Pelangi membuka matanya saat cahaya matahari mengenai matanya. Pelan ia buka mata, langit-langit kamar berbentuk awan menyapa penglihatannya lebih awal. Ini kamarnya, padahal semalam Pelangi ingat ia tertidur di balkon kamar Saka.
Pelangi mendapati tangannya di genggam, rasanya hangat. “Bang Raka?” beonya terkejut. Raka tertidur di kursi belajarnya tepat di samping ranjang, kepalanya tergeletak di sisi tubuh Pelangi. Sepertinya semalam Pelangi sudah membuat cemas kakaknya.
“Bow jadi merasa bersalah,” katanya dengan bibir mencebik. Pelangi berharap Saka tidak mendapat amukan Raka semalam.
Pelangi mengusap rambut Raka pelan, tidak tega melihat abangnya berbaring seperti ini. “Abang bangun. Tubuhnya nanti sakit,” bisik Pelangi dengan mata berkaca-kaca.
Tak lama setelahnya, Raka menggeliat dan mengangkat wajahnya. Raka menghela nafas singkat. “Kenapa nangis?” tanyanya dengan suara lembut.
Tangis Pelangi pecah, ia menangis hingga sesenggukan. Membalaskan dendam atas tangis tertahan sedari kemarin. “Maafin, Bow. Bow bikin kalian cemas, ya? Huaaa maafin Pelangi, Bang Raka ...”
“Iya, kamu bikin cemas satu rumah,” timpal Raka. “Bunda sampai ingin menelepon polisi,” tambahnya lagi hingga membuat tangis Pelangi kian meraung nyaring.
Pelangi tidak tahu bahwa akan seperti ini. Sampai-sampai membuat bunda cemas sekali. Padahal semalam Pelangi hanya ingin menyendiri hingga tenang, tapi sepertinya ia tertidur hingga tidak mendengar teriakan orang rumah. Entah bagaimana bisa mereka menemukan Pelangi, jika saja mereka tidak menemukannya, ia yakin akan tidur hingga pagi di luar.
Raka duduk di samping Pelangi, menarik adiknya dan memeluknya erat. “Nangis sampai puas. Kalau udah puas, bilang sama abang,” katanya sambil mengusap rambut Pelangi.
Pelangi semakin menangis, tanpa ragu ia keluarkan semua air matanya dalam dekapan kakaknya. Beberapa menit Pelangi menangis hingga ia merasa cukup. “Udah puas nangisnya,” aku Pelangi. Ia melepas dekapan Raka, ingusnya di elap oleh abangnya. “Maafin Bow ya, Bang Raka. Bow memang menyebalkan.” Ia menunduk.
“Abang yang minta maaf. Jangan hilang lagi.”
Pelangi mengangguk, ia kembali memeluk Raka. Ia sayang pria ini, membuat Raka cemas adalah ketakutannya. Mungkin saja bukan hanya bunda yang ingin menelepon polisi, tapi Raka juga. Pelangi terlalu mengenal kakaknya.
“Jangan marahin Bang Saka ya? Dia nggak salah, Bow yang seharusnya di marahin.”
“Sudah terlanjur,” sahut Raka ringan.
Sudah Pelangi duga. Saka tidak mungkin di biarkan lepas dari tangan abangnya satu ini. Kasihan Saka, Pelangi perlu meminta maaf padanya.
“Eh, Bow perlu sekolah. Haduh, hari udah terik banget sih!” pekik Pelangi saat menyadari bahwa waktu terus berjalan, hari juga semakin siang.
Belum sempat Pelangi bangkit, Raka sudah menahan tubuhnya. “Ingin sekolah di pukul sembilan pagi?” tanyanya dengan senyum miring.
Pelangi tercengang, buru-buru ia melihat jam dinding. Sial, ternyata memang sudah pukul sembilan kurang. Bagaimana bisa? “Kenapa nggak bangunin? Sayang banget, padahal hari ini ada acara ulang tahun temannya Bow,” desah Pelangi kecewa.
Raka menyentil kening Pelangi hingga membuat adiknya meringis. “Kamu yang di bangunin nggak bisa,” omelnya. “Ayo ke rumah sakit.”
“Hah?”
“Kamu dehidrasi, makanya nggak bisa di bangunin. Abang siapkan air panas, jangan mandi terlalu lama,” pesan Raka cukup panjang.
Bukan merasa kesal terlalu di omeli, Pelangi malah merasa senang. Senyumnya merekah lebar dan mata bulatnya kembali bersinar. “Jangan suka marahin Bow lagi ya, Bang Raka? Bow takut, rasanya Bow mau mati aja kalau Bang Raka udah naik darah kayak kemarin,” adunya memberitahu perasaan yang ia alami pada Raka.
“Abang nggak akan ngulangin lagi,” ucap Raka singkat, namun itu cukup membuat Pelangi senang.
“Bow lebih suka Bang Raka ngoceh daripada bicara dingin dan tajam kayak kemarin. Jauh lebih baik kalau Bang Raka nyuruh Bow lakuin ini itu dengan panjang daripada harus bicara singkat tapi seremin banget. Bow leb—“
“Iya sayang ... Bang Raka nggak akan ngulangin lagi,” potong Raka gemas. Adiknya mengomel, Raka tahu betapa takutnya adiknya semalam. “Maaf, ya? Jangan bikin cemas lagi,” pintanya sungguh-sungguh.
...🌈🌈🌈
...
Mereka benar-benar ke Rumah Sakit, bahkan Raka sudah menelepon Dokter Rara—dokter keluarga mereka untuk langsung melayani jika telah sampai di rumah sakit. Raka benci menunggu, ia ingin adiknya segera di periksa.
“Kenapa repot-repot ke rumah sakit sih, Bang? Bow nggak apa-apa, seger cantik manis gini kok,” kata Pelangi menego. Raka terlalu parno, padahal Pelangi tidak mengalami rasa sakit atau pusing sama sekali.
“Tubuh kamu dingin banget semalam.”
“Kayak Bang Raka dong?” kekeh Pelangi bercanda. “Kalau udah periksa, kita makan ayam, ya? Abang udah janji, jangan kayak tadi malam, Bow nungguin sampai sedih,” adunya dengan wajah pura-pura merajuk.
“Iya, kita pergi.”
Setelah itu, Pelangi tidak lagi berbicara. Namun, ia teringat akan Saka. “Bang Saka ke mana? Bow cariin nggak ketemu-ketemu di rumah. Kuliah pagikah?” tanya Pelangi penasaran. Saka jarang kuliah pagi, lebih sering kuliah siang dia bilang. Makanya heran saat mendapati kamar Saka kosong di jam sembilan.
“Iya, kuliah. Ada ujian,” jawab Raka singkat.
Pelangi mangut-mangut, percaya saja. Ia juga tidak berani menghubungi Saka, takut mengganggu ujiannya. Mungkin nanti, selepas pemeriksaan maka Pelangi akan menelepon Saka dan menanyakan sedang di mana.
“Bow boleh tanya lagi?”
Raka mengangguk sebagai jawaban.
“Boleh nggak?” tanya Pelangi lagi. Anggukan saja tidak berguna.
“Boleh.”
Pelangi tersenyum senang, ia sedikit mendekatkan tubuhnya dan memandang Raka dengan sorot serius. “Abang habis putus cinta ya?” tudingnya penasaran. “Atau, abang ketahuan selingkuh sama pacar abang? Atau, abang—“
“Kamu bicara apa, sih?” potong Raka dengan mata yang kali ini memandang Pelangi.
“Habisnya, kemarin Bang Raka unmood banget. Bow pikir abang sedang dalam masalah makanya lampiaskannya ke Bow. Nggak papa kok, lampiaskan aja. Bow nggak papa,” tutur Pelangi serius.
Raka tidak langsung menjawab pertanyaan adiknya, ia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil Rumah Sakit. “Ada masalah di kantor. Nggak usah di pikirkan. Ayo turun.” Raka melepaskan seatbelt Pelangi, kemudian keluar duluan.
“Masa, sih? Memangnya kenapa sama pekerjaan abang? Ada yang main curang? Sini, biar Bow sleding!” Pelangi menyingsing lengan bajunya, kedua tangannya terkepal ke depan.
Raka tertawa, gemas sekali dengan tingkah adik perempuannya. “Bukan apa-apa. Masalah orang dewasa, Dek,” tuturnya halus. Kemudian, Saka merangkul Pelangi untuk segera masuk ke dalam Rumah Sakit.
Di koridor, banyak yang memandang mereka berdua—atau lebih tepatnya pada Raka. Yang mengenal Raka akan menyapanya walau tidak di balas sama sekali, semuanya menghormati Raka padahal umurnya masih dua puluh empat tahun.
Raka dengan segudang keahlian, pebisnis muda sekaligus CEO perusahaan maju di Indonesia padahal baru satu tahun membangun perusahaan. Di Rumah Sakit ini, Raka di kenal sebagai penyumbang dana, semua orang bahkan mengenal Raka sebab sering masuk televisi.
“Abang keren bangettt!!” bisik Pelangi sambil memberikan dua jempol untuk abangnya. “Bow juga mau kayak Bang Raka, terkenal, kaya, dihormati, dicintai, disayangi, di kasihi, dan lain-lain. Bow ingin memperkerjakan orang-orang pandai dan bodoh sekaligus, biar Bow bisa belajar lebih dalam,” celotehnya sepanjang perjalanan.
Bahkan, Pelangi tidak pedulikan pandangan beberapa orang di dalam lift yang terlihat heran sebab ocehannya. Yang terpenting untuk Pelangi, ia sudah mengeluarkan semua keinginannya hari ini, siapa tahu saja malaikat lewat dan membalas amin.
...🍁🍁🍁
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments