Kakekku seringkali tiap ada waktu selalu berkunjung ke sini. Masjid yang paling istimewah dari masjid lainnya.
Keindahan enterior yang menawan, kemegahan bangunannya yang tiada terkecualikan, dinginnya ruangan yang teratur. Lampu-lampu remang.
Aku lebih menyuakai malam, karena dari lantai empat dulu bersama Kakek.
Aku melihat panorama khas yang indah hingga memberikan bekas tersendiri dihati.
Kami duduk, di sebuah sofa yang sudah tersedia disana.
Selain sofa, ruangan cukup terang dengan cahaya remang yang cukup.
Tidak ada kipas angin, namun kami mengandalkan angin yang berembus masuk melalui jendela-jendela kaca yang terbuka.
Pelabuhan yang padat dengan kapal-kapal yang berlayar, lampu-lampu kota yang bagai kemerlip bintang di atas Laut Merah.
Terlukis alami di balik kacabesar dihadapan kami.
Ya tuhan, aku mengingat itu.
Kebersamaan Kakek rupanya masih terekam jelas di memori otakku, hingga aku berfikir.., kenapa itu semua terjadi begitu cepat?
"Assalamualaikum Gus..."
Para Santri Putra yang lekas memasuki Masjid sesekali menghampiriku dengan wajah senyum mereka, sebenarnya aku tidak mengenal salah satu diantara mereka.
Namun aku cukup tahu, mereka Santri As-Sidqi yang sering kali aku badali saat Kyai Husain tidak hadir.
"Waalikum salam."
"Gus mau sholat disini bersama kami?"
"Iya..., mau apa kalau tidak sholat, mari sholat!"
"Kali ini Gus yang ngimami kami?"
wajah mereka terlihat semringah memandangiku, lalu yang diucapkan mereka seperti sebuah harapan.
"Kali ini, salah satu diantara kalian saja, sambil latihan jadi seorang imam yang sesungguhnya....."
***
Marwah
[24/3 14:47] Marwah: Assalamualikun, apa ini benar, nomor telpon dari kantor Madrasah Diniah?
Aku mulai mengirim pesan ke nomor yang ada di kolom bawah brosur, yang warnanya putih dan bertulis Staf Kantor Madrasah Diniah.
Aku sebelumnya sempat bingung, harus aku kirim pesan pertama yang bunyinya apa? Untungnya Papi sudah memberitahuku.
Foto profil di nomor yang pertama, wajahnya tidak begitu jelas yang ditambah buram tanpa pencahayaan.
Lalu aku putuskanlah, aku memilih nomor ke dua dari salah satunya. Nomor yang belakangnya diakhiri nomor tujuh.
Usai mengirim beberapa menit, aku geletakkan ponsel di ranjang.
Aku sengaja menyalahkan terus data seluler. Jaga-jaga kalau Staf Kantor Madrasah Diniah membalas.
Di dalam kontak juga aku sudah menulis dengan nama Staf Kantor Madrasah Diniah, biar aku tahu ini nomor siapa?
"Nak...., tolong sirami tanaman yang ada dikebun.."
Aku mendengar suara Papi dari arah kamar tidur utama.
Aku berjalan menuju singgahnya, tapi tidak tergesah masuk kedalam.
Aku cukup membuka korden seusai pintu kamar bercat kuning itu terbuka cukup lebar.
"Nggih Pi, kulo akan sirami tanamannya..., selang airnya di mana?"
"Selang airnya di bawah meja dapur.."
"Oh nggih Papi..."
Aku dengar samar-samar dari arah kamarku, suara dering pesan WhastAap.
"Bentar, ada pesan Whast Aap..., mungkin dari Kantor Nadrasah Diniah..?"
Entah apa jawaban Papi, aku agak tidak merespons. Dan aku sudah terlanjur berlari masuk ke kamar.
Tembok yang berdiri kokoh membuat suara Papi agak sulit menembus ke arah kamarku.
[24/3 14:47] Marwah: Assalamualikum.., apa ini benar, no Kantor Madrasah Diniah?
[24/3 15:17] Staf Kantor Diniah: Waalaikum salam..., benar, ini nomor Kantor Madrasah Diniah, ada apa?
[24/3 15:18] Marwah: Saya mau tanya, Madrasah Diniah kelas enam apa besok masuknya?
[24/3 15:18] Staf Kantor Diniah: Madrasah Diniah kelas enam mulai masuk tanggal satu, lihat di websetnya Madrasah Diniah nggih.
[24/3 15:20] Marwah: Websetnya Madrasah Diniah seperti apa nggih, saya kurang tahu.
Betapa bingungnya aku, seharusnya aku tau websetnya Madrasah Diniah itu seperti apa. Tapi aku kali ini benar-benar tidak mengetahui.
Pesan sudah terkirim, aku tidak tahu benar soal apa balasan itu.
Aku rasa bila aku cerna, webset itu bukannya WhastAap? Tapi sepertinya beda. Entah! Aku juga tidak begitu faham kalau mengenai hal seperti itu. Aku juga jarang main ponsel.
[24/3 15:20] Staf Kantor Diniah: Masuk Madrasah Diniah kelas enam mulai tanggal satu, memakai seragam Madrasah seperti biasanya. Memakai hijab kuning dengan rok kuning bersama atasan seragam hijau.
[24/3 15:22] Marwah: Baik, terima kasih Pak.
Pesanku hanya dibaca. Tidak dibalas setelah ku tunggu lima menit ke depan. Tapi biarlah, pemilik nomornya mungkin sibuk.
***
Gus iqbal
Malam kini begitu padam. Tidak seperti biasanya cahaya rembulan tiba-tiba meredup tertutup mendung. Bukankah hujan masih belum waktunya untuk turun?
Lampu kota kini sebahagian padam, deruh angin yang kencang, Sepertinya merobohkan pepohonan yang dekat dengan arus listrik sehingga memutuskan sambungan.
Pondok Pesantren yang aku asuh begitu gelap gulita, tidak ada seberkas satupun cahaya yang keluar dan terlihat.
Aku rasa agak jauh dari sana listrik ada yang menyalah.
Kenapa baru kali ini dari beberapa tahun lampu bisa padam?
Aku memperhatikan keadaan lingkup Pondok Pesantren Abah Umiku yang ramai, bersama kegelapan Pondok Pesantren yang semakin menjadi.
Keributan Santri ratusan terdengar hampir dari sisi segala arah, bertabrakan dengan suara angin kencang. Sehingga suaranya seperti lebah yang mau menyerang bersama kawananya.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya diributkan, apa mungkin juga membahas, kenapa tiba-tiba listrik bisa padam?
"Lif..., bukannya kamu masih punya jam untuk Santrimu? Lalu kenapa masih disini, cepat berangkat..., Santrimu banyak yang menunggu nanti!"
"Lampu mati seperti ini mungkin tidak akan ada yang mau Alif masukin untuk mengaji kitab. Kan gelap, Umi. Meskipun sudah pakai lilin juga pasti tidak mau, ujung-ujungnya juga bakalan ditinggal bubuk Umi."
Umi yang menduduki kursi rotan dengan ditemani cahaya lilin yang sedikit meredup, akhirnya mulai mengajakku bicara.
Abah jam segini sudah tidur duluan, sementara Mas Zaki sukanya dikamar pribadinya yang dekat dengan aula wilayah santri putra.
Aku tidak tahu benar, Mas Zaki itu maunya seperti apa? Mulai dari aku lulus kuliah di Universitas Kairo, dia lebih memilih tinggal menyendiri di kamar pribadinya dan seakan menjauh dari tanggung jawab mengasuh Pondok Pesantren.
Padahal juga tahu sendiri, Pesantrennya Abah dan Umi itu Santrinya banyak. Dan sudah berkewajiban sebagai anak untuk meneruskan tanggung jawab mengasuh Pesantren. Tapi entah kenapa, Mas Zaki enggan melaksanakan tanggung jawab itu.
Jam pelajaran Diniah Malam yang dulunya dia pegang, kini diserahkan semua ke aku.
Tentang mengurus data penerimaan santri baru yang muasalnya Mas Zaki, seketika beralih menjadi tanggung jawabku.
Abah tidak bisa seperti dulu, yang bisa marah saat anaknya tidak lagi disiplin yang bisa memberi hukuman saat anaknya tidak lagi bertanggung jawab.
Abah yang sekarang bukan Abah yang setegas dulu, Abah yang sekarang adalah abah yang hanya bisa berdoa agar anaknya bisa seperti harapanya, tanpa harus lagi marahin tanpa harus lagi memerintah yang ini itu.
"Lif, kamu lupa? Bukannya seminggu lalu habis nyuruh Kang Ali beliin jensed. Kenapa tidak difungsikan saja?"
Umi mencoba mengingatkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments