Bagian 4

...CINTA JOHANNA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 4...

...------- o0o -------...

Bentuk kepasrahan Hanna akan undangan bahasa rayu dari Reychan, terwujud sejak pertemuan mereka di hari Jumat Tersebut. Dia mau memenuhi ajakan lelaki itu untuk duduk menghadapi meja makan siang bersama-sama. Diiringi senda gurau akrab, laksana dua sahabat karib yang baru bersua usai berpisah selama puluhan tahun silam. Sepintas begitu serasi tertampak. Gadis berkulit putih yang memilik dasar karakter sedikit apatis, berkolaborasi dengan sosok humoris tapi memiliki nilai attitude terjaga. 

"Kak Hanna!" 

Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil-manggil di luar kamar kontrakan. 

"Astaghfirullah!" 

Hanna lekas bangkit dari duduknya di atas sajadah. Lamunan akan masa lalu dia tadi itu pun langsung buyar membias. Kemudian buru-buru menghambur pintu. "Ilham?"

"Iya, Kak. Ini Ilham. Assalaamu'alaikum," balas sosok di luar tadi dengan keras.

"Wa'alaikumussalaam. Sebentar, Dek," ucap Hanna seraya memutar anak kunci yang tergantung di lobang pintu kamar, lantas menarik keras untuk menguakkan. "Ada apa?"

Anak SMP itu tersenyum manis begitu beradu pandang, lalu menyodorkan sepiring nasi pada Hanna. "Dari Ibu, buat sarapan Kak Hanna," ujarnya masih disertai wajah berseri-seri. "Lumayan, Kak, biarpun cuman nasi goreng."

"Ya, Allah … Alhamdulillah," seru Hanna semringah seraya menerima sodoran dari Ilham. "Duh, kok aku jadi ngerepotin Ibu sama Ilham, ya?"

"Gak apa-apa, Kak," balas anak remaja tersebut kemudian. "Orang Ibu sengaja kok bikin banyak, biar Kak Hanna kebagian."

"O, iya … terima kasih ya, Dek Ilham," ucap Hanna akhirnya. "Sampein juga sama Ibu, terima kasih 'gitu dari Kak Hanna."

"Iya, Kak."

"Sebentar lagi, Kak Hanna juga mau ke sana, kok, buat ngambil bahan cucian hari ini."

"Iya, Kak."

Sepeninggal Ilham, Hanna kembali menutup daun pintu kamar. Lantas meletakkan sepiring nasi pemberian tadi di atas meja kecil. 'Subhanallah, aku telah kembali menyia-nyiakan waktu pagi hari penuh berkah ini dengan lamunan. Ah, mengapa juga kejadian itu harus terus diingat-ingat, sih? Bukankah Reychan sudah lama pergi?' pikir gadis tersebut diiringi dengkus kesal beberapa kali. 'Dia tidak mungkin akan datang kembali. Memenuhi janjinya padaku atau bahkan meminta untuk ….'

"Assalaamu'alaikum!"

Baru saja Hanna hendak menyantap sarapan nasi goreng pemberian ibunya Ilham tadi, seseorang beruluk salam di luar ruangan. 'Siapa, ya? Sepagi ini … ah, bukannya itu suara Mas Ravi?' Bertanya-tanya gadis tersebut seraya menaruh kembali piringnya di atas meja. "Wa'alaikum salaam. Sebentar, ya."

Hanna bergegas membukakan pintu. Begitu terkuak, sesosok raut wajah lelaki langsung melemparinya senyuman. "Selamat pagi, Hanna," ujar dia sambil membungkukkan badan.

"Mas Ravi?"

"He-he." Laki-laki itu kembali tersenyum. "Kenapa? Kaget, ya?"

Hanna balas memberi sosok tersebut sebuah senyuman. Manis membentuk garis tipis kembar di kedua pipi putihnya. Tampak agak malu-malu bercampur entakan kejut yang dirasa. "Eeumm …." dehamnya tiba-tiba digayuti dera bingung, "tumben Mas Ravi ke mari sepagi begini? Ada apa, Mas?"

Jawab Ravi sambil mengasongkan sebuah bungkusan plastik ke hadapan Hanna, "Buat kamu, Han. Buat sarapan."

Sejenak gadis tersebut terperanjat untuk kali kedua. "Ya, Allah! Mas Ravi?" Dia hanya terbengong-bengong sesaat, menatap lekat bungkusan yang masih tergantung bebas di jemari Ravi.

"Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya lelaki yang tampak masih terlihat muda itu. Dia terus memandangi raut wajah Hanna. Seakan sekalian menikmati pemandangan bagus yang ada di hadapannya tersebut. "Ambil, dong. Sengaja aku beli ini di depan jalan sana itu, khusus buat kamu."

"Tapi …."

"He-he, tenang saja. Aku gak bakalan berlama-lama di sini kok, Han," ujar Ravi kembali. "Aku mau berangkat kerja."

"O, iya," ucap Hanna akhirnya buru-buru tersadar. "Mas Ravi gak masuk dulu? Mungkin sekalian sarapan bareng."

Ravi menggeleng, lantas menjawab, "Enggak, Han. Makasih." Dia mendengkus sekali dan lanjut berkata, "Aku sudah sarapan sama Sarah tadi di rumah."

'Sarah?' membatin gadis itu diiringi senyum kecut yang sengaja dia sembunyikan dari pandangan Ravi. 'O, iya … hampir saja aku lupa, kalo Mas Ravi ini sudah beristri. Kenapa sebodoh itu pula, tadi aku menyilakannya masuk ke dalam? Ah!'

"Oh, begitu? Ya, sudah kalo begitu, Mas," ujar Hanna akhirnya. Kali ini buru-buru menerima sodoran bungkus makanan dari tangan lelaki tersebut. "Terima kasih, ya."

"Sama-sama, Hanna."

"Lain kali gak usah repot-repot begini, Mas. Pake nyempetin beli makanan buat sarapanku segala."

"He-he … gak apa-apa, Han," balas Ravi terlihat semringah sekali pemberiannya diterima oleh Hanna. "Tiba-tiba saja aku keingetan sama kamu."

"Masa, sih?" tanya gadis itu langsung bersemu merah sekulit pipinya. Ada rasa senang menjalari hati mendapat perhatian dari lelaki tersebut, tapi di sisi lain terbersit pula perasaan lain mengingat akan sosok istrinya Ravi. Sudah tentu, kedatangannya ke tempat kontrakan Hanna ini tanpa sepengetahuan Sarah.

"Eeummm … maksudku, keingetan kalo kamu … pasti belom sempet nyiapin buat makan pagi. Begitu, Han," kata Ravi menjelaskan ucapannya di awal tadi. "Makanya aku sempetin saja ke sini, sekalian berangkat kerja. Lagian daerah ini 'kan searah sama perjalananku pulang-pergi dari rumah ke kantor."

"Iya, aku tahu itu, Mas," timpal Hanna datar. "Tapi lain kali …."

"Permisi, Kak Hanna."

Serentak Hanna dan Ravi menoleh ke arah asal suara barusan. Tampak Ilham sedang berdiri, tertegun, memandangi mereka berdua.

"Eh, i-iya … Ilham? A-ada apa, Dek?" Terbata-bata gadis tersebut berkata-kata. Sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi sosok remaja itu sudah lama berada di sana. Tidak terkecuali Ravi. Jawab Ilham dengan raut kecut menatap tamu sesamanya, "Mau naruh titipan cucian Ibu, Kak."

Timpal Hanna seketika, "O, iya. Bawa masuk saja ke dalam, Dek. Taruh di tempat biasa, ya? Kakak lagi ada tamu dulu, nih."

Remaja SLTP kelas 9 itu menurut. "Iya, Kak," ujarnya sambil tetap memandangi sosok Ravi hingga masuk ke dalam kamar kontrakan Hanna.

Kembali gadis itu melirik-lirik ke arah Ravi begitu Ilham bergegas ke dalam. "Dia Ilham, Mas. Anak tetangga kamar sebelah," ucapnya usai menerka-nerka makna tatapan lelaki di depannya akan kemunculan remaja tanggung tadi. "Anaknya baik, kok. Sudah kuanggap kayak adik sendiri."

"Ooohh ….." Ravi Manggut-manggut, tapi sudut matanya mengintip ke dalam kamar Hanna seperti tengah mencari-cari keberadaan sosok Ilham. "Sudah lama kalian saling mengenal dan sedekat ini?"

Hanna tersenyum manis, lantas menjawab pelan, "Yaaa … kurang lebih … sejak aku tinggal di sini, Mas. Di kontrakan ini maksudku."

"Ooohhh …."

Imbuh Hanna kembali, "Ilham itu pinter ngaji loh, Mas."

"O, iya?"

"He'eh," jawab Hanna mulai berapi-api memuji remaja tadi. "Dari dia juga, aku sering belajar ngaji. Terutama cara ngucapin huruf Arab."

...BERSAMBUNG...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!