NovelToon NovelToon

Cinta Johanna

Bagian 1

...CINTA JOHANNA...

...Oleh : David Khanz...

...Bagian 1...

...—------- o0o —-------...

Sayup-sayup terdengar gema tarhim mengudara dari kejauhan. Mengalun sejuk memenuhi ruang hampa di tengah derasnya lautan dingin di kegelapan langit janari. Perlahan-lahan balutan alam impian itu pun terlepas, berganti dengan lambaian jemari dunia nyata yang menggelitik dinding lorong-lorong pikiran. 

“Hhmmm ....”

Sesaat, Hanna mengerjap-ngerjap hendak mengusir pandangan bias dari lena tidurnya, bersiap-siap hendak bangkit dan bergegas meninggalkan dekap selimut tipis yang menutupi sekujur badan.

“Alhamdulillah ....” gumam perempuan muda tersebut begitu terduduk di atas bentangan kasur kecil, memanjang di lantai keramik kamar, “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’dama amaatanaa wailaihinnusuur.” Dia usapkan kedua telapak tangan ke wajah, usai menuntaskan sebait doa tadi. Kemudian sebelum benar-benar meninggalkan alas tidurnya tadi, tidak lupa berbenah terlebih dahulu hingga terlihat rapi kembali.

‘Hampir pukul empat pagi,’ membatin sosok satu itu, begitu pandangannya membentur pada beker di atas meja kecil. Tidak seberapa jauh ditempatkan dari posisi kasur tadi. ‘Alhamdulillah, aku bangun lebih awal dari waktu yang sudah kurencanakan semalam,’ imbuhnya kembali seraya mengulas senyum syukur. ‘Terima kasih, Tuhan. Alhamdulillah ....’

Hal pertama yang dilakukan begitu mulai beranjak dari ruangan tersebut adalah bergegas menuju kamar mandi. Terletak di luar kamar yang selama ini dia tempati atau persisnya beberapa langkah di depan deretan pintu-pintu para penghuni kontrakan di sana. Sengaja Hanna bangun lebih awal dari yang lain, agar tidak perlu mengantre ketika sama-sama hendak menggunakan air, mandi, dan/atau mencuci. Di samping itu pula, dia memang senantiasa berniat untuk melakukan ibadah salat di pengujung pertigaan malam.

Suasana di luar masih terlihat lengang, sepi, tidak tampak sesosok orang pun di sana. Mungkin masih nyenyak tertidur, menikmati drama alam impian masing-masing. Sehingga membuat perempuan tersebut bergidik sesaat, begitu memandangi temaram kondisi tempat yang akan segera dia tuju. Bagaimana tidak, hanya ada tergantung satu buah lampu pijar sebagai penerang area depannya untuk tiga pintu kamar mandi kecil-kecil. Sementara sebagai pencahayaan bagian dalam, hanya mengandalkan sisa pantulan yang terpasang persis di antara ketiganya. Itu pun cuma sebesar 10 watt. Nyaris tidak bisa turut menerangi ruangan kanan-kirinya atau bahkan justru terbilang sangat kurang.

“Sudahlah,” jawab pemilik rumah kontrakan tersebut begitu diusuli beberapa penyewa di sana di waktu sebelumnya, “segitu juga udah cukup, kok. Yang penting ‘kan, gak sampe gelap-gelap amat.”

“Tapinya, Pak, .....” Salah seorang penghuni kamar hendak memprotes.

“Alaaahhh, gak usah banyak komplen,” timpal pemilik rumah kontrakan dengan cepat. Kilahnya kembali berlanjut disertai muka masam, “Udah mending kalian saya terima ngontrak di sini. Murah lagi. Coba aja cari di tempat laen, belom tentu ada yang lebih murah dari sini, ‘kan?”

Murah? Ya, tentu saja. Justru karena harga sewanya yang terbilang sangat terjangkau itulah, Hanna rela menetap di tempat tersebut. Menjauh dari kediaman keluarga tercinta dulu dan kerap memanjakannya dengan berbagai fasilitas mencukupi. Itu dulu. Belum begitu lama. Baru beberapa bulan kebelakang atau hampir genap setahun berjalan. Sekarang, semuanya harus berubah total. Hidup mandiri dan mulai dari nol kembali. Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Drama kehidupan sosok perempuan muda tersebut bermula ketika dia memutuskan untuk ....

“Kak Hanna!”

“Astaga ... eh, astaghfirullah!” pekik Hanna terkejut begitu mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Lekas dia membalikkan badan. Menatap sesosok anak lelaki yang tengah berdiri mematung tidak jauh dari sana. “Ilham?”

“He-he.” Sosok itu terkekeh pelan. “Maafin Ilham, Kak. Tadi ... Ilham cuman mau mastiin, kalo yang ada di depan Ilham itu ... Kak Hanna. Ternyata bener, ‘kan?”

Hanna mengulas senyum sedikit, walaupun detak jantungnya masih terasa kencang. “I-iya, Dek, gak apa-apa. I-ini emang Kakak, kok.”

“Ah, syukurlah,” gumam anak lelaki yang bernama Ilham tadi kini mulai merasa lega. “Kakak mau ke aer?”

“I-iya,” jawab Hanna pendek seraya mendekap dada.

“Mau Ilham tungguin?”

Hanna mengerutkan kening. Sebuah tawaran yang baik. Apalagi di saat tengah didera rasa kaget seperti itu. Namun perempuan itu tidak serta merta mengiakan. Dia langsung berpikir bahwa sosok yang sedang ada di depannya tersebut bukanlah anak lelaki bisa. Umurnya sudah melewati masa akil baligh.

“T-tidak,” balas Hanna akhirnya, “enggak usah, Dek. Makasih, ya. Kakak gak apa-apa, kok.”

“Beneran? Serius nih, Kakak gak takut?” tanya Ilham kembali. Nadanya seperti tulus menawari bantuan, tapi jengah yang dirasa Hanna justru laksana sebuah candaan multi makna.

“I-iya, Dek. Kakak berani, kok,” jawab perempuan itu bimbang. “Eh, bukannya kamu mau ke mesjid?” Tiba-tiba Hanna teringat kalau Ilham memang terbiasa bangun pagi lebih awal, sama seperti dirinya, untuk pergi ke musala terdekat. “Buruan gih, Dek. Kalo telat, entar siapa yang adzan di sana?”

Ilham tersenyum.

“Ini juga udah siap-siap kok, Kak.”

“Ya, sudah. Duluan sana.”

“Tapi Kak Hanna gak apa-apa ‘kan, ditinggal sendirian?”

Hampir saja tawa Hanna meledak, tapi  keburu sadar pada situasi sekitar. “Tadi ‘kan, udah Kakak bilang,” ujarnya mesem-mesem, “Kakak gak apa-apa. Insa Alloh.”

“Insyaa Allah, Kak. Pake ‘syin’ gede (sy). Syaa. Bukan ‘saa’. Insyaa Allah ....” ujar Ilham mengoreki ucapan Hanna terakhir tadi.

“O, iya. Kakak lupa,” ucap Hanna buru-buru meralat pelafalannya. “Insyaa Allah. Sshhh ... sshhh ... Insyaa Allah. Nah, udah bener ‘kan, Dek Ustadz?”

Yang ditanya malah menjawab dengan seulas senyumannya.

“Ya, udah. Kalo ‘gitu, Ilham berangkat dulu ya, Kak,” akhirnya remaja lelaki yang masih duduk di bangku kelas tiga SLTP tersebut berpamitan.

“Oke. Hati-hati ya, Dek.”

“Makasih, Kak.”

Hanna mengangguk pelan. Tidak lekas bergegas ke kamar mandi sebagaimana tujuan semula, akan tetapi memerhatikan sosok Ilham yang mulai berjalan menjauh. Sebelum menghilang di balik tembok pagar, remaja tersebut menoleh ke belakang sejenak. Entahlah, mungkin hanya ingin memastikan kondisi Hanna.

“Ya, Tuhan!” desis perempuan itu seketika. Tiba-tiba teringat akan waktu yang sudah terlewati sejak tadi. ‘Mudah-mudahan saja masih ada sisa waktu buat sholat malem. Duh, kelamaan ngobrol malah jadi lupa niat awal, nih. Astaghfirullah!’

Buru-buru dia memasuki kamar mandi di bagian tengah, dimana penerangan lampu di sana jauh lebih banyak ketimbang di sebelah samping kanan-kiri. Lantas tidak berapa lama setelahnya, cepat-cepat mengambil air wudu usai membasuh sekujur badan.

Masih disertai gigil kedinginan, Hanna lekas kembali ke kamar dan segera melaksanakan empat rakaat ibadah salat sunah malam. Begitu anggun dibalut mukena putih dengan hiasan renda-renda bermotif bunga-bunga di sepanjang ujung kain. Gerak lisannya pun fasih berbisik, melafalkan bait demi bait kalimat suci yang bermakna penuh doa kepada Sang Khalik. Jauh berbeda dengan kala pertama dia melakukan ritual keagamaan tersebut dahulu. Betapa sulit untuk menghafal secara keseluruhan, apalagi mesti dibarengi gerakan-gerakan tertentu. Terpaksa, seringkali Hanna pun harus belajar salat sambil memerhatikan lembar demi lembar buku Tuntunan Shalat Lengkap. Bacaan yang dilafalkannya pun hanya mengandalkan dari transliterasi berupa tulisan.

...BERSAMBUNG...

Bagian 2

...CINTA JOHANNA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 2...

...------- o0o -------...

"Sedikit demi sedikit saja belajar baca huruf Arab, Han," ujar Reychan beberapa waktu sebelumnya. "Kamu bisa mulai dari buku Iqra. Nanti ada tingkatannya tersendiri. Dari yang gampang sampe yang agak sulit."

"Hhmmm, siapa yang mau ngajarin? Kamu?" tanya Hanna balik seraya memerhatikan rangkaian huruf-huruf aneh pada sebuah buku yang ditunjukkan lelaki tersebut ke hadapannya.

"Kalo kamu mau, kenapa enggak?" balas Reychan diiringi senyuman menggelitik, lantas disambut Hanna dengan hal senada. "Tapi …."

'Ya, Allah … Rey!' pekik Hanna tiba-tiba di dalam hati. Lantas memejamkan mata beberapa sesaat, usai menuntaskan rakaat terakhir salat malamnya. Benak perempuan muda itu mendadak teringat pada sosok lelaki yang satu itu. Reychan. Masih sebaya dan bahkan dari dia pula awal kehidupan Hanna mulai berubah. Termasuk tentang skenario lika-liku kisahnya bermula.

"Enggak, Hanna. Jangan," sergah Reychan kala itu, sewaktu Hanna mengungkapkan niatnya. "Kalo kamu mau berubah hanya karena aku, lebih baik jangan. Enggak usah." Timpal Hanna dengan raut bertanya-tanya, "Kenapa, Rey? Bukannya itu satu-satunya cara supaya keluarga kamu bisa nerima aku?"

Sejenak Reychan terdiam. Sepertinya berat untuk berkata-kata. Itu terbias sekilas dari dengkus napas serta pergerakan jakunnya yang naik-turun, mereguk sedikit basahan liur guna membasahi tenggorokan. "Enggak, Hanna," balas kemudian lelaki tersebut tercekat, "ada hal yang lebih penting dari sekedar itu."

Alis Hanna spontan terangkat. "Tentang apalagi, Rey?" tanyanya bingung. Seketika benaknya pun diliputi bermacam pertanyaan lain. "Memang di antara kita harus ada yang ngalah, 'kan? Dan yang aku pahami, tentu saja itu bukanlah kamu."

Reychan menarik napas panjang.

"Ayolah, Rey," desak Hanna kembali. "Kenapa sih, kami mesti ragu-ragu, 'gitu? Ngomong, dong! Tentang apalagi, hhmm?"

Pertanyaan itu belum sepenuhnya terjawab jujur. Reychan selalu berusaha mengelak atau bahkan terkadang berucap samar. Seakan-akan berat sekali untuk mengungkapkan perihal sebenarnya. Sampai akhirnya, Hanna pun berinisiatif untuk mewujudkan impian mereka berdua beberapa pekan setelah perbincangan tersebut. 

"Aku sudah bersahadat, Rey," ucap perempuan tersebut di jelang pengujung siang.

"Syahadat? Hanna?" timpal Reychan bertanya-tanya disertai keterkejutan luar biasa. "B-bagaimana mungkin kamu … aahhh, ini pasti hanya lelucon kamu saja, 'kan?" Dia sama sekali tidak memercayai ucapan Hanna, kekasihnya.

Kekasih? Ya, mereka berdua memang sepasang kekasih. Sebuah hubungan yang terajut sejak pertemuan Reychan dan Hanna di acara Ospek dulu. Sesama mahasiswa baru di kampus senada.

Perempuan berusia 21 tahun itu malah tersenyum kecil, kemudian lanjut menjawab. "Enggak, Rey. Ini beneran. Aku memang sudah bersahadat, kok. Sesuai sama keinginan kita, 'kan? Jadi …."

"Tapi …." Ucapan Reychan terhenti. Dia menggaruk kepala walau tidak merasa gatal. Berusaha untuk memercayai, tapi otak kecilnya tetap saja menolak.

"Sekarang kita sudah seiman ….," tutur Hanna berlanjut. "Itu artinya, sudah gak ada lagi hal yang menjadi biang permasalahan di antara kita. Aku harap …."

Tukas Reychan seketika tanpa bersedia mendengarkan penuturan Hanna seutuhnya, "Kenapa kamu gak ngomong dulu sama aku sih, Hanna? Kok, bisa-bisanya kamu ngelakuin itu tanpa konfirmasi dari aku?" Lenguh panjang menyertai respons lelaki tersebut usai menurunkan tangannya dari garukan di kepala. Belum ada reaksi semringah sebagaimana diharapkan oleh sosok gadis yang masih duduk terpaku di samping dia, terkecuali sisa efek kaget sejak awal tadi. Menyebalkan, pikir Hanna.

"Kenapa? Kamu gak seneng, Rey?" 

Reychan menoleh. Ditatapnya bias mata perempuan tersebut. "T-tentu saja aku s-senang, Hanna," jawab lelaki muda tersebut tergagap-gagap. "He-he, maaf … aku cuman sedikit shock saja." Buru-buru dia meraih jemari kekasihnya, lantas lanjut berkata, "Aku masih gak nyangka aja, Hanna, kamu … sudah sejauh ini ngelangkah. Padahal, aku sama sekali gak pernah minta atau ngajak kamu buat …."

"Karena aku sayang banget sama kamu, Rey," tukas Hanna seraya menyandarkan kepalanya di pundak Reychan. "Aku gak peduli sama aku sendiri. Yang terpenting, aku gak mau kehilangan kamu. Aku benar-benar mencintaimu."

Mendengar ucapan kekasihnya barusan, diam-diam lelaki itu memejamkan mata disertai tarikan napas panjang secara perlahan-lahan. Lantas mengusap-usap kepala Hanna selembut mungkin. Namun di dalam hati, dia membatin, 'Kamu gak tahu saja, Han, apa yang sebenarnya sedang aku pikirin akhir-akhir ini. Kalopun harus berkata jujur, aku khawatir banget hal itu bisa melukai hatimu. Sekarang … satu lagi permasalahan, justru makin bertambah. Aku … aku …."

...------- o0o -------...

"Astaghfirullahal'adziim!" seru Hanna seraya mengusap muka secara spontan. 'Ya, Allah … sudah tiba waktu Subuh!' lanjutnya membatin begitu lantunan suara azan yang terlantun di luar sana, menyeruak mengaburkan alam lamunan. Hafal sekali akan pemilik suara indah yang berasal dari pengeras suara di Musala terdekat tersebut adalah Ilham. 'Subhanallah … aku telah menghabiskan sisa waktu yang diberikan oleh Allah di sepertiga akhir malam hari ini, hanya dengan melamun? Astaghfirullah … maafin hamba-Mu ini, Tuhan.'

Dengkus napas perempuan itu seketika tersembur hangat, berbaur bersama semilir sejuk hawa pagi yang menerobos masuk melalui celah ventilasi jendela kamar.

Sesaat tadi, usai menunaikan ibadah sunah malamnya yang diiringi untaian bait doa, benak Hanna tiba-tiba berkelana mengingati akan masa-masa di beberapa waktu terlewati lalu. Tentu saja, mengenai sepenggal kisah indah serta mimpi-mimpi sepasang insan muda yang tengah terlena balutan asmara. Sosok laki-laki itu bernama Reychan.

Ya, Reychan.

Pertama kali Hanna mengenalnya dulu sewaktu sama-sama masuk bangku kuliah. Semula gadis tersebut tidak begitu memerhatikan, apalagi peduli. Namun seiring waktu berjalan, entah pikiran darimana dia mulai tertarik untuk mengenal Reychan lebih dekat. Bukan karena sosok dia yang begitu familiar di lingkungan kampus dan punya daya pikat wajah memesona, akan tetapi tersebab ….

"Kamu muslim?" tanya Hanna suatu ketika, secara tidak sengaja bertemu dengan Reychan usai menunaikan ibadah salat Jumat. Laki-laki itu mengiakan. Tidak panjang lebar menjawab pertanyaan. "Kamu baru tahu, ya?" tanyanya kemudian. "Kaget?"

Hanna menggeleng pelan, lantas menjawab datar, "Enggak juga, sih. Biasa saja, tuh." Buru-buru kembali ke aktivitasnya semula, yakni melihat-lihat deretan barang-barang di toko yang sedang dia kunjungi.

"Oh …." Bibir Reychan membulat. "Terus, kenapa barusan nanya?"

Merasa memiliki kewajiban untuk menjawab, lanjut Hanna berkata. "Hhmmm, baru aku lihat saja kamu habis keluar dari mesjid itu." Gadis tersebut memutar kepala dan memandang ke arah bangunan besar di seberang toko, tidak seberapa jauh dari tempat tersebut.

"Heran?" tanya Reychan kembali, sedikit terdengar seperti tengah menggoda gadis bermata sipit itu.

Mendengar pertanyaan lelaki itu, spontan Hanna balik menoleh. Menatapinya sejenak dengan pandangan aneh. "Loh, kenapa mesti heran? Aku bilang juga tadi, biasa saja, kok. Emang ada yang aneh sama pertanyaanku itu?"

...BERSAMBUNG...

Bagian 3

...CINTA JOHANNA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 3...

...------- o0o -------...

"Enggak juga, sih," timpal Reychan diiringi senyuman kecil. "Cuman … pertanyaan kayak kamu tadi, bukan pertama ini saja sih ditujuin buatku."

"Oh, maaf ya. Mungkin aku kurang–"

"Enggak apa-apa kok, Johanna," tukas Reychan seraya mengintip papan nama yang tersemat di jas almamater bagian dada gadis tersebut.

" … Cukup panggil aku Hanna saja."

"O, iya … Hanna. Maaf," ujar anak laki-laki itu. Kali ini agak sedikit kikuk. "Namaku Reychan. Panggil Rey saja."

"Hhmmm, aku sudah tahu, kok."

"Loh, kapan kita kenalan?" Reychan berpura-pura kaget. "Selama aku masuk kuliah, aku pikir kita …."

Tukas Hanna dengan cepat sebelum anak laki-laki tersebut menuntaskan ucapannya, "Ah, siapa sih yang gak kenal kamu di kampus, Rey?"

"Hhmmm."

Hanna menarik napas panjang.

"Maaf kalo cara perkenalanku tadi agak kurang sopan," ujar gadis tersebut tiba-tiba. "Gak seharusnya aku bertanya-tanya tentang privasi seseorang … termasuk agamamu." Dia terdiam sejenak. Mematung dengan tatapan kosong ke arah deretan barang-barang di rak toko. 'Sial, kenapa juga aku mesti nanya-nanya agama, sih? Apa gak ada lagi cara lain yang lebih elegan buat bikin obrolan basa-basi kayak begini? Duh, kok … ngedadak aku jadi ngerasa serba salah, ya? Cowok ini ….'

"Santai saja, Han. Gak ada yang perlu disesalin, kok," ujar Reychan menukas lamunan gadis itu seketika. "Kebetulan, waktu keluar dari mesjid tadi, aku ngelihat kamu di sini. Aku pikir … kok, kayak sering ngelihat di kampus. Nyatanya emang bener, 'kan? Makanya aku sengaja nyamperin ke sini." Beberapa saat keduanya membisu seraya memerhatikan seisi toko. "Kamu lagi nyari-nyari apa, Han?"

Jawab Hanna setengah berpikir, "Enggak begitu penting, sih." Dia masih terlihat sibuk melihat-lihat. "Cuman nyari hadiah kecil-kecilan."

"Hadiah?"

Gadis itu tersenyum kecut, lantas lanjut berujar, "Iya."

"Buat?"

Terdengar dengkus pelan menyembur dari mulut Hanna. "Adikku," jawabnya pendek, kemudian.

"Adikmu? Cewek atau cowok?"

"Cowok."

Tiba-tiba terdengar suara tertawa kecil di samping Hanna. Spontan gadis itu menoleh. "Ada yang lucu?" tanyanya heran. Buru-buru Reychan mengubah mimik wajah sedemikian rupa, kemudian langsung merespons, "Enggak. Maaf."

"Kamu sudah gak ada urusan di sini lagi 'kan, Rey?"

Reychan terhenyak. Sebuah kalimat halus yang bermakna lain. Apalagi kalau bukan memintanya untuk segera pergi, pikir laki-laki tersebut. Hanya saja yang menjadi masalah, apakah itu berkaitan dengan sikapnya barusan?

"Ada, sih?"

"Belanja juga?" tanya Hanna tanpa menoleh sedikit pun.

"Bukan."

"Terus?"

"Makan siang."

"Oh …." ujar Hanna dengan bibir membulat. "Ya, sudah. Kenapa gak buru-buru nyari?"

"Aku lagi nunggu."

"Temen atau …."

"Iya, temen."

"Ooohhh … belom dateng juga?"

"Udah ada, sih."

"Loh, terus?"

"Masih nunggu saja. Kira-kira dia mau gak aku ajak makan siang bareng, 'gitu."

Kali ini Hanna terpaksa menoleh sejenak. Memerhatikan sosok di sampingnya yang tampak ikut melihat-lihat barang di rak toko. "Dia? Temen atau …."

"Aku bilang tadi 'kan … temen. Cewek."

"Cewek? Pacarmu?" Nada suara Hanna agak melonjak naik.

"Temen, Han. Dih, sudah dibilangin dari tadi juga … temen."

"Terus?"

"Apanya yang terus?"

"Temenmu itu loh, Rey!"

"Iya, kenapa?"

"Loh, kok malah tanya aku? Ya, kamu tanya kek sama temenmu itu. Katanya sudah ada di sini? Mana? Telpon atau apalah …." ucap Hanna terlihat sedikit risi.

"Aku belom tahu nomor HP-nya," balas Reychan santai. Tentu saja hal tersebut kian membuat Hanna terheran-heran. "Bagaimana urusannya, sih? Katanya temen, tapi kok belum punya nomor kontaknya. Aneh, deh."

Lelaki itu malah cengagas-cengenges memerhatikan tingkah gadis di dekatnya. Lantas dia lanjut berimbuh, "Yaaa … gak aneh juga, sih. Orangnya saja baru ketemu."

Sejenak, Hanna melirik dan mengangkat tinggi-tinggi kedua alisnya.

"Hah?" Mulut gadis tersebut sampai ternganga lebar. "Katanya tadi temen. Kok, baru ketemu? Maksud kamu … ah!" Mendadak benaknya diliputi beberapa pertanyaan tidak asing disertai perasaan tidak menentu. 'Hhmmm, aku mencium ada gelagat gak beres, nih.'

"Kenapa? Kok, gak diterusin? Kalimat kamu nanggung, tahu!" ujar Reychan mulai berani melempar nada-nada bercanda. "Terusin dong, Han. He-he."

"Gak, ah," balas gadis bermata sipit tersebut tampak gelagapan. 

"Kenapa?"

"Gak apa-apa."

"Pasti ada apa-apanya."

"Dih, sok tahu!"

"Perlu, dong."

"Apanya?"

"Ya, itu tadi … perlu tahu. Ha-ha!"

Suara tawa Reychan cuma sesaat menguar. Kemudian berhenti dan mengubah romannya secepat kilat. Bukan tanpa sebab, karena beberapa pasang mata di sekitar toko tersebut, mendadak tertuju ke arah yang sama. Siapa lagi kalau bukan pada mereka berdua.

"Syukurin!" ujar Hanna sembari menahan gelitik urat tawanya. Merasa lucu saja melihat ekspresi sekilas di wajah lelaki itu.

"Kamu, sih!" tuding Reychan pura-pura marah dan langsung ditimpali gadis tersebut, "Loh, kok jadi aku?"

"Iyalah," balas pihak penuding barusan. "Gara-gara kamu … kebiasaan jahilku jadi angot. He-he."

"Itu sih dasarnya kamu saja, Rey. Hi-hi," ucap Hanna tanpa sadar jika gaya percakapan mereka berdua sudah mulai terdengar normal alias tidak kaku sebagaimana awal-awal tadi. "Eh, katanya kamu lagi ditunggu sama temenmu? Sana cari, deh. Kok, malah jadi diam di sini, sih?"

Reychan mesem-mesem.

"Masih nunggu, kok."

"Temenmu?"

"Yang lagi nyari hadiah kecil buat adiknya."

"Aku?" Spontan Hanna bereaksi seperti tengah dilanda kaget.

"Siapa lagi?"

"Hah?!"

"Kok, hah?"

Gadis tersebut menggeleng-geleng. Dia berusaha untuk memahami ucapan Reychan tadi. Namun hati kecilnya mulai menduga-duga bahwa sosok teman yang dimaksud oleh lelaki itu adalah dirinya. Bagaimana mungkin? Benarkah?

"Oh, enggak," kata Hanna kemudian. "Aku mulai paham arah omonganmu tadi itu, Rey."

"Omonganku yang mana?" tanya Reychan masih berpura-pura bingung. Padahal gelitik di hatinya sudah mulai mengentak-entak geli. Sorot mata lelaki tersebut tidak mau lepas memandangi sosok di dekatnya itu. 'Cantik juga nih cewek. Hi-hi. Cuman sayangnya, dia ini ….'

Hanna kembali menggeleng. Dia tidak mau menjawab. Khawatir jika tebakannya tadi meleset. Tentu rasa malu yang bakal diterima nanti. Lagipula, secara karakteristik, perempuan itu harus bisa menjaga image. Masa hanya dicandai seperti itu langsung meleleh? Setidaknya, andai benar pun juga, tetap mesti sok jual mahal. Pura-pura menolak misalkan, tapi keukeuh berharap besar. 'Paksa, dong. Masa segitu saja nyerah?' Seperti itulah kira-kira bunyi prinsipnya.

Sebuah pertemuan dan perkenalan singkat di tengah hari Jumat kala itu, ternyata berlanjut hingga melewati masanya tersendiri. Hanna, seorang gadis keturunan Tionghoa, diam-diam memendam asa besar pada Reychan. Entah apa yang menimbulkan bibit-bibit rasa di hati, akan tetapi gayung itu pun bersambut samar dari balik sikap jahil lelaki tersebut. Memang belum pernah terucap kalimat-kalimat spesifik di sepanjang percakapan yang kerap mereka lakukan. Namun bahasa-bahasa tubuh dari kedua insan berbeda ras dan suku itu, seringkali terungkap tanpa disadari. Hal sebenarnya, sama-sama memendam rahasia serupa. Mungkin? Sepertinya begitu.

...BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!