang tidak profesional saat bekerja." sahutnya dengan ekpresi dingin.

Ini baru sesi perkenalan, tapi Dina sudah menorehkan citra buruk di mata CEO barunya, sia al!

Sampai kembali ke ruang kerjanya Dina masih saja tak mampu berkosentrasi. Laporan bulanan yang menumpuk menambah Dina kian prustasi.

Dina menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi. Matanya terpejam erat, sementara pikirannya kembali mengembara memikirkan lelaki bernama Adhitama itu. Angin apa yang membuatnya sampai di tempat antah berantah ini. Tempat ini hanya kota kecil, tidak cocok untuk lelaki ambisius seperti seorang Adhitama.

"Din, makan siang yuk." Dewi yang masuk ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, mengejutkan Dina yang sedang melamun.

"Kebiasaan deh kamu, masuk gak ketuk pintu." omel Dina. Dewi cuma nyengir menanggapi omelan Dina.

"Gak bawa bekal?" tanya Dina. Biasanya Dewi selalu bawa bekal dari rumah. Penyakit alergi terhadap makanan tertentu memaksanya membawa bekal dari rumah.

"Pembantu pulang dadakan, udah gitu aku bangun kesiangan lagi. Ya udah deh gak sempat masak."

"Masak, macem bisa aja kamu masak. Rebus air aja kamu gosong apa lagi masak." cibir Dina. Sejak kos dulu Dewi paling malas kalau di suruh masak, paling banter juga rendem mie.

"Tau aja kamu bestie," kekeh Dewi sembari bergelayut manja pada tubuh Dina yang sudah dalam posisi" berdiri.

"Udah ayo, aku juga laper."

Dina menarik lengan Dewi menuju kantin. Gedung ini memilliki tiga lantai, kantin ada di lantai bawah, sedang ruang kerja mereka di lantai dua.

Dewi bergegas masuk ke lift sembari menarik tubuh Dina. Didalam, lift terlihat sudah hampir penuh. Lia bagian pemasaraan yang juga berada di lift yang sama mengangguk menyapa Dina.

"Bu Dina."

"Iya." sahut Dina ramah.

Tiba-tiba Dewi menarik kuat lengannya sembari mengkode dengan matanya agar melihat kebelakang. Tapi Dina tak menggubris, membuat Dewi mencebik kesal.

"Dasar kamu!" gerutunya kesal sembari memukul bahu Dina kuat-kuat.

"Pelan dong, sakit tau!" sentak Dina sembari mengusap lengannya yang memerah.

Dewi cuma nyengir. "Gemes."

"Segitunya?"

"He,eh."

Setelahnya hening, karena hanya mereka yang bicara di dalam lift ini. Tiba di lantai satu Dina keluar lebih dulu karena dia berada di paling depan.

"Din tau gak, di belakang kita tadi itu ada pak pak Tama. Nyesel kamu gak liat kebelakang." bisik Dewi antusias.

Dina menarik nafas lega, untung dia tak mengikuti arahan Dewi, kalau tidak.

"Tuhkan nyesel. Di lihat dari deket pak Tama ganteeeng banget! Tau gak sih."

Hadeh...Dina memutar bola matanya kesal. "Terus?"

"Sayang tau kalau di anggurin."

"Maaf aku gak..."

"Jangan bilang kamu gak minat, kalau sama pak Tama kamu juga gak minat. Kayaknya kamu perlu berobat deh Din."

"Kamu pikir aku gak normal?"

"Iya siapa tau kan."

"Udah sana pesan. Seperti biasa ya."

Mereka sudah sampai di kantin, Dina langsung menuju kursi favoritenya di sudut ruangan dari sudut ini dia bisa bebas melihat.

Dina duduk menghadap pintu masuk, bersamaan dengan Dewi yang datang membawa dua piring nasi padang. Di belakangnya tampak pak Tama berjalan kearahnya membawa piring berisi makan siang nya. Dina menahan nafas sampai dadanya terasa sesak. Sedang apa pria itu di kantin, ini sama sekali bukan gayanya.

