NovelToon NovelToon

Perjanjian Berdarah

Bagian 1

...PERJANJIAN BERDARAH...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 1...

...------- o0o -------...

Pagi masih diselimuti kabut tebal saat Ardy membuka kelopak mata, dari tidur nyenyaknya semalam. Walau rasa kantuk masih dirasa mendera, namun dia berusaha bangkit dari tempat tidur. Menepis keinginan untuk kembali terbaring ketika melihat jarum jam sudah menunjukan pukul lima.

Setelah menguap sebentar, Ardy bergegas keluar dari kamarnya.

“Ya, Tuhan! Gelap banget, sih?” guman Ardy melihat keadaan ruang tamu masih gelap gulita.

Dengan susah payah, dia meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Sampai kemudian Ardy menemukan apa yang dicari.

Cekrek!

Ruangan terang benderang diterpa cahaya lampu yang tergantung indah di langit-langit rumah.

Ardy menarik nafas lega.

“Den, sudah bangun rupanya.” Satu suara dari arah belakang mengejutkannya.

“Astaghfirullah!" seru Ardy seraya membalikkan badan.

Sesosok tubuh tua tengah berdiri tak jauh darinya. “Mbok, ngagetin aja, deh,”ujar Ardy setelah mengenali sosok yang tadi menyapanya.

Seorang wanita renta dan bertubuh pendek, pembantu rumahnya. “Maaf, Den. Mbok ndak sengaja,” kata si Mbok terkekeh memperlihatkan sebagian giginya yang masih tersisa. “Sekali lagi, mbok minta maaf ya, Den.”

Ardy tersenyum. “Sudahlah ... gak apa-apa, kok, Mbok.”

“Aden mau mandi?” tanya wanita tua itu setelah beberapa saat terdiam.

“Iya, mumpung masih pagi. Lagian, aku belum salat Subuh.”

“Mbok sediakan air hangat ya?”

“Gak usah, Mbok. Siapin sarapan pagi aja. Kalo terlambat lagi kayak kemaren, Mama bisa marah.”

“Tapi Den, kalo Nyonya sampai melihat Aden menyiapkan air panas sendiri, nanti si Mbok yang akan dimarahi,” ujar wanita tua itu ragu.

“Mbok gak usah khawatir, deh. Nanti aku sendiri yang bilang sama Mama. Nah, sekarang Mbok ke dapur saja, mumpung Mama dan Papa belum bangun,” kata Ardy pelan.

Walau masih takut dan ragu, si Mbok menurut.

“Ya Allah, anak itu begitu baik sekali. Jauh berbeda dengan kedua orangtua serta anak-anak yang lain,” gumam wanita tua itu setelah menjauh, “tapi sayang sekali .... “

Ucapan si Mbok terhenti begitu sosok Ardy muncul dari balik pintu dapur.

“Lho ... kok, malah ngelamun, sih?” tanya anak muda itu pelan disertai senyuman.

“Eh, Aden. Endak, Mbok hanya ingin istirahat sebentar sambil menunggu nasi matang,“ jawab si Mbok pura-pura sibuk.

“Mbok udah salat belum?” tanya Ardy kembali.

“Belum, Den. Nanti saja. Mbok takut, nanti Nyonya marah kalau nasinya belum matang,” kilah si Mbok ketakutan.

Ardy menggeleng. “Sudahlah, Mbok. Salat dulu sana. Biar aku yang tungguin nasinya,” kata Ardy akhirnya.

Si Mbok terperanjat. “Jangan, Den! Nanti si Mbok yang bakal kena marah Nyonya.”

“Mbok lebih takut Mama atau sama Allah? Hhmm?”

“Bukan begitu, Den. Tapi .... “

“Sudahlah. Kalo Mama marah, biar nanti aku yang ngomong. Pokoknya si Mbok tenang aja, deh, ya?”

Wanita tua itu berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk perlahan, disertai senyum getir.

“Jangan, Kak! Enak banget dia yang nyantai, sementara Kakak kerja di dapur!” seru satu suara milik seorang gadis di belakang Ardy secara tiba-tiba. “Kak Ardy pikir, dong! Emangnya kakak ini pembantu dia, apa?”

“Nola! Kamu sudah bangun rupanya.” Ardy menoleh ke arah adik perempuannya.

“Ngapain, sih, Kakak harus bantuin dia segala? Dia, kan, kerja di sini!” seru Nola kembali.

Si Mbok mengusap dada. Tiba-tiba terasa perih menyakitkan.

“Nola, enggak baik bicara seperti itu sama orang yang lebih tua dari kamu.” Ardy memegang kedua bahu Nola, lalu mengusap-usap lembut. “Walau si Mbok bekerja dan digaji sama Papa, tapi bukan berarti kita boleh memperlakukan si Mbok seperti itu, Dek.”

Ardy melanjutkan ucapannya, “Mbok juga seorang manusia. Sama seperti halnya kita. Apalagi usia beliau itu jauh lebih tua dari Kak Ardy dan kamu. Jadi sudah sepantasnya kita menghormati si Mbok.”

“Huh! Di mana-mana juga yang namanya pembantu, ya ... pembantu, Kak! Tukang kerja!” seru Nola sambil bergegas meninggalkan mereka. Wanita tua itu menunduk sedih.

“Nola!” panggil Ardy. Gadis itu tak menghiraukan.

Anak muda itu hanya bisa menarik nafas. Sementara si Mbok termenung dengan wajah masih menunduk. Dihampirinya seraya berkata pelan, “Aku mohon maaf atas sikap Nola tadi ya, Mbok. Ini semua salahku.“

“Endak, Den. Aden tak bersalah. Ini salah si Mbok sendiri, kok.”

“Enggak, ini salahku. Sekarang Mbok sembahyang dulu, ya? Mumpung Mama belum bangun,“ kata Ardy seraya memegang bahu wanita tua yang sudah puluhan tahun, mengabdi di rumah keluarga Ardy tersebut.

Si Mbok menatap wajah anak muda itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Mungkin terharu atau bisa juga dia merasa bahagia. Entahlah.

Ada tetesan bening yang keluar dari pelupuk mata tua itu. Mengalir deras menyusuri pipinya yang keriput.

Ardy mengusap air mata si Mbok penuh kasih. Tak ubahnya seperti seorang anak pada ibu tercinta.

Akhirnya si Mbok menurut juga. Tubuh tua itu pergi mengambil air wudu. Sementara Ardy berdiam di dapur, menunggu penanakan. Perih melihat sikap dan perlakuan keluarganya pada si Mbok. Sudah tua, tak juga memiliki sanak keluarga. Padahal dia sudah lama mengabdi. Tentunya telah bertumpuk pula jasa-jasa yang telah ditanamkan pada keluarga. Namun mengapa justru diperlakukan seperti itu. Apakah hanya anak muda itu saja yang masih memiliki empati terhadapnya?

Ardy merasa si Mbok mempunyai satu rahasia yang besar dan ingin sekali menceritakan semua itu padanya. Akan tetapi, seperti selalu terhalang oleh sesuatu yang begitu berat untuk melakukan hal tersebut.

Entahlah, Ardy sendiri tak pernah meminta si Mbok untuk bicara. Mungkin suatu saat nanti? Ataukah waktu juga yang akan menjawab kelak?

“Sudah matang, Den?” tanya si Mbok. Rupanya sudah selesai melaksanakan kewajiban sembahyang Subuh.

Ardy terperanjat. “Oh, Mbok. Sudah beres?” Ardy malah balik tanya tanpa menjawab pertanyaan si Mbok tadi. Lama juga duduk termenung di sana, sampai tak menyadari kehadiran si Mbok.

“Sudah. Aden sekarang mandi sana,” kata si Mbok seraya memeriksa penanakan nasi. “Terima kasih ya, Den.”

