Hari ini hari pernikahanku, mempelai laki-lakiku berasal dari daerah terpencil di kabupaten Tuban, desa tengger kecamatan kerek , laki-laki ini sangat sederhana dia selalu ramah kepada siapapun dan kami bertemu saat pernikahan kurang sepuluh hari saja tapi anehnya cintaku tumbuh cepat pada suami ndesoku ini.
Saat itu ayah menyuruhku untuk mencari jodoh dan segera menikah dan aku diberi kesempatan selama 3 bulan tapi apalah daya setiap aku berhubungan dengan seseorang selalu berakhir dengan kata putus, akhirnya waktu 3bulan itu berlalu begitu saja tanpa membawa hasil apa apa, suatu malam ayah memanggilku dan mengenalkan seorang pemuda jadul penampilan kuno, ayah mengatakan akan menjodohkan aku dengan pemuda itu karena menurut ayah aku tidak laku laku.
"Kamu percaya dengan ayah kan?"tanya ayah malam itu.
"Ya Ayah aku percaya," jawabku.
"Menikahlah dengan Parlin dia anak teman ayah dan ayah yakin dia bisa menjaga serta membahagiakanmu ayah kasih waktu kamu sehari untuk berpikir," tutur ayah.
Sebenarnya aku sangat shock ini pernikahan seumur hidup tapi aku diberi waktu hanya semalam untuk berpikir? sungguh ajaib ayahku ini tapi demi membuat beliau tenang dan kembali bersemangat setelah kepergian ibu akhirnya aku pun menyetujui permintaan ayah.
"Baiklah ayah aku setuju, aku akan berpikir dalam waktu sehari besok aku akan memberikan jawabanku," ucapku pada ayah.
Ku lihat senyum lega menghias bibir ayah, aku lirik lelaki itu dan tanpa sengaja dia pun sedang melirikku ah biarlah aku menikah dengan pria ini dari pada aku jadi perawan tak laku pikirku.
Tak terasa waktuku berpikir telah habis dan aku pun menyetujui permintaan ayah yang mengharuskan aku menikah dengan pria kuno itu dengan pertimbangan usiaku yang sudah kepala 3 dan aku sudah bosan dicap sebagai perawan tak laku. Pesta pun dilakukan sesuai adat kami mahar 30juta pun sudah diserahkan padaku dan aku pun berusaha dengan lapang hati menikah dengan pria kuno pilihan ayah.
Setelah seminggu dari acara ahad nikah suamiku membawa aku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang lumayan jauh dari tempat ayah dan saudaraku tinggal aku pun tidak keberatan dan berusaha menikmati hidup dengan suami ndesoku.
Tak terasa sudah tiga bulan aku hidup bersama suami ndesoku kini tiba saatnya aku dan suamiku datang ke rumah ayah, untuk menghadiri acara kumpul keluargaku setiap tiga bulan sekali selalu berkumpul bersama seperti arisan tak resmi atau yang biasa orang sebut arisan keluarga.
Aku datang berboncengan dengan suamiku menggunakan motor Mio yang sudah berusia 10 tahun yang aku beli dengan cara mencicil dulu.
Setibanya di rumah ayah sudah aku duga para saudara saudaraku selalu bersikap sombong dan merendahkan suamiku sebab itu suamiku lebih suka menyendiri daripada berbaur dengan saudara saudaraku.
"Sinta lihat itu suamimu suka sekali menanam sayur, juga mencabuti rumput kulihat memang dasar wong deso ya," ucap kakak iparku istri kakak tertua.
Ku lihat suamiku sedang asik mencabuti rumput di depan rumah ayahku dan menanam sayur di dalam bak bekas, ya aku sendiri juga heran kenapa suamiku setiap kali datang ke rumah ayah dia selalu mencabut rumput yang tumbuh liar di depan halaman rumah begitu pula saat berada di rumah kami sendiri.
Suamiku kalau di kota ini pengangguran saat berada di rumah kesibukannya hanya menanam sayuran dibelakang dan depan rumah kontrakan kami tapi jangan salah usahanya di desa bikin orang klenger uang.
Telingaku semakin panas saat mendengar saudara saudaraku mengolok-olok suamiku. Mereka belum tahu saja seperti apa suamiku.
"Enak ya punya suami orang desa yang lain sibuk dengan handphone dia mah sibuk berkebun," ucap saudaraku
"Ya maklumlah keahlian orang kampung mah cuma cuma berkebun tidak seperti kita orang kota," seloroh saudaraku yang lainnya.
Karena tidak tahan akhirnya aku mendekati suamiku, ku perhatikan penampilan suamiku yang sungguh terlalu kuno rambut cepak celana keeper kaos lengan pendek ah sungguh pingin nangis aku lihatnya.
"Bang dandan dikit napa bang," ucapku sambil ikutan cabuti rumput karena aku tidak tahan mendengar cibiran para saudaraku.
"Gak pede aku dek! dari dulu ya penampilanku seperti ini," ucap Bang Parlin.
"Ya sudah aku temani Abang cabut rumput saja," ucapku sambil cemberut.
Kami menikah secara kilat bahkan sampai saat ini aku belum pernah datang berkunjung ke rumah mertuaku, kami bertemu hanya saat acara pernikahan itu berlangsung.
Kami pun berkumpul di dalam rumah saat waktu makan siang tiba, empat anak tiga menantu berkumpul bersama di meja makan dan ayah tiba tiba memulai pembicaraan disela sela kami menikmati makanan.
"Ayah ingin berangkat haji tapi uangnya belum ada, maukah kalian membantu mewujudkan keinginan ayah?" tanya ayah tiba-tiba.
Kami semua terdiam dan saling pandang, selama ini ayah tidak pernah meminta apapun dari kami, bahkan syah yang selalu membantu kami para anaknya, kami semua pernah dibantu modal dari ayah.
"Ayah kan tahu usaha kami sedang ada masalah, tapi kami akan tetap membantu ayah, kami akan membantu lima juta," ucap saudaraku yang tertua.
lima juta? dia yang bisa terbilang paling mampu hanya memberi bantuan lima juta apalagi dengan yang lainnya yang standar kehidupan dibawahnya.
"Aku juga tiga juta," jawab Kakakku yang kedua.
"Aku punya tabungan dari usaha sampingan bekerja di bengkel milik pak Hasan aku bantu ayah dua juta," jawab adikku yang bungsu.
Dan kini tinggal aku dan suamiku saja yang belum bersuara, aku lirik suamiku masih tetap bungkam seperti biasa.
"Batalkan saja Ayah, tunggu uang ngumpul !uang yang terkumpul hanya sepuluh juta masih banyak kekurangannya dari mana kita mendapatkan," ucap Kakak tertuaku.
"Jangan! sisanya aku yang tanggung,"ucap suamiku tiba tiba.
Semua mata tertuju padanya, tatapan penuh tidak kepercayaan pun jelas terlihat di mata saudara saudaraku tidak percaya kalau suamiku bisa memberikan kekurangannya, toh rumah saja kita masih ngontrak jangankan untuk menambahi uang pergi Haji ayah untuk beli handphone saja suamiku tidak ada itu pikir saudara saudaraku.
"Bang," ucapku. Lebih tepatnya aku sedang mempertanyakan tentang apa yang baru saja suamiku ucapkan dihadapan saudara serta ayahku.
"Ya aku akan membayar semua kekurangannya," ucap suamiku yakin.
"Alhamdulillah," ucap Ayah menutup pembicaraan dan pergi meninggalkan kami masuk ke kamarnya.
Mata kami masih fokus menatap bang Parlin suamiku sungguh kami ragu dengan kesanggupannya. Aku yang tahu pekerjaannya tidak ragu dengan jumlah uang yang di berikan cuma aku ragu apakah saudara saudaraku percaya kalau itu uang halal hasil pekerjaan di desa.
Malam itu saat tanpa sengaja aku mendengar bang Parlin bicara dengan ayahnya tentang jumlah uang yang lumayan besar aku pun bertanya sebenarnya apa pekerjaan bang Parlin di desa dan dia bercerita kalau dia di desa punya ladang jarak sepuluh hektar, tambak ikan dua puluh lima petak, dan juga peternakan sapi yang entah jumlahnya aku belum sempat bertanya jadi jika hanya memberikan ayah uang empat puluh juta aku rasa itu mudah baginya tapi aku takut kalau saudaraku memiliki kecurigaan yang bukan-bukan.
"Ya ayah sedang Membohongi kita, sebelumnya ayah sudah bicara dengan Parlin dan ayah memberi tahu rencananya pada Parlin sebab itu dia berani bicara memberikan uang kekurangan haji untuk ayah, secara ayah sangat akrab dengan Parlin," ucap Kakak tertuaku.
Aku pun masih bingung dengan apa yang mereka tuturkan aku tidak mengerti apa yang mereka maksud dan aku pun menatap mereka bergantian dengan memberi isyarat untuk menjelaskan lebih detail karena aku tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka maksud.
"Untuk membelikan mu bedak saja Parlin tidak mampu, kok ini mau sok biayai ayah haji tidak masuk akal, logikanya seandainya itu memang benar dia memberikan uang ke ayah sudah bisa di pastikan itu uang ayah sendiri yang sebelumnya sudah diberikan pada Parlin agar dia terlihat lebih dari kita secara dia mantu kesayangan ayah tapi diantara kita semua dia yang terlihat paling memprihatinkan secara pengangguran dapat uang sebegitu banyak dari mana," ucap kakakku yang kedua.
Sungguh mulut mereka semua pedas dan cara berpikir mereka juga terkesan merendahkan suamiku tapi jika dipikir memang ada benarnya suamiku seorang pengangguran dapat uang dari mana dia sebanyak itu, karena mereka belum tahu sebenarnya suamiku seperti apa pekerjaan dan kekayaannya.
Aku lirik suamiku dia hanya diam dengan tenang seperti biasa, kadang aku heran suami macam apa dia ini orang membicarakan dia di dekatnya tapi dia diam tidak peduli seakan akan dia tuli tidak mendengarnya. Ku tarik suamiku menjauh dari saudara saudaraku ku ajak dia bicara berdua di ruang tengah.
"Bang apa benar Abang mau menambahi uang kekurangan ayah untuk haji?" tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan.
"Ya Dik benar," jawab suamiku tegas.
"Bang sebaiknya tidak usah Bang aku takut para saudaraku akan mengira itu uang hasil dari yang tidak -tidak secara Abang melarangku untuk mengatakan kebenaran tentang Abang dan pekerjaan Abang," ucapku.
"Loh kok Adik ngomong begitu? kok perhitungan dengan orang tua? jangan begitu Dek ini orang tuamu sendiri loh, bisa jadi ini permintaan terakhir dan kita tidak bisa memenuhi apa kamu tidak akan menyesal dilain hari," tutur suamiku.
"Bukannya perhitungan Bang aku hanya takut itu mulut saudara saudaraku tambah nyinyir dan menghina Abang, aku yakin pasti mereka akan mengira kalau kita punya pesugihan," ucapku.
Kalau dipikir-pikir memang benar apa yang dia katakan tapi yang aku heran dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu bukannya dia setiap hari ada di rumah bersamaku tidak pernah bekerja. Pasti orang-, orang mencurigainya yang bukan-bukan.
"Lalu Abang dapat dari mana Bang uang segitu dalam waktu sebegitu Bang?" tanyaku pada Bang Parlin.
"Itu gampang Dek, itu hanya harga sekali panen kita jual saja hasil panen dikampung cukup uangnya," jawabnya santai.
hasil panen katanya? apa dia punya panenan berkali kali? aku lupa kalau suamiku orang desa terpelosok di sana dia punya ladang yang luas secara aku belum pernah datang ke desanya dan juga aku belum begitu banyak tahu tentang seberapa luas ladang suamiku ini.
Dan apa tadi katanya hanya satu kali panen di rumah ? itu artinya dia punya banyak hasil panen di rumah begitu? Ah kepalaku pusing memikirkan kekayaan suami ndeso ku ini.
"Bang memangnya Abang mau jual hasil panen sama siapa dalam waktu sedekat ini ?" tanyaku lagi.
"Ya aku punya langganan Dik tenang saja, tidak usah khawatir nanti pas hari H pasti uang sudah ada," ucap bang Parlin.
"Memang Abang punya banyak hasil panen ya?" tanyaku lagi sungguh aku penasaran dengan kehidupan suamiku ini secara aku belum begitu mengetahui seluk beluknya saat menikah dengannya kemarin.
"Iya Dek kita punya itu sebagai usaha utama kita, dan aku juga punya usaha sampingan bertambak ikan dan juga merawat sapi," tutur suamiku.
Apa katanya tadi? usaha sampingan? sungguh apakah telingaku ini sedang tidak salah dengar usaha sampingan saja sebegitu banyaknya lalu berapa duwit hasil yang diperoleh suamiku kok banyak sekali usahanya? suamiku ini semakin membuat aku penasaran tentang kehidupan yang dia miliki. Andai saudara saudaraku tahu pasti mereka akan malu saat mengolok-olok suamiku tapi sayangnya suamiku tidak mau aku menceritakan itu pada orang lain takut di kira pamer.
Apakah suamiku ini seorang juragan sapi, juragan empang atau petani? tapi seingatku ayah bilang suamiku ini seorang petani, dan aku tidak mengerti apa pun tentang dirinya, yang aku pikirkan saat itu aku menikah dengan pilihan orang tuaku karena aku ingin berbakti kepadanya dan juga karena aku lelah dibilang perawan tua yang tidak kunjung menikah. Ternyata aku dapat durian runtuh. Nikmat sekali...
"Kenapa Abang tidak mau menceritakan pada saudara -saudaraku biar mereka tidak nyinyir terus," ucapku kesal.
"Saudara saudaranya adik tidak pernah bertanya sesuatu tentang Abang jadi Abang ya tidak bercerita," tuturnya santai.
"Ah Abang masa iya harus bertanya dulu Abang baru memberi tahu kalau punya ini itu, sama saudara main rahasia sih Bang," tuturku pura pura merajuk.
"Bukannya menyembunyikan usaha Dik, tapi abang tidak bercerita pada mereka takut nanti Abang dibilang pamer, sudahlah Dik kita simpan saja apa yang kita punya jangan di koar koar kan dengan sombong, pamer itu tidak baik sudah jangan bilang-bilang kalau kita punya sapi di kampung biarkan mereka tahu sendiri suatu saat nanti," tutur suamiku.
Kami pun kembali ke rumah setelah berbicara dengan para kakakku untuk berkumpul lagi lusa untuk menyerahkan uang itu pada ayah.
Bang Parlin benar benar memberikan uang kepada ayah empat puluh juta untuk memenuhi kekurangan biaya hajinya. Aku yang melihat suamiku memberikan uang sebegitu banyak dengan mudahnya hanya bisa menatap kagum secara kakak tertuaku yang bisa dibilang paling mapan hanya memberikan lima juta tapi paling mapan itu dulu sekarang mah kalah sama suami ndesoku. Bedanya suamiku tidak mau pamer.
"Aku masih yakin kalau ayah mengerjai kita, itu pasti uang ayah sendiri dan diberikan pada Parlin untuk diberikan padanya lagi agar kita tidak memandang Parlin sebelah mata," ucap kakak keduaku saat kita semua berada di teras.
"Iya aku juga yakin masa orang seperti itu bisa memberikan uang sebanyak empat puluh juta padahal pekerjaan hanya seperti itu dari mana dia dapat uang sebanyak itu kalau bukan uang ayah sendiri," sahut Kakak pertamaku sambil mengarahkan mulutnya pada suamiku yang saat ini sedang mencabuti rumput di samping rumah.
"Maksudnya gimana Kak ayah mengerjai kita dengan cara itu untuk apa?" tanyaku lagi.
"Ya begini logikanya Dek, Parlin kan pilihan ayah jadi ayah ingin menunjukkan kepada kita kalau pilihannya tepat, ayah memberikan uang pada Parlin untuk kemudian Parlin memberikan uang itu lagi pada ayah dihadapan kita jadi kesannya Parlin menantu yang tepat," tutur Abang ku yang kedua.
Ingin rasanya aku katakan pada mereka bahwa sebenarnya itu uang suamiku sendiri dan itu uang dia dapat dari menjual hasil panen, punya sapi juga di kampung, ingin aku tutup mulut kakakku yang sering merendahkan suamiku dengan mengatakan kalau suamiku punya usaha sampingan memelihara sapi , memiliki tambak ikan di sana bahkan suamiku memiliki usaha utama yang entah berapa luas lahan pertaniannya sendiri belum tahu apa itu tapi mengingat kata kata bang Parlin yang kemarin melarang ku untuk mengatakan kepada siapapun tentang usahanya aku pun memilih mengurungkan niatku itu biarkanlah suatu saat nanti saudara saudaraku mengetahui sendiri bagaimana sebenarnya suamiku biar menjadi surprise bagi mereka semua termasuk bagiku juga karena aku belum begitu tahu banyak tentang suami pilihan ayah ini.
Tidak tahan aku mendengar ocehan saudara-saudaraku tentang suamiku, mereka menduga duga apa yang belum tentu kebenarannya, aku pun memutuskan untuk menemui suamiku yang tengah asyik mencabut rumput di halaman seperti biasa.
"Bang kenapa sih Abang suka sekali mencabut rumput?" tanyaku sambil ikutan mencabut rumput bersamanya.
"Biar bersih Dik, Abang suka kebersihan lagian Abang kangen kampung Dik kalau lihat rumput bawaannya pingin cabut saja," jawab Suamiku
Aku geleng-geleng kepala mendengar jawaban suamiku, hari gini suami orang pada hobi main game, foodsal, gym, lah ini suamiku hobinya cabuti rumput sungguh tepok jidat aku dibuatnya.
"Bang sebenarnya berapa banyak sih sapi Abang di kampung? berapa luas lahan pertaniannya kenapa Abang belum pernah ajak adik ke sana?" tanyaku lagi.
"Gak banyak Dik, sapi kita hanya sekitar dua ratus lima puluh ekor dan itu kebanyakan sapi jenis biasa harganya pun murah hanya sekitar belasan juta, tambak kita pun hanya ada dua puluh lima petak, sedangkan lahan pertanian kita ada sekitar lima hektar," jawab Suamiku santai.
Apa katanya tadi dua ratus lima puluh ekor itu hanya sedikit? tambak dua puluh lima petak? Aduh Bang ingin pingsan aku mendengarnya, otak berlianku mulai bekerja aku mulai menghitung berapa banyak harta suamiku yang katanya berasal dari usaha sampingan ini, dua ratus lima puluh kalau di kali sepuluh juta harga satu ekor sapi sudah berapa duwit itu? Belum lagi hasil tambak ? ternyata aku istri milyader? sungguh mataku sekarang seperti dipenuhi nol nol nominal uang yang tk terhitung dibenakku.
"Bang aku mau donk ke kampung lihat lihat di kampung halaman Abang," rengekku.
"Kamu tidak akan sanggup Dik hidup di desa, kampung halamanku pelosok sinyal pun belum masuk sana, apa kamu bisa hidup tanpa handphone?" ucap Bang Parlin sambil menatapku.
Apa sinyal belum ada? Oh tidak pasti aku tidak sanggup, setelah hidup belasan tahun tergantung sama ponsel dan harus menjauh darinya karena sinyal oh sungguh saya tidak sanggup.
"Bang kenapa sih kita kos rumah kalau sapi kita banyak? hasil tambak kita juga ada kan tinggal ambil uang hasil penjualan panen atau hasil jual sapi buat beli rumah jadi kita punya rumah sendiri," ucap ku lagi.
"Kita tidak kos di sana Dik," kata bang Parlin.
"Lalu kalau kita tidak kos itu rumah siapa Bang? bukannya kita tinggal di kos kosan bin kontrakan kalau gk kos ya ngontrak Bang," jawabku sambil ingin nangis karena jengkel pada bang Parlin.
"Aku mau kasih tahu adik tapi jangan kaget dan tidak usah di ceritakan pada orang lain," ucapnya.
"Apa Bang?" tanyaku.
"Rumah kontrakan ini milik kita, yang dikelola sama Bulik, ini tepat saat aku nikah ada yang kosong jadi aku tempati, coba ingat-ingat apa adik pernah membayar uang kontrakan di saat yang lainnya di tagih?" ucap bang Parlin.
Iya juga ya kalau aku ingat ingat aku belum pernah bayar uang kos atau kontrakan itu, bahkan suamiku pun tidak pernah aku lihat membayar uang pada ibu pemilik kontrakan, Aku pikir dulu waktu setelah menikah aku di boyong tinggal di sana, di rumah petak 6 pintu yang lima pintunya sudah di kontrak orang, rumah yang aku tempati ini juga ngontrak atau kos secara suamiku penampilannya seperti itu aku tidak menyangka kalau dia seorang milyarder dibalik penampilan gembelnya itu. Aku pun penasaran sebenarnya rumah siapa yang aku tempati jangan bilang kalau itu juga rumah miliknya bisa pingsan aku menghitung berapa banyak duwet satu bulan masuk ke dompet.
"Baneran ini rumah Abang? terus kenapa dari dulu gak cerita Bang kalau ini rumah kita sendiri, Abang mah kalau Adik tidak tanya tidak cerita," ucapku cemberut.
"Nanti kirain ngibul Dik kalau belum lihat kenyataannya kan belum percaya," ucap bang Parlin.
"Tapi itu kan rumah kontrakan Bang dan lagian waktu kita datang ada ibu ibu yang saya rasa itu ibu kontrakan," ucap ku lagi.
"Ya memang benar itu bulik ku, namanya bulik Fatimah dia yang selama ini aku percaya untuk mengurus kontrakan," jawab suamiku.
Tuh kan bener itu rumah kontrakan miliknya, duh aku tidak sanggup menghitung pundi pundi uang yang akan aku miliki saat hidup bersama bang Parlin, ah sungguh senangnya hatiku, aku paling suka dengan uang jadi kalau dengar soal uang hatiku langsung berbunga bunga beruntung ayah menjodohkan aku dengan orang seperti bang Parlin.
Aku menghela nafas keluar dari pikiran mata duwetan ku, aku juga merasa kesal sudah menikah beberapa bulan tapi aku baru sadar kalau suamiku penuh rahasia yang tidak aku ketahui.
"Bang kenapa sih sama istri sendiri main rahasia rahasiaan," ucapku sambil cemberut.
"Aku tidak merahasiakan apapun darimu Dik , kamu sendiri yang tidak pernah bertanya jadi ya wajar kamu menganggap aku yang merahasiakannya," ucap suamiku.
"Satu lagi Bang yang membuat aku heran, itu orang yang mengontrak sudah bertahun tahun di tempat itu masa tidak tahu siapa pemilik kontrakan itu sebenarnya," tanyaku penasaran.
"Yang mereka tahu pemilik kontrakan itu ya bulik Fatimah karena selama ini yang datang menarik uang kontrakan beliau aku tidak pernah datang ke sana untuk meminta uang kontrakan," kata Bang Parlin menjelaskan.
"Bulik Fatimah orang yang mengantar kita pertama kali tinggal di kontrakan itu?" tanyaku.
"Ya," jawab bang Parlin.
Senangnya hatiku ternyata pilihan ayah sangat tepat aku bersuamikan seorang hartawan yang uangnya tidak berseri, ingin rasanya aku ceritakan semuanya pada saudara saudaraku, ingin ku bungkam mulut mereka dengan kenyataan ini agar mereka tidak merendahkan suamiku tapi lagi lagi aku urungkan niatku karena aku ingat larangan suamiku untuk tidak menjadi sombong dan suka pamer.
****Suatu hari waktu aku sedang asyik memasak di dapur dan suamiku sedang sibuk dengan hobinya menjadi tukang dadakan, dia sedang membuat kandang ayam, kakak tertuaku datang ke rumah dia ingin menawarkan rumah pada suamiku karena memang dia pekerjaannya di bidang properti.
"Parlin ada rumah tetanggaku mau dijual, sana cepat beli mumpung murah, jual saja sawahmu di kampung, jadi kamu punya rumah sendiri gak ngontrak seperti ini, sudah udik kontrak pula," ucap Kakakku yang tertua.
"Kami tidak ngontrak," ucapku dari dapur. Aduh aku keceplosan hampir saja aku mengatakan kebenarannya.
"Apa jadi selama ini kalian tinggal di sini tidak bayar? dasar mental gratisan! sudah ambil saja rumah itu cepat jual sana sawahmu," ucap Kakakku
Bang Parlin melirikku tajam, aku tahu apa artinya itu dan aku pun menunduk karena hampir saja aku keceplosan mengatakan semuanya pada kakakku.
"Jual sawah di desa itu prosesnya lama Kak, biarlah kami tinggal di sini saja toh tidak ada yang keberatan," ucap suamiku.
"Ah dasar kamu banyak alasan lebih suka numpang di rumah orang dari pada punya rumah sendiri, kasihan itu adikku di ajak mondok di rumah orang kalau sewaktu-waktu ada yang ngontrak terus kalian di usir bagaimana?" ucap kakakku," Sudah ambil saja itu rumah, cepat jual sawahmu," lanjutnya.
Aku tahu pekerjaan sampingan kakakku seorang makelar atau kalau bahasa kerennya seles marketing jadi dia bantu orang jual apapun itu entah rumah, entah motor lalu setelah barang laku dia mendapatkan komisi entah berapa persen.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!