Pemuda Pilihan Ayah
Hari ini hari pernikahanku, mempelai laki-lakiku berasal dari daerah terpencil di kabupaten Tuban, desa tengger kecamatan kerek , laki-laki ini sangat sederhana dia selalu ramah kepada siapapun dan kami bertemu saat pernikahan kurang sepuluh hari saja tapi anehnya cintaku tumbuh cepat pada suami ndesoku ini.
Saat itu ayah menyuruhku untuk mencari jodoh dan segera menikah dan aku diberi kesempatan selama 3 bulan tapi apalah daya setiap aku berhubungan dengan seseorang selalu berakhir dengan kata putus, akhirnya waktu 3bulan itu berlalu begitu saja tanpa membawa hasil apa apa, suatu malam ayah memanggilku dan mengenalkan seorang pemuda jadul penampilan kuno, ayah mengatakan akan menjodohkan aku dengan pemuda itu karena menurut ayah aku tidak laku laku.
"Kamu percaya dengan ayah kan?"tanya ayah malam itu.
"Ya Ayah aku percaya," jawabku.
"Menikahlah dengan Parlin dia anak teman ayah dan ayah yakin dia bisa menjaga serta membahagiakanmu ayah kasih waktu kamu sehari untuk berpikir," tutur ayah.
Sebenarnya aku sangat shock ini pernikahan seumur hidup tapi aku diberi waktu hanya semalam untuk berpikir? sungguh ajaib ayahku ini tapi demi membuat beliau tenang dan kembali bersemangat setelah kepergian ibu akhirnya aku pun menyetujui permintaan ayah.
"Baiklah ayah aku setuju, aku akan berpikir dalam waktu sehari besok aku akan memberikan jawabanku," ucapku pada ayah.
Ku lihat senyum lega menghias bibir ayah, aku lirik lelaki itu dan tanpa sengaja dia pun sedang melirikku ah biarlah aku menikah dengan pria ini dari pada aku jadi perawan tak laku pikirku.
Tak terasa waktuku berpikir telah habis dan aku pun menyetujui permintaan ayah yang mengharuskan aku menikah dengan pria kuno itu dengan pertimbangan usiaku yang sudah kepala 3 dan aku sudah bosan dicap sebagai perawan tak laku. Pesta pun dilakukan sesuai adat kami mahar 30juta pun sudah diserahkan padaku dan aku pun berusaha dengan lapang hati menikah dengan pria kuno pilihan ayah.
Setelah seminggu dari acara ahad nikah suamiku membawa aku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang lumayan jauh dari tempat ayah dan saudaraku tinggal aku pun tidak keberatan dan berusaha menikmati hidup dengan suami ndesoku.
Tak terasa sudah tiga bulan aku hidup bersama suami ndesoku kini tiba saatnya aku dan suamiku datang ke rumah ayah, untuk menghadiri acara kumpul keluargaku setiap tiga bulan sekali selalu berkumpul bersama seperti arisan tak resmi atau yang biasa orang sebut arisan keluarga.
Aku datang berboncengan dengan suamiku menggunakan motor Mio yang sudah berusia 10 tahun yang aku beli dengan cara mencicil dulu.
Setibanya di rumah ayah sudah aku duga para saudara saudaraku selalu bersikap sombong dan merendahkan suamiku sebab itu suamiku lebih suka menyendiri daripada berbaur dengan saudara saudaraku.
"Sinta lihat itu suamimu suka sekali menanam sayur, juga mencabuti rumput kulihat memang dasar wong deso ya," ucap kakak iparku istri kakak tertua.
Ku lihat suamiku sedang asik mencabuti rumput di depan rumah ayahku dan menanam sayur di dalam bak bekas, ya aku sendiri juga heran kenapa suamiku setiap kali datang ke rumah ayah dia selalu mencabut rumput yang tumbuh liar di depan halaman rumah begitu pula saat berada di rumah kami sendiri.
Suamiku kalau di kota ini pengangguran saat berada di rumah kesibukannya hanya menanam sayuran dibelakang dan depan rumah kontrakan kami tapi jangan salah usahanya di desa bikin orang klenger uang.
Telingaku semakin panas saat mendengar saudara saudaraku mengolok-olok suamiku. Mereka belum tahu saja seperti apa suamiku.
"Enak ya punya suami orang desa yang lain sibuk dengan handphone dia mah sibuk berkebun," ucap saudaraku
"Ya maklumlah keahlian orang kampung mah cuma cuma berkebun tidak seperti kita orang kota," seloroh saudaraku yang lainnya.
Karena tidak tahan akhirnya aku mendekati suamiku, ku perhatikan penampilan suamiku yang sungguh terlalu kuno rambut cepak celana keeper kaos lengan pendek ah sungguh pingin nangis aku lihatnya.
"Bang dandan dikit napa bang," ucapku sambil ikutan cabuti rumput karena aku tidak tahan mendengar cibiran para saudaraku.
"Gak pede aku dek! dari dulu ya penampilanku seperti ini," ucap Bang Parlin.
"Ya sudah aku temani Abang cabut rumput saja," ucapku sambil cemberut.
Kami menikah secara kilat bahkan sampai saat ini aku belum pernah datang berkunjung ke rumah mertuaku, kami bertemu hanya saat acara pernikahan itu berlangsung.
Kami pun berkumpul di dalam rumah saat waktu makan siang tiba, empat anak tiga menantu berkumpul bersama di meja makan dan ayah tiba tiba memulai pembicaraan disela sela kami menikmati makanan.
"Ayah ingin berangkat haji tapi uangnya belum ada, maukah kalian membantu mewujudkan keinginan ayah?" tanya ayah tiba-tiba.
Kami semua terdiam dan saling pandang, selama ini ayah tidak pernah meminta apapun dari kami, bahkan syah yang selalu membantu kami para anaknya, kami semua pernah dibantu modal dari ayah.
"Ayah kan tahu usaha kami sedang ada masalah, tapi kami akan tetap membantu ayah, kami akan membantu lima juta," ucap saudaraku yang tertua.
lima juta? dia yang bisa terbilang paling mampu hanya memberi bantuan lima juta apalagi dengan yang lainnya yang standar kehidupan dibawahnya.
"Aku juga tiga juta," jawab Kakakku yang kedua.
"Aku punya tabungan dari usaha sampingan bekerja di bengkel milik pak Hasan aku bantu ayah dua juta," jawab adikku yang bungsu.
Dan kini tinggal aku dan suamiku saja yang belum bersuara, aku lirik suamiku masih tetap bungkam seperti biasa.
"Batalkan saja Ayah, tunggu uang ngumpul !uang yang terkumpul hanya sepuluh juta masih banyak kekurangannya dari mana kita mendapatkan," ucap Kakak tertuaku.
"Jangan! sisanya aku yang tanggung,"ucap suamiku tiba tiba.
Semua mata tertuju padanya, tatapan penuh tidak kepercayaan pun jelas terlihat di mata saudara saudaraku tidak percaya kalau suamiku bisa memberikan kekurangannya, toh rumah saja kita masih ngontrak jangankan untuk menambahi uang pergi Haji ayah untuk beli handphone saja suamiku tidak ada itu pikir saudara saudaraku.
"Bang," ucapku. Lebih tepatnya aku sedang mempertanyakan tentang apa yang baru saja suamiku ucapkan dihadapan saudara serta ayahku.
"Ya aku akan membayar semua kekurangannya," ucap suamiku yakin.
"Alhamdulillah," ucap Ayah menutup pembicaraan dan pergi meninggalkan kami masuk ke kamarnya.
Mata kami masih fokus menatap bang Parlin suamiku sungguh kami ragu dengan kesanggupannya. Aku yang tahu pekerjaannya tidak ragu dengan jumlah uang yang di berikan cuma aku ragu apakah saudara saudaraku percaya kalau itu uang halal hasil pekerjaan di desa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments