Lampu Mati

Bentar, Ku rasa Umi benar. Aku yang lupa. Bagaimana aku bisa seperti ini? Padahal aku sendiri yang memutuskan untuk membeli jensed ke luar kota, itupun yang menyuruh kang Ali juga Aku.

"Astaghfirullah..., iya..., nggih juga..., Umi, kenapa kulo sendiri yang lupa. Tapi jensednya kulo taruh di mana ya Umi?"

Kali ini, aku juga lupa soal jensed yang aku taruh di mana. Seingatku naruhnya itu di kamar Abah dan Umi. Tapi, tadi aku sempat mampir ke kamar Abah sama Umi. Bukan malah jensed tapi yang ada hanya pakaian Umi yang belum dilipat dan mushaf yang ditaruh di atas meja.

"Kamu kan megang hp Lif, sekarang mending tanya langsung ke kang Ali..., mungkin dia tau.."

"Iya Umi!"

Ya allah, pikiranku ini apa? Dari tadi kok malah ngrepotin Umi dengan pertanyaan.

Tanya sesuatu yang sesuatu itu seharusnya aku sudah tahu.

"Assalamualaikum..., Kang!"

"Waalaikum salam..., ada apa Gus...., cari saya?"

Dari nada bicaranya, seperti nada yang agak kesal. Entah,

Apa lampu padam membuat Kang Ali harus berkamuflase? Tidak mungkin bila Kang Ali berkamuflase secepat itu. Dia manusia.

"Kamu tahu jensednya Pesantren ada di mana? Bukannya kemarin Kamu yang aku suruh nyimpen?"

"Jensed aku taruh di Gudang Gus...."

"Gudang yang di sebelah mana? Kita itu punya tiga gudang Kang Ali..."

"Gudang yang ada didekat kawasan perbatasan antara Santri Putra dan Putri.."

"Kok jauh banget naruhnya?"

"Saya ambilin saja Gus!"

Aku tersenyum rapi. Aku tidak menduga kalau urusan bisa semudah ini.

"Apa tidak ngrepotin kang?"

"Kenapa ngrepotin, justru malah membuat aku bahagia..."

"Bahagia?"

"Bahagia dapat pahala lagi, dan bisa menjadi pengabdi yang bermanfaat dipesantrennya Gus."

"Ya sudah, makasih banyak loh Kang..."

Aku hanya menunggu sekitar lima belas menitan, namun lampu sudah menyalah terang.

Kang Ali ini hebat, Masalah Lampu sekarang sudah kelar.

Namun ini masih belum selesai, Sekarang tugasku ke aula putra, mengajar santriku yang katanya umi lama menungguku.

"Wassalamualaikum.."

Aduh, ini yang membuat aku harus menjadi super sabar. Mencoba juga pengertian.

Aula yang bersi sekitar dua puluh limahan anak, kini anak-anak tersebut dengan kompak mengambil barisan ikan laut, merebahkan badan diatas karpet-karpet hijau yang sudah dua mingguan kemarin aku belikan yang baru.

Apa karpetku ini, memabukkan mereka, sehingga mampu tidur? Apa hanya karena lampu mati tadi?

"Waalaikum salam Gus..."

Ada seorang santri yang begitu spontan menjawab salamku, selekas terbangun dari tidur dibarisan paling depan. Sekitar empat langkah dariku.

"Ya allah, Ayo bangun, apa masih baru jam delapan malam sudah berlomba tidur...! Ayo bangun.."

Mendengar suaraku sebahagian ada yang terbangun.

Terutama yang paling mengefek dibagian depan sendiri dan pertengahan.

"Amir, belakangmu tolong bangunin, ayo semua yang tidur ini bangun, dan yang bangun jangan ditidurkan..."

Aku sudah menyiapkan diri untuk membuka kitab ku. Tinggal menunggu mereka saja, untuk proses mengajarku.

Aku agak malas berdiri lagi. Posisi duduk sudah nyaman. Meski tidak berdiri, kemungkinan sudah kedengar ke telinga mereka.

Kalau aku menyuruh mereka untuk membuka matanya buatku, menyuruh mereka untuk meluangkan waktu sejenak untuk maknai kitab dan mmahami beberapa materi yang aku jelaskan.

"Baik Gus..."

"Ayo....., semangat, tujuan kalian disini itu mondok. Ayo kitabnya dibuka!"

Sebenarnya Aku geram terhadap mereka,

Aku tersenyum, melihat mereka terbangun dengan peci yang tak karuan bentukya, peci yang arahnya juga tidak menentu.

Dan juga melihat sayup mata mereka yang tak dapat di cegah lagi rasa kantuknya.

Ya tuhan, Santriku ini!

Kadang kala aku ingin marah, bersikap amat tegas kepada mereka.

Namun rasanya aku tak tega, mereka sudah lebih dulu membuatku tersenyum.

"Gus mulailah."

Neng lia

"Sudah siap?"

Mamiku mendekat dan tiba-tiba memberi pertanyaan itu. Aku tidak faham, siap apa?

"Siap buat?"

Aku melongo menatap balik pandangan.

Adikku Tika sepertinya ingin bicara, namun tidak jadi. Mungkin juga tidak bisa deskripsikan maksud Mami.

Adikku Tika ini, pintar sekali debat. Hingga debat sudah selsaipun, Ia tambahkan lagi pertanyaan-pertanyaan yang memutar dan terus memutar sampai membingungakn seseorang yang berdebat dengannya.

Namun bila mana aku sendiri yang berdebat dengannya. Aku lebih merumitkan nya agar sulit menjawab debatku.

"Ya siap kembali ke pondok malam ini...!"

"Ya allah..., kirain siap apa!"

Pikiranku sebenarnya mengarah hal lain. Aku kira siap yang dimaksud itu, adalah siap dilamar atau siap dijodohkan.

Kalau bila memang pertanyaan itu, maka akan aku jawab belum siap. Namun kali ini malah berbalik seratus persen. Maka akan aku jawab siap.

Baju-baju baik gamis ataupun jubah sudah aku masukan. Hijab segi empat dan hijab pasmina sudah juga terlipat rapi dalam koper.

Makanan ringan sudah tersiap dari tadi, seharusnya tidak membawa makanan sebanyak ini. Karena apa? Aku ini berangkat untuk mondok, bukan bersenang-senang memakan jajanan ringan dan lainnya.

Tapi bagaimana lagi? Apa aku harus menolak makanan ringan pemberian orang tua? Aku tau, orang tuaku berjurih payah memberikan ini semua, biar aku senang. Tidak akan sampai kekurangan makanan saat dipesantren.

"Sudah siap berangkat!"

Aku sedikit menyembunyikan mata. Aku mungkin sedikit bersikap aneh. Seharusnya aku berfikir dulu, siap yang dimaksud itu apa?

"Berangkat nunggu papi pulang..., !"

"Iya, tidak apa Mi..!"

Dari luar aku mendengar suara mesin mobil yang berderuh. Dari suaranya, aku mungkin sudah mengenal itu mobil Papi yang barusan sampai.

Aku melesat menghampiri. Menyusul mamiku yang tengah berjalan cepat menuju depan rumah.

Tradisi Kami, seperti ini. Menghampiri keluarga yang baru sampai. Dan bila mana ada yang akan pergi dari rumah, kamipun juga harus tetap keluar sampai keluarga tersebut menghilang dari belokan jalan. Maksudnya sudah tak terlihat lagi dipandangan mata.

"Assalamualaikum...!"

Papi mulai keluar dari dalam mobil. Mamiku menghapiri terlebih dahulu, sementara aku dibelakang Mami. Mengantri untuk bersalam dengan mengecup punggung tangan papi seperti biasa.

"Waalaikum salam!"

"Nak.., sudah siap balik ke pondok? Kalau sudah sekarang berangkat!"

Papi menatapku dengan mata lelahnya.

Dahinya penuh keringat masam, badannya seperti lemah. Jiwanya terlihat begitu capek. Ya tuhan, Aku belum sempat memijatnya kalau aku berangkat ke pondok.

"Sudah pi...., papi..., Marwah pijat dulu ya?"

"Papi kali ini biar nanti dipijat Adikmu Tika saja. Sekarang, Ayo berangkat menuju pondokmu.., jangan mikirin papi. Ayo..!"

Papiku pengertian.

Dari dulu seperti inilah papi terhebatku. Malaikat penyemangatku. Penegapku saat aku rapuh sekalian.

"Baik Papi, sudah.., !"

"Kopernya, kamu taruh dimana? Papi bawa saja, biar papi taruh di belakang mobil..., !"

"Masih dikamar pi..., !"

Aku tersenyum nyengir dengan jempol yang menunjuk sopan ke ruangan kamar atasku.

"Dik, Kamu cepat ganti baju..., masa ke pondok anaknya pakaian seperti itu?"

Papi mengajak bicara mamiku yang terpaku,

"Ya sudah aku ganti baju dulu mas.., barang Marwah cepat mas masukin!"

Papi dengan Mami ke dalam. Sementara aku diluar bersama dua adikku.

Angin berembus kencang malam ini. Dingin menusuk. Kantukpun menyelinap masuk. Rasanya aku ingin tidur, namun juga rasanya perutku tidak tahan dingin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!