Tinggal satu meja lagi pak Tama sampai ke tempatnya, dia berhenti di meja kosong di depan Dina lalu duduk disana.

Kehadiran Tama mengundang bisik-bisik yang mengandung pujian atas sikap nya. Orang sekelas Tama jarang mau makan di kantin kantor dengan menu sederhana seperti ini. Menu yang di khususkan untuk karyawan bergaji pas-pasan.

Tama terlihat begitu tenang mengunyah makanan di mulutnya dengan sangat hati-hati, menikmati setiap gigitannya seakan tak mau melewatkan kenikmatan hidangan di setiap gigitannya. Sementara netranya berulang kali menatap Dina dengan sorot mata tajam. Membuat Dina risih.

Dina berulangkali menepis tatapan tajam Tama dengan memalingkan muka ketempat lain. Kelakuan Tama sungguh membuatnya canggung.

Tergesa Dina menghabiskan makan siang nya. Sebelum jantungnya copot oleh tatapan tajam Tama.

"Aku dulu ya, mau ke toilet." bisik Dina. Dewi yang makan sambil bermain gawai mengangguk pelan.

Dina berajak bangkit, kemudian berlalu melewati Tama yang mengikutinya dengan tatapan tajamnya.

Begitu keluar dari kantin, Dina bernafas lega bisa lepas dari Tama. Kehadiran pria itu sungguh membuatnya tersiksa, melihat sosoknya mengorek kembali rasa yang lama terkubur dalam hati.

Walau begitu, dia masih bersukur, setidaknya Tama bersikap dingin padanya. Kalau bisa meminta, dia berharap Tama tak mengenali dirinya. Tapi sepertinya tak mungkin. Dia bahkan hapal nama lengkapnya.

Bersambung

Part 2

Dina memarkir mobilnya di tempat biasa. Biasanya mobilnya berdampingan dengan mobil Dewi. Tapi sepertinya Dewi belum datang. Sebab tempat disampingnya masih kosong.

Dina baru menyentuh handle pintu dan hendak keluar, saat mobil mewah berwarna hitam parkir tepat di samping mobilnya. Dan itu jelas bukan mobil Dewi.

Mungkin saja tamu, sebab Dina belum pernah melihat mobil ini di kendarai karyawa di sini.

Dina turun dari mobil, bersamaan dengan terbukanya pintu belakang mobil mewah tadi, tepat di sebelah Dina. Jantungnya berhenti berdetak, demi melihat siapa yang keluar dari mobil itu.

Tama, dia keluar dari mobil itu. Sekilas dia menatap Dina, kemudian berlalu dari hadapan Dina.

Dina terpaku di tempatnya. Wajah tampan dan dewasa milik Tama masih membuat desiran halus di hatinya.

Dina menarik nafas lega. Ini memang yang di inginkan Dina. Bersikap biasa saja tanpa ada interaksi yang berlebihan. Walau ada nyeri yang menghujam relung harinya karena sikap dingin yang di diperlihatkan Tama. Bukan kah ini yang dia harapkan? Lalu kenapa hatinya merasa kecewa?

Ini sungguh hari-hari terberat untuk Dina, sampai dia terbiasa oleh kehadiran Tama di sekitarnya. Bohong kalau dia bilang rasa itu sudah hilang.Tapi untuk membiarkan rasa itu kembali bersemi seperti dulu Dina tak berniat.

Dina menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Lalu mengeluarkan bekal dari rumah, roti bakar juga teh hangat yang dia bawa di termos kecil.

Mulutnya menggigit potongan kecil roti, sementara tangannya sibuk menekan tombol keyboard di laptopnya. Dina tak memiki banyak waktu, semua report yang di minta kantor pusat harus selesai hari ini. Baru besok akan di kirim ke pusat.

Sesekali dia menyesap teh hangat di cawan batu, sembari mengunyah roti yang masih tersisa sedikit di piring.

Dina baru akan menyuap potongan roti terakhir. Ketika telpon di mejanya berdering.

"Selamat pagi dengan Paradina disini, ada yang bisa saya bantu," ucap Dina sebagai greeting wajib di kantor ini.

"Dina, bisa keruangan saya. Tolong bawa hard copy proposal yang saya minta kemarin."

"Baik pak."

Itu adalah pak Davit atasannya Dina. Ruangnya bersebelahan dengan ruang pak Tama. Dia adalah branch manager di kantor cabang ini. Sementara Tama adalah CEO yang memiliki saham di perusahaan ini. Jadi Davit masih bawahan Tama.

Dina naik kelantai tiga dengan beberapa berkas di tangannya. Salah satunya berkas laporan bulanan yang harus di tandatangi oleh Tama. Karena satu ruangan, Dina sekalian membawanya biar tidak bolak balik kelantai atas. Sisanya bisa besok, dia akan mengirim report yang sudah selesai agar di periksa oleh pusat.

Dina mengetuk pintu pak Davit, lalu terdengar suara pak Davit mempersilahkan masuk.

"Duduklah," pintaanya hanya dengan gerakan bibir. Sebab dia sedang menerimaa telpon seseorang.

Dina mengangguk lalu duduk di kursi, di depan pak Davit.

Davit menutup telpon lalu memandang Dina dengan senyum di bibirnya.

"Ini proposal yang bapak minta." Dina mengulurkan map pada Davit. Davit memeriksa dengan seksama, lalu mengangguk puas.

"Apa ada yang perlu di perbaiki pak?"

"Tidak ada, ini sudah sesuai dengan permintaan saya kok." sahut pria tampan itu dengan nada ramah.

"Itu berkas apa?" pak Davit menunjuk berkas di pangkuan Dina.

"Ooo ini, report yang harus di tandatangani pak Tama pak." jelas Dina, tampak pak Davit mengangguk pelan.

"Kamu tadi kenapa tidak sarapan di kantin?"

"Saya bawa bekal pak."

"Ooo."

Ini memang kebisaan pak Davit, membahas hal pribadi disaat membahas kerjaan. Juga sering memberikan perhatian perhtian kecil padanya, Dina anggap itu sebagai bentuk perhatian atasan pada bawahan.

"Saya permisi dulu pak, mau menemui pak Tama."

"Ooh iya, silahkan."

Keluar dari ruangan pak Davit, Dina langsung menuju ruang kerja pak Tama.

Dina menarik nafas sejenak sebelum mengetuk pintu Tama, dia butuh persiapan mental menghadapi Tama.

"Masuk." terdengar suara berat dan dalam milik Tama mempersilahkan masuk.

Dina memutar handle pintu lalu masuk kedalam. Tama terlihat sibuk berkutat dengan tumpukan berkas di atas meja kerjanya.

"Ada apa?" tanya Tama tanpa menoleh ke Dina.

"Ada report yang harus bapak tandangi."

"Letakkan saja di meja." ucapnya lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas.

Seperti perintah Tama, Dina meletakkan berkas di meja kerjanya.

"Baik pak saya permisi dulu." ucapnya lalu beranjak pergi dari ruang kerja Tama.

Tama mengangkat wajahnya begitu mendengar ketukan langkah Dina, menatap punggung indah itu entah dengan perasaan apa.

Sementara Dina bergegas kembali keruang kerjanya, ada banyak berkas yang sedang menunggunya. Dan harus segera di selesaikan.

Dina memegangi perutnya yang terasa perih karena lapar, tak terasa sudah waktunya makan siang. Berjibaku dengan berkas membuatnya lupa waktu.

Mau bagaimana lagi, untuk turun makan siang saja Dina benar benar tak punya waktu. Kalau sudah begini pak Jaka security kantor, dapat tugas tambahan dari Dina.

"Siang pak Jaka, bisa tolong belikan saya makan siang." pinta Dina melalui panggilan telepon.

"Oke, baik buk." terdengar jawaban penuh semangat dari pak Jaka. Dengan begitu dia bakal mendapat uang tambahan dari Dina.

Kembali Dina berjibaku dengan setumpuk berkas. Lima belas menit kemudian, terdengar ketukan di pintu. Itu pasti pak Jaka.

"Masuk." titah Dina tampa beralih pandang dari pekerjaannya. Begitu pintu terbuka, terdengar suara langkah kaki. Tunggu! Itu bukan ketukan langkah pak Jaka, itu seperti...

Dina menengadah menatap tubuh jangkung yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Pak Davit?" ternyata pak Davit, tapi kenapa ketukan langkah mereka begitu mirip.

"Belum turun makan siang?"

"Gak sempat pak, ngejar deadline." sahut Dina sambil nyengir.

Davit mengangguk sambil tersenyum. "Mau saya belikan makan siang?" tawar pak Davit.

Dina menggeleng. "Tidak usah pak, saya suda minta pak Jaka beli punya saya."

"Ooh baguslah, kalau begitu saya kembali keruangan saya dulu."

"Baik pak."

Begitu pak Davit pergi, Dina menyentuh pangkal hidungnya memijitnya hingga memerah. Bagaimana bisa dia berpikir langkah itu milik Tama? Pekerjaan yang menumpuk membuatnya linglung.

Ketukkan di pintu kembali terdengar. Kali pak Jaka yang datang bersama Dewi.

"Ciee, yang dapat kunjungan pak Davit." ledek Dewi begitu pak Jaka pergi.

"Apaan sih."

"Apaan, apaan. Kamu tuh jadi perempuan jangan pasif dong. Pak Davit udah kasih kamu sinyal, masa kamu gak peka sih." omel Dewi.

Dina tertawa pelan, lalu membuka kotak makan siangnya kemudian mulai makan.

"Udah balik sana kerja, gosip aja. Deadline tau." usir Dina sembari mengunyah nasi di mulut nya.

"Iya pusing aku, nunggu laporan dari anak-anak belum semua setor." keluh Dewi.

"Kamu kurang ketat sih, jadinya nyantai mereka. Jadinya kamu juga yang susah."

Dina benar, dia tak setegas Dina. Setiap akhir bulan gini dia pasti keteteran.

"Ya udah aku balik dulu, oh ya aku dengar semua section head di wajibkan lembur sama pak Tama?"

Andin mengangguk. "Yang kasian bagian pemasaran, tujuh hari ini mereka harus bisa melampaui target."

"Wah, ketat juga pak Tama. Imbang kayak kamu." cibir Dewi.

"Bedalah, dia pria ambisius." ucap Dina menerawang.

"Dari mana kamu tau?" tanya Dewi curiga.

"Nebak dari cara kerjanya. Kan keliatan."

"Kirain, soaalnya dia kalau liat kamu itu kayak ada yang beda gitu."

"Udah ah, balik sana. Aku mau kerja."

Dewi terkekeh kemudian beranjak pergi.

Bersambung.

Hay readers emak jangan lupa tingalin jejak ya readers 🥰🥰🥰🙏

part 3

Pagi ini, udara di perkebunan milik nenek terasa begitu asri. Sepanjang mata memandang terhampar tanaman hijau.

Mata Dina mengerjab indah, menatap sosok renta yang masih bertenaga, di sudut sana. Berjibaku dengan alat tani membersihkan gulma dari tanaman sayurnya.

Bibir indahnya melengkung tipis, ada perasaan bahagia menjalari hati Dina, neneknya masih diberi kesehatan di usianya yang sudah sangat tua dan masih bisa menikmati hari-hari bersama cucunya.

