Mawar Tak Harus Mekar Haruskah Aku Jadi Pelakor?!
Bahkan ketika langit runtuh pun akan selalu ada jalan keluarnya. Langit tak henti-hentinya memberikan kejutan untuk hati Belinda. Sapaan kilatnya menyilaukan jiwanya yang tengah bimbang entah ia sedang lelah berdoa atau ia sedang lelah mengeluh? Tiba – tiba petir menggelegar membuat hatinya bergemuruh.
“Ya Allah, tiada kemudahan kecuali apabila Engkau jadikan mudah. Engkaulah yang menjadikan kesulitan, tetapi jika Engkau kehendaki maka kesulitan itu akan menjadi mudah.” Sepenggal doa dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Hibban terus menggema di dalam hatinya. Hati yang mulai gelap segelap awan yang mendung menandakan hujan akan segera datang. Dan kesedihan terus menerus menghujani hatinya yang belum menemukan tanda-tanda pelangi yang mungkin akan muncul di kehidupan saat ini. Aku ingin bahagia. Bisik Belinda dalam hatinya.
Bahagia seperti dulu saat bunga-bunga bermekaran indah di hatinya menyambut datangnya cinta seorang pemuda impian dalam hidupnya. Cinta pemuda itu telah memenuhi ruang hatinya. Tak ada alasan untuk melelehkan air mata kesedihan. Sayangnya, sekarang hatinya kesulitan untuk menerima takdir yang mendadak menghampirinya. Bunga-bunga di hatinya layu di musim penghujan. Belinda kesulitan kehilangan aroma wangi cinta yang semerbak dalam kehidupan cintanya selama ini bersama pemuda itu. Belinda merasa tidak sanggup harus kehilangan pemuda itu yang mendadak lenyap dalam genggamannya.
Cinta yang datang seperti ombak yang menggulung mesra membasahi kedua mata kakinya. Kakinya kegirangan berjalan manja dalam lembutnya pasir pantai. Terhipnotis hamparan laut yang luas seluas mata memandang. Berdecak kagum dengan ombak yang terus menerus menggulung rendah bahkan tinggi setinggi cintanya pada pemuda itu. Namun kini Belinda takut tenggelam dalam kisah cinta yang pemuda itu berikan untuknya. Dan angin bertiup kencang mendorongnya untuk kembali menata hati. Hati yang berusaha memungut kepingan-kepingan kenangan cinta yang berserakan di tepi hatinya.
Hingga panggilan WhatsApp membuatnya tersadar dari lamunan sedihnya di pesisir pantai yang terlihat beberapa orang tua menyuruh anaknya untuk segera berhenti berenang di laut tersebut.
Belinda mengangkat HPnya agar tidak mengganggu kesendiriannya saat ini.
“Belinda, di mana kamu ?!” teriak sahabatnya tanpa mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum...” Belinda membalas teriakan sahabatnya dengan ucapan salam bernada lemah.
“Wa’alaikumussalam. Iya. Kamu ada dimana sekarang, Bel...?” Pertanyaan sahabat nya terdengar panik.
“Di Pantai...” Jawab Belinda singkat.
“ Kenjeran? “
“ Cilacap “
“ Apa?!!! ” spontan Lia, sahabat nya itu sangat terkejut. Kemudian melanjutkan perkataannya.
“ Kamu pulang kampung setelah mengirimkan aku pesan WhatsApp ......!!!! “ Lia berteriak kembali sekencang-kencangnya sampai telinga Belinda sakit mendengarnya. Belinda pun langsung teringat isi pesannya dalam keadaan masih putus asa. Belinda kehilangan kendali dalam mengendalikan emosinya.
“ Hei, Belinda. Jangan semena-mena terhadapku. Mentang-mentang aku sahabat mu tapi aku tetap Kepala Sekolah yang harus kau hormati. Jangan seenaknya mengatakan berhenti mengajar lewat pesan WhatsApp. Bukankah itu tidak sopan , Belinda. Segera kembali ke Surabaya. Sekarang juga!!!!”
“Tiket kereta habis....” Sahut Belinda tanpa merasa bersalah.
“ Murid-muridmu mencarimu, Ustadzah Belinda!”
Klik. Langsung saja Belinda mematikan HPnya. Belinda sedang tidak ingin dimarahi ataupun diceramahi. Untuk apa mencariku??? Aku sudah tak pantas untuk mengajar Al-Qur’an. Iya betul. Untuk apa mengajar kalau tidak bisa memisahkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Tidak profesional. Fisikku di kelas akan tetapi pikiranku melayang-layang di tempat lain. Entah dimana. Gumamnya dalam hati.
“ Faidzahummbissyahiroh. Hal ataaka hadiisul ghosiyah. Wujuhuyy yaumaidzin khoshyia’ah ... “
“ Loh ustadzah kok nyasar ke surat Al-Ghosiyah? Kita kan sedang muroja’ah surat An-Nazi’at???” Pertanyaan salah satu muridnya dan di iyakan oleh murid lainnya langsung menyadarkan kekeliruan Belinda dalam membaca surat An-Nazi’at.
“ Astaghfirullohal’adzim.... Maaf ya anak-anak. Baiklah sekarang kita ulangi lagi dari ayat 14 ya.”
“ Baik, Us. “
“ Faidzahummbissyahiroh. Hal ataaka hadiisu muusa. Idznaadahu robbuhu bil wadil muqodasyi thuwa.....”
Selanjutnya Belinda hanya terdiam. Belinda hanya mampu untuk menyimak bacaan anak-anak Kelas 2 sekolah dasar di sebuah sekolah Tahfidz di Surabaya dalam menyelesaikan muroja’ah surat An-Nazi’at tersebut. Hafalannya tiba-tiba berantakan. Sungguh sangat memalukan. Dan itu tidak hanya terjadi sekali. Kejadian serupa terjadi di hari-hari berikutnya sehingga Belinda kesulitan mengajarkan anak-anak dalam menghafalkan Al-Qur’an. Hafalan-hafalannya entah hilang kemana atau bersembunyi dimana? Belinda kesulitan menemukan memori hafalan Alqurannya itu. Ternyata hafalannya pun seperti istana pasir yang runtuh ketika disapu ombak yang datang tiba-tiba.
Senja yang semburat di langit petang mengantarkan jiwanya kembali di mana seharusnya Belinda bahagia saat itu.
Hari itu Belinda menjadi ratu di pantai ini. Belinda akan menikah dengan seorang pria yang sangat dia cintai. Di pesisir pantai yang terlihat indah dengan dekorasi pelaminan dari bermacam-macam bunga hidup. Tak ada satupun bunga plastik di sini. Karena hanya bunga hiduplah yang sanggup menebarkan aroma wangi nya sebuah pernikahan yang suci.
Satu per satu tamu undangan dari kerabat dekat dan sahabat dekat berdatangan untuk menyaksikan ijab kabul. Deburan ombak yang lembut menenangkan debaran hatinya yang berdegup kencang menantikan ikrar cinta dari sang calon suami. Namun sang penghulu belum juga hadir. Desiran angin membelai romantis tubuh rampingnya yang tidak ingin berjauhan dari Afnan. Sesekali mata mereka bertemu pandang dan membuat Belinda tertunduk malu mengamati butiran pasir yang tak basah karena tak disentuh ombak. Hari itu ombak di Pantai Widara Payung, Cilacap begitu tenang menyambut pernikahan Belinda dan Afnan.
Pernikahan di pesisir pantai memang jarang terjadi. Dan pernikahan mereka inilah yang mengawali di Pantai Cilacap tersebut. Pantai yang dihiasi oleh kafe – kafe di pesisirnya serasa berada di Bali. Begitulah para pengunjung menggambarkannya. Wajah-wajah bahagia menghiasi pernikahan mereka. Tak ada satupun tamu undangan yang tidak mengembangkan senyumannya. Tentu saja Belinda dan Afnan terus tersenyum dalam perasaan gugup yang membuat tangan Afnan terlihat gemetar dalam menggenggam mushaf Al-Qur’an.
“ Bagaimana, Mas Afnan, apakah sudah lancar hafalannya? “ tanya Belinda penuh kehati-hatian.
“ Alhamdulillah, Belinda. InsyaAllah saya siap memberimu mahar berupa surat Ar – Rohman tersebut. “ Ucapan Afnan sungguh menyejukkan hati Belinda yang selama ini kekeringan akan cinta.
Seperti lautan yang sedang pasang. Meskipun dipandang dari kejauhan mata terlihat sang laut mempertunjukkan warna birunya yang cerah seakan-akan membawa harapan cerah dalam gambaran masa depan mereka nanti. Secerah langit biru yang memayungi hari pernikahan mereka di pesisir pantai yang dalam pandangan dekat air lautnya terlihat hijau menyejukkan pikiran Belinda yang menari-nari lincah di atas pasir yang di depannya berdiri istana yang sangat indah.
Tak seindah pakaian yang dikenakan oleh kedua orang tua Belinda dan juga calon mertuanya. Kenapa baju pesta pernikahan ditanggalkan? Kenapa make up dari tim rias pengantin itu luntur? Kenapa hatiku berdebar aneh? Ada apa???
Belinda bertanya-tanya dalam rasa khawatir yang tiba-tiba merasuk ke hati.
“ Sebentar ya, Belinda. Aku ke sana dulu. Nanti aku kembali lagi. “ ucap Afnan terlihat panik.
“ Baik, Mas Afnan... “ jawab Belinda tak kalah paniknya.
Dengan langkah kebingungan Afnan menghampiri kedua orang tuanya yang melambaikan amarah. Apa yang terjadi? Hingga Belinda pun bergegas berlari bahkan terjatuh karena tak sengaja menginjak gaun pengantinnya sendiri yang menyapu pasir untuk segera menghampiri Ibunya yang tiba-tiba jatuh pingsan dalam perjalanan menghampiri Belinda.
Ayah Belinda menghela nafas panjangnya berkali-kali. Dan berkali-kali melampiaskan amarahnya memukul-mukul pasir pantai yang tak salah apa-apa.
“ Kalau memang tidak bisa menerima dirimu adalah anak Ayah maka lebih baik pernikahanmu dengan Nak Afnan dibatalkan saja, Belinda! “
Ucapan Ayah Belinda bak petir di siang hari yang tidak mendung. Bahkan di sana seakan-akan terlihat kabut gelap menyelimuti percakapan Afnan dan orang tuanya. Sebenarnya ada apa? Tamu undangan berhamburan meninggalkan pantai bersamaan dengan langkah penuh rumor. Rumor yang berjalan tertiup angin , menembus dingin pori-pori kehidupan Belinda dan Afnan. Seperti ada dinding yang menyekat diantara keluarga Belinda dan keluarga Afnan. Hidupku akan seperti apa nanti? Bagaimana aku akan menjalaninya? Belinda kebingungan dalam hatinya.
Tinggallah Belinda dan Afnan berdua saja. Di pantai yang menjadi saksi terseretnya kisah pernikahan mereka yang luluh lantak bak diterjang tsunami. Belinda terdiam menelusuri puing-puing kisah yang menyakitkan. Tangisannya yang tak henti-hentinya meleleh diusap oleh kata-kata maaf Afnan.
“ Maafkanlah aku, Belinda. Aku sungguh minta maaf padamu atas ketidakberdayaanku ini.... Maaf.... “ ucapan permintaan maaf Afnan sungguh terasa ketulusan hatinya. Kehendak orang tua apakah sama dengan kehendak Allah SWT??? Takdir kah??? Jika benar maka sekuat apapun untuk melawannya, takdir akan selalu menang. Apakah Afnan akan menyerah untuk memperjuangkan cintanya pada Belinda?
“ Kau bilang padaku bahwa kau dan keluargamu bisa menerimaku yang berasal dari orang tua yang tidak harmonis bahkan tidak sholat....., “ ucapan Belinda terasa menyalahkan Afnan.
“ Iya, aku menerima dirimu dan keluargamu apa adanya, Belinda. Tapi aku minta maaf karena aku tidak menyampaikan semua cerita tentang Ayahmu yang selingkuh kepada Ayahku dan Ibuku. Karena aku pikir itu bukan masalah yang besar. “ Afnan terasa menyesalinya.
“ Seandainya kau menceritakan semuanya, mungkin aku tidak akan sesakit dan semalu ini, Mas. Undangan pernikahan yang sudah tersebar menyebarkan berita yang menyesakkan hidupku untuk melangkah di masa depan. “
“ Maaf , Belinda . Aku juga terluka.... “ ucap Afnan terbata-bata menahan air matanya agar tidak tumpah membasahi lautan.
Sehari berlalu. Seminggu kemudian. Sebulan terlewati begitu lama. Terasa seperti tahun. Dan setelah tiga bulan lamanya menunggu dalam ketidakpastian akhirnya Belinda mendengar kabar yang mengejutkan jantungnya. Membuat kondisi hatinya bertambah buruk. Ya. Beredar kabar bahwa Afnan telah menikah dengan putri seorang kyai pengasuh pondok pesantren.
Apakah aku salah karena terlahir dari orang tua yang tidak menjalankan shalat? Meskipun aku berusaha untuk menjadi Hamba yang Taat , masih tak pantaskah diriku mencintai pemuda yang berasal dari keluarga yang agamis??? Tak pantaskah aku memiliki pemuda yang berasal dari keluarga harmonis??? Begitu burukkah diriku karena memiliki seorang Ayah yang suka berselingkuh??? Keluh Belinda dalam buku hariannya.
Ya. Belinda berasal dari bibit yang buruk. Belinda memiliki garis keturunan yang dinilai sangat buruk oleh calon mertuanya. Terlihat sepele namun menjadi topik yang sangat serius dalam pembicaraan orang tua yang mengedepankan bibit,bobot dan bebet dalam mencari pasangan hidup untuk anaknya. Mungkin dari segi bebet Belinda termasuk dalam keluarga yang terpandang karena kedua orangtuanya adalah pegawai negeri. Untuk urusan bobot, mungkin karena Belinda adalah Guru Tahfidz sehingga dijadikan pertimbangan untuk diterima. Tapi sayangnya, secara bibit Belinda tidak memenuhi syarat.
Benar. Orang tua Afnan bersedia menerimanya yang memiliki Ayah tidak shalat tapi tidak bisa menerimanya karena Ayahnya selingkuh. Ayahnya muslim tapi tidak mau shalat dan marah jika disebut kafir.
Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi, Nabi bersabda bahwa “..... barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir.” Iya sebutan kafir adalah untuk yang non muslim saja , begitulah Ayah Belinda berpendapat. Karena Ayahnya hanya shalat di dua hari raya saja yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Akan tetapi keluarga Afnan menyanggupi untuk perlahan membimbing Ayahnya Belinda agar mau melaksanakan sholat sebagaimana kewajiban seorang muslim dengan mengajak Ayah Belinda untuk sering mengunjungi Pondok Pesantren agar mengenal lingkungan masjid dan akhirnya hidayah dapat ditangkap oleh Pak Hadi, ayahnya Belinda tersebut.
Namun semuanya tinggallah cerita di masa lalu. Walaupun Belinda sangat ingin kembali ke masa lalu agar bisa mengubah kisah cintanya namun apa daya waktu hanya bisa berjalan ke depan. Hanya orang tak bersyukurlah yang menginginkan waktu untuk berjalan mundur. Seperti penyesalan penata rias pengantin Belinda yang suka membicarakan kehidupan orang lain . Saat merias calon mertua Belinda tanpa sengaja mulutnya bercerita panjang lebar tentang keluarga Belinda. Tentang Pak Hadi,ayahnya.
“ Maafkan aku, Mbak Belinda . Aku tidak bermaksud untuk membuat pernikahanmu batal dilaksanakan. Aku hanya mengatakan bahwa kamu sangat beruntung mendapatkan calon suami yang berasal dari keluarga yang taat agama. Kamu selama ini sangat menderita karena harus berhenti kuliah ketika Ayahmu selingkuh lagi. Kamu juga harus mendampingi ibumu yang berulang kali mencoba untuk bunuh diri. Namun setelah masa depresi itu tertolong justru Ibumu tetap memilih untuk bertahan demi kamu dan kedua adikmu , anak-anaknya.
Mbak Belinda, aku pikir kisah sedihmu yang berjuang untuk bertahan hingga akhirnya berhasil menjadi Guru Al-Qur’an akan membuat keluarga calon suamimu bangga dengan perjalananmu dalam menggapai hidayah dari Allah SWT. Karena dirimu yang sekarang adalah membuktikan bahwa menjadi anak yang sholih tidak harus dilahirkan dari orang tua yang sholih. Ternyata aku keliru. Sekali lagi aku minta maaf , Mbak Belinda. Aku sungguh menyesali perbuatanku waktu itu. “ , ungkapan penyesalan dari Mbak Sinta, perias pengantin Belinda waktu itu melalui sebuah pesan WhatsApp karena tidak berani menyampaikan permohonan maafnya secara tatap muka.
Belinda sangat kesal membacanya tapi belum juga dihapus dari riwayat chatnya tersebut. Sebenarnya Mbak Sinta tidak salah karena yang dipermasalahkan oleh calon mertua Belinda adalah faktor bibit yaitu tentang Belinda yang berasal dari keturunan orang yang berselingkuh.
Meskipun Ayahnya salah tetapi Belinda tetap merasa sakit hati ketika ada orang yang menghinanya. Katakanlah orang tuanya penjahat sekalipun , Belinda tak rela orang lain menghakiminya, cukup dirinya saja yang menghukum Ayahnya.
Selingkuh adalah suatu kejahatan yang melukai hati pasangan seumur hidupnya bahkan menimbulkan luka bathin di hati anak-anak yang menghadapi ketidakharmonisan kedua orang tuanya tersebut. Selingkuh adalah penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Itulah keyakinan calon mertua Belinda. Mereka tidak mau menerima Belinda karena khawatir di masa depan Belinda akan melakukan tindakan kotor tersebut di saat mengalami masalah rumah tangga yang datang menerpa dimana Belinda tidak bisa menemukan jalan keluar yang baik selain berselingkuh. Belinda adalah anak yang mengalami broken home.
Jiwanya labil tidak stabil seperti anak-anak yang memiliki orang tua harmonis. Jelas berbeda. Mungkin terburuknya adalah Belinda akan berakhir seperti artis yang mengalami gangguan jiwa sehingga rumah tangganya berantakan akibat tidak bisa mengolah luka bathinnya. Dan harus menjalani perawatan oleh psikiater. Sehingga korban terparahnya adalah sang anak yang kalut menghadapi kelamnya rumah tangga orang tuanya. Seperti itulah terjadi turun – menurun seperti cerita yang menjamur di masyarakat. Tidak ada pelaku selingkuh yang khilaf. Akan ada selingkuh kedua, selingkuh ketiga dan seterusnya sampai harta habis atau bahkan nyawa di kerongkongan.
Belinda pikir dirinya berhak mendapatkan harta karun. Pemuda penghafal Al-Qur’an dan mertua yang paham agama adalah seperti mendapatkan undian utama dalam hidupnya yang haus akan pemahaman agama dan kelaparan kasih sayang.
Belinda baru sadar bahwa dirinya bukanlah emas apalagi berlian. Dirinya hanyalah lumpur kotor yang bisa membuat perjalanan hidup pasangannya dan keluarganya menghitam seperti batu Hajar Aswad yang kini menghitam akibat dosa-dosa manusia yang menyentuhnya. Maka dari itu pantaslah jika Belinda merasa dibuang begitu saja.
Tapi kemana? Belinda kebingungan mencari tempat untuk merenungkan diri agar bisa berpikir dengan jernih dan tidak mengambil keputusan di saat emosinya masih memuncak di hati. Belinda kembali masuk ke dalam lingkaran putus asa yang sekali lagi menjerat jiwanya.
“ Allahu Akbar... Allahu Akbar... “ kumandang adzan maghrib mengembalikan lamunannya untuk sadar bahwa peristiwa yang dia alami saat ini adalah ujian. Ujian bernama cinta manusia . Cinta yang dipertemukan di sebuah masjid ketika dirinya mengikuti Tashih yaitu ujian membaca Al-Qur’an sebagai standarisasi guru Al-Qur’an. Belinda jatuh cinta pada pandangan pertama kepada pengujinya tersebut.
Jantungnya berdegup kencang saat melantunkan ayat suci Alquran dengan lantang membuat semua peserta ujian di halaman masjid takjub dengan suaranya yang tartil. Hatinya berdebar saat bacaannya di simak oleh sang penguji yaitu Ustadz Afnan. Mungkin itulah sinyal cinta yang Belinda rasakan saat pertemuan indah itu. Takdir membuatnya menjadi Guru Al-Qur’an di Rumah Tahfidz yang didirikan oleh Afnan. Bahkan Belinda juga diberi kesempatan untuk mengajar Tahfidz di Pondok Pesantren yang didirikan oleh Ayahnya Afnan. Belinda mengajar kelas pesantren kilat setiap Sabtu dan Ahad sebagai persiapan anak-anak kelas 5 dan kelas 6 sekolah dasar yang akan melanjutkan sekolah SMP nya di Pondok Pesantren.
“Haruskah aku ke masjid? Seperti dulu saat aku kehilangan arah tujuan hidup?” Tanya Belinda pada ombak yang mulai surut. Belinda kesulitan menerima kenyataan jika Ayahnya selingkuh yang menyebabkan Ibunya depresi berat. Saat itu Belinda terdampar dari masjid ke masjid , berusaha untuk menata hati karena hidayah memang harus dicari dan diperjuangkan. Hingga akhirnya pencerahan pun datang menyinari jiwanya.
Jiwanya yang tiba-tiba surut seperti surutnya air laut di sore hari. Menunggu terbenamnya matahari sebagai pemandangan terindah di pantai menjelang maghrib. Tak seindah imannya saat ini yang seakan – akan ikut terbenam dan rela tenggelam ke dasar lautan. Lautan yang semakin tenang membawa ombaknya menghibur para pengunjung kafe pesisir pantai. Hatinya semakin gelisah karena ia belum melaksanakan sholat maghrib. Langkahnya entah kenapa terasa berat untuk menuju masjid.
Iqamah terdengar sayup-sayup terhalang oleh angin malam yang mulai menghembus dingin. Dinginnya angin pantai dengan suasananya yang tak menentu entah akan turun hujan atau tidak justru meramaikan suasana kafe di pesisir Pantai Widara Payung. Teal and Yellow Cafe yang sejak di buka setahun yang lalu selalu dipenuhi pengunjung mulai jam 5 sore hingga jam 9 malam. Baik oleh anak-anak muda maupun yang sudah berkeluarga membawa serta anak- anak mereka untuk menikmati serunya bermain air di lautan dan menikmati nikmatnya hidangan menu kafe yang terasa seperti di Bali. Begitulah orang-orang menyebarkan informasi wisata kafe di pesisir pantai tersebut.
Hanya Belinda yang sendirian di tepi pantai, jauh dari keramaian kafe. Sudah tidak ada anak-anak yang asyik berenang di lautan. Para orang tua yang mendampingi anak-anak mereka bermain pasir pun telah berpindah tempat. Sebagian mampir ke kafe. Sebagian lainnya memutuskan untuk pulang sejak langit mulai memberikan sinyal hujannya dengan iringan petir yang kilatan cahayanya menakutkan siapa pun yang mendengarnya.
Lampu hias kafe yang terang benderang tidak sanggup menerangi sisi hati Belinda yang mulai redup. Belinda kehilangan arah lagi seperti tersesat dalam perjalanan sinetron yang tak kunjung tamat. “Sekarang aku harus ke mana? Ke masjid lagi seperti dulu? Ingin melarikan diri lagi tapi tak kunjung menemukan tempat untuk singgah yang nyaman”, keluhnya lagi.
Setetes air terasa dingin mendarat di hidungnya yang tak semancung artis Bollywood. Rupanya sang langit mulai meneteskan air hujannya. Menurunkan dengan rintik-rintik yang mulai membasahi kerudungnya yang menari-nari di sapa sang angin. Sebelum turun dengan deras , Belinda harus mencari tempat untuk berteduh. Namun lagi-lagi langkahnya terasa berat untuk pergi dari pantai yang dipenuhi kenangan ini.
Kenangan cinta yang singgah dihatinya sebagai ujian. Ujian untuk mengenal dan merasakan hangatnya sebuah cinta. Cinta dari manusia yang mencintai karena Allah SWT. Cinta yang tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah SWT yang Maha membolak – balikkan hati.
“Ya Allah... tetapkanlah hatiku pada agama-Mu, saat ini hatiku sedang sangat kacau. Hatiku ingin marah, kenapa aku harus kehilangan kekasihku yang sangat aku cintai itu? Aku sangat ingin menjadi pasangan hidupnya. Apakah cinta manusia itu hanya hadir untuk mengajarkan sebuah perasaan ikhlas dihatiku? Lalu, bagaimana caranya agar hatiku mampu ikhlas untuk kehilangan cinta yang sangat ingin aku miliki?”
Belinda kembali mencurahkan keluhannya kepada Sang Pencipta.
Belinda mencoba untuk tetap berdzikir di saat kegalauan hati tak kunjung pergi.
“ Laa Illa ha Illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin...” sekuat tenaga ia berdzikir meski terasa sangat menyesakkan dadanya.
Dada Belinda yang terus menarik nafas panjangnya agar tetap mampu mengucapkan doa Nabi Yunus ketika berada di dalam gelapnya ikan paus tersebut. Nabi Yunus yang marah karena umatnya tidak mau menyembah Allah SWT sehingga Nabi Yunus putus asa dalam dakwahnya dan melarikan diri ke laut. Sehingga Allah SWT pun menegurnya dengan ditelan oleh ikan paus.
Bahkan seorang Nabi yang tidak sabar saat berdakwah itu mendapatkan teguran dari Allah SWT? Lantas , bagaimana dengan Belinda yang hanya manusia biasa penuh coretan dosa? Belinda marah karena Allah SWT tidak menjodohkan dirinya dengan laki-laki yang ia sebut namanya dalam doa di setiap malam tahajudnya. Belinda bahkan melarikan diri dari tugasnya mengajar Al-Qur’an di Sekolah , di Rumah Tahfidz bahkan di pondok pesantren? Sebenarnya Belinda tidak ingin mendapatkan teguran dari Allah SWT. “Ya Allah berikanlah jalan keluar untukku? “ Belinda tetap memohon pertolongan Allah dalam doa dihatinya.
Tak disadari hujan mulai terasa deras mengguyur tubuhnya. Belinda ingin menemukan jalan keluar namun ia tidak mau bergerak. Ia terdiam dalam basah kuyup. Ia mulai menggigil kedinginan. Tapi malu untuk berteduh. Bahkan dirinya juga tidak menyadari ada langkah yang tergesa-gesa menghampiri dari arah belakang.Tiba-tiba saja sebuah payung menghentikan hujan yang sedari tadi mengguyur tubuh rampingnya. Sebuah payung pink fucshia yang menyala di tengah hujan mengagetkan hatinya yang sedang mencari jawaban dari doa yang dipanjatkan.
Perlahan Belinda mencoba untuk membalikkan badannya. Hatinya entah kenapa berdebar berirama indah melihat sosok pria berkemeja koko biru turquoise, berpeci rajut biru tosca dan melemparkan sebuah senyuman khasnya yang sangat cerah mengembang di wajahnya kepada Belinda di bawah hujan yang tak menembus payung biru elektrik yang digunakannya. Kenapa selalu pria ini yang datang di saat kesedihan melanda hidup Belinda?
Kenapa bukan Afnan yang Belinda harapkan datang menjemputnya dan mengatakan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan kembali? Entah sampai kapan pria yang sekarang berdiri tepat di depan Belinda ini mengejar hatinya? Tak pernah lelah berada di samping Belinda di masa-masa sulitnya sejak menyatakan cintanya kepada Belinda ketika masih duduk di bangku SMA. Kakak kelas yang terasa seperti manajer artis saat Belinda masih di masa-masa jahiliyahnya menjadi penyanyi dengan rok mini sambil menari lincah tarian Bollywood yang menghipnotis semua penonton saat acara perpisahan sekolah dan acara panggung kemerdekaan dari kampung ke kampung.
Belinda diperlakukan istimewa bak artis sejuta umat. Sungguh Belinda sangat malu saat mengingatnya. Belinda menolaknya karena menurutnya dia tidak setampan pria yang dikejar-kejar banyak wanita. Meskipun dia sangat setia mengikuti perjalanan hidupnya , ikut memperbaiki dirinya ketika Belinda mulai belajar mengenakan hijab. Namun berbeda dengan hari ini. Hari ini entah mengapa dia terlihat begitu tampan dan begitu bersinar menyinari hati Belinda yang tidak ingin menjadi gelap.
“ Maukah kau menjadi guru privat mengajiku, Ustadzah Belinda? , “ ucap Felix yang selalu menggoda Belinda dengan pertanyaan yang sama. Sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban namun sanggup menghentikan hujan di hati Belinda. Belinda hanya tersenyum sambil menerima payung yang diberikan pria itu untuknya. Sebuah payung yang membuat hatinya tiba-tiba bersemangat untuk ikhlas. Sebuah payung yang mengantarkan Belinda pada sosok yang mungkin di kirim oleh Allah SWT sebagai pengganti. Benarkah?
“ Iya. Aku ke sini untuk mengingatkanmu untuk segera sholat maghrib, Belinda?” ucap Felix seperti orang yang mampu membaca pikirannya Belinda saja.
Astaghfirullahhal’adzim, Belinda!!!
Masa iya shalat maghrib nya ditinggalkan gara-gara ditinggalkan kekasih menikah dengan jodohnya! Oh, Belinda. Sungguh kau tidak pantas menjadi seorang ustadzah yang setiap hari mengajarkan doa sholat ke murid-muridnya. Padahal sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2, Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan , “ Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Maka mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. Itulah petunjuk dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 153 ketika Allah SWT menguji keimananmu. Butiran-butiran hujan yang deras menghantam payung yang memayungi Belinda seakan-akan berbisik dihatinya untuk menyadarkan pikirannya agar berprasangka baik kepada Allah SWT.
Belinda pun segera berlari dengan payung yang meneduhkan imannya dan memberikan harapan untuk masa depan. Mungkin masa depannya akan bersama dengan seseorang yang masih kuat berjuang untuk berhasil mendapatkan cintanya? Pria yang turut berlari menyusuri pesisir pantai bersamanya ini menuju masjid terdekat. “Mas Felix. Bolehkah aku bahagia, Ya Allah???” Teriak Belinda dalam hatinya bersamaan dengan hujan yang tak kunjung reda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments