Rumah gempar bukan main saat Raka pulang dan menyadari bahwa Pelangi tidak berada di rumah sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Saka yang baru saja bangun tidur pun terkejut, ia kembali dibentak dan dimarahi oleh Raka, disalahkan kalau dialah yang menyembunyikan Pelangi.
Ayah dan bunda saat tahu berita bahwa Pelangi tidak pulang ke rumah langsung buru-buru memasuki mobil lagi untuk mencari Pelangi di rumah Dira dan Chika, siapa tahu dia berada di sana. Saka yang amat terkejut atas kemarahan Raka langsung ikut mencari juga disekeliling rumah, takutnya Pelangi ketiduran lagi seperti kemarin.
Raka mengumpat kala nomor Pelangi tidak bisa dihubungi, seperti di matikan. Raka kira, Pelangi sudah pulang pukul tiga tadi bersama Saka. Sebab Pelangi sudah mengatakan bahwa dia berada di rumah, bermain bersama Milo—kucing persia kesayangannya. Namun saat pulang ke rumah, Raka tidak menemukan adiknya di rumah ini.
“Kamu di mana, Bow?” Raka mondar-mandir sambil terus menghubungi Pelangi. Ia juga sudah menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari Pelangi sesegera mungkin.
“Pelangi udah angkat, Bang?” tanya Saka dengan wajah pucat dan panik. “Gue nggak tau kalau dia bakal hilang. Bow bilang kalau dia mampir ke perusahaan Bang Raka, dia nelepon gue saat jam pulang sekolah,” jelasnya.
Raka menghantam dinding, rasanya marah dan cemas bukan main. Adiknya pandai sekali, dia berbohong ke dua orang sekaligus. Ponsel Raka berdering, tapi bukan panggilan dari Pelangi, melainkan dari orang kepercayaannya.
Ardan menjelaskan semuanya tanpa ada yang tertinggal, bahkan mengatakan bahwa CCTV di halaman depan sekolah tidak terlihat Pelangi keluar, yang artinya gadis itu masih berada di dalam sekolah. Tangan Raka mengeras, ponsel di tangannya terdengar bunyi retakan. Ia langsung mematikan sambungan, berjalan cepat ke luar rumah bersama Saka yang menghubungi teman-temannya agar membantu mencari.
“Gimana, Bang? Rainbow ketemu, kan? Dia nggak kenapa-napa, kan?” Saka sudah sangat cemas, bahkan tanpa malu dia menangis di hadapan Raka.
“Gara. Bunuh cowok itu malam ini juga,” tekan Raka dengan sorot tajam bagai elang yang siap memangsa.
...🌈🌈🌈
...
Sudah sore, terlihat dari ventilasi toilet yang cahayanya sudah sedikit gelap, dan Pelangi juga yakin kalau persembunyiannya sudah ketahuan. Bagi Raka, mencari dirinya adalah hal paling mudah, dengan menyuruh Ardan, maka semuanya selesai.
Tapi Pelangi enggan keluar dan pulang, ia ingin di jemput walau belum berani menghubungi kakaknya. Ponselnya bahkan masih mati, ia yakin ada banyak telepon dari orang-orang terdekatnya.
Pipinya semakin membiru karena tidak diobati, bibirnya bahkan bengkak karena hantaman itu. Sepertinya, Raka dan Saka benar-benar akan menjadi pembunuh walau tidak melihat kondisinya saat ini. Luka seujung kuku saja jika dilakukan oleh orang dengan sengaja, orang itu dalam bahaya. Apalagi jika lukanya separah sekarang.
Pelangi menyalakan ponselnya dengan pasrah, ada banyak panggilan dan pesan yang tidak terjawab. Tak lama setelahnya, nama Raka tertera di ponselnya. Pria itu menghubunginya, seakan memang tidak pernah berhenti untuk meneleponnya.
“Abang ...,” panggil Pelangi dengan dada yang kembali terasa sesak. Ia tidak lagi peduli jika abangnya mendengarnya menangis seperti ini.
“Sakit ... sakit sekali.” Pelangi menangis, memukul dadanya yang menyulitkannya untuk bernafas. Ia tidak bisa bersikap baik-baik saja di hadapan abang-abangnya, ia tidak bisa berbohong dengan keadaannya.
“Jangan ke mana-mana. Tunggu di sana dan jangan pernah menangis!”
Sambungan terputus, hanya kalimat itu sudah membuat Pelangi gemetar sebab tangis yang kian pecah. Kondisinya saat ini begitu kacau, darah bekas pukulan Gara membekas di bagian depan seragamnya. Pelangi sudah seperti seorang yang hendak dimutilasi saja. Pelangi berjanji akan membuang seragam ini, ia benci jika mengingat betapa lemahnya dirinya.
Brak!
Pintu di dobrak dari luar hingga terlepas. Pelangi dapat melihat Raka berdiri di sana dengan pandangan datar dan penuh dendam, sedangkan Raka langsung menangis dan berlari penuh cemas menghampiri Pelangi. Pelangi tidak mampu berdiri, ia hanya mampu menangis.
“Abang ...,” panggilnya dengan suara kecil nyaris tak terdengar. Kedua tangannya terangkat, ingin sekali mendapat dekapan kedua kakaknya. “Sakit sekali.” Tidak ada kata selain sakit yang Pelangi rasakan.
Raka berjalan ke arahnya, sedangkan Saka sudah mendekapnya amat erat sekarang. Lalu, sentuhan Raka terasa di tubuh Pelangi. Pelangi semakin menangis dalam pelukan dua abangnya, rasa aman mulai menyelimutinya.
Tidak ada yang bersuara, hanya ada isak tangis menyakitkan dari Pelangi. Ia hanya ingin berada di sisi Raka dan Saka selalu, di sana Pelangi akan selalu aman. Ia tidak ada terluka seperti ini, ia tidak akan berdiam di toilet berjam-jam sendirian seperti ini.
“Jangan nangis,” pinta Saka dengan suara tersengal. “Kita pulang, ya? Bow mau ayam, kan? Ayo, kita pulang,” ajak Saka dengan suara yang semakin susah. Dia menangis. Merasa gagal menjadi kakak karena membiarkan adiknya terluka separah ini, bahkan sendirian di toilet yang sepi.
“Bow jahat ya, Bang?” Pelangi menarik nafas panjang-panjang, mengurangi rasa sesak agar ia bisa berbicara. “Bow salah apa, Bang? Kenapa Bow di tonjok?” kembali ia meraung kencang. Teringat semua kesakitan itu, namun kebohongan Raka sudah tidak semenyakitkan ini. Nyatanya, hanya bersama dengan Raka dan Saka, Pelangi merasa aman.
Walau tadi, Pelangi amat marah pada Raka karena berbohong padanya kemarin, ternyata alasan laki-laki itu marah padanya adalah karena Gara, bukan karena urusan kantor. Tapi sekarang, Pelangi tidak peduli kebohongan itu lagi, karena dirinya pun berbohong.
“Mereka yang jahat, Bow. Jadi jangan nangis gini, jangan nangis gue bilang,” pinta Saka.
Raka tidak sama sekali bersuara. Merasakan debar jantung adiknya yang menggila dan tubuhnya yang gemetar ketakutan. Raka marah, namun ia menahannya di depan Pelangi. Melihat pipi itu terluka dan lebam, sudah cukup meyakinkan Raka bahwa membunuh bukanlah masalah besar.
“Kita pulang, ya? Bow istirahat di rumah,” ajak Saka setelah melepas dekapannya—namun tidak dengan Raka.
Pelangi mengangguk lemah, kedua matanya terpejam tidak sanggup menatap wajah khawatir Saka. Tubuh Pelangi terangkat, Raka menggendongnya dan membawanya melewati koridor yang sepi.
“Bow hanya ingin istirahat, Bang. Jangan bangunin Bow ya, Bow capek banget,” ucap Pelangi saat tubuhnya di dudukkan di kursi belakang.
“Saka, bawa mobilnya,” perintah Raka mutlak. Ia mengambil duduk di belakang, menjadikan pahanya sebagai bantal untuk adiknya. Pelangi terlelap masih dengan tangis kesakitan, pipinya yang lebam membengkak dan urat-uratnya terlihat.
“Bawa pulang ke rumah, jangan ke RS,” pesan Raka dengan suara datar.
Saka langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, menyelip kendaraan di hadapannya agar segera sampai. “Tidur nyenyak, sayang. Jangan bikin jantung gue mau copot lagi,” bisiknya berharap Pelangi mampu mendengar suara bisikannya.
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments