Rapunzel & Obsesi Dua Pria

Rapunzel & Obsesi Dua Pria

1| Abang

“Abang, ih! Jahil banget!”

Suara cempreng milik gadis muda yang masih berseragam SMA itu memenuhi taman belakang rumah, wajahnya cemberut tak suka.

“Lebay ah lo! Gue cuman ngasih ulat bulu kok, gak yang macam-macam,” balas sosok jahil itu.

“Cuman ulat bulu matamu!” sentak gadis itu tajam.

Laki-laki itu tertawa, puas melihat ekspresi kesal adiknya. “Mau cacing juga gak?”

“ISH BANG SAKA!!!”

Saka tertawa kembali, kali ini lebih puas dan nyaring. “Bow, lo lucu banget, sih?!” gemasnya.

Pelangi cemberut, wajahnya merengut begitu lucu. Pelangi menoleh ke samping, di mana kakak tertuanya duduk di atas kursi hanya menatap ke arahnya dengan senyum kecil.

“Bang Raka, marahin Bang Saka coba,” suruhnya.

Raka tersenyum lalu menarik tangan Pelangi agar duduk di sampingnya. “Nanti,” balasnya.

“Kalau Bang Raka marahin gue, ya gue marahin baliklah!” celetuk Saka.

“Emang berani?” tantang Pelangi.

“Enggaklah!”

“Yeeeee.” Pelangi memutar bola mata jengah, kakinya sedikit mendendang kaki Saka yang berada di bawahnya.

“Hemm, Bunda kapan pulangnya ya?” tanya Pelangi.

“Siang. Kenapa, kamu mau ke butik?” balas Raka.

Pelangi menggeleng, mulutnya menguap. “Bow mau tidur aja,” jawabnya.

Saka kemudian berdiri, dia menepuk-nepuk bokongnya karena duduk di rerumputan. “Ayo, gue gendong.”

Pelangi mengangguk, dia kemudian berdiri untuk menaiki pundak Saka yang sudah berjongkok di depannya. Tapi, belum sempat naik, tangan Pelangi tiba-tiba ditarik paksa oleh Raka. Pria dewasa itu langsung mengendong Pelangi di pundaknya.

“Ihh Bang Raka! Kan Bow maunya sama Bang Saka!” protes Pelangi.

Raka tidak menjawab, tetap melangkah memasuki rumah.

“Dasar tukang tikung!” umpat Saka kesal.

Sebetulnya, bukanlah hal yang aneh jika saat hendak tidur Pelangi akan di gendong menuju kamar, itu kebiasaan kakak-kakaknya dalam memanjakannya.

“Bang Raka balik ke kantor?” tanya Pelangi saat mereka memasuki kamarnya.

Raka tidak langsung menjawab, dia menurunkan Pelangi di atas tempat tidurnya.

“Enggak. Abang jagain kamu di rumah.”

Pelangi beralih menatap Saka. “Bang Saka gimana? Balik main sama teman-teman?”

“Maunya gitu. Tapi, ninggalin kalian berdua di sini itu berdosa!” jawab Saka sambil menatap tajam Raka.

“Ya, udah, keluar buruan! Bow mau tidur nih! Nanti kalian jahilin lagi!” sungut Pelangi dengan mata yang mengarah ke arah Saka. Sudah biasa ia di jahili oleh satu kakaknya itu.

Saka memutar bola mata, dengan santai ia mengambil koleksi novel Pelangi di rak buku besar. “Di sini aja gue, sekalian numpang rebahan,” ucapnya acuh.

Pelangi cemberut. “Aku bosan tidur di temani kalian terus. Aku bukan umur tujuh tahun lagi! Umurku 17 tahun, udah remaja, Bang!” jelas Pelangi sedikit keras.

“Aku?” beo Raka dengan tatapan dingin dan satu alis terangkat.

Pelangi meneguk ludah, ia menghela nafas sangat pelan. “Maaf, Bow salah,” ucapnya sambil menunduk. Hal yang di benci Raka adalah berbicara menggunakan 'aku' dan menghela nafas dengan sengaja.

Saka cekikikan tak tahu-tahu sambil membaca novel genre horor. Pelangi tahu betul bahwa abangnya itu menertawakannya. Saka memang menyebalkan, namun jauh lebih baik Saka dari pada Raka. Raka itu menakutkan, dan Pelangi hanya bisa berkata dalam hati saja.

Raka mendekatkan wajahnya, menyentuh dagu Pelangi agar menatapnya. “Tidur. Nggak usah ngomel.”

Singkat saja perkataannya, sudah membuat bulu kuduk Pelangi merinding. Buru-buru ia merebahkan diri, menutup tubuhnya dengan selimut sebatas dagu—padahal cuaca begitu panas. Mata Pelangi mulai terpejam.

Yang Pelangi suka dari Raka adalah elusannya. Setiap saat, Pelangi selalu mendapatkan elusan di rambutnya dengan sangat lembut. Saat hendak tidur, abangnya tidak pernah absen mengusap kepalanya agar cepat terlelap. Terbiasa hidup dengan kedua orang tua sibuk bekerja, Pelangi jadi merasa bahwa Raka itu seperti ayahnya.

Cukup lama Pelangi tertidur sebelum suara mobil membangunkannya. Matanya berkedip-kedip lambat sambil mengumpulkan nyawa. Hari sudah sore, sinar mentari bahkan berubah menjadi orange.

Pelangi tersentak saat mendapati Raka tertidur di sampingnya, tepat menghadap ke arahnya. Pelangi berdehem, membangkitkan tubuhnya dan melangkah turun dari kasur.

Ternyata Saka juga tidur di kamarnya, cowok itu terlelap di sofa semula dengan novel yang menutup wajahnya. Pelangi berdecak, novelnya akan rusak nanti. Buru-buru ia mengambil dan menaruh ke tempat semula.

“Mau ke mana?”

“Yarobun kaget!!” Pelangi memekik refleks saat mendengar suara bariton Raka dari belakang. Sambil mengatur nafas Pelangi membalik badan. Ia berkacak pinggang dengan bibir manyun. “Bang Raka ngangetin aja sih? Bow kaget banget ini,” omelnya.

Raka berjalan ke arah Pelangi tanpa mengatakan maaf. Tangannya langsung merangkul pundak gadis yang cemberut ini, membawanya ke luar kamar.

“Abang belikan es krim malam ini.”

Cemberut Pelangi langsung menghilang. Ini jurus andalan Raka, ice cream. Perkataan Raka selalu singkat, namun sudah mewakili semuanya.

Ternyata yang datang ayah bersama dengan bunda. Pagi tadi bunda memang tidak membawa mobil, sehingga berangkat bersama ayah. Mereka pulang terlalu sore.

“Kenapa lama banget pulangnya, Nda? Bow sampai ketiduran nunggunya,” aku Pelangi dengan wajah cemberut. Bunda hanya terkekeh dan memberi kecupan di keningnya sebelum naik ke lantai atas, tampaknya beliau sangat lelah.

“Sudah makan?” tanya ayah.

“Belum makan sore, Yah. Tapi kalau makan siang udah,” sahut Pelangi. Ayahnya ini satu spesies dengan Raka, tidak begitu banyak bicara.

“Ayah bawa ayam kesukaanmu. Ayo makan.”

Kali ini Pelangi mendekati ayah dan duduk di samping beliau. Ayam pedas kesukaannya berada di depan mata, tidak mungkin Pelangi bisa berlama-lama hanya menatapnya saja. Saat ingin mengambil, Raka menahan tangannya.

“Cuci tangan sana,” suruhnya.

Pelangi berdecak pelan, ia berlari ke dapur untuk mencuci tangan. Tidak lama setelahnya, ia kembali. Namun bukan lima paha ayam pedas yang berada di sana, melainkan tinggal dua saja.

“Bang Saka!!!” teriak Pelangi keras dengan raut kesal. Saka mengambil ayamnya, dia yang makan tiga paha ayam dengan raut wajah santai.

“Abang yang menyuruhnya. Nggak bagus makan pedas terlalu banyak,” kata Raka.

Pelangi menatap kesal Raka, ini sudah keterlaluan. Mungkin untuk hal lain ia bisa di kurangi porsinya, tapi tidak dengan ayam pedas kesukaannya. Maka, dengan berani Pelangi entakkan kakinya keras dengan wajah merajuk sebal.

“Gue nggak salah, orang Bang Raka kok yang ngasih. Rejeki nggak boleh di tolak,” seloroh Saka santai sambil memakan sisa-sisa daging ayam di tulang.

Sudah tidak Pelangi pedulikan lagi tatapan Raka yang terus mengarah padanya, ia tetap berdiri di posisi semula dengan tangan bersedekap dan menatap ke arah lain.

“Pelangi, jangan merajuk seperti itu. Sini, duduk dekat Ayah. Nanti kita beli lagi yang banyak,” rayu ayah halus.

Pelangi masih enggan menyudahi aksi ngambeknya. Apalagi saat mendengar Saka bersendawa seakan pamer bahwa ayam nikmat itu sudah di terima oleh perutnya.

“Maaf.”

Pelangi langsung menoleh, matanya mengerjap saat Raka mengatakan maaf penuh penyesalan. Raka jarang meminta maaf, abangnya itu bahkan tidak pernah meminta maaf pada Saka sekalipun.

“Jangan ngambek gitu. Nanti kita beli, besok.”

“Janji, ya?” kata Pelangi langsung.

Raka mengangguk dan tersenyum. “Janji. Jadi, makan yang ada dulu,” tutur Raka.

Aksi merajuk Pelangi usai, ia duduk kembali di samping ayah. Matanya kembali berbinar, tidak bisa makan lima yang terpenting ia bisa makan dua dan di tambah lagi besok. Buru-buru Pelangi melahapnya takut Saka kembali mencurinya.

Ayah tersenyum melihat putrinya makan dengan lahap. “Ayah ke atas dulu. Kamu jangan lupa mandi,” pesan ayah sebelum berdiri.

Pelangi hanya bergumam menyahuti. Ia sangat menikmati ayam pedas yang terasa pecah di mulutnya. Makanan ini adalah favoritnya, di mana pun Pelangi berada makanan ini tetap favoritnya.

“Berenang yok, Bow! Kemarin gue ada beli pelampung di leher, cocok buat lo,” ajak Saka antusias.

Pelangi berdecih mendengar perkataan akhir Saka. Enak saja, biar manja seperti ini Pelangi tahu berenang. “Ayok! Tapi Bow minum dulu, hauss benerr!” sahut Pelangi tak kalah antusias walau mendapatkan ledekan dari Saka.

“Abang nggak bolehin. Sudah senja.”

Raka selalu merusak semua kesenangan Pelangi. “Bang Raka kenapa sih? Hari ini sensitif banget. Bow makan ini nggak boleh, Bow main ini nggak boleh. Kayaknya aku harus ngikuti semua keinginan Bang Raka!” bentak Pelangi dengan tatapan marah. Tanpa berkata lagi ia langsung melangkah pergi ke kamar.

“Mau ke mana kamu? Setelah ngomel mau pergi begitu saja?”

Pelangi langsung berlari menaiki anak tangga, mengacuhkan perkataan Raka yang tajam dan dingin. Pelangi mengusap sudut matanya yang berair, ia kesal di kekang seperti ini. Pelangi mengunci pintu kamarnya, berlari ke kamar mandi dan menyalakan syower.

“Nyebelin banget sih Bang Raka! Aku salah mulu deh kerjaannya. Nggak boleh ini, nggak boleh itu! IHH KESAL!!” teriak Pelangi di bawah guyuran air.

Ketukan pintu terdengar beberapa kali, namun Pelangi pura-pura tidak mendengar.

“Pelangi, buka!”

Pelangi menggeleng, ia berusaha keras tidak gemetar sebab panggilan Raka. Pelangi. Jika Raka sudah memanggil nama aslinya, maka Raka sedang marah.

“Buka atau abang dobrak!”

Pelangi kembali menggeleng, itu pintu kesayangannya. Pintu kamarnya selalu membawa Pelangi ke indahnya kamar, sehingga jika di rusak, Pelangi tidak tega.

“Pelangi.” Nadanya berubah semakin dingin.

Cklek.

Pintu terbuka, Pelangi membuka pintu dengan tubuh yang basah. Baju kaos berwarna biru di kenakannya meneteskan air ke lantai, bersama dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya ampun, Bow! Lo abis berenang di mana?” Saka tiba-tiba nimbrung, wajahnya terlihat sedikit panik mendapati adiknya basah kuyup.

“Mana handukmu?” Raka berjalan masuk ke kamar, menyelisir tiap sudut kamar adiknya namun tidak menemukan handuk.

“Di bawah,” cicit Pelangi dengan kepala menunduk.

Raka langsung menarik selimut tanpa pikir panjang, melilitkan ke tubuh Pelangi dengan cepat. “Cepat mandi dan teriak kalau sudah,” ucap Raka sebelum berlalu keluar.

Saka bergidik, buru-buru ia masuk mendekati Pelangi yang masih terdiam dengan lilitan selimut tebal di tubuhnya yang basah. Saka mengusap air mata Pelangi, menghela nafas berat saat adiknya menangis.

“Udah jangan nangis. Bang Raka emang gitu, kan? Buruan sana mandi, entar gue ambilin handuk di bawah,” tutur Saka halus.

Kedua tangan Pelangi ikut terlilit, sehingga ia tidak bisa mengusap air matanya sendiri. Raka terlalu mengerikan baginya, pria itu punya banyak sisi mengerikan yang bahkan di tujukan pada siapa saja. Namun hari ini Raka keterlaluan, biasanya tidak pernah sedatar ini.

...🍁🍁🍁...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!