NovelToon NovelToon

Hot Duda Dan Seksi Mama

Anak haram

"Ma, Rayyan boleh tanya sesuatu?"

"Boleh. Tanya apa?"

"Anak haram itu artinya apa sih?"

Mulan sontak menghentikan langkah, membuat Rayyan yang digandengnya secara spontan ikut berhenti. Wanita berambut keriting itu terdiam sejenak sebelum memutuskan berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan sang putra yang kini berusia tujuh tahun. Netra bening di balik kacamata tebal itu menatap lekat pada wajah polos putranya yang masih terlihat penasaran.

"Kenapa Rayyan tiba-tiba nanyain itu, Sayang? Rayyan mengenal istilah itu dari siapa?" tanyanya lembut sambil menangkub kedua sisi bahu Rayyan.

Pertanyaan aneh sang putra jelas mengundang keterkejutan di wajah wanita berusia 28 tahun itu. Bagaimana tidak? Ia selalu mengajarkan yang baik-baik pada Rayyan, bertutur kata lembut dan bersikap sopan. Namun, belakangan ini bocah itu selalu menanyakan makna dari kata-kata buruk yang tidak sepatutnya diucapkan oleh anak sekecil itu.

"Kata Nico dan yang lain, Ma. Mereka ngejek Rayyan lagi. Mereka bilang Rayyan anak haram karena Rayyan nggak punya papa," terang bocah itu sedih.

Secara spontan Mulan menggemertakkan gigi gerahamnya. Matanya berkilat marah sekaligus sedih yang berusaha disembunyikan dari tatapan Rayyan. Akhirnya sesuatu yang ia takutkan terjadi juga. Karena kesalahannya di masa lalu, sang putra harus mendengarkan kata-kata tak pantas itu.

Ia masih bisa terima jika teman-teman Rayyan mengejek putranya dengan kalimat hinaan mengenai kondisi fisiknya yang bukanlah tipe wanita cantik. Namun, jika cemoohan mereka sudah menyangkut tentang status Rayyan, bisakah ia diam?

Mulan menghela napas dalam. Sebisa mungkin menahan marah agar tetap terlihat baik-baik saja di depan putranya. Meski dalam hati tak henti merutuki perilaku bocah-bocah yang selama ini selalu menindas Rayyan, tetapi wanita itu tetap menyunggingkan senyum pada putranya.

"Rayyan dengar kata-kata Mama, ya," tegasnya dengan tatapan meyakinkan. "Rayyan adalah anak Mama. Rayyan bukan anak haram. Jadi Mama mohon, jangan pernah dengarkan mereka."

"Tapi bukankah kata-kata mereka itu benar?" Rayyan memprotes cepat. "Rayyan tak memiliki Papa. Rayyan hanya punya Mama."

"Siapa bilang Rayyan tak punya Papa? Rayyan punya kok."

"Benarkah?" Mata bocah itu langsung berbinar.

"Tentu saja."

"Lalu di mana Papa, Ma? Kenapa Papa nggak pernah pulang?"

Sejenak Mulan terdiam. Usia Rayyan sudah genap tujuh tahun, sudah terlampau sering menanyakan tentang hal itu. Seharusnya ia sudah menyiapkan jawaban yang tepat, bukan jawaban penuh kebohongan yang jelas dibuat-buat.

"Kenapa Mama diam?" tegur Rayyan dengan mata berkaca-kaca. "Mama mau cari alasan apa lagi? Mama mau bohongi Rayyan lagi?" tanyanya hampir menangis.

"Tidak, Sayang. Mama mana mungkin membohongi Rayyan," sangkal Mulan penuh sesal.

"Terus?"

"Papa ada. Dia sedang bekerja keras. Mencari uang yang banyak buat kita agar bisa hidup dengan layak. Dari itulah Papa belum bisa kembali, Sayang. Mengertilah," bujuk Mulan penuh kesedihan. Wanita itu menangkub kedua sisi wajah putranya.

"Tapi sampai kapan, Ma? Sampai kapan Papa akan cari uang?"

"Sampai Papa sukses. Pulang bawa mobil mewah dan memakai jas mahal."

Rayyan terdiam dengan wajah menahan kesedihan. Selama ini ia selalu berusaha percaya meski yang mamanya katakan adalah omong kosong belaka. Namun, entah sampai kapan ia akan pura-pura percaya?

"Rayyan," panggil Mulan penuh sayang. Ia mengusap lembut wajah sedih sang putra, lalu kemudian berusaha membujuknya. "Boleh Mama tanya?"

Bocah berseragam sekolah dasar itu mengangguk.

"Siapa yang selama ini merawat dan membesarkan Rayyan?"

"Mama." Rayyan menjawab tegas.

"Siapa yang kerja keras banting tulang demi Rayyan?"

"Mama."

"Jadi, Rayyan tahu kan, siapa yang perlu dipercaya dan didengarkan kata-katanya?"

Rayyan diam sejenak sebelum kemudian mengangguk pelan.

"Oke. Kalau begitu sekolah yang pintar. Buat, Mama dan Papa bangga." Mulan menepuk bahu putranya untuk memberi dukungan. "Ingat ya, Sayang. Jangan mau ikut pulang dengan orang sembarangan. Hanya Mama yang boleh Rayyan percaya."

"Iya, Ma. Rayyan tau. Mama setiap hari mengatakan itu."

Mulan menyimpul senyum. Ia mengusap kepala Rayyan yang kini menatapnya malas. "Itu semua Mama lakukan karena Mama tak ingin kehilangan Rayyan."

"Memangnya siapa yang mau culik Rayyan, Mama?" desah bocah itu kesal.

Tak ingin berada di depan gerbang sekolah lama-lama, Rayyan memutuskan pamit sembari mengecup punggung tangan sang Mama. Mulan sendiri tak langsung beranjak dari sana. Ia dengan setia tetap berdiri di sana, menatap punggung mungil itu berjalan melewati gerbang sekolah hingga tak terlihat dari pandangan.

Dan sepeninggalnya sang anak, setitik kristal bening meluncur dari sudut mata. Mulan mengusap dadanya yang sesak. Merasa sedih sekaligus kasihan pada sang putra yang begitu mendambakan sosok Papa tetapi tak bisa memeluknya.

***

Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Puluhan siswa berseragam sekolah dasar mulai berhamburan keluar kelas. Sebagian langsung keluar gerbang, menghampiri orang tua mereka yang sudah menunggu di luar pagar dan sebagian lagi memutuskan menanti orang tua mereka yang belum datang untuk menjemput.

Rayyan sendiri ada di bagian kedua, sebab sosok sang Mama masih belum tampak menjemputnya. Bocah yang berdiri di depan gerbang itu terkejut saat kantong berisi kotak bekal miliknya berpindah usai direbut seseorang.

"Dion!" seru si perebut pada bocah lain yang merupakan temannya. Dion merespon cepat dengan menangkap kotak bekal milik Rayuan yang dilemparkan Nico.

"Kembalikan! Itu milikku!" pekik Rayyan tak terima. Ia ingin merebut miliknya dari tangan Dion, tetapi bocah nakal itu sudah lebih dulu melempar pada Nico. Tawa jahat keduanya pun menggema di udara.

Rayyan diam dengan kedua tangan terkepal. Berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Bukan kali pertama dua bocah itu bersikap nakal terhadapnya, seharusnya ia sudah terbiasa.

"Hahaha! Mau nangis dia!" cibir Nico sambil menunjuk ke arah Rayyan. Dion bahkan menimpalinya dengan sebuah kalimat ejekan.

"Dasar cemen! Gitu doang udah mau nangis! Sini ambil kalau berani! Dasar anak haram! Sudah miskin, mamanya jelek, tidak punya papa pula!"

"Diam!" sergah Rayyan yang sudah tak tahan dengan wajah penuh amarah. "Rayyan bukan anak haram! Rayyan punya papa!"

"Bohong!" sahut Dion tak percaya.

"Kalau punya papa, mana tunjukkan! Jangan bisanya omong doang!" timpal Nico pula.

Rayyan berusaha menahan air mata. Hatinya merasa hancur untuk yang kesekian kalinya. Percuma meyakinkan mereka jika tanpa bukti nyata. Namun, ia juga merasa tak tahan sebab teman-temannya sudah keterlaluan.

Menatap sebongkah batu, sebuah ide gila terlintas di pikiran Rayyan. Mungkin dengan sedikit ancaman, ia bisa membuat dua bocah itu jera dan berhenti menggangunya.

Benar dugaan Rayyan. Dion dan Nico spontan berlari ketakutan setelah dirinya mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti hendak melempar. Nico bahkan sampai menjatuhkan kotak bekal milik Rayyan begitu saja, lalu berhambur memeluk sang papa yang sudah menunggu di samping mobilnya.

Namun, ada sesuatu hal terjadi di luar dugaan Rayyan. Orang tua Nico menatapnya penuh ancaman lalu menghardiknya tak terima.

"Heh, turunkan batumu itu! Awas ya! Kalau sampai Nico terluka akibat ulah kamu, saya tidak akan segan-segan membawamu ke kantor polisi!"

Akhirnya, bocah malang itu hanya bisa menurunkan tangan dan menggenggam batunya penuh keputusasaan.

"Mama ...," lirih Rayyan dengan mata berkaca-kaca. Ia tertunduk sedih lalu melepaskan batunya begitu saja. Andai mamanya ada di sini, mungkin dirinya takkan sesedih ini. Mamanya pasti akan membela dan melindungi dirinya. Hanya wanita itu yang sayang pada dirinya.

Bocah kelas satu sekolah dasar itu akhirnya hanya diam dan pasrah. Ia memungut kotak bekal yang teronggok mengenaskan lalu mengusap bagian yang kotor untuk membersihkan.

Saat mengangkat wajah dan mengusap air mata, sebuah mobil mewah dengan warna cat yang mengkilap muncul dari ujung jalan. Tak beranjak dari tempatnya, Rayyan memperhatikan mobil itu dengan penuh kekaguman. Ia memang terlahir dari ibu yang miskin. Namun, jika dirinya pintar dan rajin belajar, maka kelak benda apa pun bisa dibelinya. Tak terkecuali mobil sebagus itu. Begitu pikirnya.

Mobil semakin bergerak mendekat, Rayyan akhirnya tahu jika kaca bagian belakang mobil itu rupanya terbuka. Namun, ada hal yang membuat mata bening itu seketika melebar, ialah sesosok pria berkaca mata hitam yang duduk di sana.

"Papa?" lirih Rayyan tak percaya.

Pria itu mengenakan jas warna hitam, persis seperti yang mamanya gambarkan. Dia tidak melihat Rayyan sebab tengah disibukkan dengan ponsel yang ia tempelkan pada daun telinga, sementara tatapannya terarah lurus ke arah depan.

"Papa? Bukankah itu Papa?" Mata Rayyan sama sekali tak berkedip. Ia sangat yakin jika pria itu adalah papanya, sehingga tanpa sadar ia berteriak, berharap pria yang ia yakini papanya itu melihat dia di sana. "Papa! Ini Rayyan Pa!"

Sayang. Pria itu tak mendengar, sementara mobil tetap melaju meski tidak kencang.

Rayyan tak mau menyerah. Bocah itu tidak mau tinggal diam. Ia harus mencari cara untuk menarik atensi pria di dalam sana.

Hanya ada satu cara. Tanpa pikir panjang akhirnya Rayyan berlari sekuat tenaga. Bocah laki-laki itu seperti kehilangan akal, sehingga berniat menghadang tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam.

Dan akhirnya ....

BRAK!!!

Sebuah dentuman keras menggema di udara.

Kecelakaan

Mulan terlihat panik saat melihat arloji di pergelangan tangannya. Jam sudah melebihi tiga puluh menit dari waktu semestinya ia menjemput Rayyan. Entah bagaimana kesalnya bocah itu sekarang. Semoga Rayyan masih setia menunggunya di depan gerbang.

Setelah menukar pakaian kerjanya dengan pakaian biasa, ia segera menyambar tas tangan lalu berlari menuju luar. Namun, langkahnya terpaksa terhenti saat mendengar kata-kata bernada sindiran dari seseorang.

"Enak banget ya! Bebas keluar masuk semaunya. Pengen libur juga bisa libur seenaknya! Nggak lihat ya Neng, ini masih jam kerja? Masih banyak pelanggan yang datang. Tanggung jawab dikit, dong! Jangan sebentar-sebentar pulang sebentar-sebentar keluar. Memangnya ini restoran punya Mbah buyut kamu!"

