Cinta Johanna

Cinta Johanna

Bagian 1

...CINTA JOHANNA...

...Oleh : David Khanz...

...Bagian 1...

...—------- o0o —-------...

Sayup-sayup terdengar gema tarhim mengudara dari kejauhan. Mengalun sejuk memenuhi ruang hampa di tengah derasnya lautan dingin di kegelapan langit janari. Perlahan-lahan balutan alam impian itu pun terlepas, berganti dengan lambaian jemari dunia nyata yang menggelitik dinding lorong-lorong pikiran. 

“Hhmmm ....”

Sesaat, Hanna mengerjap-ngerjap hendak mengusir pandangan bias dari lena tidurnya, bersiap-siap hendak bangkit dan bergegas meninggalkan dekap selimut tipis yang menutupi sekujur badan.

“Alhamdulillah ....” gumam perempuan muda tersebut begitu terduduk di atas bentangan kasur kecil, memanjang di lantai keramik kamar, “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’dama amaatanaa wailaihinnusuur.” Dia usapkan kedua telapak tangan ke wajah, usai menuntaskan sebait doa tadi. Kemudian sebelum benar-benar meninggalkan alas tidurnya tadi, tidak lupa berbenah terlebih dahulu hingga terlihat rapi kembali.

‘Hampir pukul empat pagi,’ membatin sosok satu itu, begitu pandangannya membentur pada beker di atas meja kecil. Tidak seberapa jauh ditempatkan dari posisi kasur tadi. ‘Alhamdulillah, aku bangun lebih awal dari waktu yang sudah kurencanakan semalam,’ imbuhnya kembali seraya mengulas senyum syukur. ‘Terima kasih, Tuhan. Alhamdulillah ....’

Hal pertama yang dilakukan begitu mulai beranjak dari ruangan tersebut adalah bergegas menuju kamar mandi. Terletak di luar kamar yang selama ini dia tempati atau persisnya beberapa langkah di depan deretan pintu-pintu para penghuni kontrakan di sana. Sengaja Hanna bangun lebih awal dari yang lain, agar tidak perlu mengantre ketika sama-sama hendak menggunakan air, mandi, dan/atau mencuci. Di samping itu pula, dia memang senantiasa berniat untuk melakukan ibadah salat di pengujung pertigaan malam.

Suasana di luar masih terlihat lengang, sepi, tidak tampak sesosok orang pun di sana. Mungkin masih nyenyak tertidur, menikmati drama alam impian masing-masing. Sehingga membuat perempuan tersebut bergidik sesaat, begitu memandangi temaram kondisi tempat yang akan segera dia tuju. Bagaimana tidak, hanya ada tergantung satu buah lampu pijar sebagai penerang area depannya untuk tiga pintu kamar mandi kecil-kecil. Sementara sebagai pencahayaan bagian dalam, hanya mengandalkan sisa pantulan yang terpasang persis di antara ketiganya. Itu pun cuma sebesar 10 watt. Nyaris tidak bisa turut menerangi ruangan kanan-kirinya atau bahkan justru terbilang sangat kurang.

“Sudahlah,” jawab pemilik rumah kontrakan tersebut begitu diusuli beberapa penyewa di sana di waktu sebelumnya, “segitu juga udah cukup, kok. Yang penting ‘kan, gak sampe gelap-gelap amat.”

“Tapinya, Pak, .....” Salah seorang penghuni kamar hendak memprotes.

“Alaaahhh, gak usah banyak komplen,” timpal pemilik rumah kontrakan dengan cepat. Kilahnya kembali berlanjut disertai muka masam, “Udah mending kalian saya terima ngontrak di sini. Murah lagi. Coba aja cari di tempat laen, belom tentu ada yang lebih murah dari sini, ‘kan?”

Murah? Ya, tentu saja. Justru karena harga sewanya yang terbilang sangat terjangkau itulah, Hanna rela menetap di tempat tersebut. Menjauh dari kediaman keluarga tercinta dulu dan kerap memanjakannya dengan berbagai fasilitas mencukupi. Itu dulu. Belum begitu lama. Baru beberapa bulan kebelakang atau hampir genap setahun berjalan. Sekarang, semuanya harus berubah total. Hidup mandiri dan mulai dari nol kembali. Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Drama kehidupan sosok perempuan muda tersebut bermula ketika dia memutuskan untuk ....

“Kak Hanna!”

“Astaga ... eh, astaghfirullah!” pekik Hanna terkejut begitu mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Lekas dia membalikkan badan. Menatap sesosok anak lelaki yang tengah berdiri mematung tidak jauh dari sana. “Ilham?”

“He-he.” Sosok itu terkekeh pelan. “Maafin Ilham, Kak. Tadi ... Ilham cuman mau mastiin, kalo yang ada di depan Ilham itu ... Kak Hanna. Ternyata bener, ‘kan?”

Hanna mengulas senyum sedikit, walaupun detak jantungnya masih terasa kencang. “I-iya, Dek, gak apa-apa. I-ini emang Kakak, kok.”

“Ah, syukurlah,” gumam anak lelaki yang bernama Ilham tadi kini mulai merasa lega. “Kakak mau ke aer?”

“I-iya,” jawab Hanna pendek seraya mendekap dada.

“Mau Ilham tungguin?”

Hanna mengerutkan kening. Sebuah tawaran yang baik. Apalagi di saat tengah didera rasa kaget seperti itu. Namun perempuan itu tidak serta merta mengiakan. Dia langsung berpikir bahwa sosok yang sedang ada di depannya tersebut bukanlah anak lelaki bisa. Umurnya sudah melewati masa akil baligh.

“T-tidak,” balas Hanna akhirnya, “enggak usah, Dek. Makasih, ya. Kakak gak apa-apa, kok.”

“Beneran? Serius nih, Kakak gak takut?” tanya Ilham kembali. Nadanya seperti tulus menawari bantuan, tapi jengah yang dirasa Hanna justru laksana sebuah candaan multi makna.

“I-iya, Dek. Kakak berani, kok,” jawab perempuan itu bimbang. “Eh, bukannya kamu mau ke mesjid?” Tiba-tiba Hanna teringat kalau Ilham memang terbiasa bangun pagi lebih awal, sama seperti dirinya, untuk pergi ke musala terdekat. “Buruan gih, Dek. Kalo telat, entar siapa yang adzan di sana?”

Ilham tersenyum.

“Ini juga udah siap-siap kok, Kak.”

“Ya, sudah. Duluan sana.”

“Tapi Kak Hanna gak apa-apa ‘kan, ditinggal sendirian?”

Hampir saja tawa Hanna meledak, tapi  keburu sadar pada situasi sekitar. “Tadi ‘kan, udah Kakak bilang,” ujarnya mesem-mesem, “Kakak gak apa-apa. Insa Alloh.”

“Insyaa Allah, Kak. Pake ‘syin’ gede (sy). Syaa. Bukan ‘saa’. Insyaa Allah ....” ujar Ilham mengoreki ucapan Hanna terakhir tadi.

“O, iya. Kakak lupa,” ucap Hanna buru-buru meralat pelafalannya. “Insyaa Allah. Sshhh ... sshhh ... Insyaa Allah. Nah, udah bener ‘kan, Dek Ustadz?”

Yang ditanya malah menjawab dengan seulas senyumannya.

“Ya, udah. Kalo ‘gitu, Ilham berangkat dulu ya, Kak,” akhirnya remaja lelaki yang masih duduk di bangku kelas tiga SLTP tersebut berpamitan.

“Oke. Hati-hati ya, Dek.”

“Makasih, Kak.”

Hanna mengangguk pelan. Tidak lekas bergegas ke kamar mandi sebagaimana tujuan semula, akan tetapi memerhatikan sosok Ilham yang mulai berjalan menjauh. Sebelum menghilang di balik tembok pagar, remaja tersebut menoleh ke belakang sejenak. Entahlah, mungkin hanya ingin memastikan kondisi Hanna.

“Ya, Tuhan!” desis perempuan itu seketika. Tiba-tiba teringat akan waktu yang sudah terlewati sejak tadi. ‘Mudah-mudahan saja masih ada sisa waktu buat sholat malem. Duh, kelamaan ngobrol malah jadi lupa niat awal, nih. Astaghfirullah!’

Buru-buru dia memasuki kamar mandi di bagian tengah, dimana penerangan lampu di sana jauh lebih banyak ketimbang di sebelah samping kanan-kiri. Lantas tidak berapa lama setelahnya, cepat-cepat mengambil air wudu usai membasuh sekujur badan.

Masih disertai gigil kedinginan, Hanna lekas kembali ke kamar dan segera melaksanakan empat rakaat ibadah salat sunah malam. Begitu anggun dibalut mukena putih dengan hiasan renda-renda bermotif bunga-bunga di sepanjang ujung kain. Gerak lisannya pun fasih berbisik, melafalkan bait demi bait kalimat suci yang bermakna penuh doa kepada Sang Khalik. Jauh berbeda dengan kala pertama dia melakukan ritual keagamaan tersebut dahulu. Betapa sulit untuk menghafal secara keseluruhan, apalagi mesti dibarengi gerakan-gerakan tertentu. Terpaksa, seringkali Hanna pun harus belajar salat sambil memerhatikan lembar demi lembar buku Tuntunan Shalat Lengkap. Bacaan yang dilafalkannya pun hanya mengandalkan dari transliterasi berupa tulisan.

...BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!