Mereka malah menertawaiku seperti tak punya dosa saja. Aku meraih mawar itu dari tangannya dan membalas tawa jahat mereka padaku. Tapi aku bersyukur, tak sesuai dengan ekspektasiku. Ku pikir dia masih sedih dan butuh teman curhat. Syukurlah jika dia sudah melupakan tentang penghianatan yang di lakukan pacarnya padanya dan dia bisa ketawa lagi.
Kami pun pulang karena hari sudah sore. Kak Andre mengantar anak-anak ke rumah mereka. Dan begitu terkejut kami, gubuk yang kumuh tak layak di tinggali, tapi merela terpaska tinggal di tempat itu hanya berdua saja.
"Insyaallah, kakak akan sering main kesini, boleh yah," ucap kak Andre mengelus rambut kedua anak itu.
"Yeeeee." Mereka melonjak kegirangan.
Kamipun melanjutkan perjalanan pulang. Di perjalanan, sesaat terlintas di pikiranku tentang perjodohan kami. Aku pun menyinggung tentang perjodohan itu dengan harapan dia akan jujur padaku kalau dia juga ingin perjodohan kami batal dan mau membantuku, tapi dia tetap bungkam dan tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Wajahnya terlihat sedih. Aku rasa, sebenarnya dia juga sedih karena perjodohan itu, tapi dia berusaha terlihat bahagia di depanku demi kedua orang tuanya. Seharusnya aku menghargai sikapnya itu.
Aku merasa bersalah karena aku membuatnya sedih, karena itu aku mengajaknya ke toko buku untuk mengalihkan pikirannya. Dan untungnya dia mau. Di sepanjang jalan dia tetap diam, mungkin dia kesel sama aku. Diamnya membuatku semakin merasa bersalah saja.
Sesampainya di sana, aku sibuk mencari novel yang covernya mampu memikat hati. Semoga isi dan covernya pun sama. Bukan bagus covernya, tapi buruk dalamnya.
Bisa di bilang berburu novel adalah salah satu hobiku. Berbeda dengan kak Andre yang hobinya ngisengin orang. Dia malah sibuk memotretku. Dia malah menertawakan aku. Biarlah! Setidaknya keisengannya membuatnya tertawa lagi. Tak terasa senja sudah menyapa. setelah membeli novel, kami pulang.
Kak Andre orangnya asyik, humoris dan dewasa. Dia juga sangat baik, tapi tetap saja aku tidak bisa mencintainya, gak tau kalau dia, apa dia punya rasa padaku? Atau tidak sama sekali sama seperti aku.
Aku rasa, jika kami menjadi sahabat. itu akan jauh lebih baik.
Malam harinya aku ketiduran di sofa, mungkin lelah. Aku tidak tau jika kak Andre meneleponku. Ibu mengambil ponselku yang aku taruh di samping bantal dan mengangkat telepon dari kan Andre. Entah apa yang Ibu katakan padanya, sehingga dia datang ke rumahku. Sesampainya dia di rumahku, dia membangunkan aku. Keheranan terpancar dari raut wajahku, melihat dia ada di sampingku. Hingga aku beranjak bangun.
Terlontarlah kata dari bibir agak tebalnya. "Sa, tante bilang kamu sakit. Kita kerumah sakit yah. Aku khawatir sama kamu," Kata kak Andre dengan raut wajah yang tersemai khawatir.
Mengapa dia sangat peduli padaku. padahal tidak ada rasa apapun diantara kami. Apa karena dia menganggapku temanya. Hmm itu mungkin saja.
Tak lama, Ibu menghampiri kami dengan minuman yang di genggamnya erat. Menyodorkan minum itu pada kak Andre sembari berucap maaf. Mendengar Ibu meminta maaf padanya, kak Andre sadar dia telah di bohongi.
Tapi dia tidak marah, malah berbalik menggoda Mama dan berkata, "Tante, kalau kangen sama aku bilang dong, aku pasti main kesini kok. pakek bohong segala sih. Bikin aku khawatir aja."
Mama tersenyum mendengar kata-kata kak Andre dan menepuk lirih pipi tembemnya. Aku melihat mereka begitu akrab, tapi tetap saja aku tetap ingin perjodohan kami batal.
"Oh ya, Sa. Jadi, ke rumah sakitnya di cancel nih?" ucap kak Andre dengan senyum yang tersemai di wajahnya, membuyarkan lamunanku.
"Udah jangan di ledek terus, Mama bisa malu," sahutku.
"Hehh, iya-iya. Tapi kayaknya kamu kecapekan deh, Sa, istirahat aja di kamar," ucapanya, membuatku hanya mengernyotkan bibir dan mengangguk.
Mumpung ibu lagi pergi, aku mendekati Ayah. Berniat mengobrol, karena Ayah sedikit memahami perasaanku.
"Ayah," ucapku lirih, mendekat dan duduk di samping Ayah.
"Kenapa, Sayang?" tanya ayah menyelidik.
"Yah, bantu aku bujuk Ibu dong untuk ngebatalin perjodohanku sama kak Andre, yahh.. plisss.." ucapku merengek. Aku melihat Ayah terdiam setelah mendengar permintaanku, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Yaudah, Ayah bantuin," ucapnya yang kemudian mengelus kasar rambut gelombangku yang hanya sepanjang dada.
"Serius," ucapku mengembangkan senyum.
"Iya, sana tidur! Besok sekolah, kan."
"Iya, makasih Ayah, sayang Ayah. Emuachh." Aku mencium pipi kempos lelaki paruh baya kesayanganku itu.
Paginya
Aku antusias menyapa sahabat-sahabatku di dalam kelas. Menebarkan senyum kebahagiaan di ruangan itu. Dan tak membiarkan kesedihan mampir.
"Pagi sayang-sayangku." Aku menarik sudut bibir tipisku kesamping.
"Kenapa nih? Semangat banget," ucap Septa menyelidik.
"Iya nih, kenapa sihhh? Cerita dong!" sahut Melda, masih sama dengan gaya manjanya itu.
"Mau tau aja," ucapku santai.
Mereka malah menggelitiki aku. Menteng-mentang tau kelemahanku, dasar.
"Aku tuh gak kenapa-napa, cuma pengen suasana persahabatan kita kondusif aja gak mellow-mellow lagi," balaaku tersenyum tipis. Mereka mengarahkan tubuh mereka pada tubuh kecilku.
Jam telah berlipat ganda. Tepat jam 10:00, Ibu Risma masuk kelas.
"Anak-anak, para dewan guru akan mengadakan rapat, jadi untuk hari ini lanjutkan belajar di rumah yah!" ucapnya.
Guru manis nan elok itu, mengembangkan senyum dari bibir tebalnya itu memberi kabar bahagia yang jarang sekali. Bisa di bilang, sekali dalam 1 tahun.
Prang
Suara itu, lagi-lagi gaduh. Aku mendekati sumber suara, menyelusuri ruangan tengah menuju ruang paling belakang.
"Ayah, Ibu, kenapa?" tnyaku menyelidik cemas sembari menatap pecahan gelas.
"Buk, aku cuma gak mau kamu maksa Sasa menikah," ucap Ayah sayu.
Aku terdiam dan terlintas di pikiranku kalau mereka bertengkar karena aku.
Ibu mendekati aku dan berkata, "Ini pasti karena kamu bicara macam-macam kan sama Ayah kamu? Kenapa sih, Sa, kamu seneng lihat Ayah sama Ibu berantem terus-terusan. Iya?" ucap Ibu sendu.
"Enggak, Buk, aku gak ada maksud sedikitpun bikin Ayah sama Ibu berantem kaya gini, aku juga sedih kalau kalian seperti ini. Aku cuma pengen Ibu ngertiin sedikit aja perasaan aku." Bola mataku mulai memancarakan bulir-bulir air mata yang memaksa terjatuh.
"Kamu gak pernah merasakan jadi Ibu, kamu pikir Ibu gak menderita harus menjodohkan anak Ibu di usia dini? Menderita, Sa. Tapi Ibu terpaksa, mumpung ada orang kaya meminang kamu, yah Ibu restuin. karena Ibu gak mau kamu merasakan apa yang Ibu rasakan seperti sekarang ini." Kini air mata Ibu yang tumpah.
Ibu meninggalkan aku dan Ayah. Aku melihat Ayah hanya menunduk. Rasa bersalah itu pun tersemai.
"A-yah, maafina aku. Aku gak tau kalau kejadianya akan seperti ini," aku dekati ayah dan meraih tangan kananya.
"Gak papa sayang, kamu tolong ngerti yah perasaan Ibu kamu," ucap ayah. Tangan kirinya mengelus pipi tirusku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 245 Episodes
Comments