“Ya, sudah. Aku mandi dulu, deh.”

“Silakan, Den.”

Ardy bergegas ke kamar mandi, dengan rasa dingin yang menusuk tulang. Semua tak dihiraukan. Memang pagi itu begitu mengigit. Sampai air pun seperti hendak turut dibekukan.

Seusai mandi dan berwudu, Ardy langsung melaksanakan ibadah salat Subuh. Lanjut membereskan kamar tidur. Terakhir, mengenakan setelan seragam sekolah. Sambil menunggu hari terang, membuka-buka buku pelajaran. Sampai waktu tak terasa berlalu. Jarum jam hampir menunjukkan pukul enam. Bersamaan dengan itu, muncul sosok Nola di ambang pintu kamar.

Merasa ada yang memperhatikan, Ardy menoleh. “Ada apa, Dek?” tanya Ardy menggoda sang adik. Nola tersenyum. “Disuruh Mama sarapan dulu, Kak,” jawabnya. Ardy mengangkat alisnya.

Biasa!

...BERSAMBUNG ...

Bagian 2

...PERJANJIAN BERDARAH...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 2...

...------- o0o -------...

Merasa ada yang memperhatikan, Ardy menoleh. “Ada apa, Dek?” tanya Ardy menggoda sang adik. Nola tersenyum. “Disuruh Mama sarapan dulu, Kak,” jawabnya. Ardy mengangkat alisnya.

Biasa!

“Iya, sebentar ya, Tuan Putri. Hamba bereskan dulu buku pelajaran sekolah,” jawab Ardy seraya bangkit dari tempat duduk. “Biarin aja, Kak. Kan, ada si Mbok ini yang bakalan beresin,” ujar Nola sedikit protes.

“Huss, si Mbok itu, kan, sudah banyak kerjaan. Lagian ini sudah tugas Kakak sendiri, kok. Kalau Kakak bisa ngerjainnya sendiri, ngapain harus minta bantuan orang lain?” balas Ardy.

“Kakak selalu aja ngebela dia. Bodo, ah! Nola mau sarapan dulu,” seru Nola sambil berlalu. Ardy menggelengkan kepala melihat sikap adiknya tersebut. “Nola ... Nola ... kapan, sih, kamu mau berubah, Dek?” gumam Ardy sendirian. Tentu saja tak akan terdengar Nola.

Di ruang makan terdengar suara Mama yang keras, seperti sedang membentak-bentak. Ardy bergegas keluar kamar. Benar saja. Mama sedang memarahi si Mbok.

Wanita tua itu hanya bisa terdiam. Menunduk tanpa berani bicara sepatahkata pun.

Ardy terenyuh. “Ma .... “ Ardy menyela. “Apa? Kamu mau belain Tua Bangka ini lagi?” tanya Mama dengan mata membesar penuh amarah.

“Maaf, Ma. Ardy bukannya mau membela si Mbok, tapi mau jelasin sesuatu.“

“Jelasin apa? Kamu mau nyari pembantu buat gantiin dia, hah?” tanya Mama lagi sambil menudingkan telunjuk ke arah si Mbok.

Ardy melirik pada wanita tua itu. Masih menunduk lemah. Ada tetesan air mata jatuh menyusuri pipinya.

Setelah menarik napas panjang, Ardy lanjut bicara, “Ini semua kesalahan Ardy, Ma.”

“Kesalahan apa? Apa hubungannya antara kamu dengan makanan busuk ini?” tanya Mama menunjukan tempat nasi yang tengah dipegangnya. “Tadi pagi, Ardy nyuruh si Mbok nyiapin air hangat buat mandi. Mungkin karena--”

“Tidak, Nyonya. Bukan begitu,“ si Mbok memotong bicara. Buru-buru Ardy segera menanggapi, “Sudahlah, Mbok. Gak usah diperpanjang lagi. Di dapur masih ada kerjaan lain, kan? Lebih baik Mbok beresin dulu tugas itu ya?” sahut Ardy tak ingin si Mbok mengatakan hal sebenarnya tadi Subuh.

“Bohong, Ma. Kak Ardy gak nyuruh si Mbok nyiapin air. Justru yang masak di dapur tadi pagi itu Kak Ardy, Ma. Terus si Mbok enak-enakan tidur di kamarnya,” ujar Nola mengejutkan Ardy dan si Mbok.

Mama terperanjat. “Bener begitu, Ardy?” tanya Mama semakin keras.

Ardy gelagapan. Tak tahu apa yang harus diucapkan. Sementara wajah si Mbok sudah pucat pasi. Ketakutan. Khawatir jikalau majikannya itu akan berbuat hal yang tak diinginkan. “Enggak, Ma. Sama sekali gak bener," kilah Anak muda tersebut. "Nola, kamu jangan suka bohong!"

Nola malah tertawa mengejek. “Yang berbohong itu siapa? Nola atau Kakak sendiri?”

“Benar-benar memalukan! Tak sepatutnya kamu berbuat seperti itu, Ardy!” sahut Mama galak. Kalau Mama sudah bersikap seperti itu, tak ada seorang pun yang berani angkat bicara.

Nola tersenyum puas melihat kakaknya dimarahi sedemikian rupa.

“Ada apa ini pagi-pagi, kok, sudah ribut?” tanya Papa yang baru datang di antara mereka. “Ini, lho, Pa. Si Ardy sudah berani berbuat hal yang memalukan,” adu Mama sambil menatp tajam Ardy dan si Mbok, “Mulai saat ini, kita harus mengawasi anak ini. Jangan sampe banyak bergaul dengan pembantu bodoh itu!”

Nafsu makan rasanya hilang karena kejadian pagi ini. Sementara si Mbok masih berdiri di tempat semula. Belum berani beranjak sebelum majikannya menyuruh pergi. “Sudahlah. Mbok kembali ke dapur lagi, ya,” titah Ardy pelan.

Si Mbok memandang sorot mata Mama yang masih diselimuti hawa amarah. “Ya, sudah sana! Saya sudah muak dengan muka tua kamu itu!” sahut Mama ketus. Akhirnya si Mbok segera berlalu dari sana.

“Benar ... kamu berbuat itu, Dy? Jujur saja!” Papa mulai angkat bicara di antara sarapan paginya. Ardy menghela napas. Terasa sesak menggayut di dada. “Ya, Pa,” jawab Ardy perlahan.

“Kenapa kamu bohong tadi?” Mama bertanya dengan nada sinis. Ardy tak menjawab. Merasa tak enak dengan kondisi si Mbok.

“Ma, Pa, Ardy ke dapur dulu, ya?” pamit Ardy seraya beranjak tanpa menjawab pertanyaan Mama tadi.

“Jawab dulu pertanyaan Mama!”

Ardy tak mempedulikan.

“Lihat, Pa! Anak itu sudah berani bersikap seperti itu pada Mama! Dasar anak haram!” ujar Mama ketus.

“Ma, jangan bicara sembarangan. Ingat perjanjian kita dulu,” Papa mengingatkan Mama. “Masa bodoh dengan perjanjian gila itu, Pa! Aku sudah muak dengan anak itu!” gumam Mama geram.

“Bersabarlah dulu. Nanti juga kalau sudah waktunya, kita bisa menikmati semuanya tanpa anak itu, kan?” suara Papa semakin perlahan. Seakan khawatir terdengar oleh Ardy atau Nola sendiri yang duduk tak seberapa jauh dari mereka berdua.

“Perjanjian apa, sih, Ma? Pa?” tanya Nola tiba-tiba. Mama dan Papa tersentak. Keduanya saling berpandangan.

“Jangan banyak bertanya. Habiskan saja sarapan kamu itu. Kita sudah terlambat, nih,” kata Papa seakan ingin menghindari pertanyaan Nola tadi.

“Terlalu banyak rahasia di rumah ini!” seloroh Nola ketus.

Mama dan Papa buru-buru menyelesaikan sarapan. Sementara Ardy yang tadi beranjak ke dapur, menemui si Mbok yang sedang duduk termenung sendirian. Wanita tua itu tampak bersedih. Ardy menghampirinya. Dia ikut sedih melihat sosok tua itu. “Aku minta maaf atas kejadian ini, Mbok. Gara-garaku, Mama jadi marah dan Mbok terkena sasaran. Maafkan kedua orangtuaku itu ya, Mbok,“ ucap Ardy sambil mengusap bahu si Mbok. Wanita tua itu menoleh.

“Endak, Aden sama sekali ndak bersalah dan ndak perlu meminta maaf sama si Mbok. Ini semua salah si Mbok sampai Aden ikut dimarahi Nyonya,” jawab si Mbok mengusap air matanya. “Aku yang bersalah, Mbok. Aku harap, Mbok gak terlalu mempedulikan ucapan Mama tadi, ya? Bersabarlah,aku janji, selama masih ada aku di rumah ini, aku akan selalu berusaha melindungi si Mbok,” ujar Ardy kemudian.

“Jangan, Den. Jangan lakukan itu. Nanti Tuan dan Nyonya akan lebih marah lagi sama Aden. Biarlah penderitaan ini, si Mbok sendiri yang merasakan, Den.” Si Mbok tiba-tiba merasa khawatir. “Enggak, Mbok. Aku bersungguh-sungguh, kok, dengan ucapanku ini.”

“Jangan lakukan itu, Den.”

“Mbok jangan khawatir. Aku bisa jaga diri, kok,” ujar Ardy mantap. “Entahlah, aku merasa bahwa antara aku dan si Mbok, seperti terjalin satu ikatan yang erat sekali. Tapi, aku gak tahu rasa seperti apa yang kurasakan ini? Bukan hanya sekedar kasihan atau apalah gitu. Tapi--“

“Jangan, Den. Aden jangan punya rasa seperti itu. Aden dan Mbok ndak ada hubungan keluarga atau pertalian apa pun. Ndak sepantasnya Aden berlaku seperti itu pada si Mbok. Aden adalah keturunan keluarga terhormat dan sangat disegani. Sementara si Mbok, hanya seorang pembantu tua yang ndak punya apa-apa. Mbok berusaha untuk tetap bersabar dan bertahan dalam keluarga ini, karena si Mbok ndak punya tempat menitipkan badan ini. Keluarga Mbok semuanya sudah tiada,“ kata si Mbok lirih.

...BERSAMBUNG ...

Bagian 3

...PERJANJIAN BERDARAH...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 3...

...------- o0o -------...

“Jangan, Den. Aden jangan punya rasa seperti itu. Aden dan Mbok ndak ada hubungan keluarga atau pertalian apa pun. Ndak sepantasnya Aden berlaku seperti itu pada si Mbok. Aden adalah keturunan keluarga terhormat dan sangat disegani. Sementara si Mbok, hanya seorang pembantu tua yang ndak punya apa-apa. Mbok berusaha untuk tetap bersabar dan bertahan dalam keluarga ini, karena si Mbok ndak punya tempat menitipkan badan ini. Keluarga Mbok semuanya sudah tiada,“ kata si Mbok lirih.

Ardy kembali memegang bahu wanita tua itu. Mengangkatnya agar bisa berdiri berhadapan. “Walaupun antara aku dan si Mbok enggak ada hubungan darah, tapi mulai hari ini, anggaplah aku sebagai anak atau cucu Mbok sendiri, ya? Begitupun sebaliknya, aku akan menganggap Mbok ini sebagai ibu atau nenekku sendiri. Bagaimana, Mbok?” tanya Ardy tulus dan bersungguh-sungguh.

Si Mbok menatap bola mata anak majikannya itu. Setetes air mata mengalir membasahi pipi. Merasa terharu dan bahagia sekali mendengar ucapan Ardy barusan.

“Ardy adalah pengganti keluarga si Mbok yang telah tiada itu,“ ujar Ardy menegaskan.

Tak kuasa menahan rasa haru, wanita tua itu segera memeluk Ardy dengan erat. Isak tangis yang parau terdengar di antara haru birunya suasana pagi itu. “Tuhan Mahabesar. Selalu saja ada jalan lain untuk menggapai kebahagiaan. Engkau telah mengirimkan sesosok malaikat penolong hari ini pada hamba, ya Tuhan,” gumam si Mbok.

“Marilah kita bersyukur atas karunia yang telah Dia berikan ini, Mbok.”

Si Mbok mengangguk perlahan. Di saat mereka berdua tengah berpelukan, Mama dan Nola muncul di pintu dapur.

Melihat apa yang dilakukan Ardy dan si Mbok, Mama marah besar. “Ya Tuhan! Apa yang sedang kalian lakukan itu?”

Ardy dan si Mbok serentak melepaskan pelukannya.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya .... “ si Mbok ketakutan.

“Kamu sudah gila, ya, Ardy? Pagi-pagi berpelukan dengan si Tua Bangka itu? Apa kamu sudah tak waras?” tanya Mama dengan nada sinis dan mengejek. “Jangan menghina si Mbok, Ma,” jawab Ardy pelan berusaha bersabar.

“Diam kamu! Heh, wanita busuk! Apa kamu juga sudah tidak waras lagi, hah? Sudah tua bangka tapi masih doyan daun muda!”

“Hentikan, Ma.”

“Mama bilang kamu diam, Ardy! Guna-guna apa, sih, yang sudah diberikan pembantu brengsek itu sama kamu?  Sampai kamu jatuh hati sama dia?” Mama menghampiri Ardy dan si Mbok.

“Jangan sakiti si Mbok, Ma. Kasihan.” Ardy berusaha menghalangi.

“Benar, ya, dugaanku. Ternyata kamu memang sudah terkena guna-guna wanita tua dukun cabul ini?”

“Tidak, Ma. Si Mbok bukan orang seperti itu.“

“Minggir kamu, Ardy! Biar Mama hajar tua bangka ini!” Mama mendorong Ardy yang menghalangi si Mbok, tapi anak itu tetap berusaha melindunginya. “Jangan, Ma. Kalau ingin menyakiti si Mbok, lebih baik Mama pukul Ardy saja. Atau bila perlu bunuh saja Ardy, Ma!” teriak Ardy membuat Mama tercengang dengan ucapan anak itu.

“Sadar tidak kamu, hah? Apa yang membuat kamu berani membela dia dan menentang Mama?” tanya Mama geram seraya mencengkeram kerah baju Ardy.

Nola menghambur menarik baju Mama yang sudah mulai kalap. “Jangan sakiti Kak Ardy, Ma!”

Mama melepaskan cengkeramannya. “Bagus! Kalau kamu memang inginnya begitu. Sudah lama sekali aku ingin segera melenyapkan kamu dari rumah ini, Anak Haram!” bentak Mama di depan muka Ardy. Anak muda itu terperanjat mendengar ucapan mamanya barusan. Terlebih lagi si Mbok.

“Jangan, Nyonya. Jangan sakiti Den Ardy. Saya mohon, lakukan sama saya saja, Nyonya. Semua ini salah saya!” teriak si Mbok sambil bersimpuh menciumi kaki majikannya.

Sungguh biadab!

Dengan tak mengenal rasa belas kasihan, Mama menendang muka si Mbok hingga jatuh tersungkur ke belakang. Dari hidung wanita tua mengucur darah segar.

“Ya, Tuhan! Apa yang telah Mama lakukan?” Ardy memburu tubuh si Mbok.

“Mama!“ jerit Nola tak sadar, melihat kejadian itu sambil menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan.

Mama mencibirkan mulutnya. “Bagus! Guna-guna dukun cabul ini rupanya telah merasuki anak haram ini! Dengan begitu, kini aku punya alasan kuat untuk menghabisi kalian berdua, Manusia Pendosa!” sahut Mama sambil tertawa aneh.

Nola menjerit ketakutan dan segera berlari memanggil Papa.

Mama mengambil sebilah pisau dapur. Lalu diacung-acungkan diiringi tawa keras menggidikan. Seperti sedang kerasukan syetan. Ardy dan si Mbok mundur ketakutan. “Jangan lakukan itu, Ma! Sadarlah!“ teriak Ardy mengingatkan.

Tawa Mama semakin keras.

Bersamaan dengan itu, Papa muncul bersama Nola. “Tahan, Ma! Hentikan perbuatan bodohmu itu!” seru Papa lantang. Nola berlindung di belakang tubuh Papa. ketakutan.

“Biarkan aku menghabisi manusia-manusia pendosa ini! Jangan biarkan mereka hidup di atas muka bumi ini! Ha ... ha ... ha .... “

“Hentikan!”

Mama berbalik ke arah Papa. Pisau dapur yang hendak digunakan untuk menghabisi Ardy dan si Mbok, kini beralih berayun dengan cepat menancap di perut Papa. Darah memuncrat keluar dengan hebat. “Mama! Jangan!” teriak Ardy memburu tubuh mamanya.

Di saat bersamaan, tangan Mama terlebih dahulu menghantam wajah Ardy dengan keras. Tubuh anak muda itu terhempas menghantam ujung dinding dapur. Darah pun membasahi sekujur tubuh dari luka menganga di batok kepala.

“Den Ardy!” teriak si Mbok parau.

“Tidak! Tidak!”

Ardy berusaha menggapai tangan Mama, memohon untuk segera menghentikan perbuatannya.

“Den.“

“Tidak, Ma! Tidak!”

Ardy terus berteriak seperti orang kesetanan. Sementara si Mbok, perlahan, berusaha mendekati tubuh anak majikannya yang kian melemah. “Den Ardy. Sadar, Den.” Si Mbok menepuk-nepuk pipi Ardy.

Ardy membuka matanya. “Darah ... darah ... kepalaku berdarah, Mbok!” Seraya memegangi kepala dan melihat-lihat telapak tangan. “Darah ... mana darah itu?"

Si Mbok terheran-heran. “Darah apaan, Den? Aden ndak apa-apa, kok. Mungkin Aden mimpi?” kata si Mbok berusaha menyadarkan.

“Mimpi? Oh, syukurlah. Tapi benarkah tadi itu cuma mimpi? Enggak mungkin!“ Ardy memandang sekeliling.  “Astaghfirullah ... aku kesiangan! Belum sholat shubuh!”

Hatinya lega karena kejadian tadi hanya sekedar bunga tidur. Tubuh anak muda itu sampai berkeringat.

“Jam berapa sekarang, Mbok?” tanya Ardy menoleh ke arah wanita tua yang sedari tadi hanya memperhatikan sambil tersenyum. “Jam enam pagi, Den,” jawab si Mbok.

Sekali lagi dia tersenyum. Membereskan tempat tidur Ardy. Sementara anak majikannya itu segera pergi ke kamar mandi.

“Ardy sudah bangun, Mbok?” tanya Nyonya Amanda ketika pembantu itu melewati ruang tengah, di mana dia tengah duduk sambil membaca koran pagi. “Sudah, Nyonya. Den Ardy sedang mandi,” jawab si Mbok.

“Ya, sudah. Tolong siapkan sarapan pagi buat anak-anak, ya, Mbok?” kata Nyonya Amanda kembali tanpa melihat sosok pembantu tuanya itu. “Baik, Nyonya,” jawab si Mbok berlalu ke dapur.

...BERSAMBUNG ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!