"Ya aku tunggu ini Gus.."
"Fatich, nanti aku ke Pondok Hidayah sekitar satu seperempat jam yang akan datang. Aku harus ngimamin sholat dhuhur dulu ini..."
"Tidak apa Gus, para santri malah makin senang kalau Gus sendiri yang mau datang. Para santri itu, maunya sama gus..., biasanya adanya Gus sendiri menambah semangat saat pelatihan seperti ini.."
"Ya sudah.., nomornya bentar lagi aku kirim.."
"Baik Gus, assalamualaikum.."
"Waalaikum salam."
Neng lia
"Nak..., sore besok, kamu sudah masuk Diniah ya? Apa masih belum?"
Aku menghentikan tangan kananku yang mengiris Tahu Taqwa.
Aku dari tadi juga sempat kepikiran sama urusan Diniah yang rencananya tahun ini mau lulus. Tapi itu bukan soal pelajarannya, tapi soal latihan mengajar dan itu langsung terjun mengajar kelas-kelas awal.
Aku lama menantikan hal itu, di mana aku berdiri didepan kelas untuk mengajari Adik-adik kelas.
Merasakan bagaimana bahagianya bisa melihat yang di Ajar itu benar-benar serius memperhatikan dan mungkin aku juga siap-siap merasakan sedikit sedih saat melihat yang diajar malah ngobrol sendiri atau mungkin ditinggal tidur.
"Masih belum tahu Mami, kelas 6 itu berbeda sama kelas satu, dua sampai lima sebelumya..., bahkan Kepala Sekolahnya sudah berbeda....."
"Lho iyo apa, Mar...., terus?"
"Sebentar Mami, kemarin sebelum libur panjang.., kan di kasih yang namanya brosur untuk kelas lima yang berhasil naik kelas enam. Dan brosur itu sekarang dimana Mi, pasti di sana ada nomor WhatsAap Kantor Diniah...."
"Yang bawa brosur bukan Mami.., tapi Papi......"
"Papi, Mi? Bentar Nggih, kulo tinggal ke Papi rumiyen.., sebentar saja Mi."
Pondok Pesantren sudah tentu mulai ramai, dan pada banyak yang balik bahkan berlomba-lomba datang dari berbagai penjuru.
Namun soal Madrasah Diniah inilah yang perlu diketahui khabarnya.
"Papi..., mana brosur Diniah yang sebelum liburan kemarin dikasihkan Kepala Sekolah Madrasa Diniah kelas empat sampai lima.., masih Papi simpankan?"
Aku cukup berdiri didekat pohon kelapa sambil menatap lurus Papi yang tengah membersihkan beberapa daun kelapa yang jatuh berserakan.
Disini udara sejuk berembus dengan bebas, apalagi yang seperti sekarang. Taman samping rumah selesai disirami Adikku Tika sampai tanahnya yang gersang berubah menjadi tanah yang sedikit basah. Jadi, aroma tanah yang seperti hujan seketika terasa.
"Broasur? brosur apa? Papi tidak tahu brosur mana yang kamu maksud Mar..."
Papi terlihat begitu tercekat heran. Namun terlihat dari wajah, Papi sedang mengingat-ngingat brosur yang aku maksud.
Aku takut kalau brosur itu hilang. Aku tidak punya cadangan brosur soalnya.
"Ya allah..., brosur yang warna hijau iku apa? Yang ada lebel Madrasah Diniah nya?"
"Iya, yang Itu papi.."
"Aku taruh, dilaci almari. Brosur itu lain kali disimpan, jangan dibiarkan begitu saja!"
Gus Iqbal
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.."
Aku membuka acara pelatihan. Aku melihat Gus Fatich masih sibuk melatih Tim Al-Banjari di ujung sana. Namun aku belum melihat Gus Fajar. Apa Gus Fatich belum memberi mereka informasi?
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Santri Al-Hidayah ini benar-benar memiliki semangat kuat.
Rasanya benar kata Gus Fatich itu, mungkin kedatanganku memberi dampak lebih pada mereka.
Tapi aku juga tidak tahu lebih soal hal itu, bisa saja mereka semua semngat karena menghargai yang membina mereka.
"Kalian sudah tahu tujuan kalian datang ke sini?"
Aku ini kurang tahu juga tentang para santri, perasaan aku ini tidak ada apa-apanya dengan Gus yang lain. Yang lebih bersahaja dan dekat dengan para santri.
Namun, kenapa aku selalu melihat. Kalau aku ini diam-diam menjadi alasan mereka bersemangat.
Aku saja jarang tersenyum orangnya, Apalagi bercanda sama mereka. Malahan tidak pernah.
Kemungkinan yang sering aku lakukan, ya mungkin mengintrogasi mereka-mereka yang tidak menaati peraturan.
Dan soal senyum, aku hanya menampakkannya disaat aku memperagakan sebuah Tokoh dalam Teater. Itupun juga sangat jarang sekali. Dan saat dimana aku benar-benar dibutuhkan untuk memperagakan itu.
"Tahu Gus.."
"Tujuannya apa?"
Aku mengernyit alis dan memasang wajah penuh tanya.
Beberapa detik ku rasa hening, namun sesekali terpecah oleh satu jawaban.
"Tujuannya mau actink Gus..., kan tanggal dua puluh April mau pentas Teater di Aula Drun Akbar, pondok As-Sidqi..."
"Ya sudah kalau sudah tahu tujuannya..., sekarang aku tanya, tokohnya siapa saja ini..."
"Banyak Gus! ya, semua ini adalah Tokohnya......"
"Maksudnya itu...., nama tokoh yang mau ditampilkan di Teater nanti itu.."
"Ada dua belas pemain utama sama enam pemain sampingan.."
"Pemain utamnya itu selalu ada di setiap alur apa?"
"Ya, tidak semua Gus yang muncul disetiap alur tapi hanya beberapa. Namun hanya lebih sering begitu saja Gus. Mangkanya jadi pemain utama..."
"Cerita dalam teater ini gantung.., atau dibuat akhir cerita yang sejelas-jelasnya?"
"Naskahnya ini masih belum selesai Gus..., kami masih menyelesaikan setengah..., dan kami begitu kesulitan saat membuat teks."
"Kesulitan bagian yang mana? Coba dari mana sulitnya..?"
Aku menyuruh salah satu santriwati yang aku latih ini maju.
Aku ingin melihat hasil naskah hasil buatan mereka. Mungkin stragtregi pembuatannya ada yang salah.
Sehingga mereka jadi bingung.
Saat teks aku pegang, Gus Fajar ini mendadak datang. Mungkin Ia ingin berbicara.
"Assalamualaikum Gus.."
Gus Fajar menyapa salam dengan tangan yang tidak berjabat, namun tangan yang menepuk agak keras pundakku. Gus Fajar memang tidak bisa Flat.
Tahunya itu santai. Namun santainya tidak tahu orang. Cukup berlebihan.
Gus Fajar berdiri, namun aku tetap terduduk. Sudah terlalu nyaman untuk duduk. Jadi yang aku perlukan cuman cukup menatap lalu membiarkan Gus Fajar berbicara.
"Waalaikum salam..., ada apa?"
"Gus..., Bagaimana kita bagi pelatihnya.., aku akan melatih Santri Putra dan sameannya Gus, tetap ngelatih Santri Putri sini..., bagaimana Gus?"
Aku tercekat mendengar itu. Kok tadi tidak bilang-bilang kalau ada dua babak. Atau aku yang kurang tau informasi?
"lho..., yang mau tampil nanti itu dua babak? atau bagaimana?"
Aku beranjak dari tempat, menghadap ke depan Gus Fajar tepat selisih dua langkah darinya.
"Kan sudah di umumin Cak Rojak kalau tampilnya dua babak dan itu dalam satu hari yang sama. Kan sudah disampaikan di Grup..."
Ku lirik sejenak para Santriwati yang aku latih itu, mereka seperti ikut tercengang melihat aksi kami. Yang saling berbicara serius.
Aku sebagai Gus, tahu tentang bagaimana kehidupan para Santri. Yang terkadang spaneng dalam pembelajaran baik maknai kitab ataupun pelajaran sekolah formal yang lain.
"Ya allah, aku tidak tahu..., Aku kira ya cuman ini saja, santriwati ini.."
Aku memakai alasan yang benar-benar ada didepanku saat ini, bagaimana aku bisa teledor seperti ini?
Apa aku terlalu banyak santainya? Atau bagaimana? Perasaan aku santai, kemungkinan besar aku kalau lagi panas-panasnya kepalaku. Ya, aku tinggal hijrah sebentar.
Atau bisa disebut jalan-jalan ke arah manapun mengenakan motor yang baru setahun lalu aku beli. Itupun, aku sudah jarang banget. Belakangan ini kesibukanku benar-benar padat dan tidak bisa ditinggalkan.
"Tidak Gus! Tapi Santri putra juga..."
Tatapanku menatap kosong ke daun pintu hijau disana, namun anehnya aku masih mendengar suara Gus Fajar yang terus menjelaskan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments