Episode 3

Ryan terpekur menatap layar laptop di hadapannya, ia harusnya sudah berada di kelasnya, tapi karena tak melihat

informasi di ruang obrolan kelasnya ia tak tahu kalau hari ini kelasnya kosong karena dosen yang mengajar sedang berhalangan hadir. Awalnya ia ingin duduk di taman kampusnya saja, tapi perpustakaan sepertinya lebih bagus, cuaca juga sedang sangat panas.

Perpustakaan sangat sepi siang itu, hampir tak ada mahasiswa di dalamnya malah, kecuali Ryan. Tak masalah karena itu lebih bagus, karena akan menjadi masalah kalau perpustakaan ramai. Karena tak ada tugas yang ingin ia kerjakan, ia hanya memandangi layar laptop itu tanpa minat.

Mungkin membaca buku atau novel akan mengusir bosan, batinnya. Takkan ada yang ia lakukan juga jika pulang ke rumah, Bibinya pasti akan berada kantor dan ia akan sendiri juga, jadi tak ada bedanya. Ia segera melangkah ke rak buku paling belakang untuk mencari bacaan yang menghibur, ia bosan membaca diktat kuliah terus-terusan.

Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang duduk di lantai dengan earphone terpasang di telinganya dan juga buku di pangkuannya. Ia tak bisa memastikan dengan jelas karena rambut panjang gadis itu yang menutupi wajahnya, sepertinya ia tertidur.

Dengan pelan Ryan menepuk lengan gadis itu—sudah pasti gadis karena rambutnya panjang—siapa yang tahu kalau ternyata gadis itu pingsan. Perlahan kepala gadis itu terangkat, dan keduanya kaget satu sama lain. Gadis itu tidak tidur, ada jejak air mata yang sudah mengering di pipinya.

Ryan menatap gadis di depannya yang ternyata Lila itu, dan ia bisa melihat dengan jelas kalau gadis itu baru saja

menangis, atau gadis itu sudah menangis untuk waktu yang lama. Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa, jika saja bukan Lila maka akan lebih mudah baginya untuk bertanya. Atau akan lebih baik jika Lila saat ini tak dalam keadaan menangis.

“Aku hanya memastikan tak ada yang pingsan di perpustakaan ini,” ucap Ryan dingin.

“Terima kasih sudah mengatakan hal itu,” jawab Lila dengan suara serak.

Lila memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan sebelum bangkit dari duduknya. Setelah makan di kantin

bersama Icha tadi, ia memutuskan untuk berdiam diri di perpustakaan karena kelasnya masih dua jam lagi. Dan ia tak menyadari kalau ia bisa menangis di perpustakaan ini.

“Sepertinya aku mengganggumu, aku akan pergi.” Lila sudah hampir melangkah ketika Ryan mencekal lengannya.

“Jam berapa kelasmu selesai?” tanya Ryan dengan raut datarnya.

“Ada apa?”

“Aku hanya bertanya pada pacarku, mungkin kamu mau pulang bareng.”

“Terima kasih, tapi kalau kamu mengatakan itu untuk mengasihaniku maka lebih baik kamu simpan untuk dirimu

saja.”

Alih-alih marah, Ryan justru tersenyum. Ia sepertinya sudah bisa menduga balasan yang akan di berikan oleh

gadis ini. Lila yang menggodanya kemarin dan selalu menampilkan senyum manisnya seolah menghilang, di gantikan dengan Lila lain yang lebih sarkas dan dingin padanya. Ryan benar-benar tak menduga perubahan semacam ini, atau jangan-jangan Lila sengaja bersikap seperti itu untuk mempermainkan perasaan Ryan?

Ryan menarik cekalan tangan Lila mendekat pada dirinya, hingga Ryan bisa melihat dengan jelas wajah gadis yang

berani-beraninya mempermainkan dirinya sedemikian rupa. Lalu apa Ryan merasa di permainkan oleh Lila? Apa secara tak langsung Ryan sudah mulai menyukai Lila?

“Aku masih penasaran kemana perginya gadis yang menggodaku habis-habisan kemarin, wajahnya sangat mirip

denganmu, hanya saja ia lebih manis.” Ryan berbicara di depan wajah Lila. Ryan sangat menjulang tinggi di hadapan Lila yang tingginya hanya mencapai dada pria itu.

“Bukankah aku sudah minta maaf kemarin?” tanya Lila. Matanya pasti sudah memerah sekarang, antara menahan

amarah dan juga tangis.

Ia takut jika ada orang yang memotret dirinya dalam kondisi seperti ini. Kalimat yang ia baca di ruang obrolan kelasnya sangat menyakiti hatinya. Ia bohong pada Icha dengan mengatakan tak ada yang salah dari semua hal itu. Kali ini jika ada orang tak bertanggung jawab yang memotret dirinya lagi, ia mungkin akan benar-benar hancur, entah kalimat apalagi yang akan ia terima.

Ryan bisa melihat dengan jelas wajah Lila, gadis itu memang sangat cantik ia akui. Bola matanya berwarna hitam

legam, sangat kontras dengan pipinya yang putih. Mata itu terlihat sedikit sedih untuknya, dan ini baru pertama kali ia lihat. Gadis itu selalu memancarkan keceriaan, hari ini sangat berbeda.

“Aku tak tahu apa yang sedang kamu mainkan di sini, tapi aku akan melakukan apapun yang aku suka, cukup adil,

kan?”

Lila menatap wajah dengan senyum ejekan itu dengan datar. Ya, ia akui ini memang salahnya. Kenapa harus

bermain-main dengan pria ini yang ternyata lebih mengerikan dari yang ia tahu? Tak ada jalan kembali, jadi nikmati saja karma dari perbuatannya.

**

Ryan tak mengerti dengan tubuhnya yang tak mendengarkan instruksi dari otaknya untuk segera pulang. Ia justru

bersandar di depan pilar yang berada di dekat kelas Lila. Padahal sudah sangat jelas gadis itu menolak ajakannya tadi, api justru hal itu yang membuatnya penasaran.

Ketika pintu kelas itu terbuka, muncul seorang dosen pria yang seketika membuat Ryan menundukkan kepalanya

sembari mengulas senyum. Lalu di sertai dengan rebut-ribut mahasiswa yang berebut untuk keluar kelas dengan cepat. Mahasiswi yang secara tak sengaja menyadari kehadiran Ryan, memandangi Ryan dengan pandangan heran.

Alasan pertama karena Ryan dari Fakultas Komunikasi, jarak dari fakultasnya dan Fakultas Seni Rupa itu jauh, ia

harus memutar arahnya ke belakang lagi. Alasan kedua tentu saja itu ada hubungannya dengan Lila.

Satu menit berselang, ketika seluruh mahasiswa itu sudah meninggalkan kelas, Lila muncul di depan pintu.

Ryan tersenyum melihat gadis itu, sangat terlihat jelas kalau Lila sama sekali tak akrab dengan teman sekelasnya. Ryan seperti melihat dirinya dalam versi gadis dalam diri Lila.

“Lila,” panggil Ryan.

Lila menoleh dan sangat kaget mendapati Ryan berdiri tak jauh dari kelasnya. “K…kamu ngapain di situ?”

“Kamu lupa obrolan kita di perpustakaan tadi?”

Lila sangat ingat obrolan singkat itu, tapi tak menyangka kalau Ryan benar-benar menunggunya, bahkan di depan

kelasnya. “Kamu sejak kapan di situ?”

Ryan tampak berpikir, ia juga tak terlalu ingat sejak kapan berdiri di sana, yang pasti cukup untuk berpikir

kenapa ia harus melakukan apa yang ia lakukan saat ini. “Yang jelas aku melihat dosenmu keluar tadi.”

Lila semakin menatap Ryan dengan horor, itu artinya teman-temannya melihat keberadaan Ryan di sana, dan itu

sudah cukup untuk menjdai bahan gosip baru mereka. Lila menggelengkan kepalanya dengan miris lalu berbalik berniat untuk meninggalkan Ryan. Pemandangan selanjutnya kembali membuat kepalanya pusing, salah satu sumber masalahnya sedang berdiri menatapnya.

Tanpa perlu berpikir panjang, Lila kembali menatap Ryan. Dari kedua pria yang ada di sana, tak ada satupun dari

mereka yang sangat ingin Lila temui, tapi mungkin Ryan sedikit lebih baik. Ia menatap Ryan dengan tatapan penuh pinta, ia sama sekali tak mengatakan apapun berharap Ryan mengerti keinginannya.

Reaksi yang Ryan berikan justru hanya mengangkat kedua alisnya tak mengerti. Ia tahu pria lain yang berdiri di

depan sana, Joshua, mantan kekasih Lila yang sangat fenomenal itu. Salah satu alasan yang membuat Ryan semakin tertarik pada Lila. Otaknya langsung berpikir dengan cepat dan menemukan satu ide menarik.

Ryan tersenyum dengan idenya itu dan langsung menundukkan wajahnya untuk meraih wajah Lila dalam genggaman tangannya. Lagi-lagi Ryan tersenyum mendapati wajah kaget Lila yang benar-benar kaku. Ia mencium kedua pipi Lila secara bergantian.

“Aku melakukannya dengan baik, kan?” bisik Ryan di hadapan Lila.

Lila benar-benar syok dengan apa yang Ryan perbuat, ciuman itu tak terduga padahal Lila hanya meminta Ryan untuk membantunya, tapi bukan dengan menciumnya.

“Ayo, aku akan mengantarmu pulang.” Ryan merangkul bahu Lila dan membawanya berjalan menjauhi Joshua yang menatap mereka dengan raut wajah yang tak bisa di jelaskan.

Lila juga sama sekali tak menatap ke belakang, ia terlalu syok dan yang ia lakukan hanya mengikuti kemana Ryan

akan membawanya.

**

“Kita mau kemana?” tanya Lila ketika mobil melaju di jalanan yang tak ia kenal.

“Well, lihat saja nanti, kamu yang memintaku untuk menolongmu.”

Ada senyum jahil di wajah Ryan yang tak luput dari penglihatan Lila. Entah apalagi yang bisa di lakukan pria itu

setelah memeluk dan juga menciumnya di depan Joshua. Bisa saja besok gosip baru akan kembali tersebar di kampus. Gosip yang hanya berawal dari foto yang tersebar di ruang obrolan kelasnya, lalu perlahan mulai menyebar ke beberapa mahasiswa dari fakultas lain.

Sepertinya Ryan sama sekali tak mengetahui hal itu, ia terlihat hanya peduli pada keinginannya untuk membalas

dendam pada Lila. Ini karma yang sedang ia jalani, tapi kenapa rasanya menyesakkan? Dan ia tak sekuat itu untuk menahan semuanya, kepura-puraan yang selama ini ia tampilkan bisa saja luntur seiring berjalannya waktu.

“Turunkan aku di sini,” ucap Lila dengan dingin.

Ryan menatap Lila di sampingnya tak percaya, gadis ini benar-benar berkepribadian ganda. Baru beberapa menit yang lalu gadis itu meminta pertolongan Ryan, tapi sekarang langsung berubah menjadi Lila yang tak tersentuh. Dari tempatnya duduk saja ia bisa melihat dengan jelas wajah dingin itu.

“Kita di tengah jalan raya, jangan yang aneh-aneh.”

“Aku hanya ingin di turunkan di sini, itu bukan hal aneh,” ucap Lila yang dengan berani menatap Ryan. “Atau aku

akan lompat dari sini.”

Ketika mendengar kalimat Lila, Ryan segera menepikan mobilnya di tepian jalanan yang tak terlalu ramai. Lila segera membuka pintu mobil itu yang sayangnya masih di kunci oleh Ryan.

“Aku bener-bener gak ngerti sama kamu. Apa kamu selalu seperti ini pada setiap pria? Aku bahkan sangat membenci diri sendiri yang tanpa sadar mulai terpengaruh sama kamu.”

“Aku udah minta maaf sama kamu, dan kamu sama sekali gak di rugikan di sini. Kalau kamu ingin membalas dendam, aku terima, tapi saat ini aku cuma ingin keluar dari mobil ini.”

Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika harus jujur, Ryan sudah mulai terpengaruh oleh Lila sejak gadis

itu selalu memberikan senyum manis miliknya padahal tahu kalau Ryan sama sekali tak menggubrisnya. Ia terkesan dengan kegigihan gadis itu, dan sekarang ia sangat penasaran dengan perubahan sikap gadis ini.

“Kamu melakukannya seolah-olah itu semua sama sekali gak berarti,  aku udah salah menyangka semua sifat kamu kayaknya.”

Setelah kalimat itu di ucapkan, bunyi klik terdengar, dan tanpa mengatakan apapun Lila langsung keluar dari mobil itu. Mobil Ryan pun langsung melesat pergi, mungkin ini bisa di bilang sebagai pengalaman pertama Ryan yang

penasaran terhadap lawan jenis. Naïf memang, tapi itu memang kenyataan.

Ryan sangat kesal, tapi ia tetap tak bisa menampik kalau Lila masih membuatnya penasaran. Apa bertemu mantan

kekasihnya sangat mempengaruhi Lila? Gadis itu terlihat selalu menghindar jika bertemu Joshua dalam berbagai kesempatan, ia sering memperhatikannya secara tak langsung, dan hanya dua kali ia ikut terlibat.

Bahkan setelah ini ia masih tetap penasaran dengan Lila. Jika Ramona tahu hal ini, ia pasti akan sangat kegirangan atau mungkin akan mengadakan pesta dua hari dua malam untuk merayakan Ryan yang akhirnya tertarik pada gadis.

**

Setelah kelasnya barakhir siang itu, Lila segera memasuki toilet. Ia harus berlari menuntaskan hajatnya karena

toilet favoritnya berada di  lantai satu, sedangkan kelasnya ada di lantai dua. Toilet di lantai satu ini sangat jarang

di kunjungi mahasiswi lain karena letaknya yang cukup jauh, dan itu yang di sukai Lila.

“Hai, Lila.”

Lila mendongak dari wastafel tempat ia mencuci tangan setelah menyelesaikan hajatnya, Kikan. Lila menundukkan

kembali wajahnya dan hanya fokus pada air yang mengalir. Kikan adalah orang yang paling ingin ia hindari setelah Joshua, tepatnya pasangan kekasih itu sangat tak ingin ia temui.

“Kayaknya kamu benci banget ya, sama aku. Padahal kalau di inget-inget kita deket banget dulu, sekarang kamu

kayak jijik banget sama aku,” ucap Kikan dengan santai. Ia tak peduli dengan raut wajah Lila yang sudah berubah.

Ya, kalau saja kamu gak ngerebut Joshua dan ngerusak persahabatan kita, batin Lila.

Lila sudah menyelesaikan kegiatan pengalih perhatian yang ia sengaja, ia menatap Kikan yang juga menatapnya dengan sinis. “Ada perlu apa?” tanya Lila datar.

“Aku gak tahu kamu pura-pura atau gimana, tapi kamu bener-bener gak punya malu banget. Setelah pacaran sama Ryan kamu masih juga ketemuan sama Joshua. Apa kamu memang terlahir kayak gitu? Bahkan satu kampus udah ngomongin kamu,” ucap Kikan. Ia menatap Lila dengan wajah remeh.

“Kamu marah karena itu? Baguslah, karena itu yang aku rasain dulu waktu kamu dengan gak tahu malunya ngerebut Joshua gitu aja.” Lila menjawab dengan dingin, wajahnya sangat datar tak seperti yang di harapkan Kikan.

“Kamu harusnya sadar kenapa dulu Joshua milih buat selingkuh di banding bertahan sama perempuan kayak kamu!”

“Dan kamu lebih suka jadi selingkuhan di banding persahabatan kita? Kamu lebih gak punya malu.” Lila berjalan melewati Kikan, dengan sengaja menabrakkan bahu mereka. Ia bisa saja mengamuk di toilet ini, tapi ia masih bisa berpikir dengan jernih dan tak ingin membuat drama lainnya.

“Oh ya, kalaupun kamu cuman jadi selingkuhan, setidaknya jangan bikin Joshua nyesel karena ninggalin aku. Jangan sampe kamu juga di selingkuhin Joshua,” ucap Lila ketika hampir mencapai pintu toilet.

Lila berjalan menuju tempat parkir, Icha sudah menunggunya di sana, mereka akan mengunjungi toko buku dan juga perpustakaan untuk mencari referensi dari tugas masing-masing. Lila sudah menolak ketika Icha meminta tadi, tapi ia juga sedikit trauma ketika mengunjungi perpustakaan kampus. Lila tak ingin bertemu Ryan, secara sengaja

ataupun tidak.

“Sori lama, Cha, tadi ketemu kecoa di toilet,” ucap Lila begitu sampai di hadapan Icha.

“Apa hubungannya?” tanya Icha polos.

“Aku musti ngusir kecoa itu dulu, tadinya mau di bunuh aja, tapi gak tega.” Lila tertawa kecil dengan pikirannya

yang tiba-tiba menyamakan Kikan dengan kecoa. Tak ada hewan yang mampu menggambarkan Kikan secara detail, kecoa cukup mirip, sama-sama harus di hindari karena sangat menjijikkan.

“Aneh, deh, kamu. Yuk, ah, jalan ntar ketinggalan bus.” Icha menggelengkan kepalanya dengan ucapan Lila yang

terdengar sangat aneh di telinganya.

Ketika mereka akan melewati gerbang, mereka melihat Ryan yang sedang memeluk seorang wanita. Mereka

terlihat cukup akrab dan sepertinya seumuran. Icha yang melihat pemandangan itu segera menatap Lila di sampingnya yang tak memberi reaksi apapun. Pada akhirnya Icha dan Lila melewati tempat Ryan dan wanita yang di peluk itu tanpa mengatakan apapun. Lila hanya memasang wajah datarnya bahkan hingga mereka sampai di halte bus.

“Cewek tadi siapa, La?” tanya Icha.

“Pacarnya mungkin.”

Icha diam, ia jadi tak bisa membalas lagi padahal ia sangat penasaran dengan wanita itu. “Bagus deh, jadi

aku bisa lepas dari Ryan. Paling bentar lagi bakal ada gosip kalo aku jadi selingkuhan lagi, kayak dulu.” Lila tertawa. Bukan jenis tawa karena bahagia, tapi miris. Entah kapan ia bisa menemukan ketenangan dalam kehidupan kampusnya ini.

**

Ryan mengendarai mobilnya dalam diam. Perasaannya bercampur aduk karena Lila, ketika melewatinya tadi ia bahkan bisa melihat sorot dingin itu dari mata yang dua bulan lalu selalu tersenyum itu. Sepertinya efek gadis itu sangat kuat hingga Ryan bisa takluk dengan mudahnya seperti ini.

“Siapa cewek-cewek tadi?” tanya wanita yang berada di samping Ryan. Wanita yang tadi di peluk oleh Ryan.

Ramona.

Ramona adalah sepupunya yang sedang menyelesaikan kuliah di Singapor. Usianya terpaut tiga tahun lebih tua, dan sangat mengerti Ryan. Hanya Ramona yang mampu mendekati Ryan ketika lelaki itu menjauhi semua orang.

“Mahasiswa juga, Mon,” jawab Ryan acuh. Tanpa perlu di jelaskan, Ramona sudah pasti akan mengerti, wanita itu

sangat peka.

“Mahasiswa yang spesial kayaknya, kamu ngeliatinnya kayak dia bakal ilang.”

Ryan melirik Ramona yang sudah tersenyum geli, ia tak bisa lolos dengan alasan apapun. Walau jurusan kuliah

Ramona adalah bisnis, ia sangat mampu menerka kepribadian seseorang dalam sekali lihat. Katanya itu adalah bagian dari pengalaman hingga ia bisa sangat akurat dalam menebak.

“Ini pertama kalinya kamu kayak gitu, dan aku percaya sama instingku yang akurat.”

“Nggak…,”

“’Nggak’ berarti ‘ya’.” Ramona tersenyum setelah seenaknya memotong ucapan Ryan. Hal favoritnya adalah membuat Ryan kesal, itu membuat lelaki tampan ini lebih manusiawi.

“Empat tahun di Singapor gak bikin kamu lupa bahasa Indonesia, kan?” Ryan bertanay dengan kesal.

“Itu kosakata terbaru kamu. Kamu selama ini gak pernah bilang gimana perasaan kamu secara jujur. Semua perasaan yang coba kamu sangkal itu sama artinya dengan kamu mengiyakan hal itu.”

Ryan hanya diam, ia sudah tahu kalau akan berakhir seperti itu. Ia juga ak bisa menyangkal karena memang itu

semua adalah kebenaran. Sepupunya itu lebih cocok jadi Psikolog di banding harus meneruskan perusahaan peninggalan mendiang Ayahnya.

“Well…,”

“Aku suka sama dia, caranya ngeliat orang lain itu keren. Apalagi waktu dia ngelewatin kamu tanpa ngomong apapun. Jadi, kamu harus perjuangin dia.” Ramona menepuk bahu Ryan memberinya semangat.

Raut kesal itu sudah tercetak jelas di wajah Ryan. “Aku belum bilang apapun, Mon,” ucapnya dengan helaan napas

pasrahnya.

Walaupun Ramona lebih tua, ia tak mengizinkan Ryan memanggilnya dengan sebutan Kakak. Terdengar sangat tua

padahal wajah Ramona sangat awet muda dan tak terlihat kalau ia sudah berumur dua empat.

“Kamu gak perlu bilang apapun, karena dia gadis pertama yang bikin kamu tertarik, kamu harus perjuangin dia

apapun yang terjadi. Dan aku gak menerima penolakan!”

“Kamu bahkan belum kenal dia.”

“Aku gak peduli, kamu hanya perlu kejar dia.”

Ryan menggelengkan kepalanya, ini adalah reaksi yang sudah ia duga. Lagipula Ryan sama sekali tak bisa mencegah kalau Ramona akan bertemu dengan Lila secepat itu. Saat ini pikirannya kembali melayang pada Lila. Apa benar rasa penasarannya setara dengan rasa tertarik yang ia miliki?

**

Icha dan juga Lila sudah berada di perpustakaan kota sejak tadi, dan masing-masing mereka sedang mengerjakan

tugasnya dalam damai. Lila yang selalu berisik pun mendadak damai ketika berhadapan dengan tugas yang ia miliki.

Hanya Icha yang tak tenang, entah kenapa ia masih memikirkan Ryan dan seorang wanita yang mereka temui secara tak sengaja. Semenjak pertanyaan Icha di halte tadi sampai mereka berkeliling di toko buku lalu berakhir di perpustakaan seperti sekarang, Lila hanya diam dan terlihat sangat fokus pada tugas miliknya.

Dalam sejarah persahabatan mereka, Lila tak pernah seserius itu mengerjakan sesuatu. Lila cukup pintar, hanya saja ia terlalu alergi untuk mengerjakan tugas.

“Aku lebih milih dapet kuis dadakan di banding ngerjain tugas sebanyak ini,” ucap Lila kala itu.

“Bilang aja kamu males, La, alesan aja kerjaannya.”

Lila hanya tersenyum manis mendapat bantahan dari Icha seperti itu. Kalau di ingat lagi, itu adalah terakhir

kalinya Icha melihat Lila tertawa dengan tulus, tanpa beban. Saat ini, walaupun Icha melihat Lila yang tersenyum bahkan bercanda dengannya, rasanya sangat berbeda dengan masa lalu.

“La, aku masih penasaran sama cewek yang bareng Ryan tadi,” ucap Icha pada akhirnya. Ia tak bisa menyimpannya lagi.

“Tumben banget kamu sepenasaran ini, biasa juga gak peduli.” Lila masih terpaku pada laptop dan juga buku-buku

di sampingnya, sama sekali tak menoleh pada Icha.

“Aku cuman gak mau kamu di sakitin lagi, La, kalo ternyata itu pacarnya Ryan gimana, dong?”

“Ya bagus, dong. Aku lebih suka kayak gitu.”

“Ada yang kamu sembunyiin, kan?” tanya Icha penuh selidik.

Lila kali ini menoleh pada Icha. Icha ini juga sangat cocok jika mengambil jurusan Psikolog alih-alih ekonomi,

karena Lila selalu menjadi korban ketajaman perasaan Icha. “Sebenernya aku ngeri tahu gak, sih, kalo lagi bareng kamu. Semua rahasia aku bisa kamu lihat secara langsung tanpa perlu aku kasih tahu.”

“Beruntung banget pokoknya kamu punya temen kayak aku, harusnya aku pasang tarif buat pertemanan kita,” ucap

Icha bangga.

Lila tertawa tanpa suara, mereka akan di marahi oleh penjaga perpustakaan jika berisik di sana. “Aku bakal

cerita sama kamu kalo ada sesuatu, Cha. Aku juga gak peduli sama Ryan itu, bener yang kamu bilang soal dia cuman mainin aku aja, dan aku nyesel gak dengerin omongan kamu dari awal.”

“Bener kayak gitu?”

Lila mengangguk dengan yakin, ia tahu Icha tak semudah itu untuk percaya. Mungkin juga Icha sudah tahu tentang

semua hal yang Lila sembunyikan, ia hanya tak ingin terlalu membebani sahabatnya itu. Dari pengalaman selama empat semester mereka bersama, Lila takkan berbicara ketika di paksa, ia akan berbicara ketika ia memang ingin

membicarakannya. Lila memang tak mudah membagi perasaannya, ia tak ingin orang lain terbebani dengan semua kisah hidupnya.

“Kamu tahu, kan, kalo kamu bisa nyeritain segalanya sama aku?”

“Aku tahu, Cha, kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Semuanya baik-baik aja kok.”

Bohong. Ini sudah kesekian kalinya Lila mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padahal ia sedang tak baik-baik saja. Ia tersakiti dengan semua ulah Kikan dan juga ruang obrolan kelasnya, bahkan dengan teman sekelasnya, sekarang sudah bertambah dengan Ryan dan mungkin Joshua. Lila juga tersakiti jika mengingat Ayahnya, semua hal yang bisa ia ingat hanya tentang rasa sakit.

Ketika ia berada di kamarnya seorang diri, ia akan menangis tanpa suara. Ia tak ingin menjadi beban untuk

orang lain, ia akan menanggung semuanya sendiri, tapi kenapa rasa sakitnya semakin bertambah parah?

**

Terpopuler

Comments

Dwi Lusiana

Dwi Lusiana

lnjutin dOng thor..

2019-10-10

2

uchey

uchey

sediihh...😢😢
ga sabar nunggu kelanjutannya

2019-10-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!