NovelToon NovelToon

Rapunzel & Obsesi Dua Pria

1| Abang

“Abang, ih! Jahil banget!”

Suara cempreng milik gadis muda yang masih berseragam SMA itu memenuhi taman belakang rumah, wajahnya cemberut tak suka.

“Lebay ah lo! Gue cuman ngasih ulat bulu kok, gak yang macam-macam,” balas sosok jahil itu.

“Cuman ulat bulu matamu!” sentak gadis itu tajam.

Laki-laki itu tertawa, puas melihat ekspresi kesal adiknya. “Mau cacing juga gak?”

“ISH BANG SAKA!!!”

Saka tertawa kembali, kali ini lebih puas dan nyaring. “Bow, lo lucu banget, sih?!” gemasnya.

Pelangi cemberut, wajahnya merengut begitu lucu. Pelangi menoleh ke samping, di mana kakak tertuanya duduk di atas kursi hanya menatap ke arahnya dengan senyum kecil.

“Bang Raka, marahin Bang Saka coba,” suruhnya.

Raka tersenyum lalu menarik tangan Pelangi agar duduk di sampingnya. “Nanti,” balasnya.

“Kalau Bang Raka marahin gue, ya gue marahin baliklah!” celetuk Saka.

“Emang berani?” tantang Pelangi.

“Enggaklah!”

“Yeeeee.” Pelangi memutar bola mata jengah, kakinya sedikit mendendang kaki Saka yang berada di bawahnya.

“Hemm, Bunda kapan pulangnya ya?” tanya Pelangi.

“Siang. Kenapa, kamu mau ke butik?” balas Raka.

Pelangi menggeleng, mulutnya menguap. “Bow mau tidur aja,” jawabnya.

Saka kemudian berdiri, dia menepuk-nepuk bokongnya karena duduk di rerumputan. “Ayo, gue gendong.”

Pelangi mengangguk, dia kemudian berdiri untuk menaiki pundak Saka yang sudah berjongkok di depannya. Tapi, belum sempat naik, tangan Pelangi tiba-tiba ditarik paksa oleh Raka. Pria dewasa itu langsung mengendong Pelangi di pundaknya.

“Ihh Bang Raka! Kan Bow maunya sama Bang Saka!” protes Pelangi.

Raka tidak menjawab, tetap melangkah memasuki rumah.

“Dasar tukang tikung!” umpat Saka kesal.

Sebetulnya, bukanlah hal yang aneh jika saat hendak tidur Pelangi akan di gendong menuju kamar, itu kebiasaan kakak-kakaknya dalam memanjakannya.

“Bang Raka balik ke kantor?” tanya Pelangi saat mereka memasuki kamarnya.

Raka tidak langsung menjawab, dia menurunkan Pelangi di atas tempat tidurnya.

“Enggak. Abang jagain kamu di rumah.”

Pelangi beralih menatap Saka. “Bang Saka gimana? Balik main sama teman-teman?”

“Maunya gitu. Tapi, ninggalin kalian berdua di sini itu berdosa!” jawab Saka sambil menatap tajam Raka.

“Ya, udah, keluar buruan! Bow mau tidur nih! Nanti kalian jahilin lagi!” sungut Pelangi dengan mata yang mengarah ke arah Saka. Sudah biasa ia di jahili oleh satu kakaknya itu.

Saka memutar bola mata, dengan santai ia mengambil koleksi novel Pelangi di rak buku besar. “Di sini aja gue, sekalian numpang rebahan,” ucapnya acuh.

Pelangi cemberut. “Aku bosan tidur di temani kalian terus. Aku bukan umur tujuh tahun lagi! Umurku 17 tahun, udah remaja, Bang!” jelas Pelangi sedikit keras.

“Aku?” beo Raka dengan tatapan dingin dan satu alis terangkat.

Pelangi meneguk ludah, ia menghela nafas sangat pelan. “Maaf, Bow salah,” ucapnya sambil menunduk. Hal yang di benci Raka adalah berbicara menggunakan 'aku' dan menghela nafas dengan sengaja.

Saka cekikikan tak tahu-tahu sambil membaca novel genre horor. Pelangi tahu betul bahwa abangnya itu menertawakannya. Saka memang menyebalkan, namun jauh lebih baik Saka dari pada Raka. Raka itu menakutkan, dan Pelangi hanya bisa berkata dalam hati saja.

Raka mendekatkan wajahnya, menyentuh dagu Pelangi agar menatapnya. “Tidur. Nggak usah ngomel.”

Singkat saja perkataannya, sudah membuat bulu kuduk Pelangi merinding. Buru-buru ia merebahkan diri, menutup tubuhnya dengan selimut sebatas dagu—padahal cuaca begitu panas. Mata Pelangi mulai terpejam.

Yang Pelangi suka dari Raka adalah elusannya. Setiap saat, Pelangi selalu mendapatkan elusan di rambutnya dengan sangat lembut. Saat hendak tidur, abangnya tidak pernah absen mengusap kepalanya agar cepat terlelap. Terbiasa hidup dengan kedua orang tua sibuk bekerja, Pelangi jadi merasa bahwa Raka itu seperti ayahnya.

Cukup lama Pelangi tertidur sebelum suara mobil membangunkannya. Matanya berkedip-kedip lambat sambil mengumpulkan nyawa. Hari sudah sore, sinar mentari bahkan berubah menjadi orange.

Pelangi tersentak saat mendapati Raka tertidur di sampingnya, tepat menghadap ke arahnya. Pelangi berdehem, membangkitkan tubuhnya dan melangkah turun dari kasur.

Ternyata Saka juga tidur di kamarnya, cowok itu terlelap di sofa semula dengan novel yang menutup wajahnya. Pelangi berdecak, novelnya akan rusak nanti. Buru-buru ia mengambil dan menaruh ke tempat semula.

“Mau ke mana?”

“Yarobun kaget!!” Pelangi memekik refleks saat mendengar suara bariton Raka dari belakang. Sambil mengatur nafas Pelangi membalik badan. Ia berkacak pinggang dengan bibir manyun. “Bang Raka ngangetin aja sih? Bow kaget banget ini,” omelnya.

Raka berjalan ke arah Pelangi tanpa mengatakan maaf. Tangannya langsung merangkul pundak gadis yang cemberut ini, membawanya ke luar kamar.

“Abang belikan es krim malam ini.”

Cemberut Pelangi langsung menghilang. Ini jurus andalan Raka, ice cream. Perkataan Raka selalu singkat, namun sudah mewakili semuanya.

Ternyata yang datang ayah bersama dengan bunda. Pagi tadi bunda memang tidak membawa mobil, sehingga berangkat bersama ayah. Mereka pulang terlalu sore.

“Kenapa lama banget pulangnya, Nda? Bow sampai ketiduran nunggunya,” aku Pelangi dengan wajah cemberut. Bunda hanya terkekeh dan memberi kecupan di keningnya sebelum naik ke lantai atas, tampaknya beliau sangat lelah.

“Sudah makan?” tanya ayah.

“Belum makan sore, Yah. Tapi kalau makan siang udah,” sahut Pelangi. Ayahnya ini satu spesies dengan Raka, tidak begitu banyak bicara.

“Ayah bawa ayam kesukaanmu. Ayo makan.”

Kali ini Pelangi mendekati ayah dan duduk di samping beliau. Ayam pedas kesukaannya berada di depan mata, tidak mungkin Pelangi bisa berlama-lama hanya menatapnya saja. Saat ingin mengambil, Raka menahan tangannya.

“Cuci tangan sana,” suruhnya.

Pelangi berdecak pelan, ia berlari ke dapur untuk mencuci tangan. Tidak lama setelahnya, ia kembali. Namun bukan lima paha ayam pedas yang berada di sana, melainkan tinggal dua saja.

“Bang Saka!!!” teriak Pelangi keras dengan raut kesal. Saka mengambil ayamnya, dia yang makan tiga paha ayam dengan raut wajah santai.

“Abang yang menyuruhnya. Nggak bagus makan pedas terlalu banyak,” kata Raka.

Pelangi menatap kesal Raka, ini sudah keterlaluan. Mungkin untuk hal lain ia bisa di kurangi porsinya, tapi tidak dengan ayam pedas kesukaannya. Maka, dengan berani Pelangi entakkan kakinya keras dengan wajah merajuk sebal.

“Gue nggak salah, orang Bang Raka kok yang ngasih. Rejeki nggak boleh di tolak,” seloroh Saka santai sambil memakan sisa-sisa daging ayam di tulang.

Sudah tidak Pelangi pedulikan lagi tatapan Raka yang terus mengarah padanya, ia tetap berdiri di posisi semula dengan tangan bersedekap dan menatap ke arah lain.

“Pelangi, jangan merajuk seperti itu. Sini, duduk dekat Ayah. Nanti kita beli lagi yang banyak,” rayu ayah halus.

Pelangi masih enggan menyudahi aksi ngambeknya. Apalagi saat mendengar Saka bersendawa seakan pamer bahwa ayam nikmat itu sudah di terima oleh perutnya.

“Maaf.”

Pelangi langsung menoleh, matanya mengerjap saat Raka mengatakan maaf penuh penyesalan. Raka jarang meminta maaf, abangnya itu bahkan tidak pernah meminta maaf pada Saka sekalipun.

“Jangan ngambek gitu. Nanti kita beli, besok.”

“Janji, ya?” kata Pelangi langsung.

Raka mengangguk dan tersenyum. “Janji. Jadi, makan yang ada dulu,” tutur Raka.

Aksi merajuk Pelangi usai, ia duduk kembali di samping ayah. Matanya kembali berbinar, tidak bisa makan lima yang terpenting ia bisa makan dua dan di tambah lagi besok. Buru-buru Pelangi melahapnya takut Saka kembali mencurinya.

Ayah tersenyum melihat putrinya makan dengan lahap. “Ayah ke atas dulu. Kamu jangan lupa mandi,” pesan ayah sebelum berdiri.

Pelangi hanya bergumam menyahuti. Ia sangat menikmati ayam pedas yang terasa pecah di mulutnya. Makanan ini adalah favoritnya, di mana pun Pelangi berada makanan ini tetap favoritnya.

“Berenang yok, Bow! Kemarin gue ada beli pelampung di leher, cocok buat lo,” ajak Saka antusias.

Pelangi berdecih mendengar perkataan akhir Saka. Enak saja, biar manja seperti ini Pelangi tahu berenang. “Ayok! Tapi Bow minum dulu, hauss benerr!” sahut Pelangi tak kalah antusias walau mendapatkan ledekan dari Saka.

“Abang nggak bolehin. Sudah senja.”

Raka selalu merusak semua kesenangan Pelangi. “Bang Raka kenapa sih? Hari ini sensitif banget. Bow makan ini nggak boleh, Bow main ini nggak boleh. Kayaknya aku harus ngikuti semua keinginan Bang Raka!” bentak Pelangi dengan tatapan marah. Tanpa berkata lagi ia langsung melangkah pergi ke kamar.

“Mau ke mana kamu? Setelah ngomel mau pergi begitu saja?”

Pelangi langsung berlari menaiki anak tangga, mengacuhkan perkataan Raka yang tajam dan dingin. Pelangi mengusap sudut matanya yang berair, ia kesal di kekang seperti ini. Pelangi mengunci pintu kamarnya, berlari ke kamar mandi dan menyalakan syower.

“Nyebelin banget sih Bang Raka! Aku salah mulu deh kerjaannya. Nggak boleh ini, nggak boleh itu! IHH KESAL!!” teriak Pelangi di bawah guyuran air.

Ketukan pintu terdengar beberapa kali, namun Pelangi pura-pura tidak mendengar.

“Pelangi, buka!”

Pelangi menggeleng, ia berusaha keras tidak gemetar sebab panggilan Raka. Pelangi. Jika Raka sudah memanggil nama aslinya, maka Raka sedang marah.

“Buka atau abang dobrak!”

Pelangi kembali menggeleng, itu pintu kesayangannya. Pintu kamarnya selalu membawa Pelangi ke indahnya kamar, sehingga jika di rusak, Pelangi tidak tega.

“Pelangi.” Nadanya berubah semakin dingin.

Cklek.

Pintu terbuka, Pelangi membuka pintu dengan tubuh yang basah. Baju kaos berwarna biru di kenakannya meneteskan air ke lantai, bersama dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya ampun, Bow! Lo abis berenang di mana?” Saka tiba-tiba nimbrung, wajahnya terlihat sedikit panik mendapati adiknya basah kuyup.

“Mana handukmu?” Raka berjalan masuk ke kamar, menyelisir tiap sudut kamar adiknya namun tidak menemukan handuk.

“Di bawah,” cicit Pelangi dengan kepala menunduk.

Raka langsung menarik selimut tanpa pikir panjang, melilitkan ke tubuh Pelangi dengan cepat. “Cepat mandi dan teriak kalau sudah,” ucap Raka sebelum berlalu keluar.

Saka bergidik, buru-buru ia masuk mendekati Pelangi yang masih terdiam dengan lilitan selimut tebal di tubuhnya yang basah. Saka mengusap air mata Pelangi, menghela nafas berat saat adiknya menangis.

“Udah jangan nangis. Bang Raka emang gitu, kan? Buruan sana mandi, entar gue ambilin handuk di bawah,” tutur Saka halus.

Kedua tangan Pelangi ikut terlilit, sehingga ia tidak bisa mengusap air matanya sendiri. Raka terlalu mengerikan baginya, pria itu punya banyak sisi mengerikan yang bahkan di tujukan pada siapa saja. Namun hari ini Raka keterlaluan, biasanya tidak pernah sedatar ini.

...🍁🍁🍁...

2| Semuanya Menyebalkan!

Pelangi duduk di kursi meja belajarnya, memandangi laptop yang menampilkan banyak tugas yang harus ia kerjakan. Namun Pelangi tidak ada nafsu untuk mengisi semua soal, matanya hanya memandang ke layar tanpa sama sekali bergerak untuk menyelesaikannya.

Raka mengingkari janjinya. Abangnya itu tidak mengajaknya keluar untuk beli ice cream. Bahkan setelah jarum jam pendek menyentuh angka delapan, Raka tak kunjung datang ke kamarnya untuk mengajaknya pergi.

“Huaaa abang jahat banget!!”

Ayah dan bunda sudah sangat hafal dengan perkelahian mereka. Pelangi sudah sering di buat menangis oleh Saka karena kesal. Juga di buat menangis ketakutan karena Raka. Mereka selalu membuat Pelangi menangis, namun mereka juga yang akan datang untuk berbaikan dengannya.

Namun malam ini Raka tidak merayunya agar di maafkan. Sepertinya abangnya sedang ada masalah, Pelangi hanya berpikir positif. Namun sungguh, berkelahi bersama Saka jauh lebih baik dari pada bersama Raka. Kakaknya itu terlalu es batu, sehingga Pelangi sendiri yang merasa kedinginan sebab auranya.

“Gue aja kali ya yang minta maaf?” monolog Pelangi sendirian. “Nggak deh! Gue nggak salah. Bang Raka tuh yang ngekang gue mulu! Gue mana pernah salah.”

Pelangi menjatuhkan kepalanya, menendang-nendang kolong meja dengan sadis. “Huaaa Bunda!! Bow harus apa?!” rengeknya frustrasi.

Biasanya dua abangnya selalu ada di kamar, entah bermain bersamanya atau membantu Pelangi mengerjakan tugas sekolah. Namun tidak malam ini, semuanya terasa sangat menyebalkan.

Waktu makan malam pun Raka tidak ikut, sehingga membuat ayah dan bunda merasa heran.

Pelangi berjalan ke luar kamar menuju kamar Saka. Tanpa mengetuk, Pelangi langsung masuk mengagetkan Saka yang sedang mengganti pakaiannya.

“Lo kalau masuk di ketuk dulu dong. Kalau bisa di gedor, jangan nyelonong ae lu,” omel Saka buru-buru mengancing kemeja hitamnya.

Pelangi berjalan gontai ke kasur, merebahkan tubuhnya dan merengek sebal. “Bang Raka kenapa sih? Bow berasa nggak di anggap tau,” adunya merana.

“Ck! Nggak usah di pikirin lah, Bow! Es batu bin es serut macam dia mah di diemin aja, entar meleleh sendiri dia,” jawab Saka enteng.

“Huaaa abanggg!! Gue harus apa?! Bang Raka kalau marah ya marah aja, nggak usah berlagak kayak Bow yang paling salah. Iya kan, Bang Saka?”

“Bener banget sayangku. Bang Raka tuh nyebelin, otaknya di isi apaan coba? Posesif amat sama lu, sama gue aja kagak!”

Pelangi menarik nafas panjang-panjang, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. Pelangi menatap Saka. “Bang Saka mau ke mana? Rapi banget kayak mau ke hajatan,” tanya Pelangi. Ia sedikit terhibur dengan ocehan Saka.

“Emang mau pergi hajatan, Neng Geulis!”

Mata Pelangi berbinar. “Gue boleh ikut? Boleh ya, Bang? Gue kesepian di rumah, Ayah Bunda nggak mau temenen sama Bow lagi. Boleh ya, Bang? Ya? Ya? Ya?” Pelangi memajukan kepalanya, menyorot Saka dengan puppy eyes.

“Nggak boleh.” Saka menirukan gaya bicara Raka. “Kamu tidur, jangan suka keluyuran malam-malam!” lanjutnya masih menirukan gaya dan suara datar Raka.

Pelangi langsung cemberut, ia kembali merebahkan tubuhnya dan guling-guling hingga seprai kasur menjadi terlepas dan berantakan.

Saka menghela nafas, adiknya selalu bertingkah gila seperti ini. “Udah deh, Bow. Jangan kayak anak kecil. Lo tau kan kalau sampai Bang Raka tau kalau gue bawa lo keluar rumah tanpa sepengetahuan dia, yang mampus gue!”

“Tapi Bang Raka juga nggak mau ajak gue jalan-jalan. Udahlah biarin aja dia, gue bosen di rumah,” rayu Pelangi lagi.

“Nggak bisa, Dek. Ini ngurus surat keluar lo dari rumah lebih rumit dari bikin surat nikah. Lo kudu sabar, Bang Raka pasti ngajak lo nanti,” tutur Saka lebih sedikit lembut.

Akhirnya Pelangi menurut, ia tidak lagi merengek ingin ikut Saka. “Gue tidur di sini aja, Bang! Malas banget balik ke kamar,” kata Pelangi tanpa bantahan.

“Serah lu,” jawab Saka. “Gue pergi, lo jangan nangis. Tidur cepat-cepat kalau Bang Raka nggak ngajak lo keluar. Bilang sama gue kalau lo keluar. Abang pergi.” Saka mengecup kedua pipi Pelangi, terakhir kening gadis itu sebelum berjalan keluar.

Pelangi menghela nafas panjang, ia sendirian lagi. Pelangi bangkit, membuka pintu balkon kamar Saka dan menutupnya kembali. Ia duduk di sisi balkon, menyenderkan punggungnya di dinding sambil memandang malam.

“Sedih banget hidup gue,” gumamnya merana.

Jika semua remaja seusianya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan bersenang-senang, maka Pelangi berbeda. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, bermain bersama abang-abangnya tanpa ada orang lain. Ke mana-mana Pelangi selalu bersama abangnya, pulang sekolah ia langsung pulang tanpa singgah-singgah.

Semua orang tampak iri pada hidupnya yang di kelilingi dua abang yang begitu sayang padanya dan siap melakukan apa saja untuknya. Semua orang terlihat iri pada kehidupannya yang punya orang tua perhatian padanya. Semua orang iri padanya sebab apa saja yang Pelangi inginkan pasti tercapai.

Namun rasanya itu teramat berat untuknya. Pelangi memang punya dua kakak yang sangat sayang padanya, namun ia di kurung bagai Rapunzel dan tidak boleh ke mana-mana. Yang membuat Pelangi merasa terkurung adalah Raka, pria itu terlalu posesif padanya.

Setiap hari, ponsel Pelangi akan di cek oleh Raka dan kadang Saka. Ponsel Pelangi tidak boleh terkunci, atau bahkan saat terkunci mereka harus tahu password-nya. Apapun yang ingin Pelangi lakukan harus di setujui oleh Raka, jika tidak mutlak tidak boleh.

“Sedihnya hidup ini ...,” gumamnya sembari menatap langit.

Dari atas sini, Pelangi dapat melihat kegiatan orang-orang yang lewat di depan rumahnya, bahkan ada anak yang seumuran dengannya jalan bersama cowoknya. Pelangi iri, ia ingin juga melakukan hal-hal seperti itu tanpa harus di awasi. Bahkan, Pelangi pernah berharap ia bisa jalan-jalan sendirian, melakukan hal-hal menyenangkan sendirian.

Namun satu hal yang seharusnya Pelangi ingat selalu, bahwa abangnya adalah Raka. Laki-laki dingin yang memperlakukannya bagai berlian, dijaga bagai dirinya ini lemah. Jangankan untuk melakukan hal-hal menyenangkan sendirian di dunia luar, melakukan hal-hal kecil di rumah saja Raka tidak membolehkannya.

Mata Pelangi berkedip lambat menatap langit, berhayal sesuatu yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari. Walau entah kapan, tapi yang jelas Pelangi merasa senang bisa menghayal seperti ini.

Pelangi berdiam di luar tanpa ada yang tahu. Tanpa pakaian yang hangat atau minyak agar tidak di gigit nyamuk. Pelangi duduk termangu sendiri sambil memeluk tubuhnya mengurangi rasa dingin. Ia yakin, setelah ini rumah akan gempar karena tidak menemukan kehadirannya.

3| Ceroboh

Pelangi membuka matanya saat cahaya matahari mengenai matanya. Pelan ia buka mata, langit-langit kamar berbentuk awan menyapa penglihatannya lebih awal. Ini kamarnya, padahal semalam Pelangi ingat ia tertidur di balkon kamar Saka.

Pelangi mendapati tangannya di genggam, rasanya hangat. “Bang Raka?” beonya terkejut. Raka tertidur di kursi belajarnya tepat di samping ranjang, kepalanya tergeletak di sisi tubuh Pelangi. Sepertinya semalam Pelangi sudah membuat cemas kakaknya.

“Bow jadi merasa bersalah,” katanya dengan bibir mencebik. Pelangi berharap Saka tidak mendapat amukan Raka semalam.

Pelangi mengusap rambut Raka pelan, tidak tega melihat abangnya berbaring seperti ini. “Abang bangun. Tubuhnya nanti sakit,” bisik Pelangi dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama setelahnya, Raka menggeliat dan mengangkat wajahnya. Raka menghela nafas singkat. “Kenapa nangis?” tanyanya dengan suara lembut.

Tangis Pelangi pecah, ia menangis hingga sesenggukan. Membalaskan dendam atas tangis tertahan sedari kemarin. “Maafin, Bow. Bow bikin kalian cemas, ya? Huaaa maafin Pelangi, Bang Raka ...”

“Iya, kamu bikin cemas satu rumah,” timpal Raka. “Bunda sampai ingin menelepon polisi,” tambahnya lagi hingga membuat tangis Pelangi kian meraung nyaring.

Pelangi tidak tahu bahwa akan seperti ini. Sampai-sampai membuat bunda cemas sekali. Padahal semalam Pelangi hanya ingin menyendiri hingga tenang, tapi sepertinya ia tertidur hingga tidak mendengar teriakan orang rumah. Entah bagaimana bisa mereka menemukan Pelangi, jika saja mereka tidak menemukannya, ia yakin akan tidur hingga pagi di luar.

Raka duduk di samping Pelangi, menarik adiknya dan memeluknya erat. “Nangis sampai puas. Kalau udah puas, bilang sama abang,” katanya sambil mengusap rambut Pelangi.

Pelangi semakin menangis, tanpa ragu ia keluarkan semua air matanya dalam dekapan kakaknya. Beberapa menit Pelangi menangis hingga ia merasa cukup. “Udah puas nangisnya,” aku Pelangi. Ia melepas dekapan Raka, ingusnya di elap oleh abangnya. “Maafin Bow ya, Bang Raka. Bow memang menyebalkan.” Ia menunduk.

“Abang yang minta maaf. Jangan hilang lagi.”

Pelangi mengangguk, ia kembali memeluk Raka. Ia sayang pria ini, membuat Raka cemas adalah ketakutannya. Mungkin saja bukan hanya bunda yang ingin menelepon polisi, tapi Raka juga. Pelangi terlalu mengenal kakaknya.

“Jangan marahin Bang Saka ya? Dia nggak salah, Bow yang seharusnya di marahin.”

“Sudah terlanjur,” sahut Raka ringan.

Sudah Pelangi duga. Saka tidak mungkin di biarkan lepas dari tangan abangnya satu ini. Kasihan Saka, Pelangi perlu meminta maaf padanya.

“Eh, Bow perlu sekolah. Haduh, hari udah terik banget sih!” pekik Pelangi saat menyadari bahwa waktu terus berjalan, hari juga semakin siang.

Belum sempat Pelangi bangkit, Raka sudah menahan tubuhnya. “Ingin sekolah di pukul sembilan pagi?” tanyanya dengan senyum miring.

Pelangi tercengang, buru-buru ia melihat jam dinding. Sial, ternyata memang sudah pukul sembilan kurang. Bagaimana bisa? “Kenapa nggak bangunin? Sayang banget, padahal hari ini ada acara ulang tahun temannya Bow,” desah Pelangi kecewa.

Raka menyentil kening Pelangi hingga membuat adiknya meringis. “Kamu yang di bangunin nggak bisa,” omelnya. “Ayo ke rumah sakit.”

“Hah?”

“Kamu dehidrasi, makanya nggak bisa di bangunin. Abang siapkan air panas, jangan mandi terlalu lama,” pesan Raka cukup panjang.

Bukan merasa kesal terlalu di omeli, Pelangi malah merasa senang. Senyumnya merekah lebar dan mata bulatnya kembali bersinar. “Jangan suka marahin Bow lagi ya, Bang Raka? Bow takut, rasanya Bow mau mati aja kalau Bang Raka udah naik darah kayak kemarin,” adunya memberitahu perasaan yang ia alami pada Raka.

“Abang nggak akan ngulangin lagi,” ucap Raka singkat, namun itu cukup membuat Pelangi senang.

“Bow lebih suka Bang Raka ngoceh daripada bicara dingin dan tajam kayak kemarin. Jauh lebih baik kalau Bang Raka nyuruh Bow lakuin ini itu dengan panjang daripada harus bicara singkat tapi seremin banget. Bow leb—“

“Iya sayang ... Bang Raka nggak akan ngulangin lagi,” potong Raka gemas. Adiknya mengomel, Raka tahu betapa takutnya adiknya semalam. “Maaf, ya? Jangan bikin cemas lagi,” pintanya sungguh-sungguh.

...🌈🌈🌈

...

Mereka benar-benar ke Rumah Sakit, bahkan Raka sudah menelepon Dokter Rara—dokter keluarga mereka untuk langsung melayani jika telah sampai di rumah sakit. Raka benci menunggu, ia ingin adiknya segera di periksa.

“Kenapa repot-repot ke rumah sakit sih, Bang? Bow nggak apa-apa, seger cantik manis gini kok,” kata Pelangi menego. Raka terlalu parno, padahal Pelangi tidak mengalami rasa sakit atau pusing sama sekali.

“Tubuh kamu dingin banget semalam.”

“Kayak Bang Raka dong?” kekeh Pelangi bercanda. “Kalau udah periksa, kita makan ayam, ya? Abang udah janji, jangan kayak tadi malam, Bow nungguin sampai sedih,” adunya dengan wajah pura-pura merajuk.

“Iya, kita pergi.”

Setelah itu, Pelangi tidak lagi berbicara. Namun, ia teringat akan Saka. “Bang Saka ke mana? Bow cariin nggak ketemu-ketemu di rumah. Kuliah pagikah?” tanya Pelangi penasaran. Saka jarang kuliah pagi, lebih sering kuliah siang dia bilang. Makanya heran saat mendapati kamar Saka kosong di jam sembilan.

“Iya, kuliah. Ada ujian,” jawab Raka singkat.

Pelangi mangut-mangut, percaya saja. Ia juga tidak berani menghubungi Saka, takut mengganggu ujiannya. Mungkin nanti, selepas pemeriksaan maka Pelangi akan menelepon Saka dan menanyakan sedang di mana.

“Bow boleh tanya lagi?”

Raka mengangguk sebagai jawaban.

“Boleh nggak?” tanya Pelangi lagi. Anggukan saja tidak berguna.

“Boleh.”

Pelangi tersenyum senang, ia sedikit mendekatkan tubuhnya dan memandang Raka dengan sorot serius. “Abang habis putus cinta ya?” tudingnya penasaran. “Atau, abang ketahuan selingkuh sama pacar abang? Atau, abang—“

“Kamu bicara apa, sih?” potong Raka dengan mata yang kali ini memandang Pelangi.

“Habisnya, kemarin Bang Raka unmood banget. Bow pikir abang sedang dalam masalah makanya lampiaskannya ke Bow. Nggak papa kok, lampiaskan aja. Bow nggak papa,” tutur Pelangi serius.

Raka tidak langsung menjawab pertanyaan adiknya, ia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil Rumah Sakit. “Ada masalah di kantor. Nggak usah di pikirkan. Ayo turun.” Raka melepaskan seatbelt Pelangi, kemudian keluar duluan.

“Masa, sih? Memangnya kenapa sama pekerjaan abang? Ada yang main curang? Sini, biar Bow sleding!” Pelangi menyingsing lengan bajunya, kedua tangannya terkepal ke depan.

Raka tertawa, gemas sekali dengan tingkah adik perempuannya. “Bukan apa-apa. Masalah orang dewasa, Dek,” tuturnya halus. Kemudian, Saka merangkul Pelangi untuk segera masuk ke dalam Rumah Sakit.

Di koridor, banyak yang memandang mereka berdua—atau lebih tepatnya pada Raka. Yang mengenal Raka akan menyapanya walau tidak di balas sama sekali, semuanya menghormati Raka padahal umurnya masih dua puluh empat tahun.

Raka dengan segudang keahlian, pebisnis muda sekaligus CEO perusahaan maju di Indonesia padahal baru satu tahun membangun perusahaan. Di Rumah Sakit ini, Raka di kenal sebagai penyumbang dana, semua orang bahkan mengenal Raka sebab sering masuk televisi.

“Abang keren bangettt!!” bisik Pelangi sambil memberikan dua jempol untuk abangnya. “Bow juga mau kayak Bang Raka, terkenal, kaya, dihormati, dicintai, disayangi, di kasihi, dan lain-lain. Bow ingin memperkerjakan orang-orang pandai dan bodoh sekaligus, biar Bow bisa belajar lebih dalam,” celotehnya sepanjang perjalanan.

Bahkan, Pelangi tidak pedulikan pandangan beberapa orang di dalam lift yang terlihat heran sebab ocehannya. Yang terpenting untuk Pelangi, ia sudah mengeluarkan semua keinginannya hari ini, siapa tahu saja malaikat lewat dan membalas amin.

...🍁🍁🍁

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!