Mereka sedang di kebun tomat saat ini, nenek dan karyawannya sedang memanen tomat. Walau harga jual tomat tidak terlalu bagus, tapi nenek tetap menanamnya. Ada banyak perut yang bisa di isi dengan hasil tomat ini, kata nenek.

Nenek menanam berbagai jenis sayur. selain hobi, bercocok tanam juga bisa membantu ekonomi penduduk setempat. Sebagian dari mereka tak memiliki lahan dan keahlian lain selain bercocok tanam.

"Dina kemari bantu nenek!" teriak nenek sembari melambai kearah Dina.

"Oke nek." Penuh semangat Dina berjalan di antara baris pohon tomat. Dengan senang hati dia mulai mengisi keranjang kosong dengan tomat segar.

Dina berencana menghabiskan cuti tahunannya hanya di rumah nenek. Ibunya sempat merengek memintanya pulang kerumah, saat libur kali ini. Tapi Dina menolak dengan berbagai alasan. Saat ini dia sedang tak ingin datang ke kota yang menyimpan sejuta kenangan tentang Tama.

Sejak kedatangan Tama ke kota ini. Perasaan yang lama terpendam mendadak muncul kembali ke permukaan.

Dina tak habis pikir, kenapa begitu susah melepas rasa yang sudah bertahun coba dia lupakan. Mungkin karena dia belum bisa membuka hati untuk yang lain.

"Angkat ini." nenek menaruh keranjang berisi tomat kehadapan Dina.

"Kenapa gak kuat?" cibir nenek saat melihat Dina malah bengong menatap keranjang berisi tomat.

"Ya gak kuat lah nek. Aku kuatnya ngetik nek, kalau nenek suruh aku ngetik seharian juga oke." rajuk Dina manja.

"Hhhh anak sekarang." gerutu nenek.

"Gak usah diangkat neng, biar mamang aja. Kasian tangannya nanti lecet." ucap mang Jajak sembari mengangkat keranjang berisi dua puluh kilo tomat.

"Makasih mang." balas Dina sembari melirik jahil ke nenek. Nenek tertawa pelan melihat tingkah Dina.

Mereka di kebun hanya sampai mata hari mulai meninggi, saat cahanya sudah terasa panas membakar kulit.

Di rumah nenek tak sendiri, ada Art yang di pekerjakan nenek. Dia juga tinggal bersama nenek dengan anak lelakinya yang masih bertatus pelajar SMA.

Rumah nenek berhalaman luas, tidak berpagar. Di halaman samping dan belakang ada amben untuk bersantai.

Dina rebahan di atas amben sembari berselancar di media sosial miliknya.

Dia suka stalking status teman-teman lamanya di kota tanpa berani menyapa mereka. Dia sendiri tak pernah mengunggah kegiatannya semenjak memutuskan hijrah kekota ini. Dari unggahan merekalah Dina tau kabar mereka. Ada yang sudah menikah dan memiliki anak, ada juga yang masih single seperti dia.

Lalu Tama..?

Buat apa mikirin dia. Dina sempat melihat tama memakai cincin seperti cincin kawin, kemarin. Mungkin saja dia sudah bertunangan dengan Melisa, atau mereka sudah menikah. Sejak peristiwa beberapa tahun lalu yang melibatkan dia dan Tama, Dina menghapus segala bentuk pertemanan di media sosial dengan mereka.

Sejak memutuskan pergi, Dina bertekat melupakan mereka dan segala kenangan yang sempat terjalin.

"Dina berapa usiamu?" tanya nenek yang duduk di samping Dina sembari mengupas jeruk madu.

"Dua puluh lima tahun nek."

"Apa tidak capek hidup sendiri di usia setua itu." ujar nenek, lalu mengunyah jeruk dengan sisa giginya.

Dina menarik tubuhnya duduk di samping nenek, lalu memeluk tubuh renta itu dengan manja. "Bagaimana lagi, tidak ada yang mau dengan cucumu ini nek."

Terdengar helaan nafas dari bibir nenek. "Kau sudah pantas untuk menikah Dina. Jangan terus terbelenggu dengan rasa sukamu terhadap Tama. Dia bahkan tak mengingat mu sama sekali."

Dina menarik diri, tidak lagi bersandar pada nenek. Netranya menyipit menatap nenek. "Dari mana nenek tau aku menyukai Tama?" selidik Dina penuh curiga.

"Itu tidak penting." sungut Nenek.

Nenek benar, usiaku sudah pantas untuk menikah. Haruskah dia pertimbangkan saja pak Davit.

****

Pagi ini Dina tiba di kantor dengan tubuh dan pikiran fresh. Seperti wajahnya yang juga terlihat cantik dengan sedikit polesan.

Dina turun dari mobil, bersamaan dengan datangnya mobil Tama yang parkir tepat di samping mobil Dina. Hal ini berlaku setiap pagi dan Dina mulai terbiasa. Dina mengguk kecil saat melewati Tama.

"Kemana saja kamu enam hari ini?" pertanyaan Tama menghentikkan langkah kaki Dina. Lelaki itu berdiri tegak menatap Dina yang sudah berbalik kearahnya.

"Saya ambil cuti tahunan pak." jawab Dina dengan gestur sangat sopan.

"Ambil cuti kenapa tidak izin dengan saya?" tanya pria itu dengan ekspresi dingin.

Dina diam sejenak. "Bukankah cuti hanya perlu izin atasan, bukan Ceo. Saya kira saya sudah mengikuti prosedur perusahaan, dan pak Davit sebagai atasan saya sudah memberi izin." jelas Dina dengan sopan dan ramah.

Tama mendengus kesal. "Khusus untuk kamu harus izin dengan saya." ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkan Dina.

"Apaan sih dia." gerutu Dina, saat Tama sudah berada jauh dari tempatnya berdiri. Dia tak habis pikir, apa karena dia CEO yang memiliki saham di perusahaan ini, jadi bisa buat aturan sesuka jidatnya. Bolehkah dia menyesal sekarang, pernah jatuh cinta pada pria arogan seperti dia.

Dina sedang menyusun berkas laporan awal bulan saat telpon di meja kerjanya berdering.

"Halo selamat siang, dengan Paradina di sini, ada yang bisa saya bantu?"

"Keruangan saya sekarang."

"Baik pak."

Dina menarik nafas dalam. Mengingat ingatan apa ada berkas milik pak Tama yang harus di serahkan hari ini, tapi seperti tidak ada.

Bergegas dia naik kelantai tiga menemui pak Tama. Dina mengetuk pintu ruang kerja pak Tama. Dari dalam terdengar suara memintanya masuk.

Dina masuk, berdiri tegak di depan meja pak Tama.

"Ada apa bapak pangil saya?"

Tama yang sedang menatapi berkas di hadapannya beralih menatap Dina.

"Besok kita ada gathering di kota B, selama dua hari. Saya sudah email undangannya ke kamu. Buat SPD nya sekalian urus tiket pulang pergi. Untuk Hotel sudah ada yang urus."

"Baik pak, siapa saja yang akan pergi pak?"

"Saya, sama kamu."

"Saya pak?"

"Iya, kamu."

"Saya gak pernah ikut gathering pak. Biasanya buk Rosa bawa Dewi samaa Ayu." jelas Dina. Dengan buk Rosa dulu dia memang tidak pernah pergi gathering. Biasanya buk Rosa bawa Dewi dan Ayu.

"Saya bukan buk Rosa dan saya tidak mau bawa mereka. Saya maunya sama kamu. Lagi pula mana profesional kamu dalam bekerja!"

"Maaf pak." sahut Dina cepat sembari menunduk.

Terdengar suara tarikan nafas dari Tama. "Ya sudah kembalilah keruangan mu."

"Baik pak."

Dina pergi di ikuti tatapan tajam Tama hingga menghilang di balik pintu.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!