Malam hari, di hotel berbintang di kota B, Ameena Halim tampak sangat cantik dengan balutan gaun panjang berwarna khaki yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Wajah cantiknya dirias natural dengan tataan rambut dibiarkan terurai, membuat penampilannya sangat mewah dan elegan.
"Kakak, ayo! Kita harus segera keluar," ajak sang adik—Arseela—yang baru berusia 17 tahun dan duduk di bangku sekolah menengah atas. Gadis cantik itu terus menarik tangan kakaknya agar segera keluar dari kamar hotel.
"Mama bilang, kita jangan menunggunya. Segera mulai saja pesta ulang tahunmu agar para tamu undangan tidak bosan karena terlalu lama menunggu," tambah Arseela lagi sesuai dengan apa yang ibunya katakan tadi di telepon.
Namun ... itu membuat Ameena kecewa dan tidak puas. Ia berharap ayah dan ibunya bisa hadir dalam perayaan pesta ulang tahunnya yang ke-23 ini.
"Kenapa Mama dan Papa pergi mengurus bisnis di luar kota, sedangkan putri sulungnya sedang berulang tahun? Ini sangat tidak adil, kan?" gerutu Ameena pada sang adik. Ia masih sangat kesal dengan kenyataan itu.
Walaupun pesta ulang tahun ini disiapkan oleh ibunya, namun Ameena tetap tidak senang jika mereka tidak ikut hadir dan memberinya selamat. Ini rasanya bagai sayur tanpa garam, kurang enak, kurang sedap, merayakan pesta ulah tahun tanpa dihadiri oleh ayah dan ibunya.
"Sudahlah! Kakak jangan seperti ini. Satu jam lagi, Mama dan Papa akan segera tiba, kok!" ucap Arseela lagi, mencoba menghibur kakaknya yang sedang kesal.
"Ayolah!" ajaknya lagi.
Lalu keduanya keluar dari kamar hotel dan berjalan menuju aula—tempat acara—yang tidak jauh dari kamar mereka.
Di pesta ulang tahun yang sangat meriah ini, selain rekan dan teman Ameena, ada juga beberapa orang dari kalangan atas yang ikut menghadiri acara tersebut. Mereka diundang langsung oleh Ibu Amarita dan juga Tuan Halim atas perayaan ulang tahun putri mereka. Itu membuat pesta ini semakin meriah dan seru.
Mereka semua mulai menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuk Ameena diiringi suara musik. Setelah itu, Ameena meniup semua lilin-lilin yang ada di atas bolu setelah memanjatkan satu doa yang sangat spesial.
"Yeyyyyyy!!!"
Prok! Prok! Prok!
Semuanya bersorak dan bertepuk tangan untuk Ameena.
"Sekarang, silahkan Nona Ameena potong kuenya. Berikan potongan pertama pada orang yang paling spesial!" ucap pembawa acara dengan bersemangat.
Ameena pun segera memotong kue ulang tahunnya yang dibantu oleh sang adik karena bolu ulang tahun itu terlalu besar dan tinggi.
Baru juga menggerakkan pisau panjang dari puncak atas ke bawah, tiba-tiba paman pertamanya—Sadam—berteriak histeris membuat semua orang yang ada di sana ikut terkejut dan panik.
"Gawat! Gawat! Kak Halim mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak truk. Sekarang Kak Halim dan Kak Amarita sedang dilarikan ke rumah sakit. Katanya, kondisinya sangat parah."
"Hey, apa yang kau katakan?" teriak Lusi—tante Ameena—menepis semua ucapan buruk Sadam tentang kakaknya. "Jangan mengada-ngada. Kita ini sedang berpesta. Kau jangan mendoakan Kak Halim seperti itu!"
"Lusi, Aku tidak mengada-ngada. Baru saja polisi menghubungiku dan meminta pihak keluarga untuk segera ke sana!" balas Sadam, masih dengan serius menjelaskan pada adiknya—Lusi. Ekspresinya pun terlihat sangat tegang dan penuh ketakutan.
Mendengar hal itu, semua orang yang tadi sedang bersorak pun segera terdiam. Mereka mulai berbisik-bisik membicarakan apa yang terjadi pada Tuan Halim.
"Ayo cepat, kita harus segera pergi ke lokasi untuk melihat Kak Halim dan Kak Amarita!" ajak Sadam pada Lusi.
Kakak beradik itu segera pergi meninggalkan pesta ulang tahun keponakannya dengan terburu-buru.
"Kami ikut!"
Istri Sadam dan anak-anaknya pun segera ikut pergi bersama Sadam dan Lusi melihat keadaan Tuan Halim dan istrinya. Tinggallah Ameena dan sang adik di aula hotel tersebut. Mereka seolah tidak dipedulikan oleh paman dan tantenya, juga tidak diajak pergi melihat ke lokasi kecelakaan. Padahal, yang mengalami kecelakaan tersebut adalah ayah dan ibunya.
Setelah kepergian mereka, suasana di pesta ulang itu menjadi kacau. Semua orang mulai bergosip dan mencari tahu lewat berita di internet.
Benar saja, berita itu sangat cepat menyebar. Di internet sudah banyak berita tentang kecelakaan yang terjadi di jalan tol Kota C yang melibatkan petinggi perusahaan Halim Grup dan istrinya.
"Apakah ini benar?"
"Tuan dan Nyonya Halim mengalami kecelakaan?"
"Diduga, kecelakaan terjadi karena rem mobil yang mereka tumpangi blong, sehingga menabrak truk dari arah berlawanan."
"Sang sopir berhasil kabur, dan dinyatakan selamat dari kecelakaan."
"Mengapa ini bisa terjadi? Apakah sang sopir sengaja melakukannya?"
"Benar juga!"
"Sebelum truk itu menabrak mobil yang ditumpangi oleh Tuan Halim, sang sopir sudah loncat dari mobil! Bagaimana bisa dia punya kesempatan kabur ketika mobil itu masih melaju kencang. Itu sangat aneh!"
Ketika semua orang sedang sibuk membicarakan hal itu, tiba-tiba bolu tinggi dan besar yang ada di depan mereka terjatuh dengan suara yang cukup keras. Lalu, terdengar suara teriakan seorang gadis.
"Aaaaaa, Kakak! Kakak! Tolong! Tolong kakak saya!" teriak Arseela dengan histeris.
Arseela segera berjongkok di lantai, memeluk tubuh Ameena—yang pingsan—dengan tangisan pilu penuh ketakutan.
"Uuaaa, Kakak! Bangun, Kaaaaa!"
Baru saja mendengar kabar bahwa ayah dan ibunya mengalami kecelakaan. Sekarang, kakaknya tiba-tiba pingsan hingga berbaring di lantai. Arseela sangat panik dan ketakutan.
Pesta ulang tahun yang tadinya ramai, kini berubah menjadi kacau.
Untuk menghentikan kekacauan ini, pembawa segera menghentikan acara ulang tahun dan meminta semua tamu undangan untuk segera meninggalkan tempat ini.
Tinggallah beberapa orang di sana.
Tiba-tiba, dari arah tengah aula hotel, berjalan seorang pria tampan dan gagah menghampiri Arseela. Pria itu berjongkok dan melihat Ameena.
"Nona, tolong minggir. Kita harus segera membawa Nona Ameena untuk istirahat. Mungkin, dia pingsan karena syok mendengar kabar kecelakaan Tuan Halim," ucap pria tinggi dan tampan yang menjadi tamu undangan di sana.
Bukannya pergi meninggalkan tempat acara, pria itu malah menghampiri Ameena dan meminta Arseela untuk menyingkir.
"Uuaaaa, Kakak! Uaaaa! Kakak, bangun, Kak!" Arseela masih duduk di lantai sambil menangis. Kepalanya sangat pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas. Untuk berdiri pun rasanya sangat sulit.
"Nona, di mana kamar Anda? kita harus segera membawanya ke kamar untuk istirahat," tanya pria itu pada Arseela. Namun gadis itu malah menangis semakin keras.
Tanpa menunggu lagi, pria itu segera mengangkat tubuh ramping Ameena, lalu membawanya keluar dari aula hotel.
Di lorong hotel lantai 3, pria itu berjalan dengan langkah cepat menuju salah satu pintu yang ada di ujung. Di belakangnya ada seorang pria yang mengikutinya, juga Arseela yang masih menangis.
"Tuan! Apa Anda yakin ingin membawa nona ini ke kamarmu?" tanya orang yang ada di belakangnya. Ia terlihat ragu dan sedikit cemas.
"Enh! Tentu saja!" jawab pria itu dengan tegas.
Orang itu pun mengerti. Ia segera mengeluarkan kunci kamar, lalu membuka pintu.
"Silahkan, Tuan!"
Melihat kakaknya dibawa oleh pria asing masuk ke dalam kamar hotel, Arseela segera menghentikan. Ia menarik ujung pakaian pria itu dari belakang, lalu bertanya dengan keras.
"Apa yang Anda lakukan, Tuan? Apa Anda ingin membawa kakak saya ke dalam kamar Anda?"
Pria itu menghentikan langkah kakinya sebentar. Kedua tangannya masih memegang tubuh Ameena.
"Tadi aku sudah bertanya di mana kamar kalian, tapi kau tidak menjawab. Sekarang, biarkan kakakmu beristirahat di sini. Kau juga boleh ikut masuk jika mau!"
"Hah?"
Lalu pria itu melanjutkan langkah kakinya masuk ke dalam kamar dan membaringkan Ameena di atas tempat tidurnya.
"Nicholas, panggil Dokter Cha kemari!"
"Baik,Tuan!" Nicholas pun segera pergi keluar untuk menghubungi Dokter Cha—dokter pribadi pria itu.
Setelah beberapa menit berada di dalam kamar dan memastikan Ameena berbaring dengan baik di atas tempat tidurnya, pria itupun pergi keluar.
Sepuluh menit kemudian, Dokter Cha datang lalu memeriksa Ameena tanpa adanya Nicholas dan pria itu. Hanya ada Arseela saja yang sedari tadi menemani kakaknya.
"Bagaimana, Dok? Apakah kakak saya baik-baik saja?" tanya Arseela dengan penuh rasa khawatir.
Jika sudah membaik, Arseela ingin membawa Ameena pergi ke kamarnya. Ia tidak ingin terus berada di dalam kamar pria itu.
"Tidak apa-apa, tekanan darahnya normal dan detak jantungnya pun normal. Kakakmu hanya butuh istirahat saja. Nanti juga akan sadar," jelas Dokter Cha sambil membereskan perlengkapan yang dibawanya.
"O, iya! Tadi, Tuan Andrew berpesan, kalian masih bisa tinggal di kamar ini sampai kondisi nona ini membaik!" tambahnya lagi sesuai dengan pesan dari Andrew.
"Oh! Baik! Terima kasih banyak, Dok!" Arseela pun mengerti.
"Kalau begitu, saya permisi dulu!" ucap Dokter Cha. Lalu dia pergi keluar setelah menitipkan beberapa vitamin dan obat untuk Ameena.
Baru saja dokter itu pergi, tiba-tiba Ameena terbangun karena suara pintu yang ditutup. Tatapan matanya penuh waspada menatap sekeliling kamar yang nampak asing.
"Kita di mana?" tanyanya pada sang adik sambil bangkit dan duduk di atas tempat tidur.
Walau desain kamar ini sama persis desain kamarnya yang ada di sebelah, namun Ameena bisa merasakannya. Ini kamar asing milik orang lain.
"Kakak, tadi Kakak pingsan, lalu ada seseorang yang mem—" Baru saja Arseela ingin menjelaskan tentang kejadian tadi dan tentang pemilik kamar ini, namun tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.
"Paman Sadam!" gumamnya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.
Tanpa membuang waktunya lagi, Arseela segera mengangkat panggilan tersebut. Berharap akan ada kabar baik tentang ayah dan ibunya.
"Halo, Paman! Kalian pergi ke mana? Mengapa tidak mengajakku dan Kakak? Bagaimana keadaan Mama dan Papa, sekarang? Apa mereka baik-baik saja?"
Hening beberapa saat sebelum akhirnya Sadam membalas dengan perlahan.
"Kak Halim dan Kak Amarita tidak tertolong. Kami akan segera membawanya ke rumah duka di pusat kota."
"Kau dan kakakmu, segera pergilah ke rumah duka Bumi Indah. Tunggu kami di sana. Masih banyak yang harus kami urus di rumah sakit. Maaf, tadi Paman tidak mengajak kalian!" ucap Sadam lagi, masih dengan pelan. Terdengar bahwa dia sangat terpukul dan kecewa atas kejadian ini.
"Hah? Apa? Apa yang kau katakan, Paman? Halo! Paman? Kau jangan bercanda! Halo, Paman?"
Sambungan telepon sudah ditutup. Arseela hanya berbicara sendiri tanpa ada yang mendengar.
Keesokan harinya, dari pagi hingga sore hari, ada banyak orang yang datang ke Bumi Indah untuk melayad Tuan Halim dan Nyonya Amarita sebelum besok dikebumikan.
"Nona, kami turut berduka atas kepergian Tuan Halim dan Nyonya. Semoga kalian kuat dan tabah, ya!"
"Semoga Tuan dan Nyonya ditempatkan di tempat terbaik di sisi Tuhan!"
"Semoga amal ibadahnya diterima."
"Semoga kalian kuat menghadapi cobaan ini!"
"Emh, ya! Terima kasih!" Ameena hanya mengangguk. Ia tidak terlalu memerhatikan siapa saja orang yang datang dan berbicara dengannya.
Ameena menahan rasa sedih dan sakit di dalam hatinya, tidak membiarkan air matanya menetes lagi. Sudah cukup dirinya menangis semalaman bersama sang adik hingga matanya merah dan bengkak. Sekarang, ia akan berusaha tegar menerima kenyataan ini agar ayah dan ibunya tenang di alam sana.
"Kak, duduklah dulu! Dari tadi Kakak berdiri terus. Nanti kakinya pegal, loh!" ajak sang adik sambil menarik tangan Ameena. Dia mengajak kakaknya untuk duduk di bangku yang ada di samping.
Ya, yang paling menderita dalam musibah ini adalah Ameena. Kepergian ayah dan ibunya dalam kecelakaan yang terjadi tepat di hari ulang tahunnya itu membuat dia terpukul dan sangat sakit.
Jika bukan karena Mama dan Papa ingin segera tiba di acara ulang tahunku, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Jika aku tidak menerima hadiah pesta ulang tahun itu, mungkin Mama dan Papa tidak perlu terburu-buru pulang ke Kota B. Ini semua salahku! Ini salahku!'
Ameena terus mengalahkan dirinya sendiri. Merasa bahwa dirinyalah penyebab ayah dan ibunya meninggal.
Sekarang, aku harus bagaimana?
Seluruh alam semestanya terasa redup dan hampa, tidak ada lagi cahaya terang di dalam hidupnya. Ameena merasakan sepi dan kedinginan walau di sekelilingnya ada banyak orang.
***
"Terima kasih, Tuan, Nyonya! Kalian sudah datang dan memberi doa untuk kakak kami! Jika Kak Halim ada salah kata dan perbuatan, mohon dimaafkan," ucap Sadam pada setiap pelayad yang datang. Ia menjadi penyambut tamu dan berjaga di depan pintu masuk.
"Silahkan! Silahkan masuk!" Sadam mempersilahkan beberapa orang yang baru datang untuk masuk ke dalam.
Tiba-tiba, dari depan sana ada seseorang turun dari dalam mobil, lalu berjalan ke arahnya.
Sadam berbisik pelan sambil melihat dua orang yang datang, "Bukankah itu Tuan Kellan dan putranya dari Podra Grup—perusahaan yang memenangkan proyek King Fax tahun lalu?"
"Iya! Itu benar, dia!"
Sadam segera menyambut Tuan Kellan dan putranya dengan ramah, seolah dirinyalah rekan bisnis mereka.
"Selamat malam, Tuan! Terima kasih sudah datang! Saya, selaku adik dari Kak Halim, ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Anda. Maaf jika semasa hidup Kak Halim pernah lancang dan berbuat salah pada Anda! Mohon dimaafkan!"
"Ah, tidak ... tidak! Mengapa harus meminta maaf segala! Kami adalah rekan bisnis, sekaligus teman dari SMA. Tidak mungkin kami saling menyimpan dendam. Jika ada kesalahan pun, sebelum meminta maaf, kami sudah saling membebaskan!" balas Tuan Kellan dengan perasaan canggung.
Pasalnya, baru tiba saja, dirinya sudah menerima permintaan maaf yang berlebihan dari adik Tuan Halim. Itu rasanya tidak terlalu menyenangkan bagi Tuan Kellan.
Tidak ingin membicarakan tentang hal itu lagi, Tuan Kellan segera mengalihkan pembicaraan.
"O ... iya! Nanti, siapa yang akan melanjutkan perusahaan Halim? Perusahaan kami masih ada rencana kerjasama yang belum sempat disepakati. Saya harap, perusahaan kita tetap melanjutkan kerjasama tersebut."
"Oh, tentu saja! Tentu saja kita akan tetap melanjutkan kerjasama tersebut. Anda jangan khawatir, Tuan! Kedepannya, saya selaku adik tertua akan memimpin perusahaan menggantikan Kak Halim!" balas Sadam dengan segera. Ia tertawa pelan penuh rasa percaya diri saat mengatakannya.
"Baguslah kalau begitu!" balas Tuan Kellan. Ia segera berpamitan untuk melihat Tuan Halim dan istrinya.
Namun, baru tiga langkah berjalan, tiba-tiba Tuan Kellan bertanya pada Sadam tentang pesta ulang tahun putrinya.
"Bukankah malam itu Halim mengadakan pesta ulang tahun untuk putrinya? Kami pun diundang dalam acara tersebut. Bagaimana bisa, dia pergi ke luar kota lalu mengalami kecelakaan?"
"Ya, itu benar!" Sadam membenarkan. "Tiga hari yang lalu, Kak Halim pergi ke kota C bersama Kak Amarita untuk mengurus pekerjaan. Kak Amarita sudah menyiapkan pesta ulang taun untuk Ameena sebelum mereka berangkat ke Kota C. Mungkin karena anak itu terus memaksa ayah dan ibunya untuk segera tiba di acara pesta ulang tahunnya, terjadilah kecelakaan di tol Kota C karena terburu-buru. Yah, jadilah seperti ini!"
Ucapannya terdengar mengalahkan, membuat Tuan Kellan terhasut dan tidak menyukai anak sulung Tuan Halim.
"Anak zaman sekarang memang seperti itu. Banyak menuntut orang tua agar menuruti semua keinginannya! Syukur-syukur kalau orang tuannya mampu, jika tidak ... malah berakhir bencana seperti ini!"
"Sstt, Ayah!" bisik putranya dari samping. Dia tidak menyukai ucapan ayahnya yang menyudutkan Ameena.
"Hem, ya, itu benar! Ameena terlalu menuntut orang tuanya segera datang, padahal Kak Halim sedang berada di luar kota untuk bekerja. Hasilnya pun untuk mereka juga!" balas Sadam, membenarkan pendapat Tuan Kellan. Ia juga menyesal atas sikap keponakannya tersebut.
"Baiklah! Kami masuk dulu! Lain kali kita berbincang lagi!" Tuan Kellan mengakhiri perbincangan mereka karena putranya terus menarik tangannya untuk segera pergi.
Ia dan putranya pun segera masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan yang sangat luas dengan dekorasi cantik berwarna putih, semua orang sedang duduk dan memanjatkan doa yang dipimpin oleh pemuka agama di sana.
Tuan Kellan dan putranya tidak segera mendekati peti mati Tuan Halim dan istri. Mereka duduk terlebih dulu sambil menunggu sesi berdoa selesai.
Sambil duduk, Tuan Kellan bertanya pada putranya tentang acara ulang tahun malam itu. "Andrew, apakah kado dari kita sudah kau berikan pada anak Tuan Halim?"
"Tidak!" Andrew menggelengkan kepala. Mulut berbicara, namun bola matanya menyapu ke setiap sudut ruangan mencari seseorang. "Belum sempat kado kita diberikan, acara ulang tahun itu sudah kacau!"
"Hah? Kacau? Kacau kenapa?" tanya Tuan Kellan tidak mengerti. "Apa karena putri sulung Tuan Halim berbuat onar di acara pesta ulang tahunnya sendiri?"
"Bukan ... bukan!"
Tidak ingin ayahnya salah paham, Andrew segera menjelaskan, "Itu karena ... berita kecelakaan Tuan Halim sudah menyebar sebelum pesta itu selesai!"
"Karena hal itulah, pembawa acara segera membubarkan para tamu undangan," tambah Andrew lagi dengan pandangan mengarah ke depan.
Ketika akan berbicara lagi, tiba-tiba pandangan matanya terfokus pada sesuatu. Andrew menatap sosok wanita cantik yang sedang duduk di depan sana sambil menunduk. Matanya terlihat sipit dan juga bengkak, namun masih terlihat cantik dan mempesona.
Malam itu, ketika Andrew menghadiri acara pesta ulang tahun atas perintah ayahnya, dari kejauhan, ia melihat wanita cantik di depan sana yang merupakan ratu di acara tersebut. Wanita itu sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun seksi yang mewah. Bahkan, Andrew pun melihat ketika sang ratu ulang tahun itu dengan sengaja menendang meja hingga bolu tinggi dan besar itu terguling ke bawah, detik berikutnya wanita itu pingsan. Itulah alasan Andrew menghampiri Ameena dan menolongnya.
"Ada apa?" Tuan Kellan melihat gelagat aneh putranya. Ia pun melihat ke arah yang dilihat putranya.
"Eh, tidak apa-apa, Yah!" Andrew segera mengalihkan. Ia tersenyum pada ayahnya lalu kembali duduk dengan tegap.
"Oh! Aku kira ada apa!"
"Hehe! Tidak, Yah!"
Malam itu, setelah Ameena sadar dan keluar dari kamarnya, Andrew melihat Ameena dan adiknya masuk ke dalam lift dan turun ke bawah. Kedua wanita itu pergi ke jalan untuk menghentikan taksi dengan tangisan yang tidak pernah berhenti. Namun, dengan penampilan mereka yang berantakan seperti itu, tidak ada satu taksi pun yang mau membawa mereka. Akhirnya, karena tidak tega melihat Ameena dan Arseela—yang baru kehilangan kedua orang tuanya—Andrew pun menawarkan diri untuk mengantar Ameena dan Arseela pergi ke rumah duka ini.
Namun sepertinya Ameena tidak menyadari akan hal itu.
***
Dua bulan telah berlalu. Ameena masih murung dan mengurung diri di dalam kamar tanpa mau beraktifitas. Perasaannya masih sangat hancur karena kematian ayah dan ibunya yang terjadi tepat di hari ulang tahunnya. Ia selalu dihantui oleh rasa bersalah atas meninggalnya mereka.
Hingga pada suatu hari, di rumah mewah peninggalan orang tuanya, tiba-tiba datang seorang pria berusia 33 tahun bertamu ke rumahnya. Orang itu bersikeras ingin bertemu dengan Ameena walau asisten rumah tangga di rumah itu sudah menjelaskan tentang ketidakbersediaan majikannya untuk bertemu dengan siapapun.
"Ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Nona Ameena tentang perusahaan Halim Grup!" ucap Erwin, yang dulu bekerja sebagai sekretaris pribadi Tuan Halim.
Namun sekarang, setelah perusahaan Halim Grup dipegang oleh Sadam selaku direktur, dan sang adik—Lusi—sebagai sekretaris, Erwin diturunkan menjadi staf biasa oleh mereka.
"Saya mohon, izinkan saya bertemu dan berbicara dengan Nona Ameena!"
"Maaf, Tuan! Saya tidak bisa membiarkan Anda mengganggu nona kami! Beliau berpesan untuk tidak diganggu oleh siapapun! Termasuk oleh Anda, Tuan Erwin!" balas asisten rumah tangga—Bibi Linda. Dia bersikeras melarang Erwin untuk mengganggu majikannya.
"Saya mohon, tolong beritahu Nona, bahwa saya datang untuk menemuinya! Ini tentang hidup dan mati perusahaan Halim Grup!" Erwin tidak pantang menyerah.
Demi perusahaan Halim Grup, Erwin memelas pada sang asisten rumah tangga untuk bertemu putri sulung sang pemilik perusahaan.
"Ayolah! Panggil segera Nona Ameena, ya!"
Mendengar keributan yang terjadi di ruang keluarga, akhirnya Ameena luar dari kamar dan melihat.
"Ada apa?" tanya Ameena sambil menunduk, melihat Erwin dan Linda yang ada di lantai bawah. Tangan kecilnya memegang pagar kaca di lantai dua dengan tatapan malas.
Melihat Ameena berdiri di lantai dua, tentu saja Erwin sangat senang. Ini kesempatan dirinya untuk berbicara dengan Ameena tentang kekacauan di perusahaan milik ayahnya.
"Nona! Perusahaan kita terlibat dalam kerjasama bodong! Sekarang, perusahaan Podra menuntut kita untuk bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami!"
"Hah? Kerjasama bodong? Apa maksudmu?"
Mantan sekretaris ayahnya ini sekarang pintar bergurau.
Di kafe yang ada di pusat kota, Ameena duduk dan bersandar di sebuah kursi dengan tangan yang dilipat ke depan. Matanya menatap Erwin yang duduk di depannya dengan tajam.
"Jadi, maksudmu, Paman mengubah semua furniture di apartemen Ini House milik Podra Grup dengan furniture kualitas rendah? Padahal, dalam surat perjanjian kerjasama tertulis bahwa semua furniture di tiap unit apartemen Ini House haruslah kualitas tinggi? Begitu, kan?" tanya Ameena, mulai mengerti dengan duduk permasalahan antara perusahaan ayahnya dengan perusahaan Podra Grup.
"Tepat sekali, Nona!" Erwin menjelaskan lagi, "Oleh karena itu, perusahaan kita digugat oleh perusahaan mereka dengan tuduhan penipuan."
"Nona, Anda juga bisa menggugat Tuan Sadam dan Nyonya Lusi atas tuduhan penggelapan dana proyek!" bisik Erwin dengan menahan rasa kesalnya. "Karena, sisa dana yang diterima tidak masuk ke perusahaan. Namun, malah masuk ke rekening Tuan Sadam dan Nyonya Lusi!"
"Apa?" Ameena terkejut mendengarnya. "Me-mereka melakukan hal itu?"
"Ya, Nona!"
Bukan hanya berbuat curang dengan mengubah furniture dari kualitas tinggi ke kualitas jelek, tapi juga mereka mengambil sisa uangnya ke rekening masing-masing.
Berapa miliar kah kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan? Sedangkan apartemen di Ini House ada ratusan unit.
"Paman Sadam dan Tante Lusi sungguh keterlaluan! Kalau begini terus, perusahaan Papa bisa bangkrut!"
Ameena sangat marah dengan kinerja paman dan tantenya di perusahaan milik ayahnya. Padahal, dua bulan yang lalu, Sadam meminta Ameena untuk bersantai dan duduk manis di rumah. Selaku pamannya, Sadam akan mengurus perusahaan dan akan mengirim uang tiap bulannya ke rekening Ameena.
Tapi sekarang, Sadam dan Lusi malah berbuat curang.
"Jadi Nona, segeralah pergi ke kantor dan pimpinlah perusahaan Halim dengan baik." Erwin menyarankan dengan hati tulus. "Saya berbicara seperti ini bukan karena ingin diangkat lagi sebagai sekretaris di perusahaan Halim, tapi ... saya tidak tega melihat perusahaan hancur secara perlahan!"
Itulah yang Erwin pikirkan. Erwin tidak ingin Ameena dan Arseela ikut terpuruk karena ulah paman dan tante mereka.
Jangan sampai, orang tua sudah tidak ada dan harta pun ludes karena keserakahan paman dan tantenya.
"Baik! Besok, aku akan segera pergi ke perusahaan dan menggantikan posisi Paman sebagai direktur! Dan kau, kembailah ke posisimu. Aku tidak bisa bekerja dengan orang lain, apalagi dengan Tante Lusi. Itu sama saja dengan bohong!"
"Emh, ya! Tentu Nona! Sekarang, saya akan menyiapkan semua berkas untuk Anda tinjau besok!"
"Oke!"
***
Pagi-pagi sekali, Ameena sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia merias sedikit wajahnya agar terlihat segar dan cantik. Rambut coklat panjangnya ia ikat tinggi ke atas, membuat tampilannya semakin sempurna.
"Kak! Kakak mau pergi ke mana dengan penampilan seperti ini?" tanya Arseela dengan heran.
Ia menatap sang kakak dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Penampilan Ameena sangat cantik dan elegan. Tidak ada lagi wanita kucel dan kusam seperti yang terlihat selama dua bulan ini. Kini, kakaknya sudah kembali menjadi Nona Ameena yang cantik.
"Tentu saja pergi ke kantor! Sudah sepantasnya Kakak mengantikan posisi Papa di kantor, kan?" balas Ameena dengan santai. Ia mengambil tas kecil berwarna putih, lalu memakainya.
Tin! Tin!
Terdengar suara klakson mobil dari halaman rumah. Ameena bergegas keluar dari kamar.
"Dadah, Arseela! Kakak berangkat dulu, ya!" Ameena melambaikan tangan pada sang adik. Lalu pergi keluar dari kamar.
"Eh, Kak—"
***
Di lantai bawah, Ameena berpamitan pada Bibi Linda—asisten rumah tangga—yang sudah mengabdikan dirinya selama 20 tahun di rumah ini. Tanpa sarapan, Ameena pergi ke kantor bersama dengan Sekretaris Erwin.
"Bagaimana, Nona! Apa Anda sudah siap menjadi presdir di perusahaan Halim Grup?" tanya Erwin yang sedang mengemudikan mobilnya di baris depan.
Ameena yang duduk di kursi belakang segera mengangguk, lalu tersenyum. "Tentu saja!"
Ia berkata dengan penuh semangat, "Kita akan menyingkirkan semua kutu yang bersarang di perusahaan! Jangan membiarkan kutu-kutu itu hidup dan berkembang lalu menggerogoti daging di Halim Grup!"
"Hehe! Ya, Nona!"
Dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Erwin sudah sampai di tempat parkir perusahaan. Ameena turun dari dalam mobil setelah sang sekretaris membuka pintu untuknya.
"Ayo, Nona!"
"Enh! Terima kasih!" Ameena mengangguk.
Ia berjalan masuk ke dalam gedung perusahaan dengan penuh rasa percaya diri. Langkah kakinya sangat mantap berjalan hingga terdengar suara hentakan kaki dengan sepatu hak tingginya.
Para karyawan yang baru datang pun terpukau melihat penampilan cantik Ameena. Mereka tidak tahu bahwa Ameena ini akan menjadi bos baru mereka.
DING!
Pintu lift terbuka, Ameena dan Erwin segera masuk dan naik ke lantai paling atas menuju ruang kerja presdir.
"Nona, sepertinya Anda belum sarapan! Mau saya siapkan makanan dari kantin kantor?" tanya Erwin. Tahu bahwa bos barunya ini belum makan apapun.
"Jangan makanan, tapi teh manis saja," tolak Ameena dengan segera. Ia melanjutkan, "Tolong hubungi pihak Podra, minta mereka untuk bertemu denganku jam sembilan nanti. Kita akan menyelesaikan kekacauan ini!"
"Baik, Nona!"
DING!
Pintu lift terbuka. Ameena segera masuk ke ruangan yang dulu ditempati oleh ayahnya. Sedangkan Erwin... dia pergi ke ruangan samping untuk mengambil air minum untuk Ameena.
Di ruangan yang sangat luas dan nyaman dengan sirkulasi udara yang sangat baik, juga pencahayaan yang sangat terang, Ameena masuk dan duduk di kursi kebesaran milik ayahnya. Kursi itu masih terasa empuk dan nyaman, dan desain ruangan ini pun masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah.
Ini adalah ruang kerja yang dulu sering dipakai oleh ayahnya untuk bekerja. Ameena pun sering datang kemari dan membantu beberapa pekerjaan ayahnya setelah dirinya lulus dari Universitas di luar negeri—satu tahun yang lalu. Namun ternyata, hal seperti itu tidak berjalan lama, ayahnya mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal.
Tiba-tiba hatinya terasa sakit lagi. Air mata yang sudah mulai mengering, kini keluar lagi tanpa bisa ditahan. Rasa bersalah yang selalu ia rasakan, kini terasa lagi. Kematian ayah dan ibunya tepat di hari ulang tahunnya membuat hidupnya hancur. Mau tertawa pun rasanya sangat sulit.
"Papa, aku harus bagaimana?" lirihnya dengan rasa sesak di dada. Rasanya, dirinya ingin menyerah dan mundur saja.
Namun, jika dirinya menyerah, bagaimana dengan nasib para karyawan perusahaan Halim? Akan ada banyak orang yang dirugikan jika sampai perusahaan ini hancur.
Ketika masih menangis, tiba-tiba pintu ruangan dibuka. Ameena segera menegakkan punggungnya, lalu mengambil tisu untuk menyeka air mata di wajah.
"Eh, Nona!" Langkah Erwin seketika melambat. Ia melihat bos kecilnya menangis di meja kebanggaan ayahnya dulu.
"Apa ada sesuatu yang membuat Anda tidak nyaman, Nona? Biar saya ganti semua furniture yang ada di ruangan ini, juga cat dindingnya agar Anda lebih nyaman!"
"Emh, ya! Sepertinya itu ide bagus!" Ameena membuang tisu bekas ke tong sampang. Mencoba untuk tetap kuat di depan Erwin.
"Sebaiknya Anda minum dulu!" Erwin meletakkan gelas berisi teh manis hangat di atas meja Ameena. Lalu ia mundur lagi ke belakang.
"Saya akan menghubungi pihak Podra dan meminta perwakilan dari mereka untuk bertemu dengan Anda jam sembilan pagi di restoran Staim Lais, bagaimana? Kebetulan Anda belum makan, Nona!" tanya Erwin menginformasikan tempat bertemu mereka.
Tempat itu sangat dekat dengan perusahaan Podra Grup yang ada di sebelah utara kota ini. Juga memudahkan perwakilan dari mereka untuk bertemu dengan Ameena, dan tidak ada kesempatan untuk menolak. Erwin sudah memikirkannya dengan sangat matang.
"Oke, tidak masalah!"
"Kalau begitu saya akan segera menghubungi mereka!" Erwin pun keluar dari ruangan itu.
Pukul delapan pagi, seseorang membuka pintu ruang presdir sambil tertawa nyaring. Sadam dan Lusi sedang berbincang dan tidak memperhatikan seseorang yang ada di dalam ruangan itu.
"Eh! Ameena?"
Tiba-tiba tawa mereka terhenti ketika melihat Ameena duduk di kursi kebesarannya sambil mengetik sesuatu di papan keyboard. Mata Ameena terfokus pada layar komputer di depannya sehingga tidak melihat ekspresi wajah terkejut paman dan tantenya.
Menyadari itu Ameena, Sadam segera mendekat. Ia bertanya dengan kaku, "A-Ameena, apa kau mencari Paman?"
"Mengapa tidak menelepon saja jika ada perlu pada Paman? Tidak perlu kau yang datang kemari!" tambahnya lagi, masih dengan pemikirannya sendiri.
Ameena segera menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap Sadam dan Lusi silih berganti.
Ia bertanya dengan dingin, "Siapa yang mencari Paman?"
"Paman, Tante ...." Ameena bangkit berdiri, merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan, lalu berjalan menghampiri Sadam dan Lusi.
"Mulai sekarang, kalian tidak perlu lagi datang ke kantor ini. Masalah pekerjaan di perusahaan, biar aku sendiri yang urus!" ucap Ameena dengan amarah yang sedikit ditahan.
Walau bagaimanapun, Sadam dan Lusi adalah adik kandung dari ayahnya. Tidak sepantasnya Ameena marah lalu berteriak pada mereka. Itu rasanya tidak sopan.
"Ameena, apa yang kau katakan? Mengapa kau mengusir kami?" tanya Sadam, tidak mengerti dengan keputusan keponakannya itu. Juga tidak setuju dengan pemecatan dirinya dan sang adik di perusahaan ini.
"Sayang, bicara baik-baik. Ada apa ini?" Lusi segera mendekat, lalu meraih tangan Ameena. Ia menarik tangan Ameena dan mengajaknya untuk duduk di sofa.
Sadam pun ikut duduk.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu? Apa ada yang salah?" tanya Lusi, mencoba untuk tenang dan berkata manis pada Ameena.
Walau berkata manis, namun Ameena tidak tersentuh sedikitpun. Ia segera bangkit berdiri, lalu berjalan ke mejanya untuk mengambil berkas yang sudah disusun oleh Erwin.
"Ini!" Ameena menyerahkan berkas itu pada Sadam. Lalu ia pun duduk kembali di sofa. "Ini adalah catatan pengeluaran barang masuk dan keluar. Juga catatan uang masuk dan keluar."
"Di sini tertulis, bahwa rekening Paman dan Tante menerima dana yang cukup besar dari perusahaan pada tanggal 9 Mei kemarin. Juga ada perbedaan selisih antara barang yang keluar dengan jumlah uang yang masuk. Setelah dicek lagi, ternyata Paman dan Tantelah pelakunya." Ameena menjelaskan dengan singkat, namun sangat jelas.
"Selain itu, kalian juga menipu perusahaan Podra dengan memberi mereka barang jelek. Sedangkan di surat kontrak kerjasama tertulis bahwa kita harus memberi barang dengan kualitas terbaik!" jelasnya lagi sambil menatap Sadam.
"Maaf Paman, Tante, jika tidak ingin terlibat dalam masalah ini sebaiknya kalian pergi. Biar aku yang selesaikan masalah ini dan membereskan semua kekacauan yang telah kalian buat!"
"Si-siapa yang memberitahumu tentang masalah ini?" tanya Sadam, mulai panik dengan sikap tegas Ameena. "Apa Ragil yang melaporkan ini kepadamu?"
Ragil adalah salah satu staf keuangan di perusahaan ini. Jika bukan dia yang memberitahu Ameena tentang uang masuk dan keluar, lalu siapa lagi?
"Bukan!" Ameena menjawab dengan tegas. "Bukan dia yang memberitahuku!"
"Sudahlah!" Ameena tak peduli. "Siapapun itu, yang jelas, Paman dan Tante sudah menggelapkan dana perusahaan dan berbuat curang. Jika tidak ingin ditindaklanjuti secara hukum olehku, lebih baik kalian mundur dari perusahaan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!