Tangan Mulan terkepal di sisi tubuhnya. Ia menoleh ke belakang, dan mendapati Yuna tengah bersedekap dada sambil tersenyum sinis ke arahnya.

Mulan mengembuskan napas panjang. Berusaha menetralkan perasaan. Yuna bukanlah atasan atau bahkan bosnya. Posisi gadis itu setara dengan dirinya. Jadi untuk apa kata-kata pedas yang biasa terlontar itu harus diambil hati juga? Toh, bos yang sesungguhnya tak pernah mempermasalahkan itu semua.

Sikap ketus yang ditunjukkan Yuna hanyalah bentuk dari sifat iri gadis itu saja. Maklum, Mulan terkesan diistimewakan oleh pemilik restoran tempatnya bekerja. Ia diperbolehkan membawa anak saat bekerja. Bahkan diperbolehkan libur saat anaknya sedang tidak sehat.

Tentu saja hal itu menimbulkan kecemburuan sosial bagi karyawan lain, mengingat karyawan lain tidak ada yang diperlakukan sebaik dirinya. Ada aturan tegas yang diberlakukan restoran tempatnya bekerja seperti restoran-restoran lainnya. Jika ada yang melanggar, tentunya ada sanksi yang harus diberikan.

Sebenarnya Mulan ingin sekali menjawab sindiran Yuna, tetapi hal itu urung ia lakukan sebab menyadari ada hal yang lebih penting dari pada berdebat. Putranya sedang menunggu. Ia harus bergegas menuju sekolah Rayyan.

"Hey!" Yuna berseru kesal lantaran Mulan meninggalkannya begitu saja. Lagi-lagi gadis berusia 27 tahun itu gagal memprovokasi. Sambil mengamati Mulan yang terus berjalan meninggalkan dirinya, ia pun bergumam. "Dasar. Memang apa bagusnya dia dibanding aku? Sudah jelek. Murahan. Miskin, pula. Bisa-bisanya Bapak dan Ibu selalu membelanya. Apa karena sudah kena pelet kali ya?"

"Apa yang kau katakan?" Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut dari arah belakang. Yuna terkejut. Gadis itu sontak menoleh lalu membeliak melihat sosok yang berdiri di belakangnya.

"Eh, ada Ibu." Yuna tersenyum kecut sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Enggak ada tuh Bu, saya nggak bilang apa-apa. Ibu salah dengar, kali."

"Kamu pikir saya tuli?" sahut wanita bernama Mira itu dengan tatapan marah.

Yuna merasa ngeri sekaligus bingung sendiri. Memang apa bagusnya Mulan itu sampai-sampai pemilik resto membela wanita itu mati-matian? Mulan benar-benar jauh di bawahnya secara penampilan dan pelayanan. Justru karena kecantikannya lah yang berhasil menarik banyak pelanggan, dan bukan karena masakan wanita itu!

Jika sudah begini, apa lagi yang bisa ia lakukan? Yuna harus pergi sebelum wanita garang tempramental ini benar-benar mengamuknya.

"Saya permisi ke belakang dulu ya, Bu. Masih ada pekerjaan yang belum saya selesaikan."

"Yuna."

Si empunya nama langsung berhenti. Wanita itu terdiam sejenak lalu berbalik badan dengan gerakan perlahan.

"Iya, Bu? Ada apa?"

"Kau ingin mendapatkan perlakuan khusus seperti aku memperlakukan Mulan?" tanya Mira dingin, sambil berjalan mendekat ke arah Yuna.

Tak ada jawaban yang gadis itu lontarkan. Hanya bola matanya yang sempat melebar penuh antusias. Namun, sesaat kemudian kembali redup lantaran harapan yang sempat mekar itu kembali bosnya patahkan.

"Kalau begitu, kau harus melakukan apa yang pernah Mulan lakukan! Apa kau sanggup?"

Seketika mata Yuna melebar, lalu kepalanya menggeleng kuat-kuat. "Ibu tidak bisa memaksa seseorang untuk menirukan orang lain, termasuk saya! Saya ini hanya wanita yang lemah dan anggun. Saya ini wanita yang sejak kecil dididik dengan lembut. Saya bahkan hanya bisa memegang spatula dan penggorengan. Bagaimana mungkin bisa melawan preman seperti Mulan yang bar-bar dan urakan."

Mira sontak menggemertakkan giginya. Bahkan di saat seperti ini Yuna masih bisa merendahkan Mulan di hadapannya. Bagaimana mungkin ia bisa terima setelah semua yang Mulan lakukan untuk dirinya!

Bukan hanya padanya, tetapi wanita berambut keriting yang memakai kaca mata tebal itu juga sangat berjasa pada restorannya. Andai Mulan tak menolongnya ketika menjadi korban tabrak lari waktu itu, mungkin dirinya tak akan berdiri di sini saat ini. Bahkan jika saja Mulan tak melawan preman yang selalu meminta pungutan liar, mungkin sejak lama resto kecilnya sudah gulung tikar.

"Dari pada membuat tekanan darahku naik lagi, mendingan kamu pergi sana! Selesaikan pekerjaanmu dengan baik ! Dan ingat." Mira menunjuk Yuna penuh ancaman. "Jangan menindas Mulan lagi jika masih ingin kerja di sini!"

"B–baik, Bu." Yuna mengangguk patuh meskipun dalam hati tak henti merutuki Mulan. Gadis berkulit kuning langsat itu kemudian berlalu meninggalkan Mira dengan langkah tergesa.

Wanita dengan rambut disanggul rapi itu hanya menggeleng tak habis pikir sambil melipat tangan di depan dada. Matanya mengawasi Yuna hingga tak nampak dari pandangannya.

***

Mulan terkesiap melihat pemandangan tak biasa di depan matanya. Tepat di depan sekolah Rayyan, banyak puing-puing kaca berhamburan. Suasana di jalan itu sangat kacau, seperti baru saja terjadi kecelakaan yang melibatkan beberapa kendaraan.

Mulan berusaha menembus kerumunan orang-orang untuk bisa mencapai gerbang sekolahan. Sayangnya pagar gerbang itu dalam keadaan terkunci rapat. Dan sosok putranya tak terlihat di sekitar sana.

"Rayyan ...." Mulan mulai panik. Pandangannya kembali mengedar mencari-cari keberadaan sang putra. Saat wanita itu berada dalam kondisi kebingungan tiba-tiba seseorang terdengar meneriakkan namanya.

"Mulan!" Wanita seusia dirinya berlari menghampiri. Dari ekspresi wajah yang ditampakkan, Mulan bisa merasakan ada sesuatu buruk yang ingin disampaikan.

"Ratna? Apa kau melihat Rayyan?" sambut Mulan dengan pertanyaan bernada cemas. Ia memperhatikan wajah Ratna dengan seksama. Semakin bertambah cemas pula dengan nada bicara Ratna.

"Rayyan, Mulan. Rayyan–" Tak bisa melanjutkan kata, Ratna justru menggigit bibir bawahnya.

Baru juga Mulan hendak mendesak Ratna, tetapi suara lain justru terlebih dahulu menyahuti dari belakang dengan lantang.

"Rayyan yang jadi penyebab kecelakaan ini terjadi!"

Tanpa dikomando, Mulan dan Ratna kompak menoleh ke sumber suara dan mendapati wanita dengan dandanan menor tengah bersedekap dada dengan jemawa.

"A–apa?" Mata Mulan membeliak tak percaya. Ia menoleh pada Ratna dan menatap wanita itu menuntut penjelasan.

"Benar, Mulan." Ratna menatap Mulan penuh sesal. Ia merasa berat, tetapi harus menyampaikan yang sebenarnya pada sang sahabat. "Rayyan yang menyebabkan kecelakaan itu."

Deg!

Dunia Mulan seperti berhenti berputar. Lututnya seperti tak kuat menopang badan. Wanita itu nyaris limbung andai saja Ratna tidak bergerak sigap menahannya.

Aku bukan papamu!

"Tenangkan dirimu, Mulan. Aku yakin Rayyan pasti baik-baik saja."

"Tenang, kau bilang, Na? Kau minta supaya aku tenang? Aku bahkan tak tau putraku ada di mana dan seperti apa keadaannya. Mana mungkin aku bisa tenang!" Mulan yang sempat bangkit penuh emosi, kembali menjatuhkan tubuhnya dan tersedu lagi.

Ratna, sang tetangga, hanya bisa menatap Mulan dengan iba sambil mengusap lembut bahu kanannya. Wanita itu masih tergugu pilu. Ia pun tak tahu harus membantu sahabatnya dengan cara apa. Tak ada yang tahu Rayyan ada di mana. Yang jelas setelah kejadian tadi Rayyan dibawa pergi seseorang dengan berkendara mobil mewah. Mobil itu adalah salah satu korban kecelakaan beruntun yang disebabkan oleh Rayyan.

Tak ada yang tahu pasti bocah itu dibawa ke mana. Namun, dari rumor yang beredar, Rayyan dijadikan sebagai jaminan sebab orang kaya itu mengalami kerugian sangat besar.

Sebagai sahabat yang telah membersamai Mulan selama hampir tujuh tahun ini, entah mengapa Ratna merasa pesimis jika Mulan bisa menyelamatkan putranya dari jaminan. Mulan itu hanya wanita miskin yang bekerja di restoran kecil untuk menghidupi dirinya dan sang putra. Sepertinya sangat sulit untuk mendapatkan uang banyak untuk mengganti kerugian yang disebabkan Rayyan.

"Aku harus mencari Rayyan ke mana, Ratna .... Aku harus mencari putraku di mana," lirih Mulan putus asa dengan bersimbah air mata.

***

Sementara itu di dalam mobil yang melaju kencang, seorang pria tampak memperhatikan bocah kecil yang kini duduk di sisinya sambil memangku kotak bekal. Keningnya bertaut heran. Benaknya masih berusaha menelaah bagaimana bisa bocah itu tak mau mengalihkan tatapan dari dirinya dengan penuh kekaguman, selayaknya pada sosok yang begitu dibanggakan.

Bahkan yang membuatnya semakin heran, bocah yang mengaku bernama Rayyan itu berulang kali memanggilnya dengan sebutan papa dan ingin ikut dirinya ke mana saja. Bagaimana bisa, sedangkan ini adalah kali pertama mereka jumpa.

"Bisa berhenti memanggilku dengan sebutan papa?" pintanya uring-uringan. "Aku ini bukan papamu! Kau dan aku bahkan belum pernah saling kenal! Dan satu lagi–" Bara memejamkan mata sambil mengangkat jari telunjuknya, lalu kemudian menatap bocah itu sinis dan berucap penuh penekanan. "Aku, tidak suka dengan caramu menatapku."

"Tapi aku sangat yakin kau adalah papaku." Dengan kepolosannya, Rayyan mencoba membela diri. Tak ada ketakutan dari wajahnya, sekalipun tengah berhadapan dengan pria berperangai garang yang baru kali ini dijumpai.

Bara mencoba meredam amarahnya. Ia menghela napas berat lalu membuang pandangan ke arah jendela. Hari ini dirinya benar-benar ditimpa kesialan. Dan semua ini bermula dari kenakalan bocah kecil yang sedang duduk memangku kotak bekal kosong bergambar bunga di sampingnya.

"Papa." Bocah itu memanggil lagi, dan hal itu sukses membuat Bara meradang hingga menggeram penuh penekanan.

"Aku ini bukan papamu, bocah! Bisa kah kau mengerti itu!" Bara memejamkan mata sambil menggemertakkan gigi gerahamnya. Pria berwajah tampan itu berusaha mengatur napasnya. Sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menyakiti atau berbuat kasar terhadap Rayyan.

Kembali memperhatikan Rayyan dengan seksama, ia kemudian mencoba bicara pelan untuk memberi pengertian. "Dengarkan aku! Kutegaskan sekali lagi, aku bukan papamu, dan kau bukan anakku. Jadi jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi. Kau mengerti?"

Rayyan tak menjawab. Anak itu hanya diam terpaku. Mata beningnya lagi-lagi tak menunjukkan ketakutan.

Bara mendesah pelan lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran. Menjelaskan apa pun pada bocah ini sepertinya sia-sia saja. Akhirnya ia memutuskan memikirkan pekerjaan untuk meredam emosinya. "Bagaimana dengan skedul berikutnya?" tanyanya pada sang asisten yang duduk di jok depan.

"Tiga jam lagi Anda harus terbang ke Singapura."

Bara mendesah pelan lalu membenturkan belakang kepalanya pada sandaran di belakang dengan pelan. Ia melirik bocah polos di sampingnya sejenak, lalu berbicara pada asistennya.

"Tanyai alamat pasti bocah ini lalu antarkan dia pulang pakai mobil lain. Jika orang tuanya kaya, kau bisa meminta ganti rugi atas kerusakan yang dia sebabkan, tapi jika dia berasal dari keluarga miskin–"

"Tidak mau!" Pekikan Rayyan sukses memotong perkataan Bara sebelum pria itu menyelesaikannya. Pria itu sontak menoleh, lalu matanya bersirobok dengan mata mengiba Rayyan. "Rayyan tidak mau pulang. Rayyan mau ikut papa!"

Bara tak bisa berkata-kata saat Rayyan melompat ke pangkuannya. Anak itu bahkan melingkarkan tangan ke lehernya dan tak mau lagi melepaskan. Rayyan benar-benar tak ingin dipisahkan dari dirinya. Membuat kepalanya bertambah pusing dan stress berat melanda.

"Singkirkan dia dariku, Hendrik! Singkirkan!" pekik pria itu frustasi.

"B–baik, Tuan."

***

Ester terkejut melihat putranya datang bersama bocah kecil di gendongan. Wanita yang semula membaca majalah itu langsung berdiri dan membiarkan majalahnya terjatuh begitu saja. Seperti tak percaya dengan penglihatannya sendiri, ia mengucek mata berkali-kali untuk meyakinkan pandangannya.

"Bara? Dia siapa?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar setelah beberapa saat diliputi keterkejutan.

"Dia adalah sumber masalah."

"Hah?" Ester mengernyitkan dahi melihat ekspresi kesal di wajah putranya. Terang saja ia tak mengerti dengan apa arti 'sumber masalah' yang dikatakan Bara. Pulang-pulang putranya itu menggendong bocah kecil berseragam sekolah dasar. Bahkan sampai tertidur di pelukannya. Memangnya masalah apa yang ditimbulkan anak sekecil dia?

"Apa dia menyebabkan kerugian besar? Memangnya dia anak siapa?" tanyanya lagi sembari mengambil alih Rayyan dari gendongan Bara.

Sementara Bara memijit bagian tubuhnya yang terasa pegal, Ester justru menimang-nimang bocah yang sempat menggeliat itu penuh sayang untuk menenangkan, kemudian memandangi wajah si bocah dengan seksama.

Kening Bara sempat bertaut curiga melihat binar bahagia di sepasang bola mata mamanya. Benar saja. Tak lama kemudian seulas senyum bahagia tersungging jelas di bibir wanita itu.

"Dia menyebabkan mobil di belakangku mengalami kecelakaan beruntun. Tentu saja aku yang mengalami kerugian, sebab yang mengalami kecelakaan beruntun itu adalah anak buahku sendiri."

Bara menatap sang Mama dengan tatapan menuntut, lalu kemudian berucap penuh penekanan dan tanpa perasaan. "Bagaimana pun juga, aku tidak ingin melihat wajah bocah ini lagi di rumah ini. Terserah Mama ingin membuangnya atau mengembalikan dia pada orang tuanya. Aku tak peduli."

"Jika tidak menginginkan, lantas kenapa kau bawa pulang?" Alih-alih mengikuti keinginan putranya, Ester justru menimpali dengan pertanyaan.

"Karena dia menolak diantar pulang, Mama!" Bara menggeram frustasi. Pria itu lantas menggeleng tak habis pikir meratapi nasibnya sendiri. "Dia membuatku muak dengan terus-terusan memanggilku papa. Aku ini bukan papanya! Kami bahkan baru sekali jumpa!"

"Kalau ternyata Mama tidak mau mengembalikan dia pada orang tuanya, bagaimana?"

"Maksudnya?" Bara spontan menautkan kedua alisnya. Senyum miring yang tersungging di bibir sang Mama membuatnya semakin merasa curiga. Firasat buruk langsung hinggap di kepala. Jangan-jangan ....

"Mama mau apa? Jangan bilang–"

"Benar Bara," potong Ester yang seolah tahu apa yang dipikirkan Bara. Melihat putranya syok bercampur panik, ia malah menyeringai jahat sambil berucap penuh keyakinan. "Mama menginginkan dia."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!