Pelangi duduk di kursi meja belajarnya, memandangi laptop yang menampilkan banyak tugas yang harus ia kerjakan. Namun Pelangi tidak ada nafsu untuk mengisi semua soal, matanya hanya memandang ke layar tanpa sama sekali bergerak untuk menyelesaikannya.
Raka mengingkari janjinya. Abangnya itu tidak mengajaknya keluar untuk beli ice cream. Bahkan setelah jarum jam pendek menyentuh angka delapan, Raka tak kunjung datang ke kamarnya untuk mengajaknya pergi.
“Huaaa abang jahat banget!!”
Ayah dan bunda sudah sangat hafal dengan perkelahian mereka. Pelangi sudah sering di buat menangis oleh Saka karena kesal. Juga di buat menangis ketakutan karena Raka. Mereka selalu membuat Pelangi menangis, namun mereka juga yang akan datang untuk berbaikan dengannya.
Namun malam ini Raka tidak merayunya agar di maafkan. Sepertinya abangnya sedang ada masalah, Pelangi hanya berpikir positif. Namun sungguh, berkelahi bersama Saka jauh lebih baik dari pada bersama Raka. Kakaknya itu terlalu es batu, sehingga Pelangi sendiri yang merasa kedinginan sebab auranya.
“Gue aja kali ya yang minta maaf?” monolog Pelangi sendirian. “Nggak deh! Gue nggak salah. Bang Raka tuh yang ngekang gue mulu! Gue mana pernah salah.”
Pelangi menjatuhkan kepalanya, menendang-nendang kolong meja dengan sadis. “Huaaa Bunda!! Bow harus apa?!” rengeknya frustrasi.
Biasanya dua abangnya selalu ada di kamar, entah bermain bersamanya atau membantu Pelangi mengerjakan tugas sekolah. Namun tidak malam ini, semuanya terasa sangat menyebalkan.
Waktu makan malam pun Raka tidak ikut, sehingga membuat ayah dan bunda merasa heran.
Pelangi berjalan ke luar kamar menuju kamar Saka. Tanpa mengetuk, Pelangi langsung masuk mengagetkan Saka yang sedang mengganti pakaiannya.
“Lo kalau masuk di ketuk dulu dong. Kalau bisa di gedor, jangan nyelonong ae lu,” omel Saka buru-buru mengancing kemeja hitamnya.
Pelangi berjalan gontai ke kasur, merebahkan tubuhnya dan merengek sebal. “Bang Raka kenapa sih? Bow berasa nggak di anggap tau,” adunya merana.
“Ck! Nggak usah di pikirin lah, Bow! Es batu bin es serut macam dia mah di diemin aja, entar meleleh sendiri dia,” jawab Saka enteng.
“Huaaa abanggg!! Gue harus apa?! Bang Raka kalau marah ya marah aja, nggak usah berlagak kayak Bow yang paling salah. Iya kan, Bang Saka?”
“Bener banget sayangku. Bang Raka tuh nyebelin, otaknya di isi apaan coba? Posesif amat sama lu, sama gue aja kagak!”
Pelangi menarik nafas panjang-panjang, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. Pelangi menatap Saka. “Bang Saka mau ke mana? Rapi banget kayak mau ke hajatan,” tanya Pelangi. Ia sedikit terhibur dengan ocehan Saka.
“Emang mau pergi hajatan, Neng Geulis!”
Mata Pelangi berbinar. “Gue boleh ikut? Boleh ya, Bang? Gue kesepian di rumah, Ayah Bunda nggak mau temenen sama Bow lagi. Boleh ya, Bang? Ya? Ya? Ya?” Pelangi memajukan kepalanya, menyorot Saka dengan puppy eyes.
“Nggak boleh.” Saka menirukan gaya bicara Raka. “Kamu tidur, jangan suka keluyuran malam-malam!” lanjutnya masih menirukan gaya dan suara datar Raka.
Pelangi langsung cemberut, ia kembali merebahkan tubuhnya dan guling-guling hingga seprai kasur menjadi terlepas dan berantakan.
Saka menghela nafas, adiknya selalu bertingkah gila seperti ini. “Udah deh, Bow. Jangan kayak anak kecil. Lo tau kan kalau sampai Bang Raka tau kalau gue bawa lo keluar rumah tanpa sepengetahuan dia, yang mampus gue!”
“Tapi Bang Raka juga nggak mau ajak gue jalan-jalan. Udahlah biarin aja dia, gue bosen di rumah,” rayu Pelangi lagi.
“Nggak bisa, Dek. Ini ngurus surat keluar lo dari rumah lebih rumit dari bikin surat nikah. Lo kudu sabar, Bang Raka pasti ngajak lo nanti,” tutur Saka lebih sedikit lembut.
Akhirnya Pelangi menurut, ia tidak lagi merengek ingin ikut Saka. “Gue tidur di sini aja, Bang! Malas banget balik ke kamar,” kata Pelangi tanpa bantahan.
“Serah lu,” jawab Saka. “Gue pergi, lo jangan nangis. Tidur cepat-cepat kalau Bang Raka nggak ngajak lo keluar. Bilang sama gue kalau lo keluar. Abang pergi.” Saka mengecup kedua pipi Pelangi, terakhir kening gadis itu sebelum berjalan keluar.
Pelangi menghela nafas panjang, ia sendirian lagi. Pelangi bangkit, membuka pintu balkon kamar Saka dan menutupnya kembali. Ia duduk di sisi balkon, menyenderkan punggungnya di dinding sambil memandang malam.
“Sedih banget hidup gue,” gumamnya merana.
Jika semua remaja seusianya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan bersenang-senang, maka Pelangi berbeda. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, bermain bersama abang-abangnya tanpa ada orang lain. Ke mana-mana Pelangi selalu bersama abangnya, pulang sekolah ia langsung pulang tanpa singgah-singgah.
Semua orang tampak iri pada hidupnya yang di kelilingi dua abang yang begitu sayang padanya dan siap melakukan apa saja untuknya. Semua orang terlihat iri pada kehidupannya yang punya orang tua perhatian padanya. Semua orang iri padanya sebab apa saja yang Pelangi inginkan pasti tercapai.
Namun rasanya itu teramat berat untuknya. Pelangi memang punya dua kakak yang sangat sayang padanya, namun ia di kurung bagai Rapunzel dan tidak boleh ke mana-mana. Yang membuat Pelangi merasa terkurung adalah Raka, pria itu terlalu posesif padanya.
Setiap hari, ponsel Pelangi akan di cek oleh Raka dan kadang Saka. Ponsel Pelangi tidak boleh terkunci, atau bahkan saat terkunci mereka harus tahu password-nya. Apapun yang ingin Pelangi lakukan harus di setujui oleh Raka, jika tidak mutlak tidak boleh.
“Sedihnya hidup ini ...,” gumamnya sembari menatap langit.
Dari atas sini, Pelangi dapat melihat kegiatan orang-orang yang lewat di depan rumahnya, bahkan ada anak yang seumuran dengannya jalan bersama cowoknya. Pelangi iri, ia ingin juga melakukan hal-hal seperti itu tanpa harus di awasi. Bahkan, Pelangi pernah berharap ia bisa jalan-jalan sendirian, melakukan hal-hal menyenangkan sendirian.
Namun satu hal yang seharusnya Pelangi ingat selalu, bahwa abangnya adalah Raka. Laki-laki dingin yang memperlakukannya bagai berlian, dijaga bagai dirinya ini lemah. Jangankan untuk melakukan hal-hal menyenangkan sendirian di dunia luar, melakukan hal-hal kecil di rumah saja Raka tidak membolehkannya.
Mata Pelangi berkedip lambat menatap langit, berhayal sesuatu yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari. Walau entah kapan, tapi yang jelas Pelangi merasa senang bisa menghayal seperti ini.
Pelangi berdiam di luar tanpa ada yang tahu. Tanpa pakaian yang hangat atau minyak agar tidak di gigit nyamuk. Pelangi duduk termangu sendiri sambil memeluk tubuhnya mengurangi rasa dingin. Ia yakin, setelah ini rumah akan gempar karena tidak menemukan kehadirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments