Yang Mengujiku

"Kalau begitu, terserah kamu..., aku nglatih sini saja...."

Aku mengambil posisi duduk, dan sedikit tersenyum nyengir menatap balik pandangan Gus Fajar.

"Sepakat Gus?"

Jelas, kebiasaan nya selalu menanyakan yang sudah aku jawab sebelumnya.

"Ya..., sepakat aku!"

Aku mengangguk tidak biasa. Sambil memberikan senyum.

"Ya sudah Gus, aku mau ngelatih santri putra, katanya naskahnya sudah jadi..., tinggal fokus pelatihan!"

"Tempatnya di mana kalau Santri Putra?"

"Di Taman Al-Hidayah, disana cukup luas dan menyejukkan bila aku buat melatih mereka!"

"Ya sudah, terima kasih ya..., kalau kamu tadinya tidak kesini, aku tidak tahu informasi lengkapnya!"

"Sama-sama Gus! Kita itu satu tim.., tentunya harus saling mengingatkan."

Aku mengangguk sambil sedikit melongo menatap Gus Fajar sampai Ia sendiri keluar dari Aula kami. Lalu, aku fokuskan kembali pelatihanku ke Santri Putri.

Aku membaca teks dengan judul "merek" isinya ku rasa sedikit aneh, latarnya juga masih belum menentu, alurnya acak-acakan.

Ketikannya tidak teratur. Ya tuhan, kali ini pelatihan harus lebih sabar.

"Kamu silahkan duduk, biar gus sendiri yang jelasin..."

Untungnya di aula sini ada papan. Aku bisa jelasin secara terang-terangan. Stragtregi mereka salah. Dan Aku harus memperbaiki.

"Mana spidolnya?"

Ini papan putih, namun aneh tidak ada spidol.

"Spidolnya mana?"

Aku melirik ke arah Santriwati yang jumlahnya sekita dua puluhan itu.

Mereka malah sibuk bersahut bicara dengan samping kanan samping kiri.

Ku cari spidol di laci yang ada di pojok Aula, ternyata hanya nyamuk isinya.

Banyaknya barang bekas yang tidak terpakai, membuat nyamuk makin bahagia bertempat disitu.

Apa ini sengaja dibiarkan atau bagaimana? Seharusnya kalau Aula, itu sebelum dipakai itu seingatku selalu dibersihkan dulu. Tapi kalau ini digunakan seadanya.

"Sudah...., saya pakai spidol milik saya saja..."

Aku menghentikan keramain yang membendung, mengambil sergap spidol di tas coklat moka milikku yang selalu aku bawah kemana-mana.

"Gini Lho..., kalian kemarin itu buatnya bagaimana?"

Aku menghadap ke arah para santri dengan tangan kiri yang bersandar di dinding dekat papan. Ekspresiku datar dan menunjukan benar, kalau aku ini bertanya sungguhan.

"Ya buat Gus..."

"Kalian buatnya ini dialog dulu apa?"

"Iya Gus..."

"Sudah aku duga...., begini lho..., kalau kalian membuat naskah Teater alias Film Perdana seperti ini. Kalian harus terlebih dahulu menentukan tokoh. Itu yang pertma, lalu yang ke dua apa Gus....? Yang ke dua itu, kalian harus fokus pada tokoh yang kalian buat, semisal bila jumlah tokohnya lima belas, yang dijadikan tokoh utama itu setidaknya tiga sampai lima..., kalau yang kalian jadikan lima belas atau sepeluh itu namanya tokoh yang hanya sering muncul saja dalam cerita yang mengikuti tokoh utama tapi kedudukannya sama seperti tokoh lain...."

"Gus.., tokoh utama itu seperti apa?"

"Tokoh yang selalu ada disetiap alur cerita, maksudnya itu terus ada dalam cerita.."

"Gus haruskah ada tokoh jahat dalam cerita?"

"Tidak wajib itu, dengar ya. .., okoh jahat itu sebenatnya nggak ada, biasanya tokoh jahat itu muncul karena tokoh itu memiliki masalah atau konflik yang membuat tokoh tersebut menjadi jahat. Tapi kalau menurut saya ya..., tokoh jahat, lebih sering saya gunakan atau saya ikutkan pada saat ending dalam sebuah cerita..."

"Begitu Gus..."

"Iya...., trus setelah tahu dari dua hal itu, disamping itu kalian harus tau, cerita apa yang harus kalian buat, alurnya bagaimana? Latar tempatnya seperti apa? Suasananya seperti apa? Bila kalian sudah mengetehaui aspek tersebut kalian juga harus menentukan endingnya seperti apa? Bahkan seharusnya sebelum cerita kamu buat.., akhir ceritanya itu sudah ada dipemikiran..."

"Akhir cerita itu enanknya dibuat seperti apa Gus?"

"Akhir cerita itu terserah penulis. Bisa juga sedih, senang atau apapun. Saran saya kalau buat Ending itu yang membuat penasaran!"

"Pensarannya seperti apa?"

"Bentar ya.., belum selesai saya jelasinnya.., kalau tanya nanti dulu, biar kalian semua faham.."

"Iya Gus..."

"Baik, Saya lanjutin..., akhir cerita atau sering dinamakan ending yang bagi saya itu baik dalam sebuah cerita Teater itu ending yang membuat penasaran. Penasarannya itu dengan cara mengggantung cerita. Bisa dibilang cerita itu sudah cukup sampai situ, dan cerita tersebut dirasa sudah cukup bila ceritanya berkhir seperyi itu. Bukankah para penonton nanti penasaran soal akhir ceritanya? Iyakan! Pasti mereka akan bertanya-tanya lalu ceritanya bagaiman? Dan sperti apa akhir sebenarnya? Itulah yang akan membuat penonton lebih tertarik dari pada kita membuat ending yang mudah ditebak. Itu saran dari Saya...."

"Gus...!"

Aku menghentikan tangan kananku yang menulis di papan. Merangsang suara yang masuk pada telingaku, ku dengar suara itu dari arah utara barisan ke dua.

"Iya..., siapa tadi yang tanya?"

"Menurut Gus naskah kami bagaimana? Kesalahan Kami terletak disebelah mana.."

"Kesalahan kalian sudah bisa di lihat dari sini. Kalian akan tahu saat kalian membaca ulang teks kalian soalnya

cara menyesuaikan aspek yang saya tuliskan di papan ini..."

"Lalu, saran Gus bagaimana?"

"Saran saya..., ya, buatlah cerita yang jelas dan aspeknya seperti ini. Soal isi dalam cerita kalian angankan secara betul, sebelum menyerahkan teks ke saya. Kalian harus musyawarahkan apa cerita ini sudah sesuai atau belum.., apa ada yang perlu ditanyakan lagi?"

"Tidak ada lagi Gus..."

"Saya rasa ini sudah cukup, silahkan dimulai membuat naskahnya..kalau menemukan kesulitan, bisa langsung lonfirmasi ke saya.."

"Baik Gus..."

Gus Iqbal

[24/3 14:37] Pak Zainal: Anda sekarang ada di mana Gus? Kepala Sekolah Madrasah Diniah kelas empat sedang membutuhkan kehadiran anda, apa bisa secepatnya kemari?

Aku melihat pesan baru yang muncul di layar WhatshAap ku.

Aku sudah menduga, bahwa hari ini aku akan kembali disibukkan dengan berbagai acara.

Barusan saja, aku ingin mengendarai motorku untuk aku lajukan ke Pondok Pesantrenku. Namun, sudah ada lagi undangan, ke tempat lain.

Malam ini aku tepar langsung.

Bukankah ini memang yang aku butuhkan? apa yang aku inginkan dari dulu sekarang ada didepan mata, bahkan mampu aku jemput tanpa harus lagi menunggu lama.

Tentunya tentang keinginanku kepada Allah, agar aku dimudahkan tujuanku agar waktuku ada manfaatnya.

Yang meski dari pagi hingga petang, aku bawaanya kemana-mana. Hanya untuk mengamalkan ilmu agar tidak terputus hanya sampai ditengah jalan.

[24/3 14:39] Aku: Iya, sebentar..., ini masih didepan parkiran Pondok Pesantren Al-Hidayah. Mungkin sampai kesana kurang lebih dua puluh hingga lima belas menitan.., karena mau sholat ashar dulu.

[24/3 14:41] Pak Zainal: Begitu, iya Gus! Kami akan menunggu.

Suara adzan aku dengar dari arah utara Masjid Agung As-Sidqi.

Masjid yang terbangun kokoh dengan pilar-pilar tinggi berchat putih bercampur hijau keabuan.

Masjid itu terdiri hingga empat lantai, namun lantai yang ketiganya tidak difungsikan.

Lantai paling atas adalah tempat untuk para kyai melakukan pengamatan hilal pada saat hari-hari tertentu seperti datangnya muharram, bulan puasa ataupun hari raya.

Aku mengenal betul masjid itu, secara keseluruhan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!