Episode 5

“La, apa kamu gak penasaran sama Ayah kamu?”

Lila berhenti mengunyah sarapan paginya, ia perlahan meletakkan sendok yang ia pegang ke atas piring berisi nasi goreng buatan Ibunya. Sudah sangat lama, atau bahkan tak pernah sama sekali Lila mendengar Ibunya menanyai secara langsung perihal sang Ayah yang entah berada di mana saat ini.

“Kenapa Ibu nanya gitu?” Lila menatap Lara penasaran. Ia tak bisa menebak apapun, ia juga tak ingin terlalu berspekulasi.

Lara tersenyum tipis, ia tahu ini terlalu tiba-tiba tapi ia hanya ingin anak gadis satu-satunya ini terbuka. Lara tahu kalau banyak hal yang anaknya simpan sendiri dan entah kenapa itu menyakitinya.

“Ibu penasaran aja, kamu terlihat baik-baik saja selama ini bahkan gak pernah bertanya tentang Ayahmu. Ibu hanya ingin tahu apa yang sedang di pikirkan anak Ibu yang paling cantik ini,” ucap Lara.

“Ibu udah siap kalau Lila nanya tentang pria itu?”

“Harusnya Ibu yang nanya kayak gitu sama kamu, kamu pasti punya banyak banget rahasia yang gak kamu ceritain ke Ibu, kan?” tuntut Lara.

Jika Lila meneruskan dengan atmosfer yang seperti ini, ia takkan sanggup. Ia belum siap untuk mengatakan kalau Lila sudah tahu semuanya secara diam-diam. Mungkin bukan alasan kenapa sang Ayah meninggalkan mereka begitu saja, tapi melihat Ibunya yang sering menangis diam-diam membuatnya sadar tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.

Di tambah sang Ibu sama sekali tak memiliki keluarga. Lila tak memiliki seorang wanita yang harus di panggil ‘tante’ yang merupakan keluarga dari Ibu atau Ayahnya. Mereka benar-benar hidup sendiri, saling menyayangi satu sama lain, hanya mereka berdua, dan semua hal itu sudah cukup untuk menjelaskan keadaannya pada Lila tanpa perlu bertanya pada sang Ibu.

“Ibu…mau nikah lagi?” tanya Lila dengan senyum jahil di wajahnya.

Lara kaget mendengar pertanyaan spontan itu, ia tak berpikir jika Lila justru akan menanyainya hal tersebut. “Apa hanya itu yang anak Ibu ini pikirin?”

Lila menunjukkan cengirannya. Mencoba untuk menyembunyikan perasaannya pada sang Ibu, karena hal terakhir yang ia inginkan adalah melihat Ibunya kembali meneteskan air mata.

“Kenapa enggak? Ibu masih cantik dan aku yakin masih banyak yang naksir Ibu, dan selama pria itu baik, Lila pasti akan dukung. Asal dia bukan berondong dan seumuran Lila aja.”

“Kamu ini, Ibu udah cukup bersyukur sama kamu dan Ibu bahagia, Ibu gak butuh hal lain lagi,” ucap Lara.

Tak ada hal lain yang Lara butuhkan lagi karena pria itu sudah mengambil semua hidup dan bahkan hatinya. Luka yang di tinggalkan masih membekas jelas di hatinya bahkan setelah dua puluh tahun lebih berlalu. Jadi, bagaimana ia harus menghadapi pria lain lagi jika yang ada di hatinya hanya pria itu? Setelah semua yang ia lalui seorang diri, setelah ia berjuang mati-matian untuk hidupnya sendiri dan juga sang anak.

Takkan semudah itu untuk kembali membiarkan pria asing masuk ke hidupnya setelah semua perjuangan itu.

**

Lila berlarian di sepanjang koridor menuju kelasnya, ia benar-benar lupa kalau jam pertama kelasnya hari ini adalah kuis yang di adakan salah satu dosennya. Yang lebih parah, dosen itu adalah dosen killer yang tak segan-segan mengeluarkan salah satu mahasiswa jika terlambat atau tak mengerjakan tugas.

Profesor Dani yang mengajar Pengantar Psikologi Desain Interior adalah dosen muda yang sangat tegas, disiplin, dan tentunya takkan mentolerir kesalahan kecil yang di lakukan para mahasiswanya. Ia sangat di takuti tapi juga di hormati. Lila belum pernah absen di kelas Profesor Dani ataupun terlambat.

Ketika ia sampai di depan kelas, pintu sudah tertutup yang artinya kelas sudah di mulai. Juga tak ada satu suara pun yang terdengar dari dalam kelas. Jika ia masuk ia bisa saja bernegosiasi untuk di izinkan mengikuti kelas, karena Profesor Dani cukup menyukainya, tapi rasanya tak adil.

Lila memilih berbalik dari kelasnya, ia akan membolos untuk kali ini saja dan mengikuti kuis susulan. Ia berjalan menuju taman kampus, masih pukul sembilan dan taman cukup sepi di pagi hari. Ia menatap ponselnya yang tak memiliki pemberitahuan sama sekali, hanya obrolan dari grup kelas yang mengisinya.

Yah, lagipula siapa yang akan menghubunginya kecuali Icha? Satu kontak baru di ponselnya membuatnya menatap lama nomor tersebut. Ryan. Serta perjanjian konyol yang anehnya Lila setujui, entah apa yang merasuki pikirannya kala itu. Terlalu kagum dengan ketampanan Ryan, mungkin?

“Jadi maksud kamu perjanjian ini tanpa batas dan gak ada kertas sebagai bukti?” tanya Lila kala itu.

Ryan menganggukkan kepala. “Kamu bisa langsung telpon aku kalau kamu butuh dan aku langsung datang, kita pacaran, aku rasa ini keuntungan besar buat kamu karena bisa dengan gampang hindarin Joshua.”

Lila menatap Ryan tak mengerti, dari awal penawaran Ryan memang sudah aneh. Lila sudah mengganggu Ryan selama ini dan harusnya pria itu membenci Lila, tapi kenapa justru ia makin gencar mendekatinya dan menawarkan perjanjian yang dua kali lipat lebih aneh.

“Kenapa?” tanya Lila.

“Apa kamu selalu keras kepala kayak gini? Aku bahkan gak dapet keuntungan apapun dalam perjanjian ini dan kamu masih gak percaya?”

“Kamu harusnya jauhin aku,” ucap Lila lirih.

Ryan membenarkan dalam hati ucapan lirih Lila yang masih bisa ia dengar itu. Ia memang seharusnya melakukan itu, tapi entah kenapa hatinya menolak dan justru kembali mendekati Lila. Jika di pikir-pikir lagi, gadis seperti Lila ini benar-benar bukan tipenya, bahkan masih ada yang lebih cantik di kampus ini di banding Lila.

Dengan tidak sabar, Ryan segera meraih jemari Lila yang berada di atas meja dan dengan paksa menjabat jemari itu. “Aku anggap kamu setuju, gak semua hal harus ada penjelasannya.”

Lila kaget menatap Ryan yang secara paksa menjabat tangannya. Ia sebenarnya juga akan menyetujuinya, hanya saja ia butuh waktu lama untuk berpikir dengan semua kejutan-kejutan lain yang Ryan berikan dari tingkah lakunya.

“Aku—“

Ponsel Lila yang juga berada di atas meja pun menjadi sasaran Ryan. Sebenarnya yang ia lakukan saat ini bukanlah hal yang akan ia lakukan pada umumnya. “Maaf harus kayak gini, karena kamu juga gak ngasih pilihan. Aku udah masukin nomorku, kamu bisa sewaktu-waktu nelpon aku.”

“Aku belum menyetujui apapun,” ucap Lila kesal.

“Kenapa kamu gak ikutin alurnya aja? Kamu terlalu banyak berpikir, Lila, aku cuma mau bantu kamu.”

Bahkan sampai saat ini Lila belum mendapatkan jawaban atau pencerahan dari tindakan Ryan. Lila menghargai bantuan yang Ryan berikan, tapi untuk apa? Ia bahkan tak pernah meminta. Setelah Joshua, Lila tak ingin kembali berhubungan dengan pria dalam bentuk apapun, ia hanya takut akan terbiasa dengan semua bantuan yang Ryan berikan.

Walau tak ada yang akan mengakuinya, Lila hanya ingin menjadi gadis mandiri yang mampu menyelesaikan masalah yang ia miliki sendiri. Ia tak ingin melibatkan orang luar yang menyebabkan ia bergantung, karena itu sangat tak baik untuk dirinya. Semakin Lila bergantung, semakin orang itu mengetahui kelemahan Lila. Sejauh ini belum ada yang mampu melakukan hal itu, dan Lila juga mencegah hal itu.

Ryan ini, mampu membuat jantungnya berdebar dengan semua tindakan impulsif pria itu. Lila belum jatuh cinta, tapi bagaimana kalau di masa depan ia jatuh cinta? Membayangkan hal itu saja sudah membuatnya merinding.

“Jangan buat aku jatuh cinta, Ryan,” ucap Lila lirih sambil menatap kontak di ponselnya.

**

Kikan menatap Joshua di sampingnya dengan kesal, mereka sedang berada di dalam mobil. Hubungan mereka semakin memburuk ketika Kikan mengetahui kalau Joshua masih mengejar Lila, tanpa sepengetahuannya tentu

saja. Hubungan yang di awali dengan niat buruk memang tak pernah berjalan dengan mulus.

“Kamu masih cinta sama Lila?” tanya Kikan. Ini adalah pertanyaan yang kesekian kalinya untuk hari ini dan tak pernah mendapat respon yang berarti dari Joshua.

“Sebentar lagi kelasku mulai, kamu masih mau di dalam sini?” tanya Joshua datar.

“Kamu gak punya malu? Kamu udah buang Lila gitu aja dan sekarang kamu ngejar-ngejar dia lagi, aku bener-bener gak ngerti sama jalan pikiran kamu.”

Joshua tak menjawab, ia sangat tahu bagaimana sifat Kikan. Ia sangat pemarah, manja, keras kepala, dan kekanakan. Entah kenapa dulu ia bisa berpaling dari Lila hanya demi gadis seperti Kikan, Joshua sangat tak

habis pikir dengan yang dilakukan dirinya sendiri.

“Kamu bisa terima kalau aku masih cinta sama Lila? Kamu bahkan gak sebanding sama Lila, aku gak tahu kenapa dulu aku bisa suka sama kamu,” ucap Joshua datar.

Joshua menatap Kikan yang wajahnya sudah sangat kaget. Selama lebih dari tujuh bulan mereka berhubungan, Joshua tak pernah mengatakan hal sekasar itu padanya. Kikan tak terbiasa dengan kalimat kasar seperti itu.

Tanpa sepatah katapun lagi, Joshua segera turun dari mobilnya tanpa memedulikan Kikan lagi. Jika saja ia bisa mengulang masa lalu, maka ia takkan berselingkuh dari Lila, meninggalkan gadis itu adalah yang terburuk. Sayangnya hal itu baru bisa ia sadari saat ini, ketika semuanya sudah berakhir dengan sia-sia.

Kikan menahan amarahnya karena kalimat Joshua tadi. Ia tak pernah mendengar Joshua mengatakan kalimat sekasar itu padanya. Apa Lila yang membuat Joshua menjadi kasar padanya? Kalau memang begitu maka Kikan tak memiliki hal lain kecuali membuat Lila merasakan apa yang Kikan rasakan saat ini.

**

Setelah hampir tiga jam duduk di taman sembari menyelesaikan buku novel yang ia pinjam kemarin di perpustakaan, Lila bangkit dari duduknya. Angin sepoi di bawah pohon rindang itu membuatnya hampir tertidur kalau saja ia tak mengingat kelas selanjutnya. Ia sangat jarang mengalami hari menenangkan seperti hari ini.

Icha memiliki kelas yang padat hari ini sampai sore nanti, itu artinya Lila harus menghabiskan harinya seorang diri. Itu bukan masalah besar untuknya, ia juga belum bertemu dengan Joshua yang memang tak ingin ia temui, yang juga sangat ia syukuri karena ia tak perlu menghubungi Ryan.

Mungkin jika a bertemu Joshua ia akan memilih lari alih-alih menghubungi Ryan. Dua pria itu sangat berbahaya untuk kesehatan mental dan juga hati Lila. Jika bisa menghindar kenapa harus menghadapinya, tak masalah jika menjadi pengecut. Pengecut pun butuh nyali besar untuk lari dari masalahnya. Mungkin terdengar seperti kalimat yang hebat, tapi itu sangat tak pantas untuk di tiru.

Tapi, mungkin ketenangan itu tak boleh berlangsung lama, karena baru beberapa langkah Lila dari tempatnya duduk, ia sudah melihat Joshua. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Menghubungi Ryan? Tapi, ini sudah

sangat tak memungkinkan. Siapa yang tahu kalau Ryan masih berada di kelasnya, dan Joshua juga sudah melihat dirinya. Inilah yang sangat ia takutkan sejak tadi.

Baru saja Lila ingin membalikkan tubuhnya, ia melihat Kikan yang muncul dari balik tubuh Joshua. Kikan berjalan ke arahnya dengan wajah yang memerah dan kekesalan yang tercetak jelas di wajahnya. Apa lagi ini?

Tamparan itu sangat keras dan tanpa perlawanan dari Lila, karena ia sama sekali tak mengantisipasi Kikan yang akan tiba-tiba menamparnya.

“Apa-apaan kamu, Kikan!” maki Joshua ketika sudah berada di antara Lila dan Kikan.

Lila masih memegangi pipinya yang mendapat tamparan keras dari Kikan, ia masih sangat kaget hingga tak mampu mengatakan apapun pada Kikan.

“Jangan pernah deketin Joshua lagi! Apa kamu gak punya harga diri sebagai cewek? Joshua udah ninggalin kamu, terima itu!” Kikan menunjuk wajah Lila dengan emosi menggebu-gebu.

Lila sama sekali tak bisa memproses apa yang sedang terjadi, harusnya ia yang marah di sini karena Kikan dengan tiba-tiba menamparnya.

“Lila!”

Lila sama sekali tak berbalik ketika mendengar panggilan yang sangat familiar itu, yang ia tahu dalam beberapa detik kemudian tubuhnya sudah berada dalam pelukan Ryan. Lila bahkan tak menghubungi pria itu, tapi pria itu ada di sana dan sedang memeluknya.

“Kamu menamparnya?” tanya Ryan dingin.

Kikan terdiam, begitu pun Joshua. Kikan sama sekali tak menyangka kalau Ryan akan  datang. “A—aku…,”

Ryan masih memeluk Lila erat, menyembunyikan wajah Lila di dadanya, beruntung Lila sama sekali tak menolak dan hanya diam. “Aku gak pernah tahu masalah kalian, tapi kalau kalian menyakiti Lila sekali lagi, aku gak akan tinggal diam,” ucap Ryan dengan dingin. Tatapan Ryan sangat dingin menatap Joshua dan Kikan dengan dingin.

Baik Kikan maupun Joshua tak berkata apapun lagi. Joshua terlalu kaget dengan perbuatan Kikan dan kemunculan Ryan, lalu Kikan yang sangat kaget dengan kemunculan Ryan yang tiba-tiba. Kikan benar-benar tak menduga kalau Lila dan Ryan memang sedang berhubungan.

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Ryan segera meninggalkan Kikan dan juga Joshua begitu saja dengan tetap memeluk Lila. Beruntung saat itu Ryan memang sedang berada di sekitar taman tersebut. Di lihat dari sudut manapun, perbuatan Kikan sangat keterlaluan, gadis itu tiba-tiba menampar Lila yang tak mengerti apapun.

Entah kenapa Ryan selalu bertemu Lila dalam keadaan seperti ini, dan juga Lila sama sekali tak menghubungi Ryan jika ia bertemu Joshua. Jadi, apa Ryan masih akan terus bermain dalam perannya sebagai pacar Lila atau ia akan kembali serius menanggapi permainan yang entah darimana di mulainya itu?

**

Lara sibuk merangkai bunga pesanan salah satu pelanggan. Selain memiliki toko baju, ia juga membuka toko bunga yang bersebelahan, karena kedua hal itu adalah hal yang sangat ia cintai sejak dulu. Keahlian menjahit baju ia dapatkan karena bekerja di pabrik tekstil hampir sepuluh tahun, sedangkan merangkai bunga memang sudah menjadi hobinya.

Walaupun hanya dua toko kecil, tapi Lara sangat bersyukur karena itu adalah hasil kerja kerasnya selama ini. Menjadi seorang ibu tunggal sangat menyulitkan, tapi di saat yang sama juga sangat menguatkan dirinya. Di tinggalkan oleh seorang suami dan juga di usir oleh keluarga sendiri di usia yang sangat muda.

Dan selama lebih dari dua puluh tahun ia hanya hidup bersama Lila, hingga sekarang. Banyak hal yang di sesali, tapi banyak juga yang di syukuri. Dua puluh tahun ini banyak mengajari banyak hal.

“Bu, ada pelanggan yang nyari Ibu,” panggil Wita yang menghampiri Lara.

Lara mengerutkan keningnya, bunga yang sedang ia rangkai ini baru akan di ambil esok hari, dan juga hari ini ia tak memiliki janji dengan siapapun. “Siapa?” tanya Lara.

“Katanya temen ibu, Bapak-Bapak tapi masih ganteng, Bu.” Wita tersenyum penuh arti ketika mengatakan kalimat itu.

Lara mengabaikan senyuman Wita itu lalu beranjak untuk menemui pelanggan yang ingin bertemu dengannya. Sepertinya ia tak memiliki teman pria yang akan berkunjung ke tokonya ini.

“Permisi,” ucap Lara sopan pada pria yang sedang memunggunginya itu.

Pria itu perlahan berbalik, yang membuat Lara terdiam cukup lama di tempatnya. Ia sangat mengingat kontur wajah pria ini, walaupun yang saat ini berdiri di hadapnnya terlihat lebih matang, tapi ia jelas masih mengingatnya dengan jelas.

“Lara,” ucap pria itu lirih.

Lara menutup mulut dengan kedua tangannya, pria yang tak pernah ia lupakan dalam hidupnya, yang menorehkan luka dan juga bahagia di hatinya. Lara sudah berusaha menghapus bayangan pria itu, tapi tak pernah bisa, bahkan sekarang ia masih bisa langsung mengenali pria ini.

“Kamu…kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Lara dengan bibir yang bergetar.

“Aku—aku sangat merindukanmu, Lara. A…aku menyesali perbuatanku dahulu…,”

Lara benar-benar tak menduga bahwa hari ini ia akan bertemu dengan pria ini setelah sekian lama. Ia juga rindu, tapi rindu itu sudah di balut oleh luka. Apa masih bisa di sebut rindu? Ia mengutuk perbuatan pria itu di masa lalu, tapi ia juga sudah memaafkan pria itu. Bagaimana pun juga, pria ini adalah Ayah dari Lila.

Sangat berat harus mengakui itu semua, tapi itulah kenyataan di masa lalunya. Lara tak bisa jika harus memendam perasaan sakit hati terlalu lama pada pria ini. Malam-malamnya selalu ia habiskan untuk menangisi pria ini, dan pria ini sekarang berdiri di hadapannya. Rasa rindu yang berbalut luka itu juga sangat membekas di hatinya, ia tak tahu harus rindu ataupun kembali terluka. Yang ia tahu, rasa sakit di hatinya masih di kalahkan oleh rasa cintanya pada pria ini.

**

Ryan mendudukkan Lila di ranjang ruang kesehatan, gadis itu belum berbicara sama sekali sejak tadi, tangannya sudah tak memegangi pipi yang di tampar tapi kepalanya masih menunduk sejak tadi. Ketika Ryan memperhatikan, bekas tamparan itu masih membekas dengan warna merah gelap. Sekuat apa tamparan Kikan itu hingga bisa meninggalkan jejak, bahkan membuat Lila sangat kaget.

Karena tak ada pergerakan dari Lila, Ryan mulai mencari kotak obat di ruang kesehatan yang sepi itu. “ Pipi kamu sedikit memar, aku obatin, ya?” ucap Ryan lembut.

Lila mengangkat kepalanya sebagai tanda persetujuan, ia belum ingin mengatakan apapun, tatapannya juga sangat kosong. Sepertinya ini juga merupakan kali pertama Ryan melihat ekspresi tersebut dari wajah Lila, membuat hatinya kembali sakit, entah karena apa.

“Kenapa kamu gak telpon aku tadi?” tanya Ryan kembali. Ia mencoba untuk membuka percakapan, raut wajah dan tatapan Lila sangat mengganggunya.

Mungkin karena Ryan terbiasa melihat Lila yang ceria dan tanpa beban, lalu semua ini terjadi dan Lila memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Itu sangat menyakitinya, tapi juga melegakan. Sudah bisa di pastikan

kalau Lila sebenarnya memiliki masalah yang tak bisa ia bagi pada siapapun, dan entah kenapa lagi-lagi Ryan memiliki pemikiran untuk menjadi tempat berbagi untuk Lila.

“Apa kamu belum sepercaya itu sama aku?”

Lila benar-benar membisu, bahkan setelah jari besar Ryan menyapu pipinya dengan salep yang dingin.

“Aku mau percaya, tapi rasanya susah,” ucap Lila lirih.

Bahkan kalimat optimistis Lila menghilang entah kemana. Dan Ryan sangat tak menerima hal seperti itu terjadi. Selama dua bulan Lila sangat gencar mengejarnya, tapi semua itu segera berubah hanya dalam hitungan hari. Ryan hanya ingin tahu motif Lila mendekatinya dan juga… ia sangat penasaran dengan semua hal mengenai Lila.

“Kamu bisa belajar lalu mulai saat ini kamu bisa mempempercayaiku,” jawab Ryan. Tak ada nada menggoda atau meremehkan, ia benar-benar dengan tulus mengatakan semua kalimat itu.

Mereka bertatapan cukup lama, hingga Lila mulai memutus kontak itu dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Hatinya tak pernah salah ketika mengatakan kalau bergantung pada orang lain, terlebih ini adalah Ryan, adalah hal yang buruk. Ryan bisa dengan mudah membuat Lila jatuh ke dalam tatapan setajam elang itu, sulit untuk mengabaikannya jika tak memiliki hati sekeras baja.

Ryan juga sudah melihat sisi lemah Lila, walau itu tak sengaja terjadi, tetap saja itu sudah terjadi. “Kamu kenapa ada di taman itu?” tanya Lila penasaran. Ia sama sekali tak menghubungi Ryan kala itu.

“Aku baru selesai kelas dan gak sengaja liat kalian, aku bukan ngikutin kamu atau apapun itu yang ada di otak kamu, aku memang kebetulan ada di sana.”

Lila memilih untuk percaya saja agar ia bisa segera bebas dari pria ini.  Tamparan Kikan benar-benar menyakitkan bahkan setelah salep itu di  poles di pipinya. Lila benar-benar tak tahu apa masalahnya hingga Kikan tiba-tiba menamparnya seperti itu, yang pasti semua itu ada hubungannya dengan Joshua.

“Kamu mau ke kelas?” tanya Ryan. Pria itu masih berdiri di hadapan Lila, tak beranjak sesenti pun dari tempatnya iu sejak awal.

“Ya, aku masih ada satu kelas terakhir sebelum pulang.”

“Aku antar.”

Lila menatap Ryan aneh. Jarak Fakultas Komunikasi dan Seni Rupa itu berlawanan, jika Ryan mengantar Lila, maka butuh sekitar sepuluh menit untuk kembali ke Fakultas Komunikasi.

“Gak perlu, aku gak papa, kok, sendirian.”

Ryan sudah tahu semua jawaban yang keluar dari bibir itu. Semua tentang Ryan adalah penolakan, walaupun sebenarnya Lila sangat ingin menjawab ‘iya’. Pikiran tentang bergantung pada Ryan sangat mengganggu, dan mereka belum cukup akrab untuk saling membantu seperti ini.

Oh, perjanjian.

Walaupun tak ada hitam di atas putih, entah kenapa Lila merasa seperti terikat oleh sesuatu yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Tepatnya tak ingin ia lepaskan. Ada satu dan juga beberapa hal yang membuat Lila menyetujui perjanjian itu walaupun dengan bantuan paksa Ryan.

“Aku gak nanya kamu, karena kamu memang pasti bakal nolak,” ucap Ryan dengan senyum miringnya. Ia mengambil jemari Lila dan menautkan bersama dengan tangan lebar miliknya. “Jangan lepasin tangan ini tanpa izin dari aku.”

Mungkin Ryan tak tahu, tapi efek dari kalimat itu membuat jantung Lila berdebar sangat kencang. Itu merupakan hal baik dan juga hal buruk. Lila tak ingin mengakuinya, tapi jika di teruskan seperti ini maka Lila akan jatuh cinta pada Ryan.

**

Terpopuler

Comments

Leeta

Leeta

Aku bener bener udah jatuh cinta sama novel novelmu thor, tulisannya yang rapih, penggambaran suasana yang begitu jelas, pokoknya mantep banget deh, aduuh bener bener jatuh cinta deh ini😍

2020-01-05

1

Venti Melinda Goe-Chee

Venti Melinda Goe-Chee

aq jg jatuh cinta ama novel ini😅😀

2019-11-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!