Lila kembali murung, menatap ke luar jendela kelasnya tanpa minat sama sekali, ia kembali merenungkan hal-hal apa saja yang sudah ia lakukan di masa lalu. Sebenarnya ia termasuk gadis yang mencari aman di hidupnya, ia sebisa mungkin meminimalisir masalah yang akan menimpa hidupnya tapi semua itu seolah tak cukup dan ia terus mendapatkan masalah.
Dan semakin hari masalahnya terasa semakin menumpuk, ia bahkan bingung harus bersikap seperti apa. Ia ingin tertawa saja dengan semua masalah ini tapi itu semua terasa palsu, ia bahkan sangat tahu bahwa hampir semua mahasiswi di fakultasnya tak menyukainya tapi ia selalu berpura-pura seolah itu bukan hal penting. Itulah kenapa ia hanya berteman dengan Icha yang bisa di bilang sangat mengenalnya luar dalam.
Lila menjatuhkan kepalanya di lipatan tangannya, ia tak ingin terlihat menyedihkan tapi berpura-pura bahagia juga bukan pilihan. Ia ingin menyalahkan Ryan atas semua masalah yang menimpanya tapi semua juga berawal dari dirinya jadi ia harus seperti apa lagi menanggapi semua masalah ini, ia ingin mengadu pada Icha tapi rasanya sangat salah karna terus menerus bergantung pada sahabatnya itu. Jadi pilihan terbaiknya adalah merenungkan segalanya di kelas yang sudah kosong sejak satu jam yang lalu.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, ia harusnyasudah pulang atau jalan-jalan sebentar bersama dengan Icha. Ia sudah seperti gadis yang tak ada harapan hidup sama sekali, lagipula apalagi yang harus ia harapkan pada hidupnya. Ia sudah patah hati sejak enam bulan yang lalu, bahkan patahan itu masih terasa sampai sekarang.
Katakanlah ia gagal move on dan rasanya ia sangat ingin untuk membalaskan rasa sakit hatinya pada mantan pacar dan selingkuhannya. Mungkin terdengar seperti remaja SMA yang labil, tapi memang itu yang ia rasakan saat ini tapi justru perasaan ingin balas dendam itu yang menimbulkan masalah pada hidupnya. Memang seharusnya ia mendengarkan nasihat Icha tapi rasa sakit hatinya jauh lebih besar dari apapun bahkan ia sendiri sulit untuk mengontrol.
Lila merasakan kehadiran seseorang di sampingnya, ia membiarkan hal itu. Ia tidak ingin bertemu siapapun saat ini apalagi jika yang duduk di sampingnya saat ini adalah Ryan, jika dulu ia yang bersemangat mengejar pria itu walaupun hanya sekedar trik tapi ia lumayan menikmatinya. Tapi kali ini ia hanya ingin sendirian merenungi nasibnya, setelah ini mungkin dia bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan.
“Jadi kamu bener pacaran sama Ryan?”
Lila mendengarnya, tapi suara ini sangat tidak asing di telinganya dan ini bukan suara Ryan. Lila segera menegakkan tubuhnya dan mendapati Joshua di sampingnya. Mantan yang sangat ingin ia hindari.
Lila melihat ke sekelilingnya, memastikan ada orang selain dirinya karena sejujurnya ia sangat tidak ingin berbicara dengan Joshua lagi. “Kamu ngomong sama aku?” Lila menampilkan wajah polos dan sebenarnya itu juga satu pertanda bahwa ia enggan melihat wajah Joshua lagi, tapi sepertinya Joshua tak memahami itu.
“Segitu bencinya kamu sama aku?” Joshua bertanya lagi, ia terlihat kesal dengan kenyataan bahwa Lila sudah tak melihatnya seperti dulu ketika mereka berpacaran, harusnya ia sadar dengan yang ia perbuat tapi ia kesal dengan keadaan sekarang.
Lila tak menjawab pertanyaan Joshua, harusnya ia sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu tapi ia masih menanyakan hal yang sama. Lila kembali mengalihkan pandangan pada jendela besar di sampingnya. Moodnya baru saja jatuh ke dasar jurang dengan kehadiran Joshua di sini dan sepertinya pria itu akan tetap di sini hingga Lila mengajak bicara.
Lila menghembuskan nafas, ia lelah dengan permainan yang ia buat sendiri dan wajahnya sekarang sudah sangat berlipat-lipat hingga terlihat seperti seseorang yang tengah depresi.
“Aku menyesal, La.” Joshua mengatakan itu setelah keberanian yang ia kumpulkan, wajahnya tertunduk bahkan untuk menatap Lila terasa berat. Ia benar-benar menyesali perpisahannya dan Lila dan ia juga menyesali perselingkuhan dengan Kikan, tapi sepertinya Lila belum menyadari semua itu.
Lila masih bergeming di tempatnya. Ia tak menyangka Joshua akan mengatakan hal itu setelah sekian lama, ia bahkan tak berharap Joshua akan menyesali semua perbuatannya. Mungkin memang Lila ingin membalas perbuatan Joshua dan Kikan tapi belakangan ini ia sudah menyadari bahwa semua yang ia lakukan sia-sia dan hanya menyakiti dirinya sendiri. Lila bahkan tak peduli jika Joshua akan meminta maaf padanya atau tidak.
Lila bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu keluar, ia semakin merasa tak nyaman dengan semua ini. “Kamu bener-bener pacaran sama Ryan?”
Lila berhenti melangkah, wajahnya sudah terlihat kesal sejak tadi dan sekarang kekesalannya sudah memuncak. Lila menarik napas perlahan dan membuangnya untuk menenangkan emosinya, tangannya masih memegang
gagang pintu dan ia sudah siap untuk keluar dari ruangan ini.
“Sebenci itu kamu sama aku, ya?”
“Kamu bodoh atau memang ingin mencari masalah denganku?” Kata-kata itu terdengar sangat dingin bahkan untuk Lila sekalipun, mungkin terdengar jahat tapi ia juga tak bisa berpikir untuk melembutkan kalimatnya.
“Di hari kamu lebih memilih Kikan di banding aku, kita sudah selesai. Jangan pernah berpikir kita bisa saling sapa seperti dulu.” Setelah mengatakan hal itu, Lila segera berlalu dari ruangan itu meninggalkan Joshua dan kekecewaannya.
**
Lila berjalan gontai menuju halte bus yang tak jauh dari gerbang kampus, sekarang sudah hampir pukul enam sore. Kembali ke rumah juga bukan pilihan yang baik, tapi ia tak tahu harus kemana jika bukan pulang ke rumah. Ibunya yang protektif itu pasti akan menanyainya berbagai macam hal karena ia pulang telat.
Walaupun Ibunya bekerja, ia sangat peerhatian pada Lila dan memastikan anak gadis satu-satunya itu tercukupi semua kebutuhan yang di perlukan. Menjadi orang tua tunggal sangatlah sulit, harus berperan sebagai Ibu dan Ayah sekaligus. Salah satu alasan kenapa Lila begitu ceria dalam menghadapi semua masalah.
Ia tahu betapa lelah Ibunya, harus bekerja dan harus mengurusi Lila, tapi Ibunya sama sekali melarang Lila untuk bekerja. Lara Julita—Ibu Lila—yang usianya sudah mencapai kepala empat itu adalah wanita yang sangat di hormati dan juga di sayangi Lila. Lila selalu berusaha menyimpan kesedihannya untuk diri sendiri karena tak ingin sampai Ibunya tahu lalu juga merasa sedih. Tanpa di sadari kebiasaan itu mulai terbawa dalam lingkungan sosial Lila, itulah yang membuat banyak mahasiswi membencinya.
Ia bahkan tak bisa terbuka dengan Icha yang sudah banyak membantu dan menjadi sahabat satu-satunya yang di miliki Lila. Lilanduduk di halte yang kosong, mungkin ia akan berjalan kaki saja nanti alih-alih naik bus. Jalan-jalan sebentar mampu membuat pikirannya tenang untuk beberapa saat.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di hadapan Lila, yang tak ia pedulikan. Masalahnya lebih penting di banding pemilik mobil yang menghentikan mobil tepat di hadapannya itu.
“Lila.”
Lila tersadar dari lamunan ketika mendengar suara yang memanggilnya itu, ia menatap mobil di hadapannya yang kaca penumpang sudah terbuka menampilkan Ryan di kursi pengemudi. Lila memejamkan matanya, bisakah
hari ini jadi lebih buruk lagi?
Ia tahu kelakuannya sangat buruk selama ini, tapi bertemu Joshua dan Ryan dalam kurun waktu yang sebentar sama sekali tak ada dalam agendanya. Kalau bisa ia malah ingin jika tak bertemu mereka.
“Kamu memanggilku?” tanya Lila dengan wajah datar.
Hal yang sampai sekarang tak di percayainya adalah Ryan yang bisa berubah secepat itu. Ia tahu seperti apa Ryan dari rumor-rumor yang beredar di sekitar kampus. Pria itu sangat dingin dan hampir tak menanggapi para gadis yang mencoba untuk mendekatinya. Sama sekali tak ada yang berhasil sampai Lila mencobanya.
Dua bulan memang cukup lama, tapi untuk tipe pria seperti Ryan dua bulan itu sangat singkat, Lila bahkan tak perlu bekerja lebih keras karena Ryan sudah dengan sukarela menyerahkan dirinya.
Pada akhirnya, Ryan memilih keluar dari mobilnya. Ia tahu akan sedikit sulit untuk berbicara pada gadis itu. Lila adalah satu-satunya gadis yang mampu membuat Ryan bertekuk lutut dan melakukan apapun yang tak seharusnya ia lakukan. Memang tak ada cinta dalam hati Ryan, hanya saja Lila berhasil membuat jiwa penasaran yang ia miliki keluar di permukaan.
“Aku tak tahu apa yang sedang kamu mainkan, tapi berpura-pura tak terjadi apapun di antara kita juga sangat mengesalkan.” Ryan berdiri di hadapan Lila kali ini.
Lila menaikkan bahunya tak acuh. “Kamu yang memulai hubungan aneh ini, dan aku perlu waktu untuk berpikir. Mungkin menurutmu ini hal yang biasa, tapi untukku ini sangat memuakkan.”
“Oh ya? Jadi aku sedang di salahkan sekarang? Gimana caranya kamu ngelakuin itu padahal udah jelas kalau kamu awal dari semuanya, aku hanya membantumu.” Ada raut jenaka di wajah Ryan yang membuat Lila semakin
kesal.
Sepertinya ia sudah salah memprediksi soal pria ini, ini sangat berbeda dari apa yang di pikirkannya. Lila tak benar-benar ingin berhubungan dengan Ryan, ia hanya akan sedikit bermain dengan pria itu, tapi malah ini yang ia dapat. Mungkin pepatah ‘apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai’ benar adanya. Nasehat Icha memang yang paling benar, tapi ia tak menanggapinya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Lila. Ia masih mempertahankan wajah datar yang ia miliki sebisa mungkin.
“Jadi sekarang situasi sudah berbalik, eh? Aku penasaran kemana perginya gadis yang menggodaku selama dua bulan kemari dan sangat manis. Apa kebetulan kamu mengenalnya?” ucap Ryan dengan geli.
Lila tahu, ia tak bisa mengakhiri semua ini seperti yang ia inginkan. “Aku minta maaf atas sikapku selama ini, itu memang kesalahanku. Tolong hentikan semuanya.”
Ryan hanya menatap Lila yang masih memberinya raut wajah datar. Ada sedikit rasa kecewa yang terselip di hatinya, tapi kenapa ia harus kecewa? Karena gadis itu sudah menyerah? Apakah tiba-tiba hati Ryan berubah dengan cepat?
“Aku tak yakin bisa, bukankah ini tak adil untukku? Aku akan membuatnya semakin menarik untukmu, jadi tunggu saja.”
Setelah mengatakan itu, Ryan segera memasuki mobilnya tanpa berkata apapun dan langsung meninggalkan Lila yang masih terduduk di kursi halte itu. Memang takkan mudah, kan? Apa yang di harapkannya lagi? Dunia memang tak pernah berpihak padanya kalaupun gadis itu ingin.
**
“Bu, Lila pulang,” ucap Lila ketika memasuki ruang tamu rumahnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, waktu yang sangat tepat untuk makan malam.
“Ibu di dapur, La!”
Lila segera berlari menuju dapur dan menemukan Ibunya sedang menata meja makan. Ketika sudah sampai di rumah, Lila sebisa mungkin menyembunyikan seluruh raut sedih di wajahnya. Ibunya sudah memikirkan banyak hal, Lila hanya tak ingin menambah beban pikiran sang Ibu.
“Wah, makan malam.” Lila berseru takjub melihat makanan yang tersaji lengkap di meja makan, ia memeluk Ibunya dari belakang lalu mencium pipinya.
“Kok kamu pulangnya malem banget? Ibu pikir kamu nginep di rumah Icha,” ucap sang Ibu lembut. Ia mengelus lengan anak gadis satu-satunya itu dengan sayang.
“Kelas hari ini padet banget, Bu, belum lagi tugasnya yang banyak banget itu. Ya ampun, Lila pusing banget liatnya.”
Sang Ibu hanya tersenyum melihat omelan Lila. Lara sangat paham sekali bagaimana sikap anak gadisnya ini, itu seperti rutinitas yang tak pernah bosan ia lakukan. Mendengarkan omelan si anak. Beruntunglah Lila tumbuh menjadi gadis yang sangat ceria, Lila itu bisa di bilang sangat kekurangan kasih sayang dari Lara.
Lara bahkan harus menitipkan Lila di penitipan anak ketika ia bekerja. Seluruh harinya hampir ia habiskan di tempatnya bekerja. Tak ada keluarga yang bisa ia mintai tolong, karena keadaannya dulu yang hamil tanpa suami, seluruh keluarganya seolah menutup mata akan kehadiran Lara.
Jadi, Lara berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya dan juga sang anak gadis yang sekarang ini sudah tumbuh dengan baik.
“Sekarang kamu ganti baju, baru kita makan,” perintah Lana pada Lila yang masih setia memeluknya itu.
Tak lama kemudian, Lila sudah muncul di ruang makan dengan baju santai. Ia menghampiri Ibunya yang sudah duduk di meja makan menunggu. Mereka makan dengan khidmat dan tenang.
“Bu, Lila boleh nanya gak?” tanya Lila di sela-sela kunyahan nasi di mulutnya.
“Mau nanya apa, sayang?”
“Ibu gak kepikiran untuk nikah lagi?”
Lara terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan anaknya. “Kok tumben kamu nanya kayak gitu?”
Lila menatap Ibunya yang sibuk dengan makanan di piringnya. Sebenarnya Lila bisa menebak jawaban Ibunya. Jawaban bohong yang selalu sang Ibu berikan padanya. Diam-diam ketika Lila terbangun di tengah malam ketika ia masih di sekolah menengah dulu, ia selalu melihat Ibunya menangis sembari memandangi sebuah foto. Foto yang sangat Lila yakini sebagai Ayahnya.
Semakin ia dewasa, semakin ia menyadari seberapa besar rasa sakit yang di tanggung Ibunya, dan pemikiran untuk menjodohkan Ibunya dengan seorang pria selalu hadir di kepalanya.
“Biar Ibu gak kesepian, lagian Ibu masih cantik, Lila yakin banyak pria-pria yang diem-diem naksir Ibu,” jawab Lila dengan senyum jenaka.
“Ibu udah punya Aisyah sama Wita, kenapa Ibu harus kesepian. Ibu mau fokus ngurus anak gadis Ibu yang mulai cerewet ini.” Lara tersenyum pada sang anak. “Lagian kamu yang harusnya nyari pacar, masa udah semester empat belum dapet-dapet juga.”
Aisyah dan Wita adalah karyawan yang di pekerjakan Lara di toko bunga dan juga toko baju kecil-kecilan miliknya yang berada di lantai satu rumah mereka. Berkat kegigihannya dalam bekerja dan menabung, Lara bisa membuka usaha dari tabungan yang ia miliki selama ini. Walau tak besar, setidaknya itu cukup membantu keuangan mereka, dan semakin kesini kondisinya semakin baik.
Lila mengerucutkan bibirnya. Ia memiliki pacar, tapi bukan jenis pacar yang akan di kenalkan pada Ibunya. Lagipula Lila berniat untuk mengakhiri hubungan anehnya dengan Ryan. Hubungan satu pihak yang di klaim Ryan karena kesalahannya.
“Gak ada yang menarik di kampus, Bu. Lila maunya yang spesial.”
Lara sontak mendadak tertawa mendengar ucapan anaknya. Sebenarnya ia sangat buta terhadap kehidupan pribadi Lila, gadis itu tak pernah menceritakan semuanya secara rinci. Lila juga tak pernah menceritakan masalahnya, ia hanya menceritakan hal-hal ceria atau lelucon yang di lontarkan temannya. Lara sudah lama curiga akan hal itu, tapi ia tak ingin menekan anaknya terlalu jauh.
Ia percaya kalau Lila akan lebih terbuka padanya suatu hari nanti. Untuk sekarang, seperti ini saja sudah cukup. Cukup hanya ada dia dan juga Lila, keluarga kecil mereka.
**
Ryan memarkirkan mobilnya di garasi rumah bertingkat dua itu. Rumah milik Bibinya yang sudah sejak kecil ia tinggali. Ia bersyukur masih ada yang mau mengurusnya ketika kedua orang tua yang harusnya merawat dan
menjaga malah melepaskan tanggung jawab itu. Sampai sekarang ia bahkan tak tahu apa yang membuat kedua orang tuanya seperti itu.
Ryan sudah pernah berpikir untuk keluar dari rumah Bibinya dan menyewa satu apartemen studio hanya untuk dirinya saja, tapi ia tak pernah di izinkan.
“Bibi ini cuma sendirian, masa kamu tega mau tinggalin juga.” Itu yang di ucapkan Bibinya ketika pertama kali mengajukan gagasan yang ia miliki.
Sejak saat itu, Ryan tak pernah membahas masalah itu lagi. Suami sang Bibi sudah meninggal karena kecelakaan, hanya ada Ramona yang sedang berkuliah di Singapor. Ramona adalah anak satu-satunya sang Bibi yang
dua tahun lebih tua di banding Ryan. Ramona dan Ryan sangat dekat, semua rahasia terkelam Ryan ada pada gadis itu.
Ryan adalah sosok pendiam sejak perceraian orang tuanya, dan hingga sekarang ia masih memiliki sifat tersebut di dirinya. Sangat sulit untuk mengubah sifat seseorang yang sudah di bentuk dalam dirinya, apalagi jika di bentuk dalam pengalaman pahit masa lalu yang terkadang suka menimbulkan trauma tersendiri.
“Ryan, kamu udah pulang?” tanya sang Bibi yang sedang menonton televisi. Ia mendengar suara pintu terbuka ketika pria itu masuk.
“Iya, Bi. Tadi ada kelas tambahan, jadi Ryan pulang telat,” ucap Ryan. Ia segera menghampiri sang Bibi yang sedang menonton tayangan di televisi di hadapannya.
“Kamu udah makan?”
“Udah, Bi. Bibi udah makan?”
Sang Bibi hanya tersenyum dan mengangguk sebagai tanda jawaban. “Oh ya, ada paket yang datang buat kamu tadi siang.” Sang Bibi menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Ryan.
Raut wajah Ryan seketika berubah. Kotak ini selalu datang untuknya dalam berbagai bentuk, terkadang ia menerima baju, sepatu, jam tangan, parfum, dan juga barang-barang lainnya. Ini sudah bulan Mei, bulan kelahirannya, dan lusa adalah ulang tahunnya—enam belas Mei.
Tak ingin membuat khawatir sang Bibi, Ryan tersenyum simpul. “Ryan ke atas dulu, Bibi jangan tidur malam-malam.”
Ryan langsung beranjak menuju lantai dua menuju kamarnya. Ia menatap kotak yang berada di tangannya, ada amplop kecil di atasnya yang ia yakini sebagai surat. Ia membuka kotak tersebut yang ternyata berisi sepatu, lalu menutupnya lagi dan memasukkan kotak tersebut ke dalam lemari yang memang berisi kotak yang sama dalam ukuran berbeda.
Pengirim semua hadiah itu adalah Ibunya yang entah berada di mana, dan selalu di kirim beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya. Tapi, semua hadiah itu hanya berakhir di lemari tanpa di buka atau di kenakan oleh Ryan. Suratnya juga tak ada yang di baca olehnya sama sekali.
Anggap saja ia sangat muak dengan semua hadiah itu, itu sudah berlangsung sejak ia lulus SMA. Ia hanya tak habis pikir, kenapa baru memperhatikannya sekarang setelah sekian tahun ia terabaikan. Ia benci tentu saja, dan hadiah itu tak bisa membuatnya mengurangi kebencian yang ada di hatinya.
Hal itu memang salah, tapi ia harus berbuat apa lagi? Ryan takkan bisa jika harus menyambut Ibunya dengan tangan terbuka tanpa memikirkan kesalahan apa yang Ibunya dulu perbuat. Percayalah, itu sangat berat, dan Ryan harus menanggung semua itu selama beberapa tahun. Ryan bahkan sangat membenci nama panjang yang ia miliki karena ada nama Ayahnya di belakang nama Ryan itu sendiri.
Ryan menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia sangat lelah dengan kehidupan yang ia miliki, sama sekali tak berarti
untuknya. Ia hanya menjalani saja tanpa ada jiwa di dalam hidup itu sendiri. Tak ada impian yang benar-benar ingin ia raih, tak ada gadis yang benar-benar ingin ia kencani, Lila mungkin pengecualian karena berhasil menarik
perhatiannya walau sedikit.
Itu tak berarti ia menyukai Lila, ia hanya cukup tersanjung dengan sikap yang di miliki gadis itu, apalagi dengan
berbagai gosip yang gadis itu terima. Ryan tahu segala hal tentang Lila, bahkan gosip-gosip murahan itu juga. Ia tak mencari tahu, hanya saja berita itu sudah menyebar begitu saja di segala penjuru, bagaimana mungkin Ryan tak mengetahui?
Bermain-main sedikit tak masalah, kan? Toh gadis itu juga yang memulai segalanya.
**
Sebenarnya tak ada kehidupan kampus yang menjadi impian Lila, ia hanya butuh ketenangan dan menjadi tak terlihat mungkin. Tak terlihat dalam artian tak ada yang mengusiknya, biarkan saja gadis itu sendiri, tak perlu melakukan apapun terhadapnya. Itulah yang di inginkan Lila, tapi entah kenapa keadaan seolah tak mendukungnya.
Pagi tadi ketika ia sampai di kelasnya, hampir semua mahasiswa menatapnya dengan bisik-bisik yang tak mengenakkan. Ia tak melakukan apapun pada hari sebelumnya, ia justru memilih menyendiri agar orang lain tak mengusiknya, tapi sepertinya apapun yang di lakukan Lila selalu menjadi masalah untuk orang lain.
Setelah kelas berakhir, Lila langsung menghampiri Icha di kelasnya. Ia tak menggubris tatapan menghakimi dari siapapun yang ada di kelas Icha. Mungkin lain kali Lila harus ikut casting menjadi artis, karena ia sudah memiliki banyak orang yang membencinya, takkan sulit untuk menjadi terkenal, ia hanya perlu menciptakan skandal.
“Ada apa, Cha?”
Icha hanya mengangkat kedua alisnya bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Lila. Lila yang mendatanginya, tapi Lila
pula yang menanyainya. “Dari pagi tadi semua orang ngeliatin aku mulu padahal aku gak ngapa-ngapain,” ucap Lila memperjelas pertanyaannya.
“Kamu gak buka grup chat kelas kamu?” tanya Icha.
“Udah jarang aku buka karena gak ada info penting, emang ada gosip apa lagi?”
“Intinya ada foto kamu sama Joshua di kelas berdua, dan kamu bisa simpulin apa yang terjadi setelahnya.”
Lila segera mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam tas dan membuka ruang obrolan kelasnya. Entah siapa yang mengambil foto mereka, bahkan hampir semua isi obrolan itu adalah menjelek-jelekkan Lila. Hal itu membuat Lila tersenyum miring.
“Mereka bahkan gak tahu apa yang kami omongin tapi mulai mencaci maki aku, aku heran kenapa mereka bisa kuliah di sini,” ucap Lila dengan senyum miring.
“Kamu gak marah sama semua itu?” Icha menatap Lila tak percaya. Harusnya, reaksi pertama yang orang berikan
ketika mendapati di caci maki seperti itu adalah marah, tapi lihatlah reaksi Lila yang tampak santai seperti tak terjadi apapun.
“Memang apa gunanya aku marah? Mereka kayak udah gak peduli aku marah atau gak.” Lila mengedikkan bahunya. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia di benci begitu banyaknya di sini.
Lila masih sibuk dengan ponselnya, tak sadar jika Icha sudah menatapnya sedari tadi. Icha adalah sahabatnya yang paling peka dan juga setia, ia tak tahu, tapi ia merasa kalau Lila menyimpan banyak rahasia yang hanya gadis itu tahu. Semua sikap cerianya seperti hanya kamuflase untuk menutupi semua kegundahan dalam dirinya.
“Kantin yuk, Cha, laper banget aku. Abis ini kamu masih ada kelas, kan?”
“La,”
Lila membalikkan tubuhnya menatap Icha yang yang seperti ingin mengucapkan sesuatu. “Kenapa, Cha?”
“Kamu bisa, kok, cerita sama aku kalau kamu udah gak tahan sama kelakukan orang-orang ini. Kamu gak perlu
nyimpen itu sendiri,” ucap Icha dengan khawatir.
Lila tertawa menanggapi Icha dengan raut khawatir itu. “Kamu kayak gak kenal aku aja, Cha. Ryan aja bisa takluk
sama aku, apalagi mereka yang gak ada apa-apanya sama Ryan. Kamu tenang aja.” Lila segera beranjak dari tempatnya setelah mengatakan kalimat itu.
Icha hanya menatap kepergian sahabatnya dengan raut cemas yang tak hilang. Ia tahu seberapa tangguhnya gadis
itu, tapi terkadang ada raut sedih di wajahnya yang secara tak sengaja ia tunjukkan pada Icha. Mungkin tak mudah untuk terbuka, tapi Icha yakin gadis itu akan melakukannya nanti.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Leeta
bagus thor ceritanya menarik banget 😘👍
2020-01-05
1
🍭ͪ ͩ☠ᵏᵋᶜᶟ印尼🇮🇩小姐ᗯ𝐢DYᗩ 𝐙⃝🦜
di episode ini nih bikin nyesek Ulu hati, thor 😢😢😢😢😢
2019-11-22
1