Episode 4

Malam itu, Ryan dan juga Ramona beserta bibinya mengadakan acara makan malam untuk merayakan ulang tahun Ryan. Pada dasarnya makan malam itu adalah hal biasa yang rutin mereka lakukan, hanya saja karena kali ini Ramona hadir bersama mereka membuat makan malam itu sedikit berbeda dan bisa di katakan cukup spesial.

Tak ada kue ulang tahun seperti umumnya ulang tahun biasa, karena Ryan tak pernah menginginkannya. Ramona dan sang Bibi hanya bisa mengiyakan permintaan itu, setidaknya makan malam itu sudah cukup menunjukkan

kebersamaan mereka.

“Yan, kamu mau kado apa ulang tahun kali ini?” tanya Ramona.

Ryan terdiam sebentar untuk berpikir, wajahnya cukup serius untuk menentukan apa yang di inginkannya. “Keinginanku tahun ini adalah Ramona yang tak banyak bicara dan tak terlalu peka dengan kehidupanku,” ucap

Ryan dengan senyum manis yang di tujukan pada Ramona.

Walaupun Ramona lebih tua, tapi ia tak ingin Ryan memanggilnya Kakak. Keinginan seorang wanita yang tak pernah ingin mengakui kalau dirinya tua. Ramona juga ingin mereka lebih akrab dan Ryan menganggapnya

teman alih-alih Kakak.

Ramona berdecak dengan kalimat Ryan. “Mama tahu gak, Ryan diem-diem udah punya pacar. Pinter banget, kan dia nyembunyiin pacarnya, Ma?” ucap Ramona pada sang Ibu.

“Itu bukan pacar, Mon,” elak Ryan.

“Akan jadi pacar, Ma. Mama tungguin aja tanggal mainnya.” Ramona menaikturunkan alisnya menggoda Ryan yang sudah mulai kesal.

“Gak, Bi, Ramona cuma asal ngomong. Mungkin karena masih jetlag jadi omongannya ngawur.”

“Ma, ini beneran. Pacarnya itu cantik banget, besok aku mau ke kampus Ryan buat ketemu dia.”

Ina, orang tua Ramona yang juga Bibi dari Ryan hanya tertawa mendengar perdebatan anak dan juga keponakan itu. Ia bahagia Ryan sudah mulai tumbuh dewasa, semakin tampan dan juga mau mengekspresikan perasaannya.

“Kapan-kapan ajak kesini, dong, Yan, Bibi juga penasaran jadinya kalo kayak gini,” ucap Ina dengan tawa tertahan.

“Gak gitu, Bi—“

“Oke, Mama udah setuju. Karena ini adalah perempuan pertama, kamu mau yang kayak gimana? Kamu yang kenalin atau aku yang datengin dia?”

Ryan menggelengkan kepalanya, ia takkan termakan dengan godaan yang di layangkan oleh Ramona dan juga sang Bibi. Ini hanya trik yang di gunakan Ramona untuk mengolok-oloknya dan membuat Ryan kesal, untuk hal

yang baik.

“Aku bisa minta kado yang lebih mahal lagi kalo kamu berani ngelakuin itu,” tantang Ryan.

Kelemahan Ramona ada pada uang. Mungkin karena ia adalah anak Bisnis, ia selalu mengatur keuangannya dengan baik, ia sebisa mungkin mengeluarkan uang seminimal mungkin. Ia menolak jika ada yang mengatakan kalau ia pelit, ia hanya mencoa berhemat, itu yang selalu ia katakan ketika Ryan mengolok-oloknya.

“Masih banyak cara, dan kamu gak akan lolos.” Ramona menjulurkan lidahnya pada Ryan dan tersenyum meremehkan. Ramona tahu kalau Ryan akan sangat mudah takluk pada apapun perintah Ramona, dan Ryan membenci hal itu.

**

“Yan, Bibi mau ngomong sama kamu sebentar,” ucap Ina ketika Ryan akan menuju kamarnya setelah membantu membereskan sisa makan malam mereka.

Ryan hanya mengangguk dan berjalan menuju tempat Bibinya duduk. Ina adalah adik dari Ibu Ryan yang meninggalkan Ryan begitu saja setelah perceraiannya dengan Ayahnya. Itulah kenapa masih ada rasa segan ketika Ryan berbicara dengan Ina, padahal mereka sudah tinggal bersama sejak usia Ryan dua belas tahun.

“Ada apa, Bi?”

Ina terdiam sejenak dan menatap Ryan, ada keraguan di matanya untuk mengatakan apapun yang akan di utarakan olehnya. Ina selalu merasa bersalah ketika Kakaknya meninggalkan Ryan begitu saja tanpa pertanggungjawaban, padahal ketika pengadilan memutuskan perceraian keduanya, hak asuh Ryan jatuh ke tangan Kakaknya itu.

“Tolong dengarkan Bibi sampai selesai, ya?” pinta Ina. Ia menggenggam kedua tangan Ryan yang bahkan lebih besar dari ukuran tangan Ina sendiri. “Ibumu ingin bertemu denganmu.”

Tak ada jawaban dari Ryan. Obrolan tentang Ibunya ini sudah tak pernah menjadi topik lagi di rumah tersebut. Ryan sangat membencinya dan tak pernah berniat untuk membicarakan ataupun mengangkat topik itu ke permukaan. Untuknya, Ayah dan Ibunya sudah lama mati.

“Ini ulang tahunmu yang ke dua puluh satu, dan ia sangat ingin bertemu denganmu,” lanjut Ina.

“Kenapa?” tanya Ryan datar.

Inilah yang membuat Ina semakin merasa bersalah, wajah tanpa emosi milik Ryan. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuat wajah datar itu berekspresi ketika pertama kali Ina bertemu dengan Ryan. Dan sejak saat itu, Ina sudah berjanji pada diri sendiri untuk membuat wajah itu tersenyum cerah.

“Kamu putranya, wajar kalau orang tua ingin bertemu dengan putranya setelah sekian lama, kan?”

“Apa Bibi langsung menyetujui permintaan itu?”

Ina menggeleng. Walaupun Ibu Ryan adalah Kakaknya, Ina cukup kecewa dengan keputusan yang di buat olehnya. Karenanya Ina tak ingin melakukan apapun tanpa persetujuan Ryan, setidaknya ia ingin Ryan kembali tak tersakiti lagi. Nanti jika waktunya sudah tepat, Ina pasti akan mempertemukan Ibu dan anak ini untuk menyelesaikan masalahnya.

“Kalau begitu Ryan menolak. Tak ada yang ingin Ryan bicarakan dengan wanita itu.”

Ina menggenggam tangan Ryan lebih erat, ia sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan di berikan Ryan. Setidaknya ia sudah mencoba, karena ini bukan pertama kali Kakaknya meminta untuk bertemu Ryan.

“Baiklah, Bibi mengerti. Maafkan Bibi jika menyinggung perasaanmu, Bibi hanya berpikir mungkin ada yang bisa kalian perbaiki setelah sekian lama. Tidurlah.”

Ryan mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga tak mampu terlihat dengan jelas jika tak di perhatikan. Ia segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua.

**

Cuaca cukup cerah siang itu, angin juga berhembus menyejukkan sinar matahari yang cukup terik. Lila menikmati semua itu dengan senyum tipis sembari melangkah menuju kantin. Kelas terakhirnya sudah selesai siang itu dan Icha tak ada bersamanya karena kelasnya di batalkan oleh sang Profesor. Jadi, Lila akan menikmati makan siangnya seorang diri.

Beruntunglah hari ini teman-teman kelasnya tak terlalu bergosip tentang dirinya, tapi mereka tak cukup ramah dengan tiba-tiba menyapa Lila. Lila juga tak mempermasalahkan hal itu, ia lebih suka seperti itu. Setidaknya harinya akan cukup cerah seperti cuaca siang itu.

Kantin tak terlalu ramai karena ini sudah pukul dua siang, tapi beberapa kursi cukup terisi. Setelah memesan sepiring batagor, Lila segera memilih kursi dan duduk dengan tenang sembari membuka buku yang ia bawa. Ia tak ingin di anggap cukup pintar, hanya saja ia akan sedikit berlama-lama di kantin sebelum pulang ke rumah.

Hobinya memang membaca buku, ia tak terlalu suka berselancar di dunia maya atau mengecek media sosial miliknya. Bisa di bilang ia teralu kuno untuk umurnya yang baru dua puluh itu. Icha bahkan lebih moderen di banding dirinya, tapi Lila tak pernah peduli dengan hal itu, ia hanya akan melakukan apa yang menurutnya nyaman.

Setelah berkutat cukup lama dengan bukunya, Lila merasa ada yang menarik kursi di hadapannya. Ketika mendongak ia menemukan Ryan yang membawa sepiring batagor dan segera duduk di meja yang sama dengan Lila.

“Aku pikir kamu gak pernah ke kantin,” ucap Lila kemudian.

“Aku gak pernah bilang gitu, kamu aja yang simpulin semuanya sendirian.”

Lila menghiraukan ucapan Ryan dan menatap pria itu dengan seksama, waktu sendirinya sangat berharga dan pria ini menghancurkan hal itu. “Masih banyak kursi kosong di sini,” ucap Lila sinis.

Ryan menaikkan alisnya, terlihat tak peduli dengan Lila sama sekali. Tujuannya ke kantin memang untuk mengisi perut, dan sangat kebetulan ia menemukan Lila yang sedang fokus membaca tanpa peduli sekitarnya. Awalnya ia hanya akan makan lalu kembali ke taman atau pulang, tapi menyapa gadis itu sepertinya juga tak buruk.

“Aku cuma mau duduk sama pacarku, apa gak boleh?”

Lila memutar kedua bola matanya, ia sangat benci dengan kata ‘pacar’ itu. Lila mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin yang tak ramai tapi tak juga sepi. Mereka semua terlihat tak peduli pada Lila dan juga Ryan, semuanya tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing sembari menikmati makanan milik mereka.

Ryan memperhatikan semua yang di lakukan Lila. Setiap Ryan berada di sekitar gadis itu, Lila pasti akan mengedarkan pandangan ke sekitarnya, seolah akan ada orang yang menangkapnya karena berbuat salah.

“Sepertinya kamu sangat peduli dengan sekitarmu, aku pikir kamu tak peduli dengan semua itu,” ucap Ryan, berusaha untuk terlihat biasa saja.

“Hanya berjaga-jaga siapa tahu akan ada penggemarmu yang tak suka melihatku berdua denganmu.” Lila melanjutkan suapannya pada batagor di depannya.

“Aku baru tahu kalau aku punya penggemar.”

Sebenarnya Lila hanya asal bicara, ia hanya tak ingin Ryan bertanya hal-hal yang tak ingin di jawab oleh Lila. Mereka tak sedekat itu untuk saling menceritakan masalah masing-masing.

“Kemarin aku ulang tahun, aku ingin hadiahku.”

Lila menatap Ryan aneh, ia bahkan takkan peduli jika hari ini adalah ulang tahun Ryan. “Bukan urusanku sepertinya, aku juga gak peduli kalau kamu ulang tahun.” Lila mengangkat bahu tak acuh.

“Tapi aku peduli dan kamu harus melakukannya.” Ryan mendekatkan tubuhnya ke arah Lila.

Lila sama sekali tak menduga hal itu, tubuh Ryan tinggindan meja yang menjadi batas mereka juga cukup kecil hingga membuat mereka berhadapan sangat dekat. “Jangan cuma membutuhkanku waktu kamu mau menjauhi

Joshua, setidaknya aku butuh timbal balik.”

“Atau aku akan menciummu di sini.”

“K—kenapa ancamanmu selalu seperti itu?” Lila berusaha menetralkan kembali pikirannya. Ryan selalu dengan mudah mengambil alih pikiran warasnya dan membuat jantungnya berdebar dengan keras.

Ryan menjauhkan tubuhnya, menikmati wajah Lila yang mulai memerah dan kegugupannya yang sangat terlihat jelas itu. “Karena hanya itu yang membuatmu gugup.” Ryan tersenyum, yang membuat wajah Lila semakin memerah.

Lila segera membuang pandangannya ke arah lain, Ryan benar-benar mempengaruhinya sebanyak itu dan rasa itu sangat berbeda ketika ia bersama Joshua dulu. Lila justru mulai membereskan buku dan barang bawaannya, berada di dekat Ryan benar-benar membuat kemampuan gerak tubuh dan jantungnya tak normal.

Sebelum Lila mampu bergerak lebih jauh, Ryan sudah menahan pergelangan tangan Lila. Ryan benar-benar menikmati semua itu, dan itulah kenapa rasa penasaran yang Ryan miliki semakin menjadi-jadi.  Ryan berdiri bersama Lila lalu tersenyum.

“Kalau kamu gak mau kasih kado, kamu harus ikut aku ke suatu tempat.”

**

Ryan membawa Lila ke starbucks yang terletak di seberang kampus mereka, setelah memesan kopi, mereka langsung memilih tempat duduk yang terletak di sebelah dinding kaca, memperlihatkan pemandangan jalan raya dan kesibukannya.

“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanya Lila.

“Aku mau ngomong sesuatu yang gak bisa di omongin di kampus.”

Lila menaikkan alisnya, sedikit heran dan juga takjub. Mereka memang berada di luar lingkungan kampus, tapi jika di pikir lagi, mahasiswa kamous mereka bisa melihat dengan jelas Lila dan Ryan yang sedang mengobrol di dalam starbucks, bukankah itu sama saja? Maksudnya takkan ada bedanya jika mereka memilih untuk mengobrol

di luar kampus maupun di dalam kampus, toh mahasiswa lain bisa melihat mereka dengan jelas.

“Dan kita duduk di sini? Mereka bisa gampang banget foto kita dari seberang jalan raya itu atau dari depan gerbang kampus,” ucap Lila.

“Jadi aku sekarang lagi duduk sama salah satu selebriti kampus yang selalu di foto dimanapun dia berada? Aku gak masalah, kalo anak milenial bilangnya ‘pansos’.” Ryan tersenyum geli dengan kalimatnya sendiri.

Lila menyilangkan tangannya di dada. “Mau ngomongin apa?”

“Aku ambil kopi kita dulu.” Ryan segera beranjak dari duduknya karena panggilan untuk mengambil pesanan mereka.

Setelah menyelesaikan semuanya dan kembali duduk dikursi yang ia tempati, Ryan mulai menatap Lila dengan serius. Ia sudah memikirkan hal yang ingin ia bicarakan ini semalaman, dan ia sudah mantap dengan rencana yang ia buat. Ryan juga bingung kenapa bisa memikirkan hal ini, ini hanya Lila, tak ada perbedaan berarti dengan gadis-gadis lain.

“Aku mau buat suatu perjanjian,” ucap Ryan mantap. Bahkan hanya memikirkan kalimat itu sudah membuat jantungnya berpacu, di tambah tatapan Lila yang tak mengerti itu.

“Perjanjian apa?” Lila bertanya dengan bingung. Berada di sini saja sudah membuatnya bingung, sekarang Ryan mengatakan kalimat yang lebih membuatnya bingung.

“Kamu membutuhkanku untuk menghadapi Joshua, dan aku akan membantumu.”

Lila menatap Ryan tak mengerti. Secara teknis Ryan memang sudah menyelamatkan Lila dua kali ketika berhadapan dengan Joshua secara langsung dan tak langsung. Menurut Lila, itu merupakan hal spontan yang ia lakukan dan kebetulan saja Ryan berada di sana dan menyaksikan kejadian itu.

“Aku gak ngerti, kenapa aku harus terlibat dalam perjanjian? Dan aku gak semembutuhkan itu buat ngadepin Joshua.”

“Oh ya? Kalau gak ada aku waktu itu, apa yang bakal kamu lakuin pas ketemu Joshua? Setahu aku Joshua itu cukup gigih, dan mungkin gak bakal ngelepasin kamu gitu aja.” Ryan mengangkat bahunya. Ini adalah hal tergila yang pernah ia rencanakan dan lakukan. Selama hidupnya, ia memastikan dirinya tak ikut terlibat dalam masalah yang menyangkut dirinya, tapi sekarang?

“Tunggu, tunggu, sejauh apa kamu tahu soal aku dan Joshua?”

“Satu kampus ngomongin kalian, dan gak mungkin gak ada yang tahu cerita kalian?”

Lila menatap Ryan penuh selidik. Ryan yang ia goda dua bulan lalu bukan Ryan yang banyak bicara seperti sekarang, bahkan sangat dingin, lalu kenapa Ryan yang saat ini duduk di hadapannya terlihat sangat berbeda tiga ratus enam puluh derajat?

“Aku pikir itu bukan urusan kamu, aku gak butuh perjanjian itu, dan berhenti ngurusin urusan pribadi aku.” Wajah Lila kembali tanpa reaksi, datar, dan Ryan sudah menekannya terlalu jauh.

Ryan yang menyadari perubahan raut wajah itu mulai memasanag sikap antisipasi, gadis di depannya ini cenderung melarikan diri sebelum pembicaraan mereka usai, dan Ryan tak ingin hal itu terjadi. Setidaknya untuk saat ini, karena masih banyak yang akan ia katakan.

“Aku tahu, yang lucu adalah semakin kamu nolak aku, aku semakin penasaran sama kamu.” Ada senyum kecil di sudut bibirnya karena kalimat yang ia ucapkan, ia juga merasa konyol dengan semua yang ia lakukan saat ini. Sangat bukan Ryan.

“Apa yang sebenarnya kamu rencanain? Kamu dulu benci banget sama aku, dan sekarang kita duduk di sini buat bahas perjanjian,” ucap Lila.

Tadinya Lila sangat ingin keluar, tapi setelah di pikir-pikir lagi, ia selalu melarikan diri dari semua masalah yang sedang di hadapi, dan tak ada satupun yang selesai. Jadi, ia sudah memutuskan untuk mengalah dan menghadapi Ryan, ia berharap setelah ini Ryan akan mulai menjauhinya. Harapan yang sangat tak mungkin untuk terkabul.

“Gencatan senjata?” ucap Ryan ragu. Tujuan sebenarnya dari rencana yang ia buat masih abu-abu, jadi ia tak bisa

menyebutkan hal itu pada Lila. “Apapun itu, aku hanya ingin membantumu sebenernya, tapi kamu gak pernah berbaik hati buat nerima itu.”

“Dan kamu minta aku buat percaya gitu aja?”

Lila dan Ryan saling menatap, berharap bisa saling membaca pikiran masing-masing yang kenyataannya adalah tak bisa. Lila yang sama sekali tak bisa mempercayai Ryan, dan Ryan yang masih berusaha membuat Lila percaya padanya. Ryan entah kenapa sangat gigih karena hal ini.

“Aku gak tahu apa yang udah terjadi sama kamu, tapi aku bener-bener gak punya maksud lain untuk hal ini. Aku bahkan gak ngerti kenapa aku masih berusaha bikin kamu percaya padahal kamu gak semudah itu buat percaya.”

Lila berpikir. Jika ia menyetujui perjanjian yang di ajukan Ryan, artinya mereka akan semakin sering bersama. Tak ada alasan bagi Lila untuk menjauh dari Ryan karena pada dasarnya ia juga membutuhkan Ryan untuk melarikan diri dari Joshua, serta membalaskan rasa sakit hatinya pada Kikan. Tapi, itu berarti akan banyak gosip antara dirinya dan Ryan.

Dari sudut pandang manapun, Lila tak melihat sesuatu yang akan menguntungkan dirinya, kecuali benteng untuk menghadapi Joshua dan rasa sakit hatinya terbalas. Akan ada lebih banyak keburukan yang akan ia terima dari teman-temannya jika Lila menerima perjanjian itu. Hal yang paling di benci Lila adalah, Ryan yang sudah mengetahui dirinya lebih banyak. Icha bahkan mungkin tak mengetahui apa yang Ryan tahu.

“Kamu takut dengan pandangan teman-temanmu.”

Lila menatap Ryan. Itu adalah alasan utama yang membuat Lila menolak percaya dengan rencana Ryan dan Ryan seolah mampu membaca pikirannya. “Ya, karena kamu gak tahu apa aja yang udah aku lalui.”

“Aku lebih suka sama Lila yang tak acuh dan percaya diri, kemana perginya gadis itu?” tanya Ryan dengan serius.

Lila juga sangat ingin tahu kemana perginya gadis itu, ia sangat membutuhkan dirinya di saat semua hal menyakiti dan tak memberi ampun padanya. “Kamu gak bawa kertas untuk di tandatangani, gimana aku bisa percaya.”

“Aku pikir saling percaya cukup. Kamu cuma perlu hubungi aku kalau kamu butuh dan kita gak akan peduli dengan urusan pribadi masing-masing. Kamu bisa percaya sama aku.” Ryan mengulurkan tangannya untuk mengesahkan perjanjian kecil yang ia buat.

Lila hanya memandangi tangan itu untuk beberapa saat, masih banyak perdebatan dalam kepala dan juga hatinya. Jika Lila menjabat tangan itu, maka sama saja dengan menyerahkan hatinya pada pria ini, karena Lila tak pernah mempercayai siapapun. Tapi, otaknya bergerak lebih cepat dari hatinya dan ia sudah membalas uluran tangan Ryan.

Mereka hanya tak tahu kalau perjanjian kecil itu mampu mengantarkan mereka kepada hal yang lebih besar di masa depan.

**

Lila baru saja turun dari bus yang ia tumpangi, untuk menuju rumahnya ia perlu berjalan kaki dari sekitar sepuluh menit dari halte tempat pemberhentiannya. Hal itu sudah menjadi favoritnya sejak ia bersekolah, sepuluh menit yang berharga untuk memikirkan segala hal yang menjadi beban kepalanya.

Lara sudah pernah menawarkan untuk membelikan Lila kendaraan seperti sepeda motor ataupun mobil agar Lila tak perlu berjalan kaki setiap hari, tapi Lila menolak. Walaupun untung dari kedua toko kecil yang di jalankan Ibunya cukup untuk membiayai hidup keduanya, Lila tak pernah meminta banyak hal.

“Lila lebih suka jalan kaki, Bu, lebih sehat. Beli kendaraan sama aja nambahin biaya hidup kita makin besar, biaya kuliah Lila aja udah besar, Bu.” Itu yang di katakan Lila ketika Lara bertanya tentang mobil untuk yang kesekian kalinya.

“Memang kamu gak capek jalan kaki terus dari halte? Kalau kamu pulangnya malem dari kampus gimana, kendaraan umum gak seaman itu, Lila.”

“Percaya sama Lila, deh, Bu, Lila bakal baik-baik aja. Lagian kita udah punya satu mobil, Bu,” ucap Lila meyakinkan.

Mereka memiliki satu mobil yang di beli Lara ketika pendapatan di kedua toko kecil miliknya semakin meningkat, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Walaupun sudah mendapatkan kartu SIM ketika Lila lulus SMA, Lila tetap tak ingin mengendarai mobil. Sangat tak efektif, hanya menambah kemacetan, dan juga menambah polusi udara yang sudah tak sehat ini.

Jadilah Lila hanya akan naik angkutan umum dan mengemudikan mobil ketika akan pergi bersama Ibunya untuk urusan pribadi atau juga kepentingan toko sang Ibu.

Lila menghentikan langkahnya ketika mendapati seorang pria yang sebaya Ibunya berdiri di seberang toko sang Ibu dan memandanginya. Rumah dan toko yang di miliki Lara adalah sebuah ruko dua lantai yang terletak disebuah komplek perumahan. Lantai pertama menjadi toko bunga dan juga toko baju yang di jadikan satu.

Baju yang di jual bukan termasuk baju dari suatu merek tertentu, Lara menjahit baju itu sendiri lalu di jual di toko baju miliknya. Lara pernah bekerja di sebuah pabrik tekstil selama kurang lebih sepuluh tahun, dan setelah di rasa tabungannya cukup, ia mulai menyewa ruko untuk memulai usaha kecil-kecilan miliknya.

Awalnya ia hanya menerima pesanan baju dari teman-teman yang di kenalnya, lalu mulai banyak yang memberinya usul untuk menjahit baju sendiri lalu di jual. Dan usulan itu membuat Lara semakin giat bekerja dan menerima pesanan baju dari berbagai orang di sekitarnya hingga ia bisa membeli ruko miliknya sendiri dan juga dua toko kecil itu.

Lila yang menyaksikan betapa keras usaha Ibunya untuk menghidupi mereka berdua. Masa kecilnya bahkan sangat keras karena sang Ibu tak selalu berada di sampingnya. Karenanya ia sangat amat menyayangi Lara, dan ia sangat bangga pada Ibunya. Semua itu berpengaruh pada kepribadian yang membentuk Lila hingga saat ini.

“Permisi, Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapa Lila lembut pada pria paruh baya yang berdiri memandangi toko milik Ibunya itu.

Sang pria menoleh mendengar sapaan lembut itu, dan terpaku di tempatnya ketika melihat siapa yang baru saja menyapanya. “Sepertinya dari tadi Bapak melihat kea rah toko di depan sana,” ucap Lila lagi menunjuk toko Ibunya.

“Ah, maaf, saya kebetulan lewat di sini dan bunga-bunga di depan sana cukup menarik perhatian Bapak,” ucap sang pria dengan senyum ke-Bapakannya.

Lila tertegun sesaat dengan senyum yang di berikan pria di hadapannya. Mungkin akan sangat terasa baik jika pria ini adalah Ayahnya, melihat sikapnya yang ramah, pastilah ia sosok Ayah yang sangat hebat.

“Bunganya sangat segar, kan? Saya dengar semua itu adalah bunga yang di tanam oleh sang pemilik.” Lila tersenyum, tadinya ia ingin mengatakan kalau toko itu adalah milik Ibunya, tapi mungkin lain ceritanya jika ia tak mengatakan yang sebenarnya.

“Kamu kenal pemiliknya?” tanya sang Bapak merasa takjub dengan penuturan Lila.

“Ah, saya tinggal di lingkungan ini dan cukup sering berkunjung di toko bunga itu. Mungkin lain kali Bapak harus mengunjunginya, membelikan bunga untuk sang istri mungkin.” Lila tersenyum lagi, entah kenapa ada rasa bangga di hatinya ketika menceritakan sang Ibu di hadapan orang lain. Ibunya adalah yang terbaik dan dunia harus tahu itu.

Sang pria juga sangat takjub dengan senyum yang di berikan gadis di hadapannya. Dia bukan pedofil, hanya saja senyum gadis itu mengingatkannya pada seseorang di masa lalunya.

“Lain kali Bapak akan berkunjung,” ucap pria itu tersenyum. “Baiklah, Bapak akan melanjutkan perjalanan kembali.” Sang Bapak melemparkan senyumnya untuk yang terakhir kali dan berlalu dari hadapan Lila.

Lila menatap punggung pria itu dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya. Tumbuh tanpa sosok Ayah sangat terasa kurang, tapi Ibunya mampu menutupi kekurangan itu dengan baik. Hidupnya sudah sangat sempurna hanya dengan kehadiran sang Ibu, tapi mungkin akan lebih sempurna lagi jika ada figur Ayah yang mampu Lila banggakan.

Ayah di bayangannya adalah pria seperti tadi yang sangat ramah dan sudah pasti penyayang, tapi yang tergambar di otaknya adalah sosok pria tak bertanggung jawab yang meninggalkan anak gadisnya dan juga sang Ibu. Gambaran itu sangat sulit lepas dari otaknya, yang membuat Lila tak mampu mempercayai orang lain. Lila juga tak mempercayai Ibunya karena Lara selalu berbohong padanya, terlihat bahagia ketika mereka sedang bersama, padahal Lila selalu mendengar tangisan tertahan Ibunya di kamar.

Lila juga tak mempercayai diri sendiri. Ada saat-saat dimana ia menjadi sangat lemah dan juga menjadi sangat tegar. Yang lebih sering terlihat adalah sisi tegar dan kuat Lila hingga banyak orang membencinya, tapi ketika ia sendirian, ia akan menangis karena semua permasalahan yang ia terima terlalu berat. Itulah yang membuat ia tak mempercayai dirinya sendiri, segala keputusan yang ia ambil selalu melalui pemikiran yang dalam agar tak ada kesalahan di kemudia hari, tapi ia bisa dengan mudah menyetujui perjanjian yang di buat Ryan begitu saja.

Bagaimana ia bisa mempercayai orang lain jika Lila sendiri tak bisa mempercayai dirinya sendiri?

**

Jadi gimana menurut kalian sejauh ini? Apa ngebosenin karena terlalu panjang atau segini fine-fine aja?

Terpopuler

Comments

Ninja 👀

Ninja 👀

aku udah putusin baca yg ini aja, takut sakit hati klo lanjut baca dimitri sama lili

2020-03-03

1

Leeta

Leeta

iih bagus banget, nyesel deh baru baca

2020-01-05

1

Kaum pecinta Novel

Kaum pecinta Novel

bagus kok thor. aq aja msih betah bacanya smpek ke episode ini

2019-11-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!