Bagian 4

...PERJANJIAN BERDARAH...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 4...

...------- o0o -------...

“Ya, sudah. Tolong siapkan sarapan pagi buat anak-anak, ya, Mbok?” kata Nyonya Amanda kembali tanpa melihat sosok pembantu tuanya itu. “Baik, Nyonya,” jawab si Mbok berlalu ke dapur.

Tuan Karyadi, suami Nyonya Amanda, muncul dari kamar. Laki-laki setengah baya itu sudah rapih dengan pakaian kerja. “Ada berita apa pagi ini, Ma?” tanyanya melihat sang istri sedang membaca koran. “Ya, biasalah. Banjir, demonstrasi, tawuran, dan politik. Benar-benar membosankan,” jawab Nyonya Amanda setengah malas menjawab pertanyaan Tuan Karyadi tadi.

“Bagaimana dasiku? Sudah rapih, 'kan?” Tuan Karyadi membetulkan letak dasi yang melingkar.

Nyonya Amanda meletakan koran. Kemudian beralih memperhatikan suaminya. “Hari ini  Papa pasti sibuk lagi ya?  Pulangnya malam lagi, kan?” tanya Nyonya Amanda seraya menghampiri Tuan Karyadi, membantu merapihkan dasi. “Hari ini ada rapat dengan kolega Papa dari Jerman. Mungkin akan berlanjut acara makan malam dengan tamu Papa itu.”

“Selalu begitu? Kapan, sih, Papa tidak sibuknya? Sekali-kali cuti dong, Pa. Kesehatanmu, kan, lebih penting,” Nyonya Amanda mencoba menasehati. “Semua yang Papa lakukan, kan, demi keluarga juga? Ya, buat Mama dan anak-anak.”

“Tapi kalau keadaannya begini terus, Mama takut nanti Papa jatuh sakit.” Nyonya Amanda menatap mata suaminya.

“Nanti Papa usahakan, deh, mengambil cuti.”

“Janji?”

“Papa usahakan.”

“Harus!”

“Iya, deh! Demi Mama.“

“Cuma aku?”

“Anak-anak juga, dong.”

Nyonya Amanda tersenyum dan mengecup pipi suaminya.

“Mama ini seperti anak muda saja,” ujar Tuan Karyadi membalas senyuman istri. “Lho, memangnya tak boleh?” tanya Nyonya Amanda.

“Tentu saja itu yang Papa harapkan setiap hari, Sayang.”

Nyonya Amanda mencubit kecil lengan Tuan Karyadi, lalu keduanya segera beranjak menuju ruang makan.

Sementara Ardy sudah selesai mempersiapkan diri. Sebentar kemudian, anak muda itu sudah ikut bergabung bersama keluarga menikmati sarapan.

Hari itu semuanya terasa begitu indah. Suasana rumah yang penuh dengan kedamaian.

“Ayo Nola, Rezky, Ardy. Habiskan makanannya segera. Sudah siang, nih. Nanti kalian terlambat ke sekolah, lho,” ujar Tuan Karyadi pada anak-anak.

“Ardy berangkat dulu, Ma,” kata Ardy berpamitan sambil mencium kedua pipi Nyonya Amanda. Diikuti kedua adiknya, Nola dan Rezky.

“Hati-hati di sekolah ya, Sayang,” ujar Nyonya Amanda.

Tuan Karyadi beranjak dari tempat duduk. “Berangkat dulu, ya, Ma.”

“Pulangnya jangan terlalu malam, Pa.”

“Aku usahakan.“

Tuan Karyadi mengecup pipi sang istri, lalu melangkah ke depan rumah, diantar Nyonya Amanda kemudian.

“Ayo, dong, Pa. Sudah telat, nih,” teriak si bungsu Rezky dengan suara manja di dalam mobil Mercedes Benz. Tuan Karyadi tersenyum melihat tingkahnya itu. “Sabar, Sayang. Papa juga cepetan, nih.” Tuan Karyadi membuka pintu depan kendaraan dan segera masuk ke dalam. Setelah semuanya siap, Mang Sapri, sopir pribadi keluarga itu segera menjalankan kendaraan.

“Daaahhh, Mama!” Rezky dan Nola melambaikan tangan pada Nyonya Amanda yang berdiri di depan rumah. Wanita setengah baya itu membalas diiringi senyuman.

Perlahan sedan mewah itu meninggalkan halaman rumah mewah dan megah bagai istana kerajaan. Lalu menghilang balik di tikungan jalan.

Nyonya Amanda kembali masuk ke dalam rumah. Ketika kembali ke ruangan makan, keadaan sudah bersih dan rapih. Mbok Inah telah membereskan bekas sarapan tadi. Nyonya Amanda mencari sosok pembantu tuanya, “Mbok.“

Mbok Inah yang sedang mencuci piring bekas sarapan keluarga majikannya, datang menghampiri “Nyonya manggil saya?” tanya Mbok Inah tergopoh-gopoh.

“Persediaan di dapur sudah habis, ya, Mbok? Hari ini, Mbok mau pergi ke pasar, kan?”

“Iya, Nya.”

“Ini daftar belanjaan yang harus dibeli. Ini ... uangnya,” Nyonya Amanda menyerahkan secarik kertas dan lembaran uang pada Mbok Inah. “Pulangnya naik taksi saja, ya? Kalau kurang, nanti di bayar sesampai di rumah.”

“Baik, Nya.”

“Ajak sekalian Mang Kurdi,” lanjut Nyonya Amanda. Maksudnya Mang Kurdi tukang kebun keluarga.

“Kan, biasanya juga sama Mang Kurdi, Nya.”

“O, ya? Kok, aku sampai lupa, ya?”

“Tapi .... “

“Apalagi?”

“Saya ingin bicara sebentar dengan Nyonya.”

“Bicara apa?”

“Anu ... Nyonya.“

“Bicara saja.”

Pembantu tua itu menarik napasnya sebentar. Nyonya Amanda memperhatikan raut muka Mbok Inah yang tertunduk, seperti berat hati untuk mengatakan maksud hatinya. “Bicara apa, Mbok?” tanya Nyonya Amanda kembali.

Pembantu rumah tangga yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Tuan Karyadi itu mengangkat wajah. Tak berani menatap mata majikannya itu. “Saya punya seorang anak perempuan. Dia ingin ikut kerja di sini juga. Kasihan, sudah lama menganggur di kampung. Lagipula, saya sering agak kerepotan kalau kerja sendirian, Nya. Maklumlah, sudah tua, mungkin?” kata Mbok Inah terbata-bata.

Ada rasa malu yang menghinggapi untuk mengatakan semuanya.

“Berapa usia anak Mbok itu?”

“Baru dua puluh lima tahun, Nyonya.”

“Sudah menikah?”

“Janda tanpa anak, Nya. Sudah lama suaminya meninggalkan dia tanpa ada kabar sama sekali,” jawab Mbok Inah pelan. “Kasihan sekali. Sudah lama suami anak Mbok itu pergi?” tanya Nyonya Amanda kembali. Rupanya agak tertarik dengan cerita tentang anaknya Mbok Inah tersebut.

“Kurang lebih ... sudah lima tahunan, Nyonya,” jawab Mbok Inah lirih. Nyonya Amanda mengangkat alisnya. Dramatis! Diusia semuda itu sudah menyandang status janda.

“Bagaimana, Nyonya?” tanya Mbok Inah kembali sambil tetap menunduk, malu. “Nanti aku bicarakan dulu dengan suamiku, ya? Aku tak berani memutuskan sesuatu tanpa persetujuan beliau. Tunggu saja kabar selanjutnya, ya?” kata Nyonya Amanda akhirnya.

Mbok Inah menarik napas “Baiklah kalau begitu. Saya permisi mau ke pasar dulu, Nyonya,” ujar Mbok Inah berpamitan.

Nyonya Amanda bergegas meninggalkan pembantunyam Sebentar-sebentar wanita paruh baya itu terlihat memijit-mijit kening sambil meringis kesakitan.

“Ya, Tuhan! Penyakit apa yang sedang kuderita ini?” gumam Nyonya Amanda. Pandangannya mulai berkunang-kunang.

Beberapa hari ini, Nyonya Amanda sering merasakan sakit di kepala. Rasa pusing disertai pandangan yang mengabur. Dulu dikira hanya sekadar sakit kepala biasa. Walaupun sudah minum obat, rasa sakit itu tak kunjung sirna. Anak dan suaminya belum mengetahui hal itu. Khawatir, mereka akan merasa sedih dan panik.

Nyonya Amanda berjalan sempoyongan menuju kamar. Setelah sampai di dalam, segera membaringkan diri di atas kasur sambil meringis. Sementara dari ruang tengah, Mbok Inah terus memperhatikan majikan berjalan terseok-seok.

Setelah sosoknya hilang di balik pintu kamar, barulah pembantu tua itu segera berlalu dari sana.

Nyonya Amanda masih terus meringis kesakitan. Perlahan-lahan pandangannya mulai mengabur. Sampai akhirnya, wanita itu tak sadarkan diri di atas pembaringan. Siapa pun yang melihat kondisi Nyonya Amanda seperti itu, pasti mengira bahwa wanita itu tengah tertidur pulas. Padahal sebenarnya tidak.

...BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

Ganuwa Gunawan

Ganuwa Gunawan

tpi kok kliatan nya baik itu s nyonya

2023-01-06

0

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

𝓶𝓪𝓴𝓲𝓷 𝓹𝓮𝓷𝓪𝓼𝓪𝓻𝓪𝓷 𝓫𝓪𝓷𝓰𝓮𝓽 𝓬𝓾𝔂🤔🤔🤔🤔

2022-11-08

0

Heraherawati

Heraherawati

msh setia

2022-11-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!