Cinta Dalam Diam
Senja hari itu menyapa dengan cara yang berbeda dari biasanya. Seperti akan terjadi hal yang tak terduga. Benar saja, ketika senja beranjak pergi dan malam menghampiri, seorang perempuan datang ke rumahku. namanya Tante Irene. Ia bertemu dengan ibuku untuk membicarakan perihal perjodohanku dengan anak lelakinya, namanya Andre yang umurnya berbeda 5 tahun denganku.
Aku berada di antara mereka dan betapa terkejutnya diriku, sehingga aku marah dan berkata kasar karena Ibu tidak bertanya dulu padaku. Dengan perasaan marah aku berlari ke kamarku dan menangis. Tanpa aku sadari egoku itu telah menyakiti hatinya.
Tok tok tok
suara ketukan pintu berulang kali tak menarik minatku untuk membukanya. Namun saat pikiranku mulai tersadar, aku menghapus air mataku dan membuka pintu kamarku. Aku menahan air mataku yang seolah akan jebol lagi. Hanya karena aku tidak ingin melihat Ayah bersedih. Karena itu aku masih terlihat baik-baik saja di depan Ayah.
Aku membalikkan badan, lalu mendekati ranjang lagi. Ayah pun langsung menyusulku yang kini termangu.
"Kenapa kamu sedih, Sa? Bukanya pernikahan akan di laksanakan setelah kamu lulus SMA. Iya, kan?" tanya Ayah mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
Tutur kata pahlawanku itu berhasil membuat rasa sakit hatiku berkurang. Karena setidaknya, aku masih bisa melanjutkan pendidikanku sampai lulus SMA.
Saat sang fajar menyapa embun di dedaunan, Kak Andre meneleponku. Entah mengapa dia menghubungi nomor yang bahkan tidak mungkin ia kenal.
Sontak aku menyergah, "Kak, aku tau kita sama-sama tidak setuju, kita harus mencari jalan keluar. Aku gak peduli apapun itu, pokoknya kita harus gagalkan rencana konyol ini."
"Sa, maksud kamu apa? Bukanya tadi malam kamu sudah setuju?" tanya kak Andre membuatku semakin jengkel.
"Aku gak beneran, Kak. Aku, aku janji aku akan berusaha kok buat menggagalkan perjodohan kita, tapi kamu harus bantuin aku. Aku tahu kamu merasa keberatan dengan perjodohan ini," tegasku.
"apa-apaan sih, Sa? Enggak, aku gak mau nyakitin perasaan Mama aku. Aku juga gak merasa keberatan kok, aku fine-fine aja," ucapnya lagi. Kali itu, aku benar-benar tidak bisa menahan amarahku.
"Kamu jangan egois dong! Oke kalau kamu emang gak keberatan, tapi aku ini masih SMP. Ini, ini benar-benar gak masuk akal buat aku," ucapku meninggikan nada bicara.
"Maksud kamu apa, Sa? Bukanya sebentar lagi kamu lulus SMA?" tanyanya menyergah.
Aku pun sangat terkejut di buatnya.
Lalu aku menutup telepon itu dan aku berlari menghampiri ibuku dengan linangan air mata. Aku butuh penjelasan darinya.
"Bu, aku menolak perjodohan itu, aku masih ingin melanjutkan sekolahku, tolong mengertilah!" pintaku pada Ibu.
"Sa, kamu ini ngomong apa sih? Tadi malam kamu kan sudah bilang setuju. Jangan plin-plan deh!" ujar Ibu enggan menghentikan pekerjaannya yang sedang menyetrika baju.
"Kenapa kalian tidak mengatakan pada Kak Andre kalau aku masih SMP?" tanyaku tidak terima.
"Bentar lagi kan kamu lulus, Sa," jawab Ibu tenang. Bagaimana bisa Ibuku bisa setenang itu? Sementara aku seperti cacing kepanasan.
"Tapi aku ingin melanjutkan sekolahku, Bu. Tolong mengertilah!" desakku.
Aku merasa di bohongi, karena Ayah bilang masih menunggu aku lulus SMA malam itu, tapi kenyataanya tidak.
Aku menanyakan hal itu pada Ayah, namun ia malah mengatakan kalau ia tidak tahu-menahu tentang hal itu. Dia pikir pernikahan akan dilangsungkan setelah aku lulus SMA. Tapi Ayah memintaku untuk tetap mendengarkan kata Ibu, karena tidak ingin Ibu merasa kecewa. Duniaku serasa berhenti, waktu telah mempermainkan diriku, dan ketenangan di renggut dariku.
"Kenapa Ibu seenaknya memutuskan hal mengenai hidupku tanpa diskusi dulu padaku. bahkan Ayah saja tidak tahu," gumamku sembari meremas-remas bantal di pangkuanku.
paginya, ketika aku hendak sarapan. aku mendengar suara gaduh di dalam kamar Ibu. Aku pun sengaja mendekat dan mencuri dengar suara gaduh itu.
"Ibu kenapa egois sekali? Sasa punya hak untuk meneruskan pendidikanya, Bu," ucap Ayah dengan nada sedang.
"Pake uang siapa, Yah? Kamu pikir biaya sekolahnya Sasa itu gak banyak? banyak, Yah," ucap Ibu dengan nada tinggi. Aku yang berada di balik pintu, menahan kuat-kuat air mata dan rintih tangisku.
Mengapa harus aku? harus aku yang mengalami semua ini. Lalu apa yang harus aku lakukan? menerima atau menolak perjodohan itu? Batinku.
Aku beranjak pergi dan mengabaikan makanan yang sudah tersaji di meja.
Meninggalkan Ayah dan Ibu dengan ribut-ribut kecilnya itu yang membuatku tambah pusing.
***
Di sekolah
"Sasa, tumben jam segini baru datang?" sapa Septa sambil memandangi jam yang melingkar paksa di tanganya. Dia adalah salah satu sabatku yang resek.
"Mending Lo benerin dulu tuh jam tangan Lo! Kenceng banget. Takut banget emang, kalau jatuh," ucapku menatapnya sinis.
"Jam tangan kesayangan gue nih," ucapnya sambil mencium jam tangannya.
"Hehhh," desisku sembari memutar bola mata dan beranjak pergi meninggalkanya masuk kelas.
"Sa, tungguin!" pekiknya.
Di dalam kelas, aku kembali mendapat ledekan dari sahabatku yang lain. Mereka seperti tak punya rasa bosan yah menggodaku.
"Ehemm, tumben sahabat-sahabat teladanku ini baru dateng?" ucap Melda berdehem kecil.
"Sekali ini," ucap Septa.
Aku yang masih mengingat kejadian akhir-akhir ini terdiam saja mendengar celoteh kedua sahabatku.
"Sa, tumben diem mulu, di cari Rendy tuh," ucap Melda, jail.
"Duhh, apaan sih, gak usah resek deh!" wajahku kusut. Bak baju tersentuh setrika saat listrik mati.
"Lo lagi ada masalah? cerita lah, jangan diem-diem kaya gini! bikin khawatir aja tahu gak," ucap Septa cemas.
Septa memang jail, resek, tapi dia sahabat yang perhatian dan pengertian. Melda jail, manja, tapi asik kalau di ajak bertukar pikiran.
"Ayolah, kita kan sahabat," ucap Septa sekali lagi.
"Gueee–."
Ibu Risma memasuki ruangan sebelum aku menyelesaikan bicaraku. Entah, mungkin tuhan ingin aku menyelesaikan masalahku ini tanpa harus membebani kedua sahabatku. Baiklah, siapa takut!
•
•
"Assalamualaikum." Senyumku yang sudah aku paksakan sedari tadi, seketika memudar menatap kedua manusia itu, lagi-lagi di rumahku.
"Waalaikum salam, eh anakku udah pulang, Mbak," ucap Ibuku pada Tante Irene dan tak lupa dia membawa anak semata wayangnya itu.
"Dia lagi, mau ngapain lagi sih, Kak? Katanya pengusaha, sibuk. Ini yang ada bertamu terus ke rumah orang!" sapaku ketus.
"SASA!" Ibu berdiri memandangku dan pasang muka harimau yang hendak menerkam.
"Tante, gak papa, namanya juga ABG," sahut kak Andre menengahi.
"Kalau tahu gue ABG ngapain mau-mau aja di jodohin sama gue? Gak beres!" ucapku beranjak pergi menuju kamar. Tak peduli apa pendapat mereka tentangku. Sekalian aja biar risih.
"Aaaaaa!" Aku melempar tas sembarangan.
"Kenapa sih? Gue cuma mau nikmatin masa muda gue. Bareng temen-temen gue, bukan suami," teriakku lirih dengan mata berkaca-kaca.
Tak berapa lama, aku mendengar dari dalam kamar kalau mereka pamit pulang. Mungkin karena penolakanku akan kedatanganya. Sepertinya ada yang ingin mereka diskusikan perihal perjodohan itu lagi.Tapi untunglah, mereka meninggalkan rumahku dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 245 Episodes
Comments
Han
Ah
2023-06-11
0
Asni J Kasim
Baru mulai 😍😍
2021-04-02
0
Alifah Fitry
perhatikan onomatope:
Tok-tok-tok! (cetak miring kalau bisa)
terus di awal kalimat harus huruf kapital. contoh:
"Aku gak beneran, Kak. Aku... aku janji akan berusaha bla bla bla."
semangat menulis ^^
2020-03-17
0