Cinta Untuk Ameena
Malam hari, di hotel berbintang di kota B, Ameena Halim tampak sangat cantik dengan balutan gaun panjang berwarna khaki yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Wajah cantiknya dirias natural dengan tataan rambut dibiarkan terurai, membuat penampilannya sangat mewah dan elegan.
"Kakak, ayo! Kita harus segera keluar," ajak sang adik—Arseela—yang baru berusia 17 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah atas. Gadis cantik itu terus menarik tangan kakaknya agar segera keluar dari kamar hotel.
"Mama bilang, kita jangan menunggunya. Segera mulai saja pesta ulang tahunmu agar para tamu undangan tidak bosan karena terlalu lama menunggu," tambah Arseela lagi sesuai dengan apa yang ibunya katakan tadi di telepon.
Namun ... itu membuat Ameena kecewa dan tidak puas. Ia berharap ayah dan ibunya bisa hadir dalam perayaan pesta ulang tahunnya yang ke-23 ini.
"Kenapa Mama dan Papa pergi mengurus bisnis di luar kota, sedangkan putri sulungnya sedang berulang tahun? Ini sangat tidak adil, kan?" gerutu Ameena pada sang adik. Ia masih sangat kesal dengan kenyataan itu.
Walaupun pesta ulang tahun ini disiapkan oleh ibunya, namun Ameena tetap tidak senang jika mereka tidak ikut hadir dan memberinya selamat. Ini rasanya bagai sayur tanpa garam, kurang enak, kurang sedap, merayakan pesta ulah tahun tanpa dihadiri oleh ayah dan ibunya.
"Sudahlah! Kakak jangan seperti ini. Satu jam lagi, Mama dan Papa akan segera tiba, kok!" ucap Arseela lagi, mencoba menghibur kakaknya yang sedang kesal.
"Ayolah!" ajaknya lagi.
Lalu keduanya keluar dari kamar hotel dan berjalan menuju aula—tempat acara—yang tidak jauh dari kamar mereka.
Di pesta ulang tahun yang sangat meriah ini, selain rekan dan teman Ameena, ada juga beberapa orang dari kalangan atas yang ikut menghadiri acara tersebut. Mereka diundang langsung oleh Ibu Amarita dan juga Tuan Halim atas perayaan ulang tahun putri mereka. Itu membuat pesta ini semakin meriah dan seru.
Mereka semua mulai menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk Ameena diiringi suara musik. Setelah itu, Ameena meniup semua lilin-lilin yang ada di atas bolu setelah memanjatkan satu doa yang sangat spesial.
"Yeyyyyyy!!!"
Prok! Prok! Prok!
Semuanya bersorak dan bertepuk tangan untuk Ameena.
"Sekarang, silahkan Nona Ameena potong kuenya. Berikan potongan pertama pada orang yang paling spesial!" ucap pembawa acara dengan bersemangat.
Ameena pun segera memotong kue ulang tahunnya yang dibantu oleh sang adik karena bolu ulang tahun itu terlalu besar dan tinggi.
Baru juga menggerakkan pisau panjang dari puncak atas ke bawah, tiba-tiba paman pertamanya—Sadam—berteriak histeris membuat semua orang yang ada di sana ikut terkejut dan panik.
"Gawat! Gawat! Kak Halim mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak truk. Sekarang Kak Halim dan Kak Amarita sedang dilarikan ke rumah sakit. Katanya, kondisinya sangat parah."
"Hey, apa yang kau katakan?" teriak Lusi—tante Ameena—menepis semua ucapan buruk Sadam tentang kakaknya. "Jangan mengada-ngada. Kita ini sedang berpesta. Kau jangan mendoakan Kak Halim seperti itu!"
"Lusi, Aku tidak mengada-ngada. Baru saja polisi menghubungiku dan meminta pihak keluarga untuk segera ke sana!" balas Sadam, masih dengan serius menjelaskan pada adiknya—Lusi. Ekspresinya pun terlihat sangat tegang dan penuh ketakutan.
Mendengar hal itu, semua orang yang tadi sedang bersorak pun segera terdiam. Mereka mulai berbisik-bisik membicarakan apa yang terjadi pada Tuan Halim.
"Ayo cepat, kita harus segera pergi ke lokasi untuk melihat Kak Halim dan Kak Amarita!" ajak Sadam pada Lusi.
Kakak beradik itu segera pergi meninggalkan pesta ulang tahun keponakannya dengan terburu-buru.
"Kami ikut!"
Istri Sadam dan anak-anaknya pun segera ikut pergi bersama Sadam dan Lusi melihat keadaan Tuan Halim dan istrinya. Tinggallah Ameena dan sang adik di aula hotel tersebut. Mereka seolah tidak dipedulikan oleh paman dan tantenya, juga tidak diajak pergi melihat ke lokasi kecelakaan. Padahal, yang mengalami kecelakaan tersebut adalah ayah dan ibunya.
Setelah kepergian mereka, suasana di pesta ulang itu menjadi kacau. Semua orang mulai bergosip dan mencari tahu lewat berita di internet.
Benar saja, berita itu sangat cepat menyebar. Di internet sudah banyak berita tentang kecelakaan yang terjadi di jalan tol Kota C yang melibatkan petinggi perusahaan Halim Grup dan istrinya.
"Apakah ini benar?"
"Tuan dan Nyonya Halim mengalami kecelakaan?"
"Diduga, kecelakaan terjadi karena rem mobil yang mereka tumpangi blong, sehingga menabrak truk dari arah berlawanan."
"Sang sopir berhasil kabur, dan dinyatakan selamat dari kecelakaan."
"Mengapa ini bisa terjadi? Apakah sang sopir sengaja melakukannya?"
"Benar juga!"
"Sebelum truk itu menabrak mobil yang ditumpangi oleh Tuan Halim, sang sopir sudah loncat dari mobil! Bagaimana bisa dia punya kesempatan kabur ketika mobil itu masih melaju kencang. Itu sangat aneh!"
Ketika semua orang sedang sibuk membicarakan hal itu, tiba-tiba bolu tinggi dan besar yang ada di depan mereka terjatuh dengan suara yang cukup keras. Lalu, terdengar suara teriakan seorang gadis.
"Aaaaaa, Kakak! Kakak! Tolong! Tolong kakak saya!" teriak Arseela dengan histeris.
Arseela segera berjongkok di lantai, memeluk tubuh Ameena—yang pingsan—dengan tangisan pilu penuh ketakutan.
"Uuaaa, Kakak! Bangun, Kaaaaa!"
Baru saja mendengar kabar bahwa ayah dan ibunya mengalami kecelakaan. Sekarang, kakaknya tiba-tiba pingsan hingga berbaring di lantai. Arseela sangat panik dan ketakutan.
Pesta ulang tahun yang tadinya ramai, kini berubah menjadi kacau.
Untuk menghentikan kekacauan ini, pembawa segera menghentikan acara ulang tahun dan meminta semua tamu undangan untuk segera meninggalkan tempat ini.
Tinggallah beberapa orang di sana.
Tiba-tiba, dari arah tengah aula hotel, berjalan seorang pria tampan dan gagah menghampiri Arseela. Pria itu berjongkok dan melihat Ameena.
"Nona, tolong minggir. Kita harus segera membawa Nona Ameena untuk istirahat. Mungkin, dia pingsan karena syok mendengar kabar kecelakaan Tuan Halim," ucap pria tinggi dan tampan yang menjadi tamu undangan di sana.
Bukannya pergi meninggalkan tempat acara, pria itu malah menghampiri Ameena dan meminta Arseela untuk menyingkir.
"Uuaaaa, Kakak! Uaaaa! Kakak, bangun, Kak!" Arseela masih duduk di lantai sambil menangis. Kepalanya sangat pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas. Untuk berdiri pun rasanya sangat sulit.
"Nona, di mana kamar Anda? kita harus segera membawanya ke kamar untuk istirahat," tanya pria itu pada Arseela. Namun gadis itu malah menangis semakin keras.
Tanpa menunggu lagi, pria itu segera mengangkat tubuh ramping Ameena, lalu membawanya keluar dari aula hotel.
Di lorong hotel lantai 3, pria itu berjalan dengan langkah cepat menuju salah satu pintu yang ada di ujung. Di belakangnya ada seorang pria yang mengikutinya, juga Arseela yang masih menangis.
"Tuan! Apa Anda yakin ingin membawa nona ini ke kamarmu?" tanya orang yang ada di belakangnya. Ia terlihat ragu dan sedikit cemas.
"Enh! Tentu saja!" jawab pria itu dengan tegas.
Orang itu pun mengerti. Ia segera mengeluarkan kunci kamar, lalu membuka pintu.
"Silahkan, Tuan!"
Melihat kakaknya dibawa oleh pria asing masuk ke dalam kamar hotel, Arseela segera menghentikan. Ia menarik ujung pakaian pria itu dari belakang, lalu bertanya dengan keras.
"Apa yang Anda lakukan, Tuan? Apa Anda ingin membawa kakak saya ke dalam kamar Anda?"
Pria itu menghentikan langkah kakinya sebentar. Kedua tangannya masih memegang tubuh Ameena.
"Tadi aku sudah bertanya di mana kamar kalian, tapi kau tidak menjawab. Sekarang, biarkan kakakmu beristirahat di sini. Kau juga boleh ikut masuk jika mau!"
"Hah?"
Lalu pria itu melanjutkan langkah kakinya masuk ke dalam kamar dan membaringkan Ameena di atas tempat tidurnya.
"Nicholas, panggil Dokter Cha kemari!"
"Baik,Tuan!" Nicholas pun segera pergi keluar untuk menghubungi Dokter Cha—dokter pribadi pria itu.
Setelah beberapa menit berada di dalam kamar dan memastikan Ameena berbaring dengan baik di atas tempat tidurnya, pria itupun pergi keluar.
Sepuluh menit kemudian, Dokter Cha datang lalu memeriksa Ameena tanpa adanya Nicholas dan pria itu. Hanya ada Arseela saja yang sedari tadi menemani kakaknya.
"Bagaimana, Dok? Apakah kakak saya baik-baik saja?" tanya Arseela dengan penuh rasa khawatir.
Jika sudah membaik, Arseela ingin membawa Ameena pergi ke kamarnya. Ia tidak ingin terus berada di dalam kamar pria itu.
"Tidak apa-apa, tekanan darahnya normal dan detak jantungnya pun normal. Kakakmu hanya butuh istirahat saja. Nanti juga akan sadar," jelas Dokter Cha sambil membereskan perlengkapan yang dibawanya.
"O, iya! Tadi, Tuan Andrew berpesan, kalian masih bisa tinggal di kamar ini sampai kondisi nona ini membaik!" tambahnya lagi sesuai dengan pesan dari Andrew.
"Oh! Baik! Terima kasih banyak, Dok!" Arseela pun mengerti.
"Kalau begitu, saya permisi dulu!" ucap Dokter Cha. Lalu dia pergi keluar setelah menitipkan beberapa vitamin dan obat untuk Ameena.
Baru saja dokter itu pergi, tiba-tiba Ameena terbangun karena suara pintu yang ditutup. Tatapan matanya penuh waspada menatap sekeliling kamar yang nampak asing.
"Kita di mana?" tanyanya pada sang adik sambil bangkit dan duduk di atas tempat tidur.
Walau desain kamar ini sama persis desain kamarnya yang ada di sebelah, namun Ameena bisa merasakannya. Ini kamar asing milik orang lain.
"Kakak, tadi Kakak pingsan, lalu ada seseorang yang mem—" Baru saja Arseela ingin menjelaskan tentang kejadian tadi dan tentang pemilik kamar ini, namun tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.
"Paman Sadam!" gumamnya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
Tanpa membuang waktunya lagi, Arseela segera mengangkat panggilan tersebut. Berharap akan ada kabar baik tentang ayah dan ibunya.
"Halo, Paman! Kalian pergi ke mana? Mengapa tidak mengajakku dan Kakak? Bagaimana keadaan Mama dan Papa, sekarang? Apa mereka baik-baik saja?"
Hening beberapa saat sebelum akhirnya Sadam membalas dengan perlahan.
"Kak Halim dan Kak Amarita tidak tertolong. Kami akan segera membawanya ke rumah duka di pusat kota."
"Kau dan kakakmu, segera pergilah ke rumah duka Bumi Indah. Tunggu kami di sana. Masih banyak yang harus kami urus di rumah sakit. Maaf, tadi Paman tidak mengajak kalian!" ucap Sadam lagi, masih dengan pelan. Terdengar bahwa dia sangat terpukul dan kecewa atas kejadian ini.
"Hah? Apa? Apa yang kau katakan, Paman? Halo! Paman? Kau jangan bercanda! Halo, Paman?"
Sambungan telepon sudah ditutup. Arseela hanya berbicara sendiri tanpa ada yang mendengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Spurwani Nci
mampir bagus ga ya
2022-11-12
0
Nur Hayati
aku mampir thor 😍
2022-11-07
1
Ephraim 25
bagai sayur tanpa garam, kurang enak kurang sedap. Untuk itu .....
2022-11-02
0