Bahkan ketika langit runtuh pun akan selalu ada jalan keluarnya. Langit tak henti-hentinya memberikan kejutan untuk hati Belinda. Sapaan kilatnya menyilaukan jiwanya yang tengah bimbang entah ia sedang lelah berdoa atau ia sedang lelah mengeluh? Tiba – tiba petir menggelegar membuat hatinya bergemuruh.
“Ya Allah, tiada kemudahan kecuali apabila Engkau jadikan mudah. Engkaulah yang menjadikan kesulitan, tetapi jika Engkau kehendaki maka kesulitan itu akan menjadi mudah.” Sepenggal doa dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Hibban terus menggema di dalam hatinya. Hati yang mulai gelap segelap awan yang mendung menandakan hujan akan segera datang. Dan kesedihan terus menerus menghujani hatinya yang belum menemukan tanda-tanda pelangi yang mungkin akan muncul di kehidupan saat ini. Aku ingin bahagia. Bisik Belinda dalam hatinya.
Bahagia seperti dulu saat bunga-bunga bermekaran indah di hatinya menyambut datangnya cinta seorang pemuda impian dalam hidupnya. Cinta pemuda itu telah memenuhi ruang hatinya. Tak ada alasan untuk melelehkan air mata kesedihan. Sayangnya, sekarang hatinya kesulitan untuk menerima takdir yang mendadak menghampirinya. Bunga-bunga di hatinya layu di musim penghujan. Belinda kesulitan kehilangan aroma wangi cinta yang semerbak dalam kehidupan cintanya selama ini bersama pemuda itu. Belinda merasa tidak sanggup harus kehilangan pemuda itu yang mendadak lenyap dalam genggamannya.
Cinta yang datang seperti ombak yang menggulung mesra membasahi kedua mata kakinya. Kakinya kegirangan berjalan manja dalam lembutnya pasir pantai. Terhipnotis hamparan laut yang luas seluas mata memandang. Berdecak kagum dengan ombak yang terus menerus menggulung rendah bahkan tinggi setinggi cintanya pada pemuda itu. Namun kini Belinda takut tenggelam dalam kisah cinta yang pemuda itu berikan untuknya. Dan angin bertiup kencang mendorongnya untuk kembali menata hati. Hati yang berusaha memungut kepingan-kepingan kenangan cinta yang berserakan di tepi hatinya.
Hingga panggilan WhatsApp membuatnya tersadar dari lamunan sedihnya di pesisir pantai yang terlihat beberapa orang tua menyuruh anaknya untuk segera berhenti berenang di laut tersebut.
Belinda mengangkat HPnya agar tidak mengganggu kesendiriannya saat ini.
“Belinda, di mana kamu ?!” teriak sahabatnya tanpa mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum...” Belinda membalas teriakan sahabatnya dengan ucapan salam bernada lemah.
“Wa’alaikumussalam. Iya. Kamu ada dimana sekarang, Bel...?” Pertanyaan sahabat nya terdengar panik.
“Di Pantai...” Jawab Belinda singkat.
“ Kenjeran? “
“ Cilacap “
“ Apa?!!! ” spontan Lia, sahabat nya itu sangat terkejut. Kemudian melanjutkan perkataannya.
“ Kamu pulang kampung setelah mengirimkan aku pesan WhatsApp ......!!!! “ Lia berteriak kembali sekencang-kencangnya sampai telinga Belinda sakit mendengarnya. Belinda pun langsung teringat isi pesannya dalam keadaan masih putus asa. Belinda kehilangan kendali dalam mengendalikan emosinya.
“ Hei, Belinda. Jangan semena-mena terhadapku. Mentang-mentang aku sahabat mu tapi aku tetap Kepala Sekolah yang harus kau hormati. Jangan seenaknya mengatakan berhenti mengajar lewat pesan WhatsApp. Bukankah itu tidak sopan , Belinda. Segera kembali ke Surabaya. Sekarang juga!!!!”
“Tiket kereta habis....” Sahut Belinda tanpa merasa bersalah.
“ Murid-muridmu mencarimu, Ustadzah Belinda!”
Klik. Langsung saja Belinda mematikan HPnya. Belinda sedang tidak ingin dimarahi ataupun diceramahi. Untuk apa mencariku??? Aku sudah tak pantas untuk mengajar Al-Qur’an. Iya betul. Untuk apa mengajar kalau tidak bisa memisahkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Tidak profesional. Fisikku di kelas akan tetapi pikiranku melayang-layang di tempat lain. Entah dimana. Gumamnya dalam hati.
“ Faidzahummbissyahiroh. Hal ataaka hadiisul ghosiyah. Wujuhuyy yaumaidzin khoshyia’ah ... “
“ Loh ustadzah kok nyasar ke surat Al-Ghosiyah? Kita kan sedang muroja’ah surat An-Nazi’at???” Pertanyaan salah satu muridnya dan di iyakan oleh murid lainnya langsung menyadarkan kekeliruan Belinda dalam membaca surat An-Nazi’at.
“ Astaghfirullohal’adzim.... Maaf ya anak-anak. Baiklah sekarang kita ulangi lagi dari ayat 14 ya.”
“ Baik, Us. “
“ Faidzahummbissyahiroh. Hal ataaka hadiisu muusa. Idznaadahu robbuhu bil wadil muqodasyi thuwa.....”
Selanjutnya Belinda hanya terdiam. Belinda hanya mampu untuk menyimak bacaan anak-anak Kelas 2 sekolah dasar di sebuah sekolah Tahfidz di Surabaya dalam menyelesaikan muroja’ah surat An-Nazi’at tersebut. Hafalannya tiba-tiba berantakan. Sungguh sangat memalukan. Dan itu tidak hanya terjadi sekali. Kejadian serupa terjadi di hari-hari berikutnya sehingga Belinda kesulitan mengajarkan anak-anak dalam menghafalkan Al-Qur’an. Hafalan-hafalannya entah hilang kemana atau bersembunyi dimana? Belinda kesulitan menemukan memori hafalan Alqurannya itu. Ternyata hafalannya pun seperti istana pasir yang runtuh ketika disapu ombak yang datang tiba-tiba.
Senja yang semburat di langit petang mengantarkan jiwanya kembali di mana seharusnya Belinda bahagia saat itu.
Hari itu Belinda menjadi ratu di pantai ini. Belinda akan menikah dengan seorang pria yang sangat dia cintai. Di pesisir pantai yang terlihat indah dengan dekorasi pelaminan dari bermacam-macam bunga hidup. Tak ada satupun bunga plastik di sini. Karena hanya bunga hiduplah yang sanggup menebarkan aroma wangi nya sebuah pernikahan yang suci.
Satu per satu tamu undangan dari kerabat dekat dan sahabat dekat berdatangan untuk menyaksikan ijab kabul. Deburan ombak yang lembut menenangkan debaran hatinya yang berdegup kencang menantikan ikrar cinta dari sang calon suami. Namun sang penghulu belum juga hadir. Desiran angin membelai romantis tubuh rampingnya yang tidak ingin berjauhan dari Afnan. Sesekali mata mereka bertemu pandang dan membuat Belinda tertunduk malu mengamati butiran pasir yang tak basah karena tak disentuh ombak. Hari itu ombak di Pantai Widara Payung, Cilacap begitu tenang menyambut pernikahan Belinda dan Afnan.
Pernikahan di pesisir pantai memang jarang terjadi. Dan pernikahan mereka inilah yang mengawali di Pantai Cilacap tersebut. Pantai yang dihiasi oleh kafe – kafe di pesisirnya serasa berada di Bali. Begitulah para pengunjung menggambarkannya. Wajah-wajah bahagia menghiasi pernikahan mereka. Tak ada satupun tamu undangan yang tidak mengembangkan senyumannya. Tentu saja Belinda dan Afnan terus tersenyum dalam perasaan gugup yang membuat tangan Afnan terlihat gemetar dalam menggenggam mushaf Al-Qur’an.
“ Bagaimana, Mas Afnan, apakah sudah lancar hafalannya? “ tanya Belinda penuh kehati-hatian.
“ Alhamdulillah, Belinda. InsyaAllah saya siap memberimu mahar berupa surat Ar – Rohman tersebut. “ Ucapan Afnan sungguh menyejukkan hati Belinda yang selama ini kekeringan akan cinta.
Seperti lautan yang sedang pasang. Meskipun dipandang dari kejauhan mata terlihat sang laut mempertunjukkan warna birunya yang cerah seakan-akan membawa harapan cerah dalam gambaran masa depan mereka nanti. Secerah langit biru yang memayungi hari pernikahan mereka di pesisir pantai yang dalam pandangan dekat air lautnya terlihat hijau menyejukkan pikiran Belinda yang menari-nari lincah di atas pasir yang di depannya berdiri istana yang sangat indah.
Tak seindah pakaian yang dikenakan oleh kedua orang tua Belinda dan juga calon mertuanya. Kenapa baju pesta pernikahan ditanggalkan? Kenapa make up dari tim rias pengantin itu luntur? Kenapa hatiku berdebar aneh? Ada apa???
Belinda bertanya-tanya dalam rasa khawatir yang tiba-tiba merasuk ke hati.
“ Sebentar ya, Belinda. Aku ke sana dulu. Nanti aku kembali lagi. “ ucap Afnan terlihat panik.
“ Baik, Mas Afnan... “ jawab Belinda tak kalah paniknya.
Dengan langkah kebingungan Afnan menghampiri kedua orang tuanya yang melambaikan amarah. Apa yang terjadi? Hingga Belinda pun bergegas berlari bahkan terjatuh karena tak sengaja menginjak gaun pengantinnya sendiri yang menyapu pasir untuk segera menghampiri Ibunya yang tiba-tiba jatuh pingsan dalam perjalanan menghampiri Belinda.
Ayah Belinda menghela nafas panjangnya berkali-kali. Dan berkali-kali melampiaskan amarahnya memukul-mukul pasir pantai yang tak salah apa-apa.
“ Kalau memang tidak bisa menerima dirimu adalah anak Ayah maka lebih baik pernikahanmu dengan Nak Afnan dibatalkan saja, Belinda! “
Ucapan Ayah Belinda bak petir di siang hari yang tidak mendung. Bahkan di sana seakan-akan terlihat kabut gelap menyelimuti percakapan Afnan dan orang tuanya. Sebenarnya ada apa? Tamu undangan berhamburan meninggalkan pantai bersamaan dengan langkah penuh rumor. Rumor yang berjalan tertiup angin , menembus dingin pori-pori kehidupan Belinda dan Afnan. Seperti ada dinding yang menyekat diantara keluarga Belinda dan keluarga Afnan. Hidupku akan seperti apa nanti? Bagaimana aku akan menjalaninya? Belinda kebingungan dalam hatinya.
Tinggallah Belinda dan Afnan berdua saja. Di pantai yang menjadi saksi terseretnya kisah pernikahan mereka yang luluh lantak bak diterjang tsunami. Belinda terdiam menelusuri puing-puing kisah yang menyakitkan. Tangisannya yang tak henti-hentinya meleleh diusap oleh kata-kata maaf Afnan.
“ Maafkanlah aku, Belinda. Aku sungguh minta maaf padamu atas ketidakberdayaanku ini.... Maaf.... “ ucapan permintaan maaf Afnan sungguh terasa ketulusan hatinya. Kehendak orang tua apakah sama dengan kehendak Allah SWT??? Takdir kah??? Jika benar maka sekuat apapun untuk melawannya, takdir akan selalu menang. Apakah Afnan akan menyerah untuk memperjuangkan cintanya pada Belinda?
“ Kau bilang padaku bahwa kau dan keluargamu bisa menerimaku yang berasal dari orang tua yang tidak harmonis bahkan tidak sholat....., “ ucapan Belinda terasa menyalahkan Afnan.
“ Iya, aku menerima dirimu dan keluargamu apa adanya, Belinda. Tapi aku minta maaf karena aku tidak menyampaikan semua cerita tentang Ayahmu yang selingkuh kepada Ayahku dan Ibuku. Karena aku pikir itu bukan masalah yang besar. “ Afnan terasa menyesalinya.
“ Seandainya kau menceritakan semuanya, mungkin aku tidak akan sesakit dan semalu ini, Mas. Undangan pernikahan yang sudah tersebar menyebarkan berita yang menyesakkan hidupku untuk melangkah di masa depan. “
“ Maaf , Belinda . Aku juga terluka.... “ ucap Afnan terbata-bata menahan air matanya agar tidak tumpah membasahi lautan.
Sehari berlalu. Seminggu kemudian. Sebulan terlewati begitu lama. Terasa seperti tahun. Dan setelah tiga bulan lamanya menunggu dalam ketidakpastian akhirnya Belinda mendengar kabar yang mengejutkan jantungnya. Membuat kondisi hatinya bertambah buruk. Ya. Beredar kabar bahwa Afnan telah menikah dengan putri seorang kyai pengasuh pondok pesantren.
Apakah aku salah karena terlahir dari orang tua yang tidak menjalankan shalat? Meskipun aku berusaha untuk menjadi Hamba yang Taat , masih tak pantaskah diriku mencintai pemuda yang berasal dari keluarga yang agamis??? Tak pantaskah aku memiliki pemuda yang berasal dari keluarga harmonis??? Begitu burukkah diriku karena memiliki seorang Ayah yang suka berselingkuh??? Keluh Belinda dalam buku hariannya.
Ya. Belinda berasal dari bibit yang buruk. Belinda memiliki garis keturunan yang dinilai sangat buruk oleh calon mertuanya. Terlihat sepele namun menjadi topik yang sangat serius dalam pembicaraan orang tua yang mengedepankan bibit,bobot dan bebet dalam mencari pasangan hidup untuk anaknya. Mungkin dari segi bebet Belinda termasuk dalam keluarga yang terpandang karena kedua orangtuanya adalah pegawai negeri. Untuk urusan bobot, mungkin karena Belinda adalah Guru Tahfidz sehingga dijadikan pertimbangan untuk diterima. Tapi sayangnya, secara bibit Belinda tidak memenuhi syarat.
Benar. Orang tua Afnan bersedia menerimanya yang memiliki Ayah tidak shalat tapi tidak bisa menerimanya karena Ayahnya selingkuh. Ayahnya muslim tapi tidak mau shalat dan marah jika disebut kafir.
Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi, Nabi bersabda bahwa “..... barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir.” Iya sebutan kafir adalah untuk yang non muslim saja , begitulah Ayah Belinda berpendapat. Karena Ayahnya hanya shalat di dua hari raya saja yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Akan tetapi keluarga Afnan menyanggupi untuk perlahan membimbing Ayahnya Belinda agar mau melaksanakan sholat sebagaimana kewajiban seorang muslim dengan mengajak Ayah Belinda untuk sering mengunjungi Pondok Pesantren agar mengenal lingkungan masjid dan akhirnya hidayah dapat ditangkap oleh Pak Hadi, ayahnya Belinda tersebut.
Namun semuanya tinggallah cerita di masa lalu. Walaupun Belinda sangat ingin kembali ke masa lalu agar bisa mengubah kisah cintanya namun apa daya waktu hanya bisa berjalan ke depan. Hanya orang tak bersyukurlah yang menginginkan waktu untuk berjalan mundur. Seperti penyesalan penata rias pengantin Belinda yang suka membicarakan kehidupan orang lain . Saat merias calon mertua Belinda tanpa sengaja mulutnya bercerita panjang lebar tentang keluarga Belinda. Tentang Pak Hadi,ayahnya.
“ Maafkan aku, Mbak Belinda . Aku tidak bermaksud untuk membuat pernikahanmu batal dilaksanakan. Aku hanya mengatakan bahwa kamu sangat beruntung mendapatkan calon suami yang berasal dari keluarga yang taat agama. Kamu selama ini sangat menderita karena harus berhenti kuliah ketika Ayahmu selingkuh lagi. Kamu juga harus mendampingi ibumu yang berulang kali mencoba untuk bunuh diri. Namun setelah masa depresi itu tertolong justru Ibumu tetap memilih untuk bertahan demi kamu dan kedua adikmu , anak-anaknya.
Mbak Belinda, aku pikir kisah sedihmu yang berjuang untuk bertahan hingga akhirnya berhasil menjadi Guru Al-Qur’an akan membuat keluarga calon suamimu bangga dengan perjalananmu dalam menggapai hidayah dari Allah SWT. Karena dirimu yang sekarang adalah membuktikan bahwa menjadi anak yang sholih tidak harus dilahirkan dari orang tua yang sholih. Ternyata aku keliru. Sekali lagi aku minta maaf , Mbak Belinda. Aku sungguh menyesali perbuatanku waktu itu. “ , ungkapan penyesalan dari Mbak Sinta, perias pengantin Belinda waktu itu melalui sebuah pesan WhatsApp karena tidak berani menyampaikan permohonan maafnya secara tatap muka.
Belinda sangat kesal membacanya tapi belum juga dihapus dari riwayat chatnya tersebut. Sebenarnya Mbak Sinta tidak salah karena yang dipermasalahkan oleh calon mertua Belinda adalah faktor bibit yaitu tentang Belinda yang berasal dari keturunan orang yang berselingkuh.
Meskipun Ayahnya salah tetapi Belinda tetap merasa sakit hati ketika ada orang yang menghinanya. Katakanlah orang tuanya penjahat sekalipun , Belinda tak rela orang lain menghakiminya, cukup dirinya saja yang menghukum Ayahnya.
Selingkuh adalah suatu kejahatan yang melukai hati pasangan seumur hidupnya bahkan menimbulkan luka bathin di hati anak-anak yang menghadapi ketidakharmonisan kedua orang tuanya tersebut. Selingkuh adalah penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Itulah keyakinan calon mertua Belinda. Mereka tidak mau menerima Belinda karena khawatir di masa depan Belinda akan melakukan tindakan kotor tersebut di saat mengalami masalah rumah tangga yang datang menerpa dimana Belinda tidak bisa menemukan jalan keluar yang baik selain berselingkuh. Belinda adalah anak yang mengalami broken home.
Jiwanya labil tidak stabil seperti anak-anak yang memiliki orang tua harmonis. Jelas berbeda. Mungkin terburuknya adalah Belinda akan berakhir seperti artis yang mengalami gangguan jiwa sehingga rumah tangganya berantakan akibat tidak bisa mengolah luka bathinnya. Dan harus menjalani perawatan oleh psikiater. Sehingga korban terparahnya adalah sang anak yang kalut menghadapi kelamnya rumah tangga orang tuanya. Seperti itulah terjadi turun – menurun seperti cerita yang menjamur di masyarakat. Tidak ada pelaku selingkuh yang khilaf. Akan ada selingkuh kedua, selingkuh ketiga dan seterusnya sampai harta habis atau bahkan nyawa di kerongkongan.
Belinda pikir dirinya berhak mendapatkan harta karun. Pemuda penghafal Al-Qur’an dan mertua yang paham agama adalah seperti mendapatkan undian utama dalam hidupnya yang haus akan pemahaman agama dan kelaparan kasih sayang.
Belinda baru sadar bahwa dirinya bukanlah emas apalagi berlian. Dirinya hanyalah lumpur kotor yang bisa membuat perjalanan hidup pasangannya dan keluarganya menghitam seperti batu Hajar Aswad yang kini menghitam akibat dosa-dosa manusia yang menyentuhnya. Maka dari itu pantaslah jika Belinda merasa dibuang begitu saja.
Tapi kemana? Belinda kebingungan mencari tempat untuk merenungkan diri agar bisa berpikir dengan jernih dan tidak mengambil keputusan di saat emosinya masih memuncak di hati. Belinda kembali masuk ke dalam lingkaran putus asa yang sekali lagi menjerat jiwanya.
“ Allahu Akbar... Allahu Akbar... “ kumandang adzan maghrib mengembalikan lamunannya untuk sadar bahwa peristiwa yang dia alami saat ini adalah ujian. Ujian bernama cinta manusia . Cinta yang dipertemukan di sebuah masjid ketika dirinya mengikuti Tashih yaitu ujian membaca Al-Qur’an sebagai standarisasi guru Al-Qur’an. Belinda jatuh cinta pada pandangan pertama kepada pengujinya tersebut.
Jantungnya berdegup kencang saat melantunkan ayat suci Alquran dengan lantang membuat semua peserta ujian di halaman masjid takjub dengan suaranya yang tartil. Hatinya berdebar saat bacaannya di simak oleh sang penguji yaitu Ustadz Afnan. Mungkin itulah sinyal cinta yang Belinda rasakan saat pertemuan indah itu. Takdir membuatnya menjadi Guru Al-Qur’an di Rumah Tahfidz yang didirikan oleh Afnan. Bahkan Belinda juga diberi kesempatan untuk mengajar Tahfidz di Pondok Pesantren yang didirikan oleh Ayahnya Afnan. Belinda mengajar kelas pesantren kilat setiap Sabtu dan Ahad sebagai persiapan anak-anak kelas 5 dan kelas 6 sekolah dasar yang akan melanjutkan sekolah SMP nya di Pondok Pesantren.
“Haruskah aku ke masjid? Seperti dulu saat aku kehilangan arah tujuan hidup?” Tanya Belinda pada ombak yang mulai surut. Belinda kesulitan menerima kenyataan jika Ayahnya selingkuh yang menyebabkan Ibunya depresi berat. Saat itu Belinda terdampar dari masjid ke masjid , berusaha untuk menata hati karena hidayah memang harus dicari dan diperjuangkan. Hingga akhirnya pencerahan pun datang menyinari jiwanya.
Jiwanya yang tiba-tiba surut seperti surutnya air laut di sore hari. Menunggu terbenamnya matahari sebagai pemandangan terindah di pantai menjelang maghrib. Tak seindah imannya saat ini yang seakan – akan ikut terbenam dan rela tenggelam ke dasar lautan. Lautan yang semakin tenang membawa ombaknya menghibur para pengunjung kafe pesisir pantai. Hatinya semakin gelisah karena ia belum melaksanakan sholat maghrib. Langkahnya entah kenapa terasa berat untuk menuju masjid.
Iqamah terdengar sayup-sayup terhalang oleh angin malam yang mulai menghembus dingin. Dinginnya angin pantai dengan suasananya yang tak menentu entah akan turun hujan atau tidak justru meramaikan suasana kafe di pesisir Pantai Widara Payung. Teal and Yellow Cafe yang sejak di buka setahun yang lalu selalu dipenuhi pengunjung mulai jam 5 sore hingga jam 9 malam. Baik oleh anak-anak muda maupun yang sudah berkeluarga membawa serta anak- anak mereka untuk menikmati serunya bermain air di lautan dan menikmati nikmatnya hidangan menu kafe yang terasa seperti di Bali. Begitulah orang-orang menyebarkan informasi wisata kafe di pesisir pantai tersebut.
Hanya Belinda yang sendirian di tepi pantai, jauh dari keramaian kafe. Sudah tidak ada anak-anak yang asyik berenang di lautan. Para orang tua yang mendampingi anak-anak mereka bermain pasir pun telah berpindah tempat. Sebagian mampir ke kafe. Sebagian lainnya memutuskan untuk pulang sejak langit mulai memberikan sinyal hujannya dengan iringan petir yang kilatan cahayanya menakutkan siapa pun yang mendengarnya.
Lampu hias kafe yang terang benderang tidak sanggup menerangi sisi hati Belinda yang mulai redup. Belinda kehilangan arah lagi seperti tersesat dalam perjalanan sinetron yang tak kunjung tamat. “Sekarang aku harus ke mana? Ke masjid lagi seperti dulu? Ingin melarikan diri lagi tapi tak kunjung menemukan tempat untuk singgah yang nyaman”, keluhnya lagi.
Setetes air terasa dingin mendarat di hidungnya yang tak semancung artis Bollywood. Rupanya sang langit mulai meneteskan air hujannya. Menurunkan dengan rintik-rintik yang mulai membasahi kerudungnya yang menari-nari di sapa sang angin. Sebelum turun dengan deras , Belinda harus mencari tempat untuk berteduh. Namun lagi-lagi langkahnya terasa berat untuk pergi dari pantai yang dipenuhi kenangan ini.
Kenangan cinta yang singgah dihatinya sebagai ujian. Ujian untuk mengenal dan merasakan hangatnya sebuah cinta. Cinta dari manusia yang mencintai karena Allah SWT. Cinta yang tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah SWT yang Maha membolak – balikkan hati.
“Ya Allah... tetapkanlah hatiku pada agama-Mu, saat ini hatiku sedang sangat kacau. Hatiku ingin marah, kenapa aku harus kehilangan kekasihku yang sangat aku cintai itu? Aku sangat ingin menjadi pasangan hidupnya. Apakah cinta manusia itu hanya hadir untuk mengajarkan sebuah perasaan ikhlas dihatiku? Lalu, bagaimana caranya agar hatiku mampu ikhlas untuk kehilangan cinta yang sangat ingin aku miliki?”
Belinda kembali mencurahkan keluhannya kepada Sang Pencipta.
Belinda mencoba untuk tetap berdzikir di saat kegalauan hati tak kunjung pergi.
“ Laa Illa ha Illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin...” sekuat tenaga ia berdzikir meski terasa sangat menyesakkan dadanya.
Dada Belinda yang terus menarik nafas panjangnya agar tetap mampu mengucapkan doa Nabi Yunus ketika berada di dalam gelapnya ikan paus tersebut. Nabi Yunus yang marah karena umatnya tidak mau menyembah Allah SWT sehingga Nabi Yunus putus asa dalam dakwahnya dan melarikan diri ke laut. Sehingga Allah SWT pun menegurnya dengan ditelan oleh ikan paus.
Bahkan seorang Nabi yang tidak sabar saat berdakwah itu mendapatkan teguran dari Allah SWT? Lantas , bagaimana dengan Belinda yang hanya manusia biasa penuh coretan dosa? Belinda marah karena Allah SWT tidak menjodohkan dirinya dengan laki-laki yang ia sebut namanya dalam doa di setiap malam tahajudnya. Belinda bahkan melarikan diri dari tugasnya mengajar Al-Qur’an di Sekolah , di Rumah Tahfidz bahkan di pondok pesantren? Sebenarnya Belinda tidak ingin mendapatkan teguran dari Allah SWT. “Ya Allah berikanlah jalan keluar untukku? “ Belinda tetap memohon pertolongan Allah dalam doa dihatinya.
Tak disadari hujan mulai terasa deras mengguyur tubuhnya. Belinda ingin menemukan jalan keluar namun ia tidak mau bergerak. Ia terdiam dalam basah kuyup. Ia mulai menggigil kedinginan. Tapi malu untuk berteduh. Bahkan dirinya juga tidak menyadari ada langkah yang tergesa-gesa menghampiri dari arah belakang.Tiba-tiba saja sebuah payung menghentikan hujan yang sedari tadi mengguyur tubuh rampingnya. Sebuah payung pink fucshia yang menyala di tengah hujan mengagetkan hatinya yang sedang mencari jawaban dari doa yang dipanjatkan.
Perlahan Belinda mencoba untuk membalikkan badannya. Hatinya entah kenapa berdebar berirama indah melihat sosok pria berkemeja koko biru turquoise, berpeci rajut biru tosca dan melemparkan sebuah senyuman khasnya yang sangat cerah mengembang di wajahnya kepada Belinda di bawah hujan yang tak menembus payung biru elektrik yang digunakannya. Kenapa selalu pria ini yang datang di saat kesedihan melanda hidup Belinda?
Kenapa bukan Afnan yang Belinda harapkan datang menjemputnya dan mengatakan bahwa pernikahan mereka akan dilangsungkan kembali? Entah sampai kapan pria yang sekarang berdiri tepat di depan Belinda ini mengejar hatinya? Tak pernah lelah berada di samping Belinda di masa-masa sulitnya sejak menyatakan cintanya kepada Belinda ketika masih duduk di bangku SMA. Kakak kelas yang terasa seperti manajer artis saat Belinda masih di masa-masa jahiliyahnya menjadi penyanyi dengan rok mