Suamiku Penuh Kejutan

Tidak tahan aku mendengar ocehan saudara-saudaraku tentang suamiku, mereka menduga duga apa yang belum tentu kebenarannya, aku pun memutuskan untuk menemui suamiku yang tengah asyik mencabut rumput di halaman seperti biasa.

"Bang kenapa sih Abang suka sekali mencabut rumput?" tanyaku sambil ikutan mencabut rumput bersamanya.

"Biar bersih Dik, Abang suka kebersihan lagian Abang kangen kampung Dik kalau lihat rumput bawaannya pingin cabut saja," jawab Suamiku

Aku geleng-geleng kepala mendengar jawaban suamiku, hari gini suami orang pada hobi main game, foodsal, gym, lah ini suamiku hobinya cabuti rumput sungguh tepok jidat aku dibuatnya.

"Bang sebenarnya berapa banyak sih sapi Abang di kampung? berapa luas lahan pertaniannya kenapa Abang belum pernah ajak adik ke sana?" tanyaku lagi.

"Gak banyak Dik, sapi kita hanya sekitar dua ratus lima puluh ekor dan itu kebanyakan sapi jenis biasa harganya pun murah hanya sekitar belasan juta, tambak kita pun hanya ada dua puluh lima petak, sedangkan lahan pertanian kita ada sekitar lima hektar," jawab Suamiku santai.

Apa katanya tadi dua ratus lima puluh ekor itu hanya sedikit? tambak dua puluh lima petak? Aduh Bang ingin pingsan aku mendengarnya, otak berlianku mulai bekerja aku mulai menghitung berapa banyak harta suamiku yang katanya berasal dari usaha sampingan ini, dua ratus lima puluh kalau di kali sepuluh juta harga satu ekor sapi sudah berapa duwit itu? Belum lagi hasil tambak ? ternyata aku istri milyader? sungguh mataku sekarang seperti dipenuhi nol nol nominal uang yang tk terhitung dibenakku.

"Bang aku mau donk ke kampung lihat lihat di kampung halaman Abang," rengekku.

"Kamu tidak akan sanggup Dik hidup di desa, kampung halamanku pelosok sinyal pun belum masuk sana, apa kamu bisa hidup tanpa handphone?" ucap Bang Parlin sambil menatapku.

Apa sinyal belum ada? Oh tidak pasti aku tidak sanggup, setelah hidup belasan tahun tergantung sama ponsel dan harus menjauh darinya karena sinyal oh sungguh saya tidak sanggup.

"Bang kenapa sih kita kos rumah kalau sapi kita banyak? hasil tambak kita juga ada kan tinggal ambil uang hasil penjualan panen atau hasil jual sapi buat beli rumah jadi kita punya rumah sendiri," ucap ku lagi.

"Kita tidak kos di sana Dik," kata bang Parlin.

"Lalu kalau kita tidak kos itu rumah siapa Bang? bukannya kita tinggal di kos kosan bin kontrakan kalau gk kos ya ngontrak Bang," jawabku sambil ingin nangis karena jengkel pada bang Parlin.

"Aku mau kasih tahu adik tapi jangan kaget dan tidak usah di ceritakan pada orang lain," ucapnya.

"Apa Bang?" tanyaku.

"Rumah kontrakan ini milik kita, yang dikelola sama Bulik, ini tepat saat aku nikah ada yang kosong jadi aku tempati, coba ingat-ingat apa adik pernah membayar uang kontrakan di saat yang lainnya di tagih?" ucap bang Parlin.

Iya juga ya kalau aku ingat ingat aku belum pernah bayar uang kos atau kontrakan itu, bahkan suamiku pun tidak pernah aku lihat membayar uang pada ibu pemilik kontrakan, Aku pikir dulu waktu setelah menikah aku di boyong tinggal di sana, di rumah petak 6 pintu yang lima pintunya sudah di kontrak orang, rumah yang aku tempati ini juga ngontrak atau kos secara suamiku penampilannya seperti itu aku tidak menyangka kalau dia seorang milyarder dibalik penampilan gembelnya itu. Aku pun penasaran sebenarnya rumah siapa yang aku tempati jangan bilang kalau itu juga rumah miliknya bisa pingsan aku menghitung berapa banyak duwet satu bulan masuk ke dompet.

"Baneran ini rumah Abang? terus kenapa dari dulu gak cerita Bang kalau ini rumah kita sendiri, Abang mah kalau Adik tidak tanya tidak cerita," ucapku cemberut.

"Nanti kirain ngibul Dik kalau belum lihat kenyataannya kan belum percaya," ucap bang Parlin.

"Tapi itu kan rumah kontrakan Bang dan lagian waktu kita datang ada ibu ibu yang saya rasa itu ibu kontrakan," ucap ku lagi.

"Ya memang benar itu bulik ku, namanya bulik Fatimah dia yang selama ini aku percaya untuk mengurus kontrakan," jawab suamiku.

Tuh kan bener itu rumah kontrakan miliknya, duh aku tidak sanggup menghitung pundi pundi uang yang akan aku miliki saat hidup bersama bang Parlin, ah sungguh senangnya hatiku, aku paling suka dengan uang jadi kalau dengar soal uang hatiku langsung berbunga bunga beruntung ayah menjodohkan aku dengan orang seperti bang Parlin.

Aku menghela nafas keluar dari pikiran mata duwetan ku, aku juga merasa kesal sudah menikah beberapa bulan tapi aku baru sadar kalau suamiku penuh rahasia yang tidak aku ketahui.

"Bang kenapa sih sama istri sendiri main rahasia rahasiaan," ucapku sambil cemberut.

"Aku tidak merahasiakan apapun darimu Dik , kamu sendiri yang tidak pernah bertanya jadi ya wajar kamu menganggap aku yang merahasiakannya," ucap suamiku.

"Satu lagi Bang yang membuat aku heran, itu orang yang mengontrak sudah bertahun tahun di tempat itu masa tidak tahu siapa pemilik kontrakan itu sebenarnya," tanyaku penasaran.

"Yang mereka tahu pemilik kontrakan itu ya bulik Fatimah karena selama ini yang datang menarik uang kontrakan beliau aku tidak pernah datang ke sana untuk meminta uang kontrakan," kata Bang Parlin menjelaskan.

"Bulik Fatimah orang yang mengantar kita pertama kali tinggal di kontrakan itu?" tanyaku.

"Ya," jawab bang Parlin.

Senangnya hatiku ternyata pilihan ayah sangat tepat aku bersuamikan seorang hartawan yang uangnya tidak berseri, ingin rasanya aku ceritakan semuanya pada saudara saudaraku, ingin ku bungkam mulut mereka dengan kenyataan ini agar mereka tidak merendahkan suamiku tapi lagi lagi aku urungkan niatku karena aku ingat larangan suamiku untuk tidak menjadi sombong dan suka pamer.

****Suatu hari waktu aku sedang asyik memasak di dapur dan suamiku sedang sibuk dengan hobinya menjadi tukang dadakan, dia sedang membuat kandang ayam, kakak tertuaku datang ke rumah dia ingin menawarkan rumah pada suamiku karena memang dia pekerjaannya di bidang properti.

"Parlin ada rumah tetanggaku mau dijual, sana cepat beli mumpung murah, jual saja sawahmu di kampung, jadi kamu punya rumah sendiri gak ngontrak seperti ini, sudah udik kontrak pula," ucap Kakakku yang tertua.

"Kami tidak ngontrak," ucapku dari dapur. Aduh aku keceplosan hampir saja aku mengatakan kebenarannya.

"Apa jadi selama ini kalian tinggal di sini tidak bayar? dasar mental gratisan! sudah ambil saja rumah itu cepat jual sana sawahmu," ucap Kakakku

Bang Parlin melirikku tajam, aku tahu apa artinya itu dan aku pun menunduk karena hampir saja aku keceplosan mengatakan semuanya pada kakakku.

"Jual sawah di desa itu prosesnya lama Kak, biarlah kami tinggal di sini saja toh tidak ada yang keberatan," ucap suamiku.

"Ah dasar kamu banyak alasan lebih suka numpang di rumah orang dari pada punya rumah sendiri, kasihan itu adikku di ajak mondok di rumah orang kalau sewaktu-waktu ada yang ngontrak terus kalian di usir bagaimana?" ucap kakakku," Sudah ambil saja itu rumah, cepat jual sawahmu," lanjutnya.

Aku tahu pekerjaan sampingan kakakku seorang makelar atau kalau bahasa kerennya seles marketing jadi dia bantu orang jual apapun itu entah rumah, entah motor lalu setelah barang laku dia mendapatkan komisi entah berapa persen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!