Aku lesehan di halaman rumah. Tiba-tiba, seorang lelaki dengan lancang duduk di sampingku. Sontak aku terkejut dan langsung mengarahkan pandanganku pada wajah manis itu.
"Kamu, kenapa ke sini?" tanyaku.
"Main aja. Kamu lagi ngapain?" tanyanya menyelidik. Aku hanya terdiam mendengar pertanyaannya. Meletakkan jari telunjukku di atas tulang hidung.
"Hemm, percaya kok kalau hidung kamu mancung. Ngasih kode segala buat di puji," ucapnya meledek.
"Dasar sok manis!" celetukku.
Masalahnya emang dia manis, hemmm.
Tiba-tiba dia meraih bukuku yang aku letakkan di depanku. "Apaan nih?" Di bukanya secarik demi secarik buku itu.
"Puisi, aku lihat yah," ucapnya memandangi antalogi puisiku.
"Dari tadi juga udah kamu lihat," gumamku kesal.
"Gue bawa pulang, terus gue baca," ucapnya mengangkat alis.
"Gak ada-gak ada, sini-sini!" Aku berusaha meraih bukuku dari tangannya.
Dia malah menggeser tangganya menjauh dari juluran tanganku.
"Kak Andre, gak usah jail deh," ucapku kesal. Dia malah meletakkan bukuku di sampingnya dan meraih kamera canon di lehernya.
Crekk
Lagi-lagi dia memotretku. Sontak aku menyergah, "Kamu itu pengusaha apa sih? Kok hobinya foto aku mulu."
"Dasar wekep," ucapnya sembari memandangi hasil keisenganya.
"Apaan wekep? Ngomong jorok yah kamu?" Aku menunjuk-nunjuk wajahnya dengan tudingan itu.
"Pikiran kamu tuh yang jorok mulu, wekep itu cewek kepoh," kak Andre memperjelas.
"Idih, garing kamu," ucapku cengegesan.
***
Embun menyapa di dedaunan. Belum juga embun mengering terhantam sinar matahari, udah badmood aja.
"Sa, anterin makanan ke rumah Andre yah sebelum berangkat ke sekolah," teriak Ibu dari dapur.
"Baru mau makan, udah denger nama cowok resek itu," gumamku.
"Buk, mana mau keluarganya kak Andre makan-makanan dari keluarga sederhana seperti kita," ucapku meraih rendang telur.
"Sa, jangan ngmong gitu ah! Meskipun mereka orang kaya, tapi mereka menghargai orang biasa seperti kita," ucapnya lirih, ia mendekatiku dan berdiri di hadapanku.
"Iya, Buk. Udah ah! Serius banget ngomongnya."
Tok tok tok
Aku benar-benar mengantarkan makanan itu ke rumah kak Andre. Saat aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, suara seorang wanita yang menjawab salamku.
Cklek
"Eh, Sasa, masuk sayang!" ucap Tante Irene sumringah.
"Iya makasih, Tan. Tapi aku mau ke sekolah, aku kesini cuma mau nganterin titipan Ibu," ucapku menyodorkan rantang. Tante Irene pun meraih rantang itu dan mengucapkan terimakasih.
Tiba-tiba Tante Irene memekik memanggil kak Andre. Padahal, aku lega karena tidak bertemu dengannya. Tapi Tante Irene malah memanggilnya. Kak Andre pun keluar menemui mamanya.
"Sasa," ucap kak Andre memajukan wajah.
"Anterin sasa ke sekolah yah! Sama ini kamu bawa ke kantor! Belum sarapan kan," ucap Tante Irene menyodorkan rantang pada kak Andre.
"Emm, siap Ma," ucapnya sigap bak prajurit siap tempur.
"Tapi bentar ya Ma, aku belum pake dasi. Sekalian mau ngambil kamera," ucap kak Andre. jari telunjukknya mengarah ke arah dalam. Mama pun menganguk.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk membayar rasa penaranku perihal pekerjaan kak Andre.
"Tante, boleh nanya gak? Kak andre kerja apa sih tan? Kok sering megang kamera, atau cuma hobi?" tanyaku menyelidik.
"Belum tante jawab, kalau tante gak ijinin kamu nanya gimana," balasnya terdengar menggoda.
"Iya maaf, Tan. Habis penasaran," ucapku merapikan tas hitam di bahu kananku.
"Andre itu pemilik perusahaan fotografi sekaligus jadi fotografernya," ucap Tante Irene menyapu tulang hidungku. Wanita paruh baya nan cantik ini memang sangat rendah hati. Tahi lalat di hidungnya menambah pesonanya. Aku pun manggut-manggunt mendengarnya.
"Kenapa memangnya?"
"Cuma nanya aja," ucapku cengengesan.
Tiba-tiba kak Andre keluar dan langsung menyergah, "Ngomongin apa sih, kedengeran sampek dalem loh."
"Hah, kamu denger dong?" tanyaku.
"Iya lah," jawabnya singkat.
"Apa coba,"ucapku memajukan wajah.
"Apa coba?" Dia malah men-copas ucapanku.
"Ih, gak tau kan kamu, dasar!"
"Udah-udah, berangkat sana! Telat loh," ucap Tante Irene meletakkan tanganya di punggung kak Andre.
Di depan gedung sekolah aku bertemu dengan cowok resek yang katanya memiliki rasa suka padaku. Baru katanya, gak tau realitanya.
"Sa, tumben di anterin cowok? Biasanya gue ajakin bareng gak mau," ucap Rendy menghampiriku yang baru turun dari motor kak Andre.
"Eh, Lo sebenernya siapa sih? Ngapain deket-deket cewek gue?" ucap Rendy menepuk bagian depan motor V-ixion kak Andre.
"Gue–."
"Dia sepupu gue, makanya deket. Iya kan, Kak," ucapku menepuk pundak kak Andre, berkelit memotong ucapan kak Andre yang belum usai.
"Ouh, kirain (terlihat tidak percaya). Yaudah masuk yuk." Rendy menarik pelan tanganku.
"Pak satpam usir yah!" pintanya pada pak Dadang, pria berkumis tipis. Aku berjalan mengikuti tarikan tangan Rendy sembari menatap ke arah belakang. Aku lihat kak Andre terus memandangiku.
"Dasar bocah!" teriak kak Andre dari jarak jauh, dan lansung melajukan motornya.
Seketika Rendy melepas tanganku dan berpaling ke arahnya
"Eh, ngmong apa Lo. Dasar cowok sok keren," ucapnya melotot lalu melepas sepatu. Tapi untung tak sampai melayang. Bisa-bisa kena pak Jaka yang sedang berjalan di depan kami.
"Ngapain kamu?" Guru sedikit berisi itu melotot menatap Rendy dengan mata lebarnya.
Lelaki tak lebih pendek dari aku itu melarikan diri dan di susul oleh Pak Jaka.
Dia pun Mencuri-curi waktu untuk memakai sepatunya, hingga tertatih-tatih dan terjatuh, memang tak mampu membuat tawaku tak pecah berantakan.
Hahaha
Tatkala aku ketawa-tiwi ria, seorang anak kecil menyodorkan sebuah bunga mawar kepadaku.
"Heiiii," ucapku. Sentuhan tangannya membuatku berhenti tertawa dan terduduk agar sejajar dengan peri kecil itu.
Dari kejauhan, kak Andre yang tersenyum tipis di depan pintu gerbang, terpandang oleh bola mataku. Mungkin dia yang mengirim peri kecil itu. Kak Andre pun mulai menyalakan motornya seketika.
Cringg
Tanda pesan masuk di ponselku.
'Terimalah! Mawar asli, tidak akan membasahimu lagi' pesanya. Aku langsung teringat kejadian di taman waktu itu, sekaligus dua anak itu. Rasanya aku ingin mengunjungi mereka lagi.
"Dek, terimakasih yah." Aku ambil bunga mawar dari tangan peri kecil itu. Dia belari pergi setelahnya.
Ting Ting Ting
Lonceng telah memanggil diriku yang masih menikmati mawar itu. Aku pun memasuki kelasku.
Tit tit tit
Jam sekolah sudah berakhir. Kiranya, kak Andre menjemputku ke sekolah. Dia membunyikan klakson berkali-kali.
"Ayo pulang!" anaknya.
"Kamu, jam segini udah pulang kerja?" tanyaku heran.
"Udah, ayo naik!" ucapnya sembari menepuk-nepuk tempat boncengan.
"Oke!"
Rengggg....
Di perjalanan, aku memberikan sedikit kompensasi untuk uang kak Andre yang telah berkurang karena membelikan Maar untukku.
"Makasih yah mawarnya. Yahhh,,, meskipun aku tau kamu gak ada maksud apa-apa," ucapku. Itulah kompensasinya. Ungkapan terimakasih. Kak Andre hanya tersenyum tipis mendengarnya. Hemm, kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 245 Episodes
Comments