"Lif.........., yang daftar jadi Santri malah makin banyak ya?"
Umi mehampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas.
Aku sebenarnya tadi sedang menginginnya minum kopi hitam, tapi aku cari di dapur tidak ada. Malahan yang ada cuma kopi susu sama kopi moka. Jadi pilih yang ada saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali.
Lantai dua ini, bagiku tempat bersantai paling nyaman. Disini angin berembus dua kali lipat dan bukan cuman itu, disini akupun dapat melihat pemandangan lautan biru bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih tujuh hingga sepuluh kilo dari sini.
Semua itu seperti memunculkan ide dalam fikiranku memulih setelah sehari penuh otakku tiada henti aku buat bekerja.
Bagiku aktivitas ini cukup santai, menghilangkan stressku yang tengah merajalela.
Meski sesaat dibalik kediaman yang melambat.
"Nggih e Umi, Kulo sendiri saja sampai kebingungan...., buat data yang sebanyak itu Umi! Apa perlu kita buat target tetap di setiap tahun? Kalau kita tidak membatasi jumlah Santri, nanti bisa-bisa kita semakin banyak menerima Santri setiap tahunnya......."
Aku menghadap ke Umi. Sementara Umi mulai menduduki bangku rotan yang berada di utara sofa.
Umi menatapku dengan wajah yang menujukan kebingungan. Mungkin pikirannya sama denganku, memikirkan santri.
"Lif..., ya memang benar kalau kamunya mutusin itu, tapi kalau kita ngasih target bagaimana dengan para orang tua yang sudah jauh-jauh kesini untuk memondokkan anaknya bila tidak keterima? kasihan toh Lif!"
"Umi..., teknologi dunia sekarang semakin canggih, Alif hanya perlu menginformasikan melalu media sosial. Mengumumkan pula kriteria dan aspek-aspek yang harus dipenuhi Santri. Bukankah banyak Santri luar kota datang ke sini, melalui informasi yang Alif buat di Media Sosial..., sebelum Kakek Buyut wafat dulu, pernah berpesan. Kalau kita harus menjaga Pondok Pesantren untuk tetap berkembang, namun Kakek Buyut tidak menyuruh untuk mencari Santri banyak, tapi Santri yang bisa kita jaga dan kita lindungi itu sudah cukup sebagai kewajiban kita......"
"Kalau kamu mantapnya begitu, terus dan lanjutin..., Umi dukung terus."
Belakangan ini, Umi agak sakit-sakitan. Hampir setiap malam hari Umi batuknya tiada henti. Kemarin periksa ke dokter, katanya Umi kecapekan.
Mungkin sudah saatnya, aku menjaga Umi lebih maksimal. Karena Umi adalah malaikatku di dunia ini yang pertama sebelum Abahku. Menjaga Umi agar tetap sehat itu adalah kewajibanku, disamping aku juga yang menjaga Abah.
Apalagi aku anak yang paling di perhatikan.
"Nggih Umi!"
"Sudah, Umi ke dapur dulu.., bantu Ibu-ibu dapur masak makanan buat Santri....."
"Nggih, Umi."
Aku melihat Umi dengan seksama, Umi yang melangkah pelan menuju lantai bawah.
Kaki Umi mungkin sudah agak sulit dibuat jalan cepat, hingga Umi harus memilih jalan sedikit lambat.
Aku pernah, mencoba menuntun Umi ke suatu acara. Namun bilangnya Umi malah tidak usah, katanya juga merasa tidak enak. Bilamana kalau usia begitu masa harus sudah dituntun kalau jalan?
Aku bersyukur masih beruntung ada Abah sama Umi yang bisa mendukungku untuk menjalankan terus Pondok Pesantren peninggalan kakek buyut ini. Diatas peraturan yang ditetapkan abah.
Kakek Buyutku adalah seseorang yang asli Kota Jeddah. Dengan kerja keras sendiri Ia membangun Pondok Pesantren ini besama Kakek Buyut di waktu sejak dulu sebelum aku lahir.
Nenek Buyutku bukan asli sini, asli orang Kota Tengah dan pernah sekali tinggal di sebuah desa di Ambarawa. Istiadat Nenek Buyutku dengan Kakek Buyutku begitu berbeda, namun cinta diantara merekalah yang membuat mereka bersatu tanpa memandang kata berbeda.
"Gus..., ada Santri yang ingin ketemu sama Gus sendiri...."
Sosok Santriwati berjilbab putih menghampiriku. Aku kenal itu siapa? Itu yang dikenal Mbak-mbak ndalem yang setiap paginya menyirami tanaman di Taman Pesantren.
Tapi buat pagi tadi, aku tidak tahu dianya kemana? Soalnya tanaman masih pada belum disiram.
"Siapa?"
Aku memandangnya secara Flat dan tanpa senyum.
Aku ini, kepribadiannya cuek tidak seperti Gus pada umumnya. Dan aku tidak perduli apa yang akan dikatakan oleh mereka-mereka yang aku cuekin. Termasuk Santriku sendiri.
Bukannya aku sombong, hanya saja aku ingin menjadi Gus yang dipandang tegas. Sehingga mereka yang melihatku selalu ingat untuk disiplin.
Pendiamnya aku, bukan berarti aku ini orang yang tidak peduli dan tidak memiliki hati. Aku juga bisa tersenyum namun cukuplah senyumku ini jarang terlihat dimata mereka.
Karena harapan aku, ingin menegaskan pada mereka para Santriku. Bahwa tujuan orang tuanya menempatkan di Pondok Pesantren ini, itu tidak main-main dan sekedar tertawa apalagi hanya mencari kawan.
Namun di sinilah tempat membimbing mereka-mereka menjadi orang yang sukses dunia akhirat dengan pengetahuan ilmu.
"katanya tokoh dari Teater yang akan tampil pada tanggal dua puluh april...."
Ada apa lagi ini? Bukannya aku sudah menyuruh Fatich kalau pelatihnya nanti bukan aku tapi Gus Fajar.
"Suruh ke sini......"
Tidak lama itu,
Ada Santriwati dengan hijab kuning muda berada diambang pintu.
Aku tidak kenal dia ini siapa? Tapi jelas-jelas ini yang dimaksud sama Santriwati yang Mbak-mbak Ndalem tadi.
"Nyari aku kenapa?"
Santri itu menatapku tanpa harus berpaling.
Berbeda sekali dengan santri lain. Ia tidak menunduk kepala atau menyembunyikan mata, namun dianya memilih berani menatapku.
Di Pesantrenku tata krama yang benar sudah jelas-jelas kami tegaskan saat hari pertama masuk ke Pesantren ini.
Kami menjelaskan bagaimana, dan seperti apa akhlak dan tata krama yang harus diterapkan baik di Pesantren ini maupun di luar Pesantren.
Tapi kalau dia ini dari tundak-tunduknya, menunjukan dirinya bukanlah Santriwati dari kalangan Pesantrenku.
"Gus..., saya disuruh sama Gus Fatich untuk kesini, memanggil Gus sendiri, agar cepat-cepat menuju ke Pesantren Hidayah sekarang. Latihannya mulai sekarang Gus........"
"Ya.., bilangin ya.., nanti insya'allah aku kesana!"
"Tapi Gus..., Gus Fa-"
"Ya..., nanti aku kesana. Aku akan telpon ke Gus Fatich dulu. Kamu silahkan kembali..., terima kasih untuk informasinya!"
Santriwati itu pergi. Tanpa salam sekalipun. Hanya berlalu bagai angin yang lewat tanpa badai.
Aku mulai menghubungi Gus Fatich.
Aduh, kebiasaan deringnya itu lama sekali. Gus Fatich ini kemana? Sibuk atau lagi apa? Katanya butuh aku?
" Halo..., assalamualaikum..."
Suara seperti sandal begesekan aku dengar agar begitu keras dari sananya. Aku tidak tahu benar Gus Fatich ini lagi dimana? Tapi aku juga mendengar suara vocal Al-Banjari yang sedikit samar bersama tabuhan.
"Waalaukum salam..., ada apa nyari aku? kan aku sudah bilang pelatihnya itu Gus Fajar saja. Aku lagi tidak bisa..., jadwalku padat Fatich.."
Aku sedikit geram,
"Aslinya mau ke Gus Fajar. Tapi aku tidak punya nomornya. Mau hubungin Gus sendiri, dari tadi malah belum online-online. Jadi Aku suruh tokoh utama yang mau peran diteater ke situ..."
"Ya allah, maafin akunya..., Aku lupa belum mengirim nomor Gus Fajar. Niatnya tadi aku kirim, lalu aku tidak sempat. Bahkan tadi sempat terpikir sudah aku kirimin nomornya apa belum, tapi ternyata memang belum..., ya sudah, biar aku kirim sekarang....."
"Ya aku tunggu ini Gus.."
"Fatich, nanti aku ke Pondok Hidayah sekitar satu seperempat jam yang akan datang. Aku harus ngimamin sholat dhuhur dulu ini..."
"Tidak apa Gus, para santri malah makin senang kalau Gus sendiri yang mau datang. Para santri itu, maunya sama gus..., biasanya adanya Gus sendiri menambah semangat saat pelatihan seperti ini.."
"Ya sudah.., nomornya bentar lagi aku kirim.."
"Baik Gus, assalamualaikum.."
"Waalaikum salam."
Neng lia
"Nak..., sore besok, kamu sudah masuk Diniah ya? Apa masih belum?"
Aku menghentikan tangan kananku yang mengiris Tahu Taqwa.
Aku dari tadi juga sempat kepikiran sama urusan Diniah yang rencananya tahun ini mau lulus. Tapi itu bukan soal pelajarannya, tapi soal latihan mengajar dan itu langsung terjun mengajar kelas-kelas awal.
Aku lama menantikan hal itu, di mana aku berdiri didepan kelas untuk mengajari Adik-adik kelas.
Merasakan bagaimana bahagianya bisa melihat yang di Ajar itu benar-benar serius memperhatikan dan mungkin aku juga siap-siap merasakan sedikit sedih saat melihat yang diajar malah ngobrol sendiri atau mungkin ditinggal tidur.
"Masih belum tahu Mami, kelas 6 itu berbeda sama kelas satu, dua sampai lima sebelumya..., bahkan Kepala Sekolahnya sudah berbeda....."
"Lho iyo apa, Mar...., terus?"
"Sebentar Mami, kemarin sebelum libur panjang.., kan di kasih yang namanya brosur untuk kelas lima yang berhasil naik kelas enam. Dan brosur itu sekarang dimana Mi, pasti di sana ada nomor WhatsAap Kantor Diniah...."
"Yang bawa brosur bukan Mami.., tapi Papi......"
"Papi, Mi? Bentar Nggih, kulo tinggal ke Papi rumiyen.., sebentar saja Mi."
Pondok Pesantren sudah tentu mulai ramai, dan pada banyak yang balik bahkan berlomba-lomba datang dari berbagai penjuru.
Namun soal Madrasah Diniah inilah yang perlu diketahui khabarnya.
"Papi..., mana brosur Diniah yang sebelum liburan kemarin dikasihkan Kepala Sekolah Madrasa Diniah kelas empat sampai lima.., masih Papi simpankan?"
Aku cukup berdiri didekat pohon kelapa sambil menatap lurus Papi yang tengah membersihkan beberapa daun kelapa yang jatuh berserakan.
Disini udara sejuk berembus dengan bebas, apalagi yang seperti sekarang. Taman samping rumah selesai disirami Adikku Tika sampai tanahnya yang gersang berubah menjadi tanah yang sedikit basah. Jadi, aroma tanah yang seperti hujan seketika terasa.
"Broasur? brosur apa? Papi tidak tahu brosur mana yang kamu maksud Mar..."
Papi terlihat begitu tercekat heran. Namun terlihat dari wajah, Papi sedang mengingat-ngingat brosur yang aku maksud.
Aku takut kalau brosur itu hilang. Aku tidak punya cadangan brosur soalnya.
"Ya allah..., brosur yang warna hijau iku apa? Yang ada lebel Madrasah Diniah nya?"
"Iya, yang Itu papi.."
"Aku taruh, dilaci almari. Brosur itu lain kali disimpan, jangan dibiarkan begitu saja!"
Gus Iqbal
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.."
Aku membuka acara pelatihan. Aku melihat Gus Fatich masih sibuk melatih Tim Al-Banjari di ujung sana. Namun aku belum melihat Gus Fajar. Apa Gus Fatich belum memberi mereka informasi?
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Santri Al-Hidayah ini benar-benar memiliki semangat kuat.
Rasanya benar kata Gus Fatich itu, mungkin kedatanganku memberi dampak lebih pada mereka.
Tapi aku juga tidak tahu lebih soal hal itu, bisa saja mereka semua semngat karena menghargai yang membina mereka.
"Kalian sudah tahu tujuan kalian datang ke sini?"
Aku ini kurang tahu juga tentang para santri, perasaan aku ini tidak ada apa-apanya dengan Gus yang lain. Yang lebih bersahaja dan dekat dengan para santri.
Namun, kenapa aku selalu melihat. Kalau aku ini diam-diam menjadi alasan mereka bersemangat.
Aku saja jarang tersenyum orangnya, Apalagi bercanda sama mereka. Malahan tidak pernah.
Kemungkinan yang sering aku lakukan, ya mungkin mengintrogasi mereka-mereka yang tidak menaati peraturan.
Dan soal senyum, aku hanya menampakkannya disaat aku memperagakan sebuah Tokoh dalam Teater. Itupun juga sangat jarang sekali. Dan saat dimana aku benar-benar dibutuhkan untuk memperagakan itu.
"Tahu Gus.."
"Tujuannya apa?"
Aku mengernyit alis dan memasang wajah penuh tanya.
Beberapa detik ku rasa hening, namun sesekali terpecah oleh satu jawaban.
"Tujuannya mau actink Gus..., kan tanggal dua puluh April mau pentas Teater di Aula Drun Akbar, pondok As-Sidqi..."
"Ya sudah kalau sudah tahu tujuannya..., sekarang aku tanya, tokohnya siapa saja ini..."
"Banyak Gus! ya, semua ini adalah Tokohnya......"
"Maksudnya itu...., nama tokoh yang mau ditampilkan di Teater nanti itu.."
"Ada dua belas pemain utama sama enam pemain sampingan.."
"Pemain utamnya itu selalu ada di setiap alur apa?"
"Ya, tidak semua Gus yang muncul disetiap alur tapi hanya beberapa. Namun hanya lebih sering begitu saja Gus. Mangkanya jadi pemain utama..."
"Cerita dalam teater ini gantung.., atau dibuat akhir cerita yang sejelas-jelasnya?"
"Naskahnya ini masih belum selesai Gus..., kami masih menyelesaikan setengah..., dan kami begitu kesulitan saat membuat teks."
"Kesulitan bagian yang mana? Coba dari mana sulitnya..?"
Aku menyuruh salah satu santriwati yang aku latih ini maju.
Aku ingin melihat hasil naskah hasil buatan mereka. Mungkin stragtregi pembuatannya ada yang salah.
Sehingga mereka jadi bingung.
Saat teks aku pegang, Gus Fajar ini mendadak datang. Mungkin Ia ingin berbicara.
"Assalamualaikum Gus.."
Gus Fajar menyapa salam dengan tangan yang tidak berjabat, namun tangan yang menepuk agak keras pundakku. Gus Fajar memang tidak bisa Flat.
Tahunya itu santai. Namun santainya tidak tahu orang. Cukup berlebihan.
Gus Fajar berdiri, namun aku tetap terduduk. Sudah terlalu nyaman untuk duduk. Jadi yang aku perlukan cuman cukup menatap lalu membiarkan Gus Fajar berbicara.
"Waalaikum salam..., ada apa?"
"Gus..., Bagaimana kita bagi pelatihnya.., aku akan melatih Santri Putra dan sameannya Gus, tetap ngelatih Santri Putri sini..., bagaimana Gus?"
Aku tercekat mendengar itu. Kok tadi tidak bilang-bilang kalau ada dua babak. Atau aku yang kurang tau informasi?
"lho..., yang mau tampil nanti itu dua babak? atau bagaimana?"
Aku beranjak dari tempat, menghadap ke depan Gus Fajar tepat selisih dua langkah darinya.
"Kan sudah di umumin Cak Rojak kalau tampilnya dua babak dan itu dalam satu hari yang sama. Kan sudah disampaikan di Grup..."
Ku lirik sejenak para Santriwati yang aku latih itu, mereka seperti ikut tercengang melihat aksi kami. Yang saling berbicara serius.
Aku sebagai Gus, tahu tentang bagaimana kehidupan para Santri. Yang terkadang spaneng dalam pembelajaran baik maknai kitab ataupun pelajaran sekolah formal yang lain.
"Ya allah, aku tidak tahu..., Aku kira ya cuman ini saja, santriwati ini.."
Aku memakai alasan yang benar-benar ada didepanku saat ini, bagaimana aku bisa teledor seperti ini?
Apa aku terlalu banyak santainya? Atau bagaimana? Perasaan aku santai, kemungkinan besar aku kalau lagi panas-panasnya kepalaku. Ya, aku tinggal hijrah sebentar.
Atau bisa disebut jalan-jalan ke arah manapun mengenakan motor yang baru setahun lalu aku beli. Itupun, aku sudah jarang banget. Belakangan ini kesibukanku benar-benar padat dan tidak bisa ditinggalkan.
"Tidak Gus! Tapi Santri putra juga..."
Tatapanku menatap kosong ke daun pintu hijau disana, namun anehnya aku masih mendengar suara Gus Fajar yang terus menjelaskan.
"Kalau begitu, terserah kamu..., aku nglatih sini saja...."
Aku mengambil posisi duduk, dan sedikit tersenyum nyengir menatap balik pandangan Gus Fajar.
"Sepakat Gus?"
Jelas, kebiasaan nya selalu menanyakan yang sudah aku jawab sebelumnya.
"Ya..., sepakat aku!"
Aku mengangguk tidak biasa. Sambil memberikan senyum.
"Ya sudah Gus, aku mau ngelatih santri putra, katanya naskahnya sudah jadi..., tinggal fokus pelatihan!"
"Tempatnya di mana kalau Santri Putra?"
"Di Taman Al-Hidayah, disana cukup luas dan menyejukkan bila aku buat melatih mereka!"
"Ya sudah, terima kasih ya..., kalau kamu tadinya tidak kesini, aku tidak tahu informasi lengkapnya!"
"Sama-sama Gus! Kita itu satu tim.., tentunya harus saling mengingatkan."
Aku mengangguk sambil sedikit melongo menatap Gus Fajar sampai Ia sendiri keluar dari Aula kami. Lalu, aku fokuskan kembali pelatihanku ke Santri Putri.
Aku membaca teks dengan judul "merek" isinya ku rasa sedikit aneh, latarnya juga masih belum menentu, alurnya acak-acakan.
Ketikannya tidak teratur. Ya tuhan, kali ini pelatihan harus lebih sabar.
"Kamu silahkan duduk, biar gus sendiri yang jelasin..."
Untungnya di aula sini ada papan. Aku bisa jelasin secara terang-terangan. Stragtregi mereka salah. Dan Aku harus memperbaiki.
"Mana spidolnya?"
Ini papan putih, namun aneh tidak ada spidol.
"Spidolnya mana?"
Aku melirik ke arah Santriwati yang jumlahnya sekita dua puluhan itu.
Mereka malah sibuk bersahut bicara dengan samping kanan samping kiri.
Ku cari spidol di laci yang ada di pojok Aula, ternyata hanya nyamuk isinya.
Banyaknya barang bekas yang tidak terpakai, membuat nyamuk makin bahagia bertempat disitu.
Apa ini sengaja dibiarkan atau bagaimana? Seharusnya kalau Aula, itu sebelum dipakai itu seingatku selalu dibersihkan dulu. Tapi kalau ini digunakan seadanya.
"Sudah...., saya pakai spidol milik saya saja..."
Aku menghentikan keramain yang membendung, mengambil sergap spidol di tas coklat moka milikku yang selalu aku bawah kemana-mana.
"Gini Lho..., kalian kemarin itu buatnya bagaimana?"
Aku menghadap ke arah para santri dengan tangan kiri yang bersandar di dinding dekat papan. Ekspresiku datar dan menunjukan benar, kalau aku ini bertanya sungguhan.
"Ya buat Gus..."
"Kalian buatnya ini dialog dulu apa?"
"Iya Gus..."
"Sudah aku duga...., begini lho..., kalau kalian membuat naskah Teater alias Film Perdana seperti ini. Kalian harus terlebih dahulu menentukan tokoh. Itu yang pertma, lalu yang ke dua apa Gus....? Yang ke dua itu, kalian harus fokus pada tokoh yang kalian buat, semisal bila jumlah tokohnya lima belas, yang dijadikan tokoh utama itu setidaknya tiga sampai lima..., kalau yang kalian jadikan lima belas atau sepeluh itu namanya tokoh yang hanya sering muncul saja dalam cerita yang mengikuti tokoh utama tapi kedudukannya sama seperti tokoh lain...."
"Gus.., tokoh utama itu seperti apa?"
"Tokoh yang selalu ada disetiap alur cerita, maksudnya itu terus ada dalam cerita.."
"Gus haruskah ada tokoh jahat dalam cerita?"
"Tidak wajib itu, dengar ya. .., okoh jahat itu sebenatnya nggak ada, biasanya tokoh jahat itu muncul karena tokoh itu memiliki masalah atau konflik yang membuat tokoh tersebut menjadi jahat. Tapi kalau menurut saya ya..., tokoh jahat, lebih sering saya gunakan atau saya ikutkan pada saat ending dalam sebuah cerita..."
"Begitu Gus..."
"Iya...., trus setelah tahu dari dua hal itu, disamping itu kalian harus tau, cerita apa yang harus kalian buat, alurnya bagaimana? Latar tempatnya seperti apa? Suasananya seperti apa? Bila kalian sudah mengetehaui aspek tersebut kalian juga harus menentukan endingnya seperti apa? Bahkan seharusnya sebelum cerita kamu buat.., akhir ceritanya itu sudah ada dipemikiran..."
"Akhir cerita itu enanknya dibuat seperti apa Gus?"
"Akhir cerita itu terserah penulis. Bisa juga sedih, senang atau apapun. Saran saya kalau buat Ending itu yang membuat penasaran!"
"Pensarannya seperti apa?"
"Bentar ya.., belum selesai saya jelasinnya.., kalau tanya nanti dulu, biar kalian semua faham.."
"Iya Gus..."
"Baik, Saya lanjutin..., akhir cerita atau sering dinamakan ending yang bagi saya itu baik dalam sebuah cerita Teater itu ending yang membuat penasaran. Penasarannya itu dengan cara mengggantung cerita. Bisa dibilang cerita itu sudah cukup sampai situ, dan cerita tersebut dirasa sudah cukup bila ceritanya berkhir seperyi itu. Bukankah para penonton nanti penasaran soal akhir ceritanya? Iyakan! Pasti mereka akan bertanya-tanya lalu ceritanya bagaiman? Dan sperti apa akhir sebenarnya? Itulah yang akan membuat penonton lebih tertarik dari pada kita membuat ending yang mudah ditebak. Itu saran dari Saya...."
"Gus...!"
Aku menghentikan tangan kananku yang menulis di papan. Merangsang suara yang masuk pada telingaku, ku dengar suara itu dari arah utara barisan ke dua.
"Iya..., siapa tadi yang tanya?"
"Menurut Gus naskah kami bagaimana? Kesalahan Kami terletak disebelah mana.."
"Kesalahan kalian sudah bisa di lihat dari sini. Kalian akan tahu saat kalian membaca ulang teks kalian soalnya
cara menyesuaikan aspek yang saya tuliskan di papan ini..."
"Lalu, saran Gus bagaimana?"
"Saran saya..., ya, buatlah cerita yang jelas dan aspeknya seperti ini. Soal isi dalam cerita kalian angankan secara betul, sebelum menyerahkan teks ke saya. Kalian harus musyawarahkan apa cerita ini sudah sesuai atau belum.., apa ada yang perlu ditanyakan lagi?"
"Tidak ada lagi Gus..."
"Saya rasa ini sudah cukup, silahkan dimulai membuat naskahnya..kalau menemukan kesulitan, bisa langsung lonfirmasi ke saya.."
"Baik Gus..."
Gus Iqbal
[24/3 14:37] Pak Zainal: Anda sekarang ada di mana Gus? Kepala Sekolah Madrasah Diniah kelas empat sedang membutuhkan kehadiran anda, apa bisa secepatnya kemari?
Aku melihat pesan baru yang muncul di layar WhatshAap ku.
Aku sudah menduga, bahwa hari ini aku akan kembali disibukkan dengan berbagai acara.
Barusan saja, aku ingin mengendarai motorku untuk aku lajukan ke Pondok Pesantrenku. Namun, sudah ada lagi undangan, ke tempat lain.
Malam ini aku tepar langsung.
Bukankah ini memang yang aku butuhkan? apa yang aku inginkan dari dulu sekarang ada didepan mata, bahkan mampu aku jemput tanpa harus lagi menunggu lama.
Tentunya tentang keinginanku kepada Allah, agar aku dimudahkan tujuanku agar waktuku ada manfaatnya.
Yang meski dari pagi hingga petang, aku bawaanya kemana-mana. Hanya untuk mengamalkan ilmu agar tidak terputus hanya sampai ditengah jalan.
[24/3 14:39] Aku: Iya, sebentar..., ini masih didepan parkiran Pondok Pesantren Al-Hidayah. Mungkin sampai kesana kurang lebih dua puluh hingga lima belas menitan.., karena mau sholat ashar dulu.
[24/3 14:41] Pak Zainal: Begitu, iya Gus! Kami akan menunggu.
Suara adzan aku dengar dari arah utara Masjid Agung As-Sidqi.
Masjid yang terbangun kokoh dengan pilar-pilar tinggi berchat putih bercampur hijau keabuan.
Masjid itu terdiri hingga empat lantai, namun lantai yang ketiganya tidak difungsikan.
Lantai paling atas adalah tempat untuk para kyai melakukan pengamatan hilal pada saat hari-hari tertentu seperti datangnya muharram, bulan puasa ataupun hari raya.
Aku mengenal betul masjid itu, secara keseluruhan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!