part 3

Pagi ini, udara di perkebunan milik nenek terasa begitu asri. Sepanjang mata memandang terhampar tanaman hijau.

Mata Dina mengerjab indah, menatap sosok renta yang masih bertenaga, di sudut sana. Berjibaku dengan alat tani membersihkan gulma dari tanaman sayurnya.

Bibir indahnya melengkung tipis, ada perasaan bahagia menjalari hati Dina, neneknya masih diberi kesehatan di usianya yang sudah sangat tua dan masih bisa menikmati hari-hari bersama cucunya.

Mereka sedang di kebun tomat saat ini, nenek dan karyawannya sedang memanen tomat. Walau harga jual tomat tidak terlalu bagus, tapi nenek tetap menanamnya. Ada banyak perut yang bisa di isi dengan hasil tomat ini, kata nenek.

Nenek menanam berbagai jenis sayur. selain hobi, bercocok tanam juga bisa membantu ekonomi penduduk setempat. Sebagian dari mereka tak memiliki lahan dan keahlian lain selain bercocok tanam.

"Dina kemari bantu nenek!" teriak nenek sembari melambai kearah Dina.

"Oke nek." Penuh semangat Dina berjalan di antara baris pohon tomat. Dengan senang hati dia mulai mengisi keranjang kosong dengan tomat segar.

Dina berencana menghabiskan cuti tahunannya hanya di rumah nenek. Ibunya sempat merengek memintanya pulang kerumah, saat libur kali ini. Tapi Dina menolak dengan berbagai alasan. Saat ini dia sedang tak ingin datang ke kota yang menyimpan sejuta kenangan tentang Tama.

Sejak kedatangan Tama ke kota ini. Perasaan yang lama terpendam mendadak muncul kembali ke permukaan.

Dina tak habis pikir, kenapa begitu susah melepas rasa yang sudah bertahun coba dia lupakan. Mungkin karena dia belum bisa membuka hati untuk yang lain.

"Angkat ini." nenek menaruh keranjang berisi tomat kehadapan Dina.

"Kenapa gak kuat?" cibir nenek saat melihat Dina malah bengong menatap keranjang berisi tomat.

"Ya gak kuat lah nek. Aku kuatnya ngetik nek, kalau nenek suruh aku ngetik seharian juga oke." rajuk Dina manja.

"Hhhh anak sekarang." gerutu nenek.

"Gak usah diangkat neng, biar mamang aja. Kasian tangannya nanti lecet." ucap mang Jajak sembari mengangkat keranjang berisi dua puluh kilo tomat.

"Makasih mang." balas Dina sembari melirik jahil ke nenek. Nenek tertawa pelan melihat tingkah Dina.

Mereka di kebun hanya sampai mata hari mulai meninggi, saat cahanya sudah terasa panas membakar kulit.

Di rumah nenek tak sendiri, ada Art yang di pekerjakan nenek. Dia juga tinggal bersama nenek dengan anak lelakinya yang masih bertatus pelajar SMA.

Rumah nenek berhalaman luas, tidak berpagar. Di halaman samping dan belakang ada amben untuk bersantai.

Dina rebahan di atas amben sembari berselancar di media sosial miliknya.

Dia suka stalking status teman-teman lamanya di kota tanpa berani menyapa mereka. Dia sendiri tak pernah mengunggah kegiatannya semenjak memutuskan hijrah kekota ini. Dari unggahan merekalah Dina tau kabar mereka. Ada yang sudah menikah dan memiliki anak, ada juga yang masih single seperti dia.

Lalu Tama..?

Buat apa mikirin dia. Dina sempat melihat tama memakai cincin seperti cincin kawin, kemarin. Mungkin saja dia sudah bertunangan dengan Melisa, atau mereka sudah menikah. Sejak peristiwa beberapa tahun lalu yang melibatkan dia dan Tama, Dina menghapus segala bentuk pertemanan di media sosial dengan mereka.

Sejak memutuskan pergi, Dina bertekat melupakan mereka dan segala kenangan yang sempat terjalin.

"Dina berapa usiamu?" tanya nenek yang duduk di samping Dina sembari mengupas jeruk madu.

"Dua puluh lima tahun nek."

"Apa tidak capek hidup sendiri di usia setua itu." ujar nenek, lalu mengunyah jeruk dengan sisa giginya.

Dina menarik tubuhnya duduk di samping nenek, lalu memeluk tubuh renta itu dengan manja. "Bagaimana lagi, tidak ada yang mau dengan cucumu ini nek."

Terdengar helaan nafas dari bibir nenek. "Kau sudah pantas untuk menikah Dina. Jangan terus terbelenggu dengan rasa sukamu terhadap Tama. Dia bahkan tak mengingat mu sama sekali."

Dina menarik diri, tidak lagi bersandar pada nenek. Netranya menyipit menatap nenek. "Dari mana nenek tau aku menyukai Tama?" selidik Dina penuh curiga.

"Itu tidak penting." sungut Nenek.

Nenek benar, usiaku sudah pantas untuk menikah. Haruskah dia pertimbangkan saja pak Davit.

****

Pagi ini Dina tiba di kantor dengan tubuh dan pikiran fresh. Seperti wajahnya yang juga terlihat cantik dengan sedikit polesan.

Dina turun dari mobil, bersamaan dengan datangnya mobil Tama yang parkir tepat di samping mobil Dina. Hal ini berlaku setiap pagi dan Dina mulai terbiasa. Dina mengguk kecil saat melewati Tama.

"Kemana saja kamu enam hari ini?" pertanyaan Tama menghentikkan langkah kaki Dina. Lelaki itu berdiri tegak menatap Dina yang sudah berbalik kearahnya.

"Saya ambil cuti tahunan pak." jawab Dina dengan gestur sangat sopan.

"Ambil cuti kenapa tidak izin dengan saya?" tanya pria itu dengan ekspresi dingin.

Dina diam sejenak. "Bukankah cuti hanya perlu izin atasan, bukan Ceo. Saya kira saya sudah mengikuti prosedur perusahaan, dan pak Davit sebagai atasan saya sudah memberi izin." jelas Dina dengan sopan dan ramah.

Tama mendengus kesal. "Khusus untuk kamu harus izin dengan saya." ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkan Dina.

"Apaan sih dia." gerutu Dina, saat Tama sudah berada jauh dari tempatnya berdiri. Dia tak habis pikir, apa karena dia CEO yang memiliki saham di perusahaan ini, jadi bisa buat aturan sesuka jidatnya. Bolehkah dia menyesal sekarang, pernah jatuh cinta pada pria arogan seperti dia.

Dina sedang menyusun berkas laporan awal bulan saat telpon di meja kerjanya berdering.

"Halo selamat siang, dengan Paradina di sini, ada yang bisa saya bantu?"

"Keruangan saya sekarang."

"Baik pak."

Dina menarik nafas dalam. Mengingat ingatan apa ada berkas milik pak Tama yang harus di serahkan hari ini, tapi seperti tidak ada.

Bergegas dia naik kelantai tiga menemui pak Tama. Dina mengetuk pintu ruang kerja pak Tama. Dari dalam terdengar suara memintanya masuk.

Dina masuk, berdiri tegak di depan meja pak Tama.

"Ada apa bapak pangil saya?"

Tama yang sedang menatapi berkas di hadapannya beralih menatap Dina.

"Besok kita ada gathering di kota B, selama dua hari. Saya sudah email undangannya ke kamu. Buat SPD nya sekalian urus tiket pulang pergi. Untuk Hotel sudah ada yang urus."

"Baik pak, siapa saja yang akan pergi pak?"

"Saya, sama kamu."

"Saya pak?"

"Iya, kamu."

"Saya gak pernah ikut gathering pak. Biasanya buk Rosa bawa Dewi samaa Ayu." jelas Dina. Dengan buk Rosa dulu dia memang tidak pernah pergi gathering. Biasanya buk Rosa bawa Dewi dan Ayu.

"Saya bukan buk Rosa dan saya tidak mau bawa mereka. Saya maunya sama kamu. Lagi pula mana profesional kamu dalam bekerja!"

"Maaf pak." sahut Dina cepat sembari menunduk.

Terdengar suara tarikan nafas dari Tama. "Ya sudah kembalilah keruangan mu."

"Baik pak."

Dina pergi di ikuti tatapan tajam Tama hingga menghilang di balik pintu.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Yanti Jambi

Yanti Jambi

rumit kyk nya cinta segitiga ni

2022-10-21

0

kenzie

kenzie

hmm kya nya cinta segitiga yng rumit

2022-10-19

0

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

apakh di masa lalu sdh trjadi cinta segi tiga antra dina tama jg melisa dan tama memilih melisa..atau cinta dina brtepuk sebelah tangan itu yg membuat duna putus cinta dan oergi ke kampung..wah msh oenuh misteri...lanjuut thoooer

2022-10-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!