Hari ini hari Jumat, tidak ada banyak kegiatan di jam pelajaran di kelas XI IPS-II. Hari Jumat adalah hari yang lumayan indah setelah Sabtu dan Minggu, karena selain mata pelajarannya sedikit, jam pulangnya juga cepat. Sehingga kebanyakan anak-anak lain memilih tidak masuk dihari jumat ini, tapi tentu tidak dengan gadis satu ini.
Di dalam kelas, Pelangi duduk sambil membaca buku. Sudah jam istirahat, Chika dan Dira—dua temannya di sekolah sedang ke kantin. Pelangi dilarang jajan sembarang, sehingga ia membawa bekal dari rumah dan camilan dari rumah juga buatan dari Bunda. Iri? Tentu saja iya. Pelangi sangat berharap bisa makan di kantin seperti teman-temannya, tapi sekali lagi ia tekankan kalau abangnya itu Raka. Pelangi tahu makanan kantin itu tidak higienis, tapi makan sesekali bukanlah masalah yang besar.
Hanya ada beberapa orang di dalam kelas, Pelangi juga tidak terlalu pandai bergaul. Sehingga jika di dalam kelas seperti ini, Pelangi hanya akan menghabiskan jam istirahat dengan membaca buku.
“Heh, Pelangi!”
Pelangi tersentak mendengar namanya di panggil cukup keras. Ia mendongak, mendapati Gara—cowok yang cukup Pelangi kenal. “Apa?” tanya Pelangi dengan malas.
Gara mendekat, sorot matanya tajam dan tak bersahabat. Cowok tanpa dasi itu menggebrak meja, hingga membuat Pelangi lagi-lagi terkejut.
“Mau lo apa sih?” Pelangi berdiri, menatap Gara tanpa tatapan takut. Semua orang mulai berkumpul menatap mereka, namun Pelangi tidak peduli itu.
“Lo buta?! Muka gue boyok gini karena ulah kakak sialan lo itu! Gue salah apa, anjing! Dia ngehajar gue di depan teman-teman gue!” sungut Gara tajam. Matanya mengilat sinis, begitu berani mendatangi Pelangi dan membentaknya seperti ini.
Pelangi terdiam, ia mencerna baik-baik perkataan Gara. Pelangi tertawa geli, penuh kesinisan dan matanya berubah menjadi tajam. Raka berbohong padanya. “Seriously? Wah, kado yang menarik!” ledek Pelangi dengan wajah kaget dan tangan yang bertepuk ceria.
“Gimana rasanya di hajar sama abang gue?” tanyanya benar-benar penuh ledekan.
“Bangsat!!”
BRUK!
Gara langsung melayangkan tinjunya hingga mengenai pipi Pelangi, ia tersungkur menghantam meja dengan keras. Semua orang berteriak kaget, mereka mencoba melerai.
Dada Pelangi terasa sesak, tonjokan Gara tidak sama sekali terasa sakit di pipinya. Pelangi bangkit, meludah kasar ke samping sambil membuka dasi dan dua kancing kemejanya.
“Itu salah lo sendiri karena maksa gue pulang bareng lo kemarin! Udah gue peringatin kan sama lo? Kalau gue punya dua singa di rumah!!” tekan Pelangi tanpa takut. Ia mendekat, mendorong-dorong pundak Gara dengan jari telunjuknya. “Itu akibat dari sikap murahan lo kemarin!” Pelangi tersenyum miring.
Semua orang mulai menjauh, merinding bukan main melihat Pelangi berubah semengerikan ini. Gadis yang dikenal bagai rapunzel di sekolah itu amat jarang terlihat, jarang bergaul bahkan menunjukkan ekspresinya. Namun sekarang mereka tahu, bahwa selain punya dua abang yang mengerikan, Pelangi juga jauh lebih mengerikan.
“Lo yang murahan, b*tch!” maki Gara dan melayangkan satu tinju lagi, namun belum sempat mengenai wajah Pelangi, tangan itu sudah di tahan begitu kuat.
“Kalau banci, banci aja. Nggak usah sok pakai celana!”
Pelangi tidak bisa menahan lagi air matanya, dadanya semakin terasa sesak. Terlebih saat Aidan datang membantunya, cowok itu terlihat bukan seperti ketua OSIS yang berwibawa, bukan lagi seperti laki-laki yang tidak suka ikut campur urusan orang lain.
“Lo nggak ada urusan sama gue! Minggir, nih ****** perlu di singkirkan!!”
“Wait, b*tch? Kayaknya elo lebih rendah dari ******, ya? Lebih murah dari sampah!” Aidan mendorong tubuh Gara, tidak sama sekali menghantam tubuh cowok songong itu.
Aidan menghampiri Pelangi, perempuan itu sudah nyaris menangis. “Ayo, gue antar ke UKS. Atau lo mau pulang aja?” tawarnya begitu lembut.
Pelangi menggeleng, ia tidak butuh siapa-siapa saat ini.
“BUBAR KALIAN!!” teriak Aidan keras mengusir semua orang. Aidan beralih menatap Gara yang tidak sama sekali bergerak untuk melawannya. “Dan lo cocor bebek, enyah dari sini sebelum rumah lo di datangi polisi!” peringatnya penuh ketajaman.
Semua orang perlahan bubar, pun begitu dengan Gara yang pergi membawa kekesalan. Yang tersisa hanyalah Aidan dan Pelangi di dalam kelas. Dan saat ini, Pelangi sedang menangis.
“Sakit banget, ya? Jangan nangis, tambah bengkak entar muka lo,” ucap Aidan cemas.
Pelangi semakin menangis. Bukan hanya rasa sakit di pipinya yang ia rasa, tapi juga hatinya. Raka berbohong padanya, Pelangi terlalu peka dengan semua perubahan sikap abangnya yang tiba-tiba.
“Pelangi! Ya ampun lo kenapa?!” suara cempreng Chika terdengar panik bersama suara maki-maki dari Dira.
Pelangi langsung mengusap pipinya, ia bangkit dan langsung membawa tasnya pergi. Chika dan Dira sudah sangat paham dengan sikap Pelangi, gadis itu tidak bisa sedekat itu dengan mereka, sehingga mereka enggan mengejar Pelangi. Namun berbeda dengan Aidan, dia mengejar langkah cepat Pelangi.
“Gue anter lo pulang, bahaya pulang sendiri, Ngi,” kata Aidan terus mengejar dan membujuk Pelangi.
“Lebih bahaya kalau lo pulang sama gue!” Setelah mengatakan itu, Pelangi langsung berlari pergi entah ke mana. Meninggalkan Aidan yang tak mampu meneruskan langkah menggapai Pelangi.
Semuanya terjadi tiba-tiba. Luka di hati dan pipinya pun datang tanpa di minta. Pelangi menangis, dadanya semakin terasa sesak. Yang paling menyakitkan adalah Raka berbohong padanya. Pelangi membenci kebohongan, dan abangnya melalukan itu pada dirinya.
Pelangi berlari ke toilet ujung dekat kantin, di sana sepi sehingga ia tidak perlu ditatap kasihan oleh mereka. Ia menatap wajahnya di pantulan cermin, pipi kanannya membiru dan sudut bibirnya berdarah. Pelangi semakin menangis.
“Gimana cara gue pulang? Gue nggak mau Bang Raka dan Bang Saka jadi pembunuh,” isaknya penuh ketakutan. Kedua bibirnya pucat, nafasnya tersengal-sengal.
Pelangi seharusnya ingat, kalau kakaknya bisa saja menjadi kriminal jika ada yang berani mengusiknya, namun Pelangi melupakan itu dengan membiarkan Gara memaksanya pulang bersama kemarin. Dengan ini, Pelangi menyesal melupakan itu.
Pelangi merosotkan tubuhnya, ia menangis di lipatan tangan lututnya. Rasanya benar-benar sakit, entah bagaimana cara Pelangi menyikapi ini nanti.
Tidak ada pilihan untuk Pelangi. Tidak ada opsi yang perlu ia pilih dan pikirkan baik-baik. Jika pulang, maka semuanya akan hancur. Pun jika Pelangi tidak pulang, semuanya akan sia-sia karena dirinya tetap akan kembali ke rumah.
Sebaik apa pun Pelangi ingin menyembunyikan ini, semuanya akan ketahuan. Berbohong pun amat sulit, karena Pelangi tidak tahu apa yang perlu ia buat alibi agar tidak pulang. Pelangi tidak memiliki teman dekat, berbohong menginap di rumah teman adalah upaya paling tolol.
"Tuhan, bagaimana ini?" ujarnya frustrasi.
...🍁🍁🍁
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments