3 Presdir Muda dan Cantik

Di kafe yang ada di pusat kota, Ameena duduk dan bersandar di sebuah kursi dengan tangan yang dilipat ke depan. Matanya menatap Erwin yang duduk di depannya dengan tajam.

"Jadi, maksudmu, Paman mengubah semua furniture di apartemen Ini House milik Podra Grup dengan furniture kualitas rendah? Padahal, dalam surat perjanjian kerjasama tertulis bahwa semua furniture di tiap unit apartemen Ini House haruslah kualitas tinggi? Begitu, kan?" tanya Ameena, mulai mengerti dengan duduk permasalahan antara perusahaan ayahnya dengan perusahaan Podra Grup.

"Tepat sekali, Nona!" Erwin menjelaskan lagi, "Oleh karena itu, perusahaan kita digugat oleh perusahaan mereka dengan tuduhan penipuan."

"Nona, Anda juga bisa menggugat Tuan Sadam dan Nyonya Lusi atas tuduhan penggelapan dana proyek!" bisik Erwin dengan menahan rasa kesalnya. "Karena, sisa dana yang diterima tidak masuk ke perusahaan. Namun, malah masuk ke rekening Tuan Sadam dan Nyonya Lusi!"

"Apa?" Ameena terkejut mendengarnya. "Me-mereka melakukan hal itu?"

"Ya, Nona!"

Bukan hanya berbuat curang dengan mengubah furniture dari kualitas tinggi ke kualitas jelek, tapi juga mereka mengambil sisa uangnya ke rekening masing-masing.

Berapa miliar kah kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan? Sedangkan apartemen di Ini House ada ratusan unit.

"Paman Sadam dan Tante Lusi sungguh keterlaluan! Kalau begini terus, perusahaan Papa bisa bangkrut!"

Ameena sangat marah dengan kinerja paman dan tantenya di perusahaan milik ayahnya. Padahal, dua bulan yang lalu, Sadam meminta Ameena untuk bersantai dan duduk manis di rumah. Selaku pamannya, Sadam akan mengurus perusahaan dan akan mengirim uang tiap bulannya ke rekening Ameena.

Tapi sekarang, Sadam dan Lusi malah berbuat curang.

"Jadi Nona, segeralah pergi ke kantor dan pimpinlah perusahaan Halim dengan baik." Erwin menyarankan dengan hati tulus. "Saya berbicara seperti ini bukan karena ingin diangkat lagi sebagai sekretaris di perusahaan Halim, tapi ... saya tidak tega melihat perusahaan hancur secara perlahan!"

Itulah yang Erwin pikirkan. Erwin tidak ingin Ameena dan Arseela ikut terpuruk karena ulah paman dan tante mereka.

Jangan sampai, orang tua sudah tidak ada dan harta pun ludes karena keserakahan paman dan tantenya.

"Baik! Besok, aku akan segera pergi ke perusahaan dan menggantikan posisi Paman sebagai direktur! Dan kau, kembailah ke posisimu. Aku tidak bisa bekerja dengan orang lain, apalagi dengan Tante Lusi. Itu sama saja dengan bohong!"

"Emh, ya! Tentu Nona! Sekarang, saya akan menyiapkan semua berkas untuk Anda tinjau besok!"

"Oke!"

***

Pagi-pagi sekali, Ameena sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia merias sedikit wajahnya agar terlihat segar dan cantik. Rambut coklat panjangnya ia ikat tinggi ke atas, membuat tampilannya semakin sempurna.

"Kak! Kakak mau pergi ke mana dengan penampilan seperti ini?" tanya Arseela dengan heran.

Ia menatap sang kakak dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Penampilan Ameena sangat cantik dan elegan. Tidak ada lagi wanita kucel dan kusam seperti yang terlihat selama dua bulan ini. Kini, kakaknya sudah kembali menjadi Nona Ameena yang cantik.

"Tentu saja pergi ke kantor! Sudah sepantasnya Kakak mengantikan posisi Papa di kantor, kan?" balas Ameena dengan santai. Ia mengambil tas kecil berwarna putih, lalu memakainya.

Tin! Tin!

Terdengar suara klakson mobil dari halaman rumah. Ameena bergegas keluar dari kamar.

"Dadah, Arseela! Kakak berangkat dulu, ya!" Ameena melambaikan tangan pada sang adik. Lalu pergi keluar dari kamar.

"Eh, Kak—"

***

Di lantai bawah, Ameena berpamitan pada Bibi Linda—asisten rumah tangga—yang sudah mengabdikan dirinya selama 20 tahun di rumah ini. Tanpa sarapan, Ameena pergi ke kantor bersama dengan Sekretaris Erwin.

"Bagaimana, Nona! Apa Anda sudah siap menjadi presdir di perusahaan Halim Grup?" tanya Erwin yang sedang mengemudikan mobilnya di baris depan.

Ameena yang duduk di kursi belakang segera mengangguk, lalu tersenyum. "Tentu saja!"

Ia berkata dengan penuh semangat, "Kita akan menyingkirkan semua kutu yang bersarang di perusahaan! Jangan membiarkan kutu-kutu itu hidup dan berkembang lalu menggerogoti daging di Halim Grup!"

"Hehe! Ya, Nona!"

Dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Erwin sudah sampai di tempat parkir perusahaan. Ameena turun dari dalam mobil setelah sang sekretaris membuka pintu untuknya.

"Ayo, Nona!"

"Enh! Terima kasih!" Ameena mengangguk.

Ia berjalan masuk ke dalam gedung perusahaan dengan penuh rasa percaya diri. Langkah kakinya sangat mantap berjalan hingga terdengar suara hentakan kaki dengan sepatu hak tingginya.

Para karyawan yang baru datang pun terpukau melihat penampilan cantik Ameena. Mereka tidak tahu bahwa Ameena ini akan menjadi bos baru mereka.

DING!

Pintu lift terbuka, Ameena dan Erwin segera masuk dan naik ke lantai paling atas menuju ruang kerja presdir.

"Nona, sepertinya Anda belum sarapan! Mau saya siapkan makanan dari kantin kantor?" tanya Erwin. Tahu bahwa bos barunya ini belum makan apapun.

"Jangan makanan, tapi teh manis saja," tolak Ameena dengan segera. Ia melanjutkan, "Tolong hubungi pihak Podra, minta mereka untuk bertemu denganku jam sembilan nanti. Kita akan menyelesaikan kekacauan ini!"

"Baik, Nona!"

DING!

Pintu lift terbuka. Ameena segera masuk ke ruangan yang dulu ditempati oleh ayahnya. Sedangkan Erwin... dia pergi ke ruangan samping untuk mengambil air minum untuk Ameena.

Di ruangan yang sangat luas dan nyaman dengan sirkulasi udara yang sangat baik, juga pencahayaan yang sangat terang, Ameena masuk dan duduk di kursi kebesaran milik ayahnya. Kursi itu masih terasa empuk dan nyaman, dan desain ruangan ini pun masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah.

Ini adalah ruang kerja yang dulu sering dipakai oleh ayahnya untuk bekerja. Ameena pun sering datang kemari dan membantu beberapa pekerjaan ayahnya setelah dirinya lulus dari Universitas di luar negeri—satu tahun yang lalu. Namun ternyata, hal seperti itu tidak berjalan lama, ayahnya mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal.

Tiba-tiba hatinya terasa sakit lagi. Air mata yang sudah mulai mengering, kini keluar lagi tanpa bisa ditahan. Rasa bersalah yang selalu ia rasakan, kini terasa lagi. Kematian ayah dan ibunya tepat di hari ulang tahunnya membuat hidupnya hancur. Mau tertawa pun rasanya sangat sulit.

"Papa, aku harus bagaimana?" lirihnya dengan rasa sesak di dada. Rasanya, dirinya ingin menyerah dan mundur saja.

Namun, jika dirinya menyerah, bagaimana dengan nasib para karyawan perusahaan Halim? Akan ada banyak orang yang dirugikan jika sampai perusahaan ini hancur.

Ketika masih menangis, tiba-tiba pintu ruangan dibuka. Ameena segera menegakkan punggungnya, lalu mengambil tisu untuk menyeka air mata di wajah.

"Eh, Nona!" Langkah Erwin seketika melambat. Ia melihat bos kecilnya menangis di meja kebanggaan ayahnya dulu.

"Apa ada sesuatu yang membuat Anda tidak nyaman, Nona? Biar saya ganti semua furniture yang ada di ruangan ini, juga cat dindingnya agar Anda lebih nyaman!"

"Emh, ya! Sepertinya itu ide bagus!" Ameena membuang tisu bekas ke tong sampang. Mencoba untuk tetap kuat di depan Erwin.

"Sebaiknya Anda minum dulu!" Erwin meletakkan gelas berisi teh manis hangat di atas meja Ameena. Lalu ia mundur lagi ke belakang.

"Saya akan menghubungi pihak Podra dan meminta perwakilan dari mereka untuk bertemu dengan Anda jam sembilan pagi di restoran Staim Lais, bagaimana? Kebetulan Anda belum makan, Nona!" tanya Erwin menginformasikan tempat bertemu mereka.

Tempat itu sangat dekat dengan perusahaan Podra Grup yang ada di sebelah utara kota ini. Juga memudahkan perwakilan dari mereka untuk bertemu dengan Ameena, dan tidak ada kesempatan untuk menolak. Erwin sudah memikirkannya dengan sangat matang.

"Oke, tidak masalah!"

"Kalau begitu saya akan segera menghubungi mereka!" Erwin pun keluar dari ruangan itu.

Pukul delapan pagi, seseorang membuka pintu ruang presdir sambil tertawa nyaring. Sadam dan Lusi sedang berbincang dan tidak memperhatikan seseorang yang ada di dalam ruangan itu.

"Eh! Ameena?"

Tiba-tiba tawa mereka terhenti ketika melihat Ameena duduk di kursi kebesarannya sambil mengetik sesuatu di papan keyboard. Mata Ameena terfokus pada layar komputer di depannya sehingga tidak melihat ekspresi wajah terkejut paman dan tantenya.

Menyadari itu Ameena, Sadam segera mendekat. Ia bertanya dengan kaku, "A-Ameena, apa kau mencari Paman?"

"Mengapa tidak menelepon saja jika ada perlu pada Paman? Tidak perlu kau yang datang kemari!" tambahnya lagi, masih dengan pemikirannya sendiri.

Ameena segera menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap Sadam dan Lusi silih berganti.

Ia bertanya dengan dingin, "Siapa yang mencari Paman?"

"Paman, Tante ...." Ameena bangkit berdiri, merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan, lalu berjalan menghampiri Sadam dan Lusi.

"Mulai sekarang, kalian tidak perlu lagi datang ke kantor ini. Masalah pekerjaan di perusahaan, biar aku sendiri yang urus!" ucap Ameena dengan amarah yang sedikit ditahan.

Walau bagaimanapun, Sadam dan Lusi adalah adik kandung dari ayahnya. Tidak sepantasnya Ameena marah lalu berteriak pada mereka. Itu rasanya tidak sopan.

"Ameena, apa yang kau katakan? Mengapa kau mengusir kami?" tanya Sadam, tidak mengerti dengan keputusan keponakannya itu. Juga tidak setuju dengan pemecatan dirinya dan sang adik di perusahaan ini.

"Sayang, bicara baik-baik. Ada apa ini?" Lusi segera mendekat, lalu meraih tangan Ameena. Ia menarik tangan Ameena dan mengajaknya untuk duduk di sofa.

Sadam pun ikut duduk.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu? Apa ada yang salah?" tanya Lusi, mencoba untuk tenang dan berkata manis pada Ameena.

Walau berkata manis, namun Ameena tidak tersentuh sedikitpun. Ia segera bangkit berdiri, lalu berjalan ke mejanya untuk mengambil berkas yang sudah disusun oleh Erwin.

"Ini!" Ameena menyerahkan berkas itu pada Sadam. Lalu ia pun duduk kembali di sofa. "Ini adalah catatan pengeluaran barang masuk dan keluar. Juga catatan uang masuk dan keluar."

"Di sini tertulis, bahwa rekening Paman dan Tante menerima dana yang cukup besar dari perusahaan pada tanggal 9 Mei kemarin. Juga ada perbedaan selisih antara barang yang keluar dengan jumlah uang yang masuk. Setelah dicek lagi, ternyata Paman dan Tantelah pelakunya." Ameena menjelaskan dengan singkat, namun sangat jelas.

"Selain itu, kalian juga menipu perusahaan Podra dengan memberi mereka barang jelek. Sedangkan di surat kontrak kerjasama tertulis bahwa kita harus memberi barang dengan kualitas terbaik!" jelasnya lagi sambil menatap Sadam.

"Maaf Paman, Tante, jika tidak ingin terlibat dalam masalah ini sebaiknya kalian pergi. Biar aku yang selesaikan masalah ini dan membereskan semua kekacauan yang telah kalian buat!"

"Si-siapa yang memberitahumu tentang masalah ini?" tanya Sadam, mulai panik dengan sikap tegas Ameena. "Apa Ragil yang melaporkan ini kepadamu?"

Ragil adalah salah satu staf keuangan di perusahaan ini. Jika bukan dia yang memberitahu Ameena tentang uang masuk dan keluar, lalu siapa lagi?

"Bukan!" Ameena menjawab dengan tegas. "Bukan dia yang memberitahuku!"

"Sudahlah!" Ameena tak peduli. "Siapapun itu, yang jelas, Paman dan Tante sudah menggelapkan dana perusahaan dan berbuat curang. Jika tidak ingin ditindaklanjuti secara hukum olehku, lebih baik kalian mundur dari perusahaan!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!