Hot Duda Dan Seksi Mama
"Ma, Rayyan boleh tanya sesuatu?"
"Boleh. Tanya apa?"
"Anak haram itu artinya apa sih?"
Mulan sontak menghentikan langkah, membuat Rayyan yang digandengnya secara spontan ikut berhenti. Wanita berambut keriting itu terdiam sejenak sebelum memutuskan berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan sang putra yang kini berusia tujuh tahun. Netra bening di balik kacamata tebal itu menatap lekat pada wajah polos putranya yang masih terlihat penasaran.
"Kenapa Rayyan tiba-tiba nanyain itu, Sayang? Rayyan mengenal istilah itu dari siapa?" tanyanya lembut sambil menangkub kedua sisi bahu Rayyan.
Pertanyaan aneh sang putra jelas mengundang keterkejutan di wajah wanita berusia 28 tahun itu. Bagaimana tidak? Ia selalu mengajarkan yang baik-baik pada Rayyan, bertutur kata lembut dan bersikap sopan. Namun, belakangan ini bocah itu selalu menanyakan makna dari kata-kata buruk yang tidak sepatutnya diucapkan oleh anak sekecil itu.
"Kata Nico dan yang lain, Ma. Mereka ngejek Rayyan lagi. Mereka bilang Rayyan anak haram karena Rayyan nggak punya papa," terang bocah itu sedih.
Secara spontan Mulan menggemertakkan gigi gerahamnya. Matanya berkilat marah sekaligus sedih yang berusaha disembunyikan dari tatapan Rayyan. Akhirnya sesuatu yang ia takutkan terjadi juga. Karena kesalahannya di masa lalu, sang putra harus mendengarkan kata-kata tak pantas itu.
Ia masih bisa terima jika teman-teman Rayyan mengejek putranya dengan kalimat hinaan mengenai kondisi fisiknya yang bukanlah tipe wanita cantik. Namun, jika cemoohan mereka sudah menyangkut tentang status Rayyan, bisakah ia diam?
Mulan menghela napas dalam. Sebisa mungkin menahan marah agar tetap terlihat baik-baik saja di depan putranya. Meski dalam hati tak henti merutuki perilaku bocah-bocah yang selama ini selalu menindas Rayyan, tetapi wanita itu tetap menyunggingkan senyum pada putranya.
"Rayyan dengar kata-kata Mama, ya," tegasnya dengan tatapan meyakinkan. "Rayyan adalah anak Mama. Rayyan bukan anak haram. Jadi Mama mohon, jangan pernah dengarkan mereka."
"Tapi bukankah kata-kata mereka itu benar?" Rayyan memprotes cepat. "Rayyan tak memiliki Papa. Rayyan hanya punya Mama."
"Siapa bilang Rayyan tak punya Papa? Rayyan punya kok."
"Benarkah?" Mata bocah itu langsung berbinar.
"Tentu saja."
"Lalu di mana Papa, Ma? Kenapa Papa nggak pernah pulang?"
Sejenak Mulan terdiam. Usia Rayyan sudah genap tujuh tahun, sudah terlampau sering menanyakan tentang hal itu. Seharusnya ia sudah menyiapkan jawaban yang tepat, bukan jawaban penuh kebohongan yang jelas dibuat-buat.
"Kenapa Mama diam?" tegur Rayyan dengan mata berkaca-kaca. "Mama mau cari alasan apa lagi? Mama mau bohongi Rayyan lagi?" tanyanya hampir menangis.
"Tidak, Sayang. Mama mana mungkin membohongi Rayyan," sangkal Mulan penuh sesal.
"Terus?"
"Papa ada. Dia sedang bekerja keras. Mencari uang yang banyak buat kita agar bisa hidup dengan layak. Dari itulah Papa belum bisa kembali, Sayang. Mengertilah," bujuk Mulan penuh kesedihan. Wanita itu menangkub kedua sisi wajah putranya.
"Tapi sampai kapan, Ma? Sampai kapan Papa akan cari uang?"
"Sampai Papa sukses. Pulang bawa mobil mewah dan memakai jas mahal."
Rayyan terdiam dengan wajah menahan kesedihan. Selama ini ia selalu berusaha percaya meski yang mamanya katakan adalah omong kosong belaka. Namun, entah sampai kapan ia akan pura-pura percaya?
"Rayyan," panggil Mulan penuh sayang. Ia mengusap lembut wajah sedih sang putra, lalu kemudian berusaha membujuknya. "Boleh Mama tanya?"
Bocah berseragam sekolah dasar itu mengangguk.
"Siapa yang selama ini merawat dan membesarkan Rayyan?"
"Mama." Rayyan menjawab tegas.
"Siapa yang kerja keras banting tulang demi Rayyan?"
"Mama."
"Jadi, Rayyan tahu kan, siapa yang perlu dipercaya dan didengarkan kata-katanya?"
Rayyan diam sejenak sebelum kemudian mengangguk pelan.
"Oke. Kalau begitu sekolah yang pintar. Buat, Mama dan Papa bangga." Mulan menepuk bahu putranya untuk memberi dukungan. "Ingat ya, Sayang. Jangan mau ikut pulang dengan orang sembarangan. Hanya Mama yang boleh Rayyan percaya."
"Iya, Ma. Rayyan tau. Mama setiap hari mengatakan itu."
Mulan menyimpul senyum. Ia mengusap kepala Rayyan yang kini menatapnya malas. "Itu semua Mama lakukan karena Mama tak ingin kehilangan Rayyan."
"Memangnya siapa yang mau culik Rayyan, Mama?" desah bocah itu kesal.
Tak ingin berada di depan gerbang sekolah lama-lama, Rayyan memutuskan pamit sembari mengecup punggung tangan sang Mama. Mulan sendiri tak langsung beranjak dari sana. Ia dengan setia tetap berdiri di sana, menatap punggung mungil itu berjalan melewati gerbang sekolah hingga tak terlihat dari pandangan.
Dan sepeninggalnya sang anak, setitik kristal bening meluncur dari sudut mata. Mulan mengusap dadanya yang sesak. Merasa sedih sekaligus kasihan pada sang putra yang begitu mendambakan sosok Papa tetapi tak bisa memeluknya.
***
Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Puluhan siswa berseragam sekolah dasar mulai berhamburan keluar kelas. Sebagian langsung keluar gerbang, menghampiri orang tua mereka yang sudah menunggu di luar pagar dan sebagian lagi memutuskan menanti orang tua mereka yang belum datang untuk menjemput.
Rayyan sendiri ada di bagian kedua, sebab sosok sang Mama masih belum tampak menjemputnya. Bocah yang berdiri di depan gerbang itu terkejut saat kantong berisi kotak bekal miliknya berpindah usai direbut seseorang.
"Dion!" seru si perebut pada bocah lain yang merupakan temannya. Dion merespon cepat dengan menangkap kotak bekal milik Rayuan yang dilemparkan Nico.
"Kembalikan! Itu milikku!" pekik Rayyan tak terima. Ia ingin merebut miliknya dari tangan Dion, tetapi bocah nakal itu sudah lebih dulu melempar pada Nico. Tawa jahat keduanya pun menggema di udara.
Rayyan diam dengan kedua tangan terkepal. Berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Bukan kali pertama dua bocah itu bersikap nakal terhadapnya, seharusnya ia sudah terbiasa.
"Hahaha! Mau nangis dia!" cibir Nico sambil menunjuk ke arah Rayyan. Dion bahkan menimpalinya dengan sebuah kalimat ejekan.
"Dasar cemen! Gitu doang udah mau nangis! Sini ambil kalau berani! Dasar anak haram! Sudah miskin, mamanya jelek, tidak punya papa pula!"
"Diam!" sergah Rayyan yang sudah tak tahan dengan wajah penuh amarah. "Rayyan bukan anak haram! Rayyan punya papa!"
"Bohong!" sahut Dion tak percaya.
"Kalau punya papa, mana tunjukkan! Jangan bisanya omong doang!" timpal Nico pula.
Rayyan berusaha menahan air mata. Hatinya merasa hancur untuk yang kesekian kalinya. Percuma meyakinkan mereka jika tanpa bukti nyata. Namun, ia juga merasa tak tahan sebab teman-temannya sudah keterlaluan.
Menatap sebongkah batu, sebuah ide gila terlintas di pikiran Rayyan. Mungkin dengan sedikit ancaman, ia bisa membuat dua bocah itu jera dan berhenti menggangunya.
Benar dugaan Rayyan. Dion dan Nico spontan berlari ketakutan setelah dirinya mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti hendak melempar. Nico bahkan sampai menjatuhkan kotak bekal milik Rayyan begitu saja, lalu berhambur memeluk sang papa yang sudah menunggu di samping mobilnya.
Namun, ada sesuatu hal terjadi di luar dugaan Rayyan. Orang tua Nico menatapnya penuh ancaman lalu menghardiknya tak terima.
"Heh, turunkan batumu itu! Awas ya! Kalau sampai Nico terluka akibat ulah kamu, saya tidak akan segan-segan membawamu ke kantor polisi!"
Akhirnya, bocah malang itu hanya bisa menurunkan tangan dan menggenggam batunya penuh keputusasaan.
"Mama ...," lirih Rayyan dengan mata berkaca-kaca. Ia tertunduk sedih lalu melepaskan batunya begitu saja. Andai mamanya ada di sini, mungkin dirinya takkan sesedih ini. Mamanya pasti akan membela dan melindungi dirinya. Hanya wanita itu yang sayang pada dirinya.
Bocah kelas satu sekolah dasar itu akhirnya hanya diam dan pasrah. Ia memungut kotak bekal yang teronggok mengenaskan lalu mengusap bagian yang kotor untuk membersihkan.
Saat mengangkat wajah dan mengusap air mata, sebuah mobil mewah dengan warna cat yang mengkilap muncul dari ujung jalan. Tak beranjak dari tempatnya, Rayyan memperhatikan mobil itu dengan penuh kekaguman. Ia memang terlahir dari ibu yang miskin. Namun, jika dirinya pintar dan rajin belajar, maka kelak benda apa pun bisa dibelinya. Tak terkecuali mobil sebagus itu. Begitu pikirnya.
Mobil semakin bergerak mendekat, Rayyan akhirnya tahu jika kaca bagian belakang mobil itu rupanya terbuka. Namun, ada hal yang membuat mata bening itu seketika melebar, ialah sesosok pria berkaca mata hitam yang duduk di sana.
"Papa?" lirih Rayyan tak percaya.
Pria itu mengenakan jas warna hitam, persis seperti yang mamanya gambarkan. Dia tidak melihat Rayyan sebab tengah disibukkan dengan ponsel yang ia tempelkan pada daun telinga, sementara tatapannya terarah lurus ke arah depan.
"Papa? Bukankah itu Papa?" Mata Rayyan sama sekali tak berkedip. Ia sangat yakin jika pria itu adalah papanya, sehingga tanpa sadar ia berteriak, berharap pria yang ia yakini papanya itu melihat dia di sana. "Papa! Ini Rayyan Pa!"
Sayang. Pria itu tak mendengar, sementara mobil tetap melaju meski tidak kencang.
Rayyan tak mau menyerah. Bocah itu tidak mau tinggal diam. Ia harus mencari cara untuk menarik atensi pria di dalam sana.
Hanya ada satu cara. Tanpa pikir panjang akhirnya Rayyan berlari sekuat tenaga. Bocah laki-laki itu seperti kehilangan akal, sehingga berniat menghadang tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam.
Dan akhirnya ....
BRAK!!!
Sebuah dentuman keras menggema di udara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Isma Ismawati
Bagus kak ceritanya 😍
2023-07-17
1
Pia Palinrungi
waduhhh mdh rayyan nggak kenapa2
2023-02-19
0
Aruna Maharani
hai kak, aku sudah mampir ya. Mampir juga dong kak dinovelku, mohon dukungannya hehe.
"Akan Ada Pelangi Setelah Hujan"
Thankyuuu ...
2022-10-13
7