...CINTA JOHANNA...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 5...
...------- o0o -------...
"Hijaiyah?"
"Nah, itu maksudku!" tukas Hanna kembali. "Apa tuh istilahnya buat belajar ngucapin huruf hijaiyah dengan benar, Mas?"
"Makharijulhuruf."
"Oh, itu ya? Bukannya tajwid?"
"Kalo tajwid itu hukum cara membaca ayat-ayat Al Qur'an. Kayak idgham, idzhar, ikhfa, iqlab, qalqalah kubro dan sugro, mad thabi'i dan mad far'i. Nah, mad far'i sendiri terbagi-bagi lagi macamnya, yaitu berjumlah 14 jenis. Antara lain ada Muttasil, Jaiz Munfashil, Lazim Mutsaqqal Kilmi, dan lain-lain."
"Banyak banget, Mas," ujar Hanna bingung. Namun jauh di lubuk hatinya, justru sangat memuji akan kekayaan ilmu agama yang dimiliki Ravi. Bahkan itu pula salah satu hal yang menyebabkan mereka berdua tampak akrab seperti itu. Gadis itu jadi memiliki tempat untuk bertanya seputar agama barunya, yakni Islam.
Ravi hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Hanna barusan. "Memang begitulah, Han, salah satu cara Allah menjamin kemurnian Al Qur'an. Mungkin, ya. Ini cuman argumen pribadiku saja, sih."
Hanna manggut-manggut. Namun topik percakapan dadakan mereka pagi itu, justru mengingatkan dia akan pertanyaan yang sering terlintas di benaknya. "Eh, Mas Ravi …."
"Hhmmm?"
"Mau tanya, nih. Boleh?"
"Tanyalah. Aku 'kan sering bilang, kalo aku tahu pasti akan kujawab. Di luar kemampuanku, Insyaa Allah akan kubantu buat nyariin jawaban lain sama ahlinya."
"He-he …." Hanna mengekeh kecil. "Ini Mas, terkait bahasa Al Qur'an."
"Ya? Terus?"
Beberapa kali Ravi mengentak-entakkan kaki dari dera rasa pegal sejak tadi. Berdiri mematung mulai dari awal datang hingga kini.
Hanna melanjutkan pertanyaannya, "Al Qur'an itu 'kan menggunakan bahasa Arab. Seperti kayak tadi yang Mas jelaskan, ada aturan-aturan tersendiri buat ngucapin atau ngebaca ayat-ayat Al Qur'an. Nah, orang-orang Arab itu sendiri 'kan sudah pasti … gak semuanya memeluk agama Islam, bukan?"
"Ya, bener. Terus?"
"Nah, terus … kira-kira mereka yang bukan Islam itu tadi, bisa baca Al Qur'an gak? Mereka ngerti gak sama isi Al Qur'an? Apa cara baca Al Qur'an mereka itu bakal make ilmu tajwid juga?" Bertubi-tubi pertanyaan yang diajukan Hanna, hingga tidak sadar Ravi pun sontak menggeleng-gelengkan kepala.
"Masyaa Allah …." ungkap lelaki itu disertai senyum bangga. "Biasanya aku paling gak tahan saat Sarah mulai bersikap cerewet. Tapi ketika ada seseorang yang bawel karena haus akan rasa keingintahuannya, apalagi dalam perihal agama, paling enggak … rasanya gak salah 'kan kalo aku justru ngerasa senang? He-he."
"Aku cerewet ya, Mas?"
"Eh, bukan itu maksudnya, Hanna," ujar Ravi buru-buru memverifikasi ucapannya tadi. "Maksudku … cerewet dan bawel itu sesuatu yang berbeda makna, walaupun dilakukan dengan cara yang hampir mirip."
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk. Berasal dari dalam kontrakan Hanna. Tentu saja, kalau bukan Ilham, siapa lagi?
"Ilham?" tanya Ravi pada Hanna terkait pemilik suara batuk barusan.
"Iya, Mas," jawab gadis tersebut terlihat cuek dan berharap sekali pertanyaannya tadi segera terjawab.
"Dia masih di dalam?" tanya kembali Ravi terheran-heran.
"Iya."
"Lagi ngapain? Bukannya tadi dia bilang cuman mau nganterin cucian kotor ibunya?"
"Memang. Terus kenapa?"
Ravi menggaruk sebentar kulit kepalanya yang tidak gatal. Dia tampak sekali ingin berkata-kata, akan tetapi sesaat setelah melihat-lihat jam tangan, malah mengurungkan niatnya dan memilih untuk segera berpamitan. "Aku harus segera berangkat, Han. Sudah mulai siang, nih," ucap lelaki tersebut gelagapan.
"Terus … pertanyaanku tadi 'gimana?"
Ravi berpikir dulu sejenak, lantas menjawab, "Insyaa Allah, nanti kalo aku ada waktu, akan kujawab."
"Kapan?" desak Hanna agak kecewa.
Jawab kembali lelaki itu, "Yaaa … nanti kalo kita ketemu lagi. Mudah-mudahan. Insyaa Allah."
"Hhmmm," lenguh gadis bermata sipit tersebut.
"Sekalian …." imbuh Ravi sebelum meninggalkan tempat, "aku cariin juga buku-buku agama yang terkait sama pertanyaanmu tadi."
"Serius?"
"Insyaa Allah."
"Baiklah, Mas Ustadz. Terima kasih atas kunjungan dan bekal sarapannya ini," kata Hanna seraya mengangkat bungkusan makanan pemberian Ravi tadi. "Semoga sampai ke tempat kerjaan Mas Ustadz dengan selamat."
"Aamiin. Terima kasih, Adikku Hanna," balas Ravi tidak mau kalah bersenda gurau. "Hari ini Adik Hanna kuliah, 'kan?"
"Entar siang, Mas Ustadz," timpal gadis tersebut disertai senyumannya, sehingga semakin menyipitkan area kelopak mata. "Pagi ini aku kayak biasa … kuli nyuci dulu. He-he."
"Gak capek?"
"Ada yang suka bantuin, kok."
"Anak yang tadi? Ilham?"
Hanna mengangguk, mengiakan. Disambut kerutan hebat kening Ravi mendengar jawaban gadis itu. Tidak lanjut berucap apa-apa, terkecuali segera berpamitan dan tidak berapa lama kemudian menghilang bersama deru mesin X-pander-nya.
"Temen Kak Hanna, ya?" Ilham bertanya begitu Hanna memasuki kamar kontrakan. Dijawab cepat gadis berkulit putih itu, "Iya. Namanya Mas Ravi. 'Kan, udah beberapa kali ke sini. Dek Ilham tentu sudah tahu, 'kan?"
"Cuman beberapa kali ngelihat saja, Kak," ucap remaja berusia 15 tahun tersebut dengan roman kelabu. "Beneran cuman temenan, Kak?"
Pertanyaan Ilham kali ini sontak membuat Hanna yang tengah melanjutkan sarapan paginya terhenti. "Iya, Dek. Mas Ravi itu cuman temen Kakak."
"Ooohhh."
"Emang kenapa, sih? Ilham kenal juga sama Mas Ravi?" tanya Hanna penasaran.
Remaja tanggung itu tidak lantas menjawab. Dia bangkit dari posisi jongkoknya, usai membantu memilah-milah cucian kotor yang akan segera dikerjakan Hanna. "Ilham mau siap-siap berangkat sekolah dulu, Kak," ujar Ilham masih dengan raut wajah datar. "Kalo Kakak perlu bantuan Ilham, titip pesan saja sama Ibu Ilham. Nanti Ilham kerjain sepulang sekolah."
"Iya, Dek. Makasih, ya."
Anak lelaki itu tidak lagi menyahut apa pun. Dia segera bergegas keluar kamar, meninggalkan sisa pertanyaan heran di benak Hanna.
'Ilham kenapa, sih? Gak biasanya dia begitu,' membatin gadis tersebut. 'Apa lagi ada masalah dengan bapaknya? Ibunya, mungkin? Ah, tapi ….'
Bisikan hatinya seketika terhenti, begitu terfokus pada bungkusan plastik berisi makanan pemberian Ravi tadi. 'Hhmmm, menu sarapan kesukaanku ….' Ada nasi kuning yang dihiasi dengan taburan bawang merah goreng, bihun, kerupuk, juga geletak dua buah telur ayam lengkap bersama bumbu baladonya. 'Makasih ya, Mas Ravi. Kamu emang baik banget, deh. Tapi ….'
Hanna termenung sesaat.
'Mas Ravi sudah beristri. Punya keluarga sendiri. Terus, kenapa aku masih mau berteman dekat dengan dia? Apa ini bukan sesuatu yang konyol? Terutama akan pandangan orang lain nanti padaku.'
'Andai saja bukan atas kemurahan hati Mas Ravi, sudah tentu aku yang sekarang tidak akan pernah bisa berada di sini dan dalam kondisi seperti ini pula. Melanjutkan kuliah yang hanya tinggal beberapa semester ini pun, atas bantuan Mas Ravi. Sedangkan Mama dan Papa, juga adikku sendiri ….'
Hanna tertunduk lesu. Derai air matanya mulai menganak pinak. Lantas sebentar kemudian isak kecil itu pun menggaur pelan.
'Mama … Papa … apakah aku harus kembali pulang dan menjadi bagian dari kehidupan kita dulu? Meninggalkan keyakinan baruku yang justru mengempaskan kebahagiaan ini dari keluargaku sendiri. A-aku … a-aku bingung, Tuhan!'
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments