Bagian 3

...CINTA JOHANNA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 3...

...------- o0o -------...

"Enggak juga, sih," timpal Reychan diiringi senyuman kecil. "Cuman … pertanyaan kayak kamu tadi, bukan pertama ini saja sih ditujuin buatku."

"Oh, maaf ya. Mungkin aku kurang–"

"Enggak apa-apa kok, Johanna," tukas Reychan seraya mengintip papan nama yang tersemat di jas almamater bagian dada gadis tersebut.

" … Cukup panggil aku Hanna saja."

"O, iya … Hanna. Maaf," ujar anak laki-laki itu. Kali ini agak sedikit kikuk. "Namaku Reychan. Panggil Rey saja."

"Hhmmm, aku sudah tahu, kok."

"Loh, kapan kita kenalan?" Reychan berpura-pura kaget. "Selama aku masuk kuliah, aku pikir kita …."

Tukas Hanna dengan cepat sebelum anak laki-laki tersebut menuntaskan ucapannya, "Ah, siapa sih yang gak kenal kamu di kampus, Rey?"

"Hhmmm."

Hanna menarik napas panjang.

"Maaf kalo cara perkenalanku tadi agak kurang sopan," ujar gadis tersebut tiba-tiba. "Gak seharusnya aku bertanya-tanya tentang privasi seseorang … termasuk agamamu." Dia terdiam sejenak. Mematung dengan tatapan kosong ke arah deretan barang-barang di rak toko. 'Sial, kenapa juga aku mesti nanya-nanya agama, sih? Apa gak ada lagi cara lain yang lebih elegan buat bikin obrolan basa-basi kayak begini? Duh, kok … ngedadak aku jadi ngerasa serba salah, ya? Cowok ini ….'

"Santai saja, Han. Gak ada yang perlu disesalin, kok," ujar Reychan menukas lamunan gadis itu seketika. "Kebetulan, waktu keluar dari mesjid tadi, aku ngelihat kamu di sini. Aku pikir … kok, kayak sering ngelihat di kampus. Nyatanya emang bener, 'kan? Makanya aku sengaja nyamperin ke sini." Beberapa saat keduanya membisu seraya memerhatikan seisi toko. "Kamu lagi nyari-nyari apa, Han?"

Jawab Hanna setengah berpikir, "Enggak begitu penting, sih." Dia masih terlihat sibuk melihat-lihat. "Cuman nyari hadiah kecil-kecilan."

"Hadiah?"

Gadis itu tersenyum kecut, lantas lanjut berujar, "Iya."

"Buat?"

Terdengar dengkus pelan menyembur dari mulut Hanna. "Adikku," jawabnya pendek, kemudian.

"Adikmu? Cewek atau cowok?"

"Cowok."

Tiba-tiba terdengar suara tertawa kecil di samping Hanna. Spontan gadis itu menoleh. "Ada yang lucu?" tanyanya heran. Buru-buru Reychan mengubah mimik wajah sedemikian rupa, kemudian langsung merespons, "Enggak. Maaf."

"Kamu sudah gak ada urusan di sini lagi 'kan, Rey?"

Reychan terhenyak. Sebuah kalimat halus yang bermakna lain. Apalagi kalau bukan memintanya untuk segera pergi, pikir laki-laki tersebut. Hanya saja yang menjadi masalah, apakah itu berkaitan dengan sikapnya barusan?

"Ada, sih?"

"Belanja juga?" tanya Hanna tanpa menoleh sedikit pun.

"Bukan."

"Terus?"

"Makan siang."

"Oh …." ujar Hanna dengan bibir membulat. "Ya, sudah. Kenapa gak buru-buru nyari?"

"Aku lagi nunggu."

"Temen atau …."

"Iya, temen."

"Ooohhh … belom dateng juga?"

"Udah ada, sih."

"Loh, terus?"

"Masih nunggu saja. Kira-kira dia mau gak aku ajak makan siang bareng, 'gitu."

Kali ini Hanna terpaksa menoleh sejenak. Memerhatikan sosok di sampingnya yang tampak ikut melihat-lihat barang di rak toko. "Dia? Temen atau …."

"Aku bilang tadi 'kan … temen. Cewek."

"Cewek? Pacarmu?" Nada suara Hanna agak melonjak naik.

"Temen, Han. Dih, sudah dibilangin dari tadi juga … temen."

"Terus?"

"Apanya yang terus?"

"Temenmu itu loh, Rey!"

"Iya, kenapa?"

"Loh, kok malah tanya aku? Ya, kamu tanya kek sama temenmu itu. Katanya sudah ada di sini? Mana? Telpon atau apalah …." ucap Hanna terlihat sedikit risi.

"Aku belom tahu nomor HP-nya," balas Reychan santai. Tentu saja hal tersebut kian membuat Hanna terheran-heran. "Bagaimana urusannya, sih? Katanya temen, tapi kok belum punya nomor kontaknya. Aneh, deh."

Lelaki itu malah cengagas-cengenges memerhatikan tingkah gadis di dekatnya. Lantas dia lanjut berimbuh, "Yaaa … gak aneh juga, sih. Orangnya saja baru ketemu."

Sejenak, Hanna melirik dan mengangkat tinggi-tinggi kedua alisnya.

"Hah?" Mulut gadis tersebut sampai ternganga lebar. "Katanya tadi temen. Kok, baru ketemu? Maksud kamu … ah!" Mendadak benaknya diliputi beberapa pertanyaan tidak asing disertai perasaan tidak menentu. 'Hhmmm, aku mencium ada gelagat gak beres, nih.'

"Kenapa? Kok, gak diterusin? Kalimat kamu nanggung, tahu!" ujar Reychan mulai berani melempar nada-nada bercanda. "Terusin dong, Han. He-he."

"Gak, ah," balas gadis bermata sipit tersebut tampak gelagapan. 

"Kenapa?"

"Gak apa-apa."

"Pasti ada apa-apanya."

"Dih, sok tahu!"

"Perlu, dong."

"Apanya?"

"Ya, itu tadi … perlu tahu. Ha-ha!"

Suara tawa Reychan cuma sesaat menguar. Kemudian berhenti dan mengubah romannya secepat kilat. Bukan tanpa sebab, karena beberapa pasang mata di sekitar toko tersebut, mendadak tertuju ke arah yang sama. Siapa lagi kalau bukan pada mereka berdua.

"Syukurin!" ujar Hanna sembari menahan gelitik urat tawanya. Merasa lucu saja melihat ekspresi sekilas di wajah lelaki itu.

"Kamu, sih!" tuding Reychan pura-pura marah dan langsung ditimpali gadis tersebut, "Loh, kok jadi aku?"

"Iyalah," balas pihak penuding barusan. "Gara-gara kamu … kebiasaan jahilku jadi angot. He-he."

"Itu sih dasarnya kamu saja, Rey. Hi-hi," ucap Hanna tanpa sadar jika gaya percakapan mereka berdua sudah mulai terdengar normal alias tidak kaku sebagaimana awal-awal tadi. "Eh, katanya kamu lagi ditunggu sama temenmu? Sana cari, deh. Kok, malah jadi diam di sini, sih?"

Reychan mesem-mesem.

"Masih nunggu, kok."

"Temenmu?"

"Yang lagi nyari hadiah kecil buat adiknya."

"Aku?" Spontan Hanna bereaksi seperti tengah dilanda kaget.

"Siapa lagi?"

"Hah?!"

"Kok, hah?"

Gadis tersebut menggeleng-geleng. Dia berusaha untuk memahami ucapan Reychan tadi. Namun hati kecilnya mulai menduga-duga bahwa sosok teman yang dimaksud oleh lelaki itu adalah dirinya. Bagaimana mungkin? Benarkah?

"Oh, enggak," kata Hanna kemudian. "Aku mulai paham arah omonganmu tadi itu, Rey."

"Omonganku yang mana?" tanya Reychan masih berpura-pura bingung. Padahal gelitik di hatinya sudah mulai mengentak-entak geli. Sorot mata lelaki tersebut tidak mau lepas memandangi sosok di dekatnya itu. 'Cantik juga nih cewek. Hi-hi. Cuman sayangnya, dia ini ….'

Hanna kembali menggeleng. Dia tidak mau menjawab. Khawatir jika tebakannya tadi meleset. Tentu rasa malu yang bakal diterima nanti. Lagipula, secara karakteristik, perempuan itu harus bisa menjaga image. Masa hanya dicandai seperti itu langsung meleleh? Setidaknya, andai benar pun juga, tetap mesti sok jual mahal. Pura-pura menolak misalkan, tapi keukeuh berharap besar. 'Paksa, dong. Masa segitu saja nyerah?' Seperti itulah kira-kira bunyi prinsipnya.

Sebuah pertemuan dan perkenalan singkat di tengah hari Jumat kala itu, ternyata berlanjut hingga melewati masanya tersendiri. Hanna, seorang gadis keturunan Tionghoa, diam-diam memendam asa besar pada Reychan. Entah apa yang menimbulkan bibit-bibit rasa di hati, akan tetapi gayung itu pun bersambut samar dari balik sikap jahil lelaki tersebut. Memang belum pernah terucap kalimat-kalimat spesifik di sepanjang percakapan yang kerap mereka lakukan. Namun bahasa-bahasa tubuh dari kedua insan berbeda ras dan suku itu, seringkali terungkap tanpa disadari. Hal sebenarnya, sama-sama memendam rahasia serupa. Mungkin? Sepertinya begitu.

...BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

reychan..

2022-10-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!