"Tenangkan dirimu, Mulan. Aku yakin Rayyan pasti baik-baik saja."
"Tenang, kau bilang, Na? Kau minta supaya aku tenang? Aku bahkan tak tau putraku ada di mana dan seperti apa keadaannya. Mana mungkin aku bisa tenang!" Mulan yang sempat bangkit penuh emosi, kembali menjatuhkan tubuhnya dan tersedu lagi.
Ratna, sang tetangga, hanya bisa menatap Mulan dengan iba sambil mengusap lembut bahu kanannya. Wanita itu masih tergugu pilu. Ia pun tak tahu harus membantu sahabatnya dengan cara apa. Tak ada yang tahu Rayyan ada di mana. Yang jelas setelah kejadian tadi Rayyan dibawa pergi seseorang dengan berkendara mobil mewah. Mobil itu adalah salah satu korban kecelakaan beruntun yang disebabkan oleh Rayyan.
Tak ada yang tahu pasti bocah itu dibawa ke mana. Namun, dari rumor yang beredar, Rayyan dijadikan sebagai jaminan sebab orang kaya itu mengalami kerugian sangat besar.
Sebagai sahabat yang telah membersamai Mulan selama hampir tujuh tahun ini, entah mengapa Ratna merasa pesimis jika Mulan bisa menyelamatkan putranya dari jaminan. Mulan itu hanya wanita miskin yang bekerja di restoran kecil untuk menghidupi dirinya dan sang putra. Sepertinya sangat sulit untuk mendapatkan uang banyak untuk mengganti kerugian yang disebabkan Rayyan.
"Aku harus mencari Rayyan ke mana, Ratna .... Aku harus mencari putraku di mana," lirih Mulan putus asa dengan bersimbah air mata.
***
Sementara itu di dalam mobil yang melaju kencang, seorang pria tampak memperhatikan bocah kecil yang kini duduk di sisinya sambil memangku kotak bekal. Keningnya bertaut heran. Benaknya masih berusaha menelaah bagaimana bisa bocah itu tak mau mengalihkan tatapan dari dirinya dengan penuh kekaguman, selayaknya pada sosok yang begitu dibanggakan.
Bahkan yang membuatnya semakin heran, bocah yang mengaku bernama Rayyan itu berulang kali memanggilnya dengan sebutan papa dan ingin ikut dirinya ke mana saja. Bagaimana bisa, sedangkan ini adalah kali pertama mereka jumpa.
"Bisa berhenti memanggilku dengan sebutan papa?" pintanya uring-uringan. "Aku ini bukan papamu! Kau dan aku bahkan belum pernah saling kenal! Dan satu lagi–" Bara memejamkan mata sambil mengangkat jari telunjuknya, lalu kemudian menatap bocah itu sinis dan berucap penuh penekanan. "Aku, tidak suka dengan caramu menatapku."
"Tapi aku sangat yakin kau adalah papaku." Dengan kepolosannya, Rayyan mencoba membela diri. Tak ada ketakutan dari wajahnya, sekalipun tengah berhadapan dengan pria berperangai garang yang baru kali ini dijumpai.
Bara mencoba meredam amarahnya. Ia menghela napas berat lalu membuang pandangan ke arah jendela. Hari ini dirinya benar-benar ditimpa kesialan. Dan semua ini bermula dari kenakalan bocah kecil yang sedang duduk memangku kotak bekal kosong bergambar bunga di sampingnya.
"Papa." Bocah itu memanggil lagi, dan hal itu sukses membuat Bara meradang hingga menggeram penuh penekanan.
"Aku ini bukan papamu, bocah! Bisa kah kau mengerti itu!" Bara memejamkan mata sambil menggemertakkan gigi gerahamnya. Pria berwajah tampan itu berusaha mengatur napasnya. Sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menyakiti atau berbuat kasar terhadap Rayyan.
Kembali memperhatikan Rayyan dengan seksama, ia kemudian mencoba bicara pelan untuk memberi pengertian. "Dengarkan aku! Kutegaskan sekali lagi, aku bukan papamu, dan kau bukan anakku. Jadi jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi. Kau mengerti?"
Rayyan tak menjawab. Anak itu hanya diam terpaku. Mata beningnya lagi-lagi tak menunjukkan ketakutan.
Bara mendesah pelan lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran. Menjelaskan apa pun pada bocah ini sepertinya sia-sia saja. Akhirnya ia memutuskan memikirkan pekerjaan untuk meredam emosinya. "Bagaimana dengan skedul berikutnya?" tanyanya pada sang asisten yang duduk di jok depan.
"Tiga jam lagi Anda harus terbang ke Singapura."
Bara mendesah pelan lalu membenturkan belakang kepalanya pada sandaran di belakang dengan pelan. Ia melirik bocah polos di sampingnya sejenak, lalu berbicara pada asistennya.
"Tanyai alamat pasti bocah ini lalu antarkan dia pulang pakai mobil lain. Jika orang tuanya kaya, kau bisa meminta ganti rugi atas kerusakan yang dia sebabkan, tapi jika dia berasal dari keluarga miskin–"
"Tidak mau!" Pekikan Rayyan sukses memotong perkataan Bara sebelum pria itu menyelesaikannya. Pria itu sontak menoleh, lalu matanya bersirobok dengan mata mengiba Rayyan. "Rayyan tidak mau pulang. Rayyan mau ikut papa!"
Bara tak bisa berkata-kata saat Rayyan melompat ke pangkuannya. Anak itu bahkan melingkarkan tangan ke lehernya dan tak mau lagi melepaskan. Rayyan benar-benar tak ingin dipisahkan dari dirinya. Membuat kepalanya bertambah pusing dan stress berat melanda.
"Singkirkan dia dariku, Hendrik! Singkirkan!" pekik pria itu frustasi.
"B–baik, Tuan."
***
Ester terkejut melihat putranya datang bersama bocah kecil di gendongan. Wanita yang semula membaca majalah itu langsung berdiri dan membiarkan majalahnya terjatuh begitu saja. Seperti tak percaya dengan penglihatannya sendiri, ia mengucek mata berkali-kali untuk meyakinkan pandangannya.
"Bara? Dia siapa?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar setelah beberapa saat diliputi keterkejutan.
"Dia adalah sumber masalah."
"Hah?" Ester mengernyitkan dahi melihat ekspresi kesal di wajah putranya. Terang saja ia tak mengerti dengan apa arti 'sumber masalah' yang dikatakan Bara. Pulang-pulang putranya itu menggendong bocah kecil berseragam sekolah dasar. Bahkan sampai tertidur di pelukannya. Memangnya masalah apa yang ditimbulkan anak sekecil dia?
"Apa dia menyebabkan kerugian besar? Memangnya dia anak siapa?" tanyanya lagi sembari mengambil alih Rayyan dari gendongan Bara.
Sementara Bara memijit bagian tubuhnya yang terasa pegal, Ester justru menimang-nimang bocah yang sempat menggeliat itu penuh sayang untuk menenangkan, kemudian memandangi wajah si bocah dengan seksama.
Kening Bara sempat bertaut curiga melihat binar bahagia di sepasang bola mata mamanya. Benar saja. Tak lama kemudian seulas senyum bahagia tersungging jelas di bibir wanita itu.
"Dia menyebabkan mobil di belakangku mengalami kecelakaan beruntun. Tentu saja aku yang mengalami kerugian, sebab yang mengalami kecelakaan beruntun itu adalah anak buahku sendiri."
Bara menatap sang Mama dengan tatapan menuntut, lalu kemudian berucap penuh penekanan dan tanpa perasaan. "Bagaimana pun juga, aku tidak ingin melihat wajah bocah ini lagi di rumah ini. Terserah Mama ingin membuangnya atau mengembalikan dia pada orang tuanya. Aku tak peduli."
"Jika tidak menginginkan, lantas kenapa kau bawa pulang?" Alih-alih mengikuti keinginan putranya, Ester justru menimpali dengan pertanyaan.
"Karena dia menolak diantar pulang, Mama!" Bara menggeram frustasi. Pria itu lantas menggeleng tak habis pikir meratapi nasibnya sendiri. "Dia membuatku muak dengan terus-terusan memanggilku papa. Aku ini bukan papanya! Kami bahkan baru sekali jumpa!"
"Kalau ternyata Mama tidak mau mengembalikan dia pada orang tuanya, bagaimana?"
"Maksudnya?" Bara spontan menautkan kedua alisnya. Senyum miring yang tersungging di bibir sang Mama membuatnya semakin merasa curiga. Firasat buruk langsung hinggap di kepala. Jangan-jangan ....
"Mama mau apa? Jangan bilang–"
"Benar Bara," potong Ester yang seolah tahu apa yang dipikirkan Bara. Melihat putranya syok bercampur panik, ia malah menyeringai jahat sambil berucap penuh keyakinan. "Mama menginginkan dia."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
lanjut thor
2023-02-20
0