Perjanjian Berdarah

Perjanjian Berdarah

Bagian 1

...PERJANJIAN BERDARAH...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 1...

...------- o0o -------...

Pagi masih diselimuti kabut tebal saat Ardy membuka kelopak mata, dari tidur nyenyaknya semalam. Walau rasa kantuk masih dirasa mendera, namun dia berusaha bangkit dari tempat tidur. Menepis keinginan untuk kembali terbaring ketika melihat jarum jam sudah menunjukan pukul lima.

Setelah menguap sebentar, Ardy bergegas keluar dari kamarnya.

“Ya, Tuhan! Gelap banget, sih?” guman Ardy melihat keadaan ruang tamu masih gelap gulita.

Dengan susah payah, dia meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Sampai kemudian Ardy menemukan apa yang dicari.

Cekrek!

Ruangan terang benderang diterpa cahaya lampu yang tergantung indah di langit-langit rumah.

Ardy menarik nafas lega.

“Den, sudah bangun rupanya.” Satu suara dari arah belakang mengejutkannya.

“Astaghfirullah!" seru Ardy seraya membalikkan badan.

Sesosok tubuh tua tengah berdiri tak jauh darinya. “Mbok, ngagetin aja, deh,”ujar Ardy setelah mengenali sosok yang tadi menyapanya.

Seorang wanita renta dan bertubuh pendek, pembantu rumahnya. “Maaf, Den. Mbok ndak sengaja,” kata si Mbok terkekeh memperlihatkan sebagian giginya yang masih tersisa. “Sekali lagi, mbok minta maaf ya, Den.”

Ardy tersenyum. “Sudahlah ... gak apa-apa, kok, Mbok.”

“Aden mau mandi?” tanya wanita tua itu setelah beberapa saat terdiam.

“Iya, mumpung masih pagi. Lagian, aku belum salat Subuh.”

“Mbok sediakan air hangat ya?”

“Gak usah, Mbok. Siapin sarapan pagi aja. Kalo terlambat lagi kayak kemaren, Mama bisa marah.”

“Tapi Den, kalo Nyonya sampai melihat Aden menyiapkan air panas sendiri, nanti si Mbok yang akan dimarahi,” ujar wanita tua itu ragu.

“Mbok gak usah khawatir, deh. Nanti aku sendiri yang bilang sama Mama. Nah, sekarang Mbok ke dapur saja, mumpung Mama dan Papa belum bangun,” kata Ardy pelan.

Walau masih takut dan ragu, si Mbok menurut.

“Ya Allah, anak itu begitu baik sekali. Jauh berbeda dengan kedua orangtua serta anak-anak yang lain,” gumam wanita tua itu setelah menjauh, “tapi sayang sekali .... “

Ucapan si Mbok terhenti begitu sosok Ardy muncul dari balik pintu dapur.

“Lho ... kok, malah ngelamun, sih?” tanya anak muda itu pelan disertai senyuman.

“Eh, Aden. Endak, Mbok hanya ingin istirahat sebentar sambil menunggu nasi matang,“ jawab si Mbok pura-pura sibuk.

“Mbok udah salat belum?” tanya Ardy kembali.

“Belum, Den. Nanti saja. Mbok takut, nanti Nyonya marah kalau nasinya belum matang,” kilah si Mbok ketakutan.

Ardy menggeleng. “Sudahlah, Mbok. Salat dulu sana. Biar aku yang tungguin nasinya,” kata Ardy akhirnya.

Si Mbok terperanjat. “Jangan, Den! Nanti si Mbok yang bakal kena marah Nyonya.”

“Mbok lebih takut Mama atau sama Allah? Hhmm?”

“Bukan begitu, Den. Tapi .... “

“Sudahlah. Kalo Mama marah, biar nanti aku yang ngomong. Pokoknya si Mbok tenang aja, deh, ya?”

Wanita tua itu berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk perlahan, disertai senyum getir.

“Jangan, Kak! Enak banget dia yang nyantai, sementara Kakak kerja di dapur!” seru satu suara milik seorang gadis di belakang Ardy secara tiba-tiba. “Kak Ardy pikir, dong! Emangnya kakak ini pembantu dia, apa?”

“Nola! Kamu sudah bangun rupanya.” Ardy menoleh ke arah adik perempuannya.

“Ngapain, sih, Kakak harus bantuin dia segala? Dia, kan, kerja di sini!” seru Nola kembali.

Si Mbok mengusap dada. Tiba-tiba terasa perih menyakitkan.

“Nola, enggak baik bicara seperti itu sama orang yang lebih tua dari kamu.” Ardy memegang kedua bahu Nola, lalu mengusap-usap lembut. “Walau si Mbok bekerja dan digaji sama Papa, tapi bukan berarti kita boleh memperlakukan si Mbok seperti itu, Dek.”

Ardy melanjutkan ucapannya, “Mbok juga seorang manusia. Sama seperti halnya kita. Apalagi usia beliau itu jauh lebih tua dari Kak Ardy dan kamu. Jadi sudah sepantasnya kita menghormati si Mbok.”

“Huh! Di mana-mana juga yang namanya pembantu, ya ... pembantu, Kak! Tukang kerja!” seru Nola sambil bergegas meninggalkan mereka. Wanita tua itu menunduk sedih.

“Nola!” panggil Ardy. Gadis itu tak menghiraukan.

Anak muda itu hanya bisa menarik nafas. Sementara si Mbok termenung dengan wajah masih menunduk. Dihampirinya seraya berkata pelan, “Aku mohon maaf atas sikap Nola tadi ya, Mbok. Ini semua salahku.“

“Endak, Den. Aden tak bersalah. Ini salah si Mbok sendiri, kok.”

“Enggak, ini salahku. Sekarang Mbok sembahyang dulu, ya? Mumpung Mama belum bangun,“ kata Ardy seraya memegang bahu wanita tua yang sudah puluhan tahun, mengabdi di rumah keluarga Ardy tersebut.

Si Mbok menatap wajah anak muda itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Mungkin terharu atau bisa juga dia merasa bahagia. Entahlah.

Ada tetesan bening yang keluar dari pelupuk mata tua itu. Mengalir deras menyusuri pipinya yang keriput.

Ardy mengusap air mata si Mbok penuh kasih. Tak ubahnya seperti seorang anak pada ibu tercinta.

Akhirnya si Mbok menurut juga. Tubuh tua itu pergi mengambil air wudu. Sementara Ardy berdiam di dapur, menunggu penanakan. Perih melihat sikap dan perlakuan keluarganya pada si Mbok. Sudah tua, tak juga memiliki sanak keluarga. Padahal dia sudah lama mengabdi. Tentunya telah bertumpuk pula jasa-jasa yang telah ditanamkan pada keluarga. Namun mengapa justru diperlakukan seperti itu. Apakah hanya anak muda itu saja yang masih memiliki empati terhadapnya?

Ardy merasa si Mbok mempunyai satu rahasia yang besar dan ingin sekali menceritakan semua itu padanya. Akan tetapi, seperti selalu terhalang oleh sesuatu yang begitu berat untuk melakukan hal tersebut.

Entahlah, Ardy sendiri tak pernah meminta si Mbok untuk bicara. Mungkin suatu saat nanti? Ataukah waktu juga yang akan menjawab kelak?

“Sudah matang, Den?” tanya si Mbok. Rupanya sudah selesai melaksanakan kewajiban sembahyang Subuh.

Ardy terperanjat. “Oh, Mbok. Sudah beres?” Ardy malah balik tanya tanpa menjawab pertanyaan si Mbok tadi. Lama juga duduk termenung di sana, sampai tak menyadari kehadiran si Mbok.

“Sudah. Aden sekarang mandi sana,” kata si Mbok seraya memeriksa penanakan nasi. “Terima kasih ya, Den.”

“Ya, sudah. Aku mandi dulu, deh.”

“Silakan, Den.”

Ardy bergegas ke kamar mandi, dengan rasa dingin yang menusuk tulang. Semua tak dihiraukan. Memang pagi itu begitu mengigit. Sampai air pun seperti hendak turut dibekukan.

Seusai mandi dan berwudu, Ardy langsung melaksanakan ibadah salat Subuh. Lanjut membereskan kamar tidur. Terakhir, mengenakan setelan seragam sekolah. Sambil menunggu hari terang, membuka-buka buku pelajaran. Sampai waktu tak terasa berlalu. Jarum jam hampir menunjukkan pukul enam. Bersamaan dengan itu, muncul sosok Nola di ambang pintu kamar.

Merasa ada yang memperhatikan, Ardy menoleh. “Ada apa, Dek?” tanya Ardy menggoda sang adik. Nola tersenyum. “Disuruh Mama sarapan dulu, Kak,” jawabnya. Ardy mengangkat alisnya.

Biasa!

...BERSAMBUNG ...

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

permisi numpang duduk dl ya kak

2023-05-28

0

Olla Romlah

Olla Romlah

untuk othor aku kasih vote dan hadiah ya

2022-12-05

5

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝓫𝓪𝓻𝓾 𝓷𝔂𝓲𝓶𝓪𝓴 𝓷𝓲𝓱 𝓽𝓹 𝓴𝓪𝔂𝓪𝓴 𝓷𝔂𝓪 𝓼𝓮𝓻𝓾 𝓬𝓮𝓻𝓲𝓽𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓳𝓭 𝓵𝓪𝓷𝓳𝓾𝓽👍👍👍👍👍

2022-11-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!