Dua Musim Untuk Gus Iqbal

Dua Musim Untuk Gus Iqbal

Pesantrenku

"Lif.........., yang daftar jadi Santri malah makin banyak ya?"

Umi mehampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas.

Aku sebenarnya tadi sedang menginginnya minum kopi hitam, tapi aku cari di dapur tidak ada. Malahan yang ada cuma kopi susu sama kopi moka. Jadi pilih yang ada saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali.

Lantai dua ini, bagiku tempat bersantai paling nyaman. Disini angin berembus dua kali lipat dan bukan cuman itu, disini akupun dapat melihat pemandangan lautan biru bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih tujuh hingga sepuluh kilo dari sini.

Semua itu seperti memunculkan ide dalam fikiranku memulih setelah sehari penuh otakku tiada henti aku buat bekerja.

Bagiku aktivitas ini cukup santai, menghilangkan stressku yang tengah merajalela.

Meski sesaat dibalik kediaman yang melambat.

"Nggih e Umi, Kulo sendiri saja sampai kebingungan...., buat data yang sebanyak itu Umi! Apa perlu kita buat target tetap di setiap tahun? Kalau kita tidak membatasi jumlah Santri, nanti bisa-bisa kita semakin banyak menerima Santri setiap tahunnya......."

Aku menghadap ke Umi. Sementara Umi mulai menduduki bangku rotan yang berada di utara sofa.

Umi menatapku dengan wajah yang menujukan kebingungan. Mungkin pikirannya sama denganku, memikirkan santri.

"Lif..., ya memang benar kalau kamunya mutusin itu, tapi kalau kita ngasih target bagaimana dengan para orang tua yang sudah jauh-jauh kesini untuk memondokkan anaknya bila tidak keterima? kasihan toh Lif!"

"Umi..., teknologi dunia sekarang semakin canggih, Alif hanya perlu menginformasikan melalu media sosial. Mengumumkan pula kriteria dan aspek-aspek yang harus dipenuhi Santri. Bukankah banyak Santri luar kota datang ke sini, melalui informasi yang Alif buat di Media Sosial..., sebelum Kakek Buyut wafat dulu, pernah berpesan. Kalau kita harus menjaga Pondok Pesantren untuk tetap berkembang, namun Kakek Buyut tidak menyuruh untuk mencari Santri banyak, tapi Santri yang bisa kita jaga dan kita lindungi itu sudah cukup sebagai kewajiban kita......"

"Kalau kamu mantapnya begitu, terus dan lanjutin..., Umi dukung terus."

Belakangan ini, Umi agak sakit-sakitan. Hampir setiap malam hari Umi batuknya tiada henti. Kemarin periksa ke dokter, katanya Umi kecapekan.

Mungkin sudah saatnya, aku menjaga Umi lebih maksimal. Karena Umi adalah malaikatku di dunia ini yang pertama sebelum Abahku. Menjaga Umi agar tetap sehat itu adalah kewajibanku, disamping aku juga yang menjaga Abah.

Apalagi aku anak yang paling di perhatikan.

"Nggih Umi!"

"Sudah, Umi ke dapur dulu.., bantu Ibu-ibu dapur masak makanan buat Santri....."

"Nggih, Umi."

Aku melihat Umi dengan seksama, Umi yang melangkah pelan menuju lantai bawah.

Kaki Umi mungkin sudah agak sulit dibuat jalan cepat, hingga Umi harus memilih jalan sedikit lambat.

Aku pernah, mencoba menuntun Umi ke suatu acara. Namun bilangnya Umi malah tidak usah, katanya juga merasa tidak enak. Bilamana kalau usia begitu masa harus sudah dituntun kalau jalan?

Aku bersyukur masih beruntung ada Abah sama Umi yang bisa mendukungku untuk menjalankan terus Pondok Pesantren peninggalan kakek buyut ini. Diatas peraturan yang ditetapkan abah.

Kakek Buyutku adalah seseorang yang asli Kota Jeddah. Dengan kerja keras sendiri Ia membangun Pondok Pesantren ini besama Kakek Buyut di waktu sejak dulu sebelum aku lahir.

Nenek Buyutku bukan asli sini, asli orang Kota Tengah dan pernah sekali tinggal di sebuah desa di Ambarawa. Istiadat Nenek Buyutku dengan Kakek Buyutku begitu berbeda, namun cinta diantara merekalah yang membuat mereka bersatu tanpa memandang kata berbeda.

"Gus..., ada Santri yang ingin ketemu sama Gus sendiri...."

Sosok Santriwati berjilbab putih menghampiriku. Aku kenal itu siapa? Itu yang dikenal Mbak-mbak ndalem yang setiap paginya menyirami tanaman di Taman Pesantren.

Tapi buat pagi tadi, aku tidak tahu dianya kemana? Soalnya tanaman masih pada belum disiram.

"Siapa?"

Aku memandangnya secara Flat dan tanpa senyum.

Aku ini, kepribadiannya cuek tidak seperti Gus pada umumnya. Dan aku tidak perduli apa yang akan dikatakan oleh mereka-mereka yang aku cuekin. Termasuk Santriku sendiri.

Bukannya aku sombong, hanya saja aku ingin menjadi Gus yang dipandang tegas. Sehingga mereka yang melihatku selalu ingat untuk disiplin.

Pendiamnya aku, bukan berarti aku ini orang yang tidak peduli dan tidak memiliki hati. Aku juga bisa tersenyum namun cukuplah senyumku ini jarang terlihat dimata mereka.

Karena harapan aku, ingin menegaskan pada mereka para Santriku. Bahwa tujuan orang tuanya menempatkan di Pondok Pesantren ini, itu tidak main-main dan sekedar tertawa apalagi hanya mencari kawan.

Namun di sinilah tempat membimbing mereka-mereka menjadi orang yang sukses dunia akhirat dengan pengetahuan ilmu.

"katanya tokoh dari Teater yang akan tampil pada tanggal dua puluh april...."

Ada apa lagi ini? Bukannya aku sudah menyuruh Fatich kalau pelatihnya nanti bukan aku tapi Gus Fajar.

"Suruh ke sini......"

Tidak lama itu,

Ada Santriwati dengan hijab kuning muda berada diambang pintu.

Aku tidak kenal dia ini siapa? Tapi jelas-jelas ini yang dimaksud sama Santriwati yang Mbak-mbak Ndalem tadi.

"Nyari aku kenapa?"

Santri itu menatapku tanpa harus berpaling.

Berbeda sekali dengan santri lain. Ia tidak menunduk kepala atau menyembunyikan mata, namun dianya memilih berani menatapku.

Di Pesantrenku tata krama yang benar sudah jelas-jelas kami tegaskan saat hari pertama masuk ke Pesantren ini.

Kami menjelaskan bagaimana, dan seperti apa akhlak dan tata krama yang harus diterapkan baik di Pesantren ini maupun di luar Pesantren.

Tapi kalau dia ini dari tundak-tunduknya, menunjukan dirinya bukanlah Santriwati dari kalangan Pesantrenku.

"Gus..., saya disuruh sama Gus Fatich untuk kesini, memanggil Gus sendiri, agar cepat-cepat menuju ke Pesantren Hidayah sekarang. Latihannya mulai sekarang Gus........"

"Ya.., bilangin ya.., nanti insya'allah aku kesana!"

"Tapi Gus..., Gus Fa-"

"Ya..., nanti aku kesana. Aku akan telpon ke Gus Fatich dulu. Kamu silahkan kembali..., terima kasih untuk informasinya!"

Santriwati itu pergi. Tanpa salam sekalipun. Hanya berlalu bagai angin yang lewat tanpa badai.

Aku mulai menghubungi Gus Fatich.

Aduh, kebiasaan deringnya itu lama sekali. Gus Fatich ini kemana? Sibuk atau lagi apa? Katanya butuh aku?

" Halo..., assalamualaikum..."

Suara seperti sandal begesekan aku dengar agar begitu keras dari sananya. Aku tidak tahu benar Gus Fatich ini lagi dimana? Tapi aku juga mendengar suara vocal Al-Banjari yang sedikit samar bersama tabuhan.

"Waalaukum salam..., ada apa nyari aku? kan aku sudah bilang pelatihnya itu Gus Fajar saja. Aku lagi tidak bisa..., jadwalku padat Fatich.."

Aku sedikit geram,

"Aslinya mau ke Gus Fajar. Tapi aku tidak punya nomornya. Mau hubungin Gus sendiri, dari tadi malah belum online-online. Jadi Aku suruh tokoh utama yang mau peran diteater ke situ..."

"Ya allah, maafin akunya..., Aku lupa belum mengirim nomor Gus Fajar. Niatnya tadi aku kirim, lalu aku tidak sempat. Bahkan tadi sempat terpikir sudah aku kirimin nomornya apa belum, tapi ternyata memang belum..., ya sudah, biar aku kirim sekarang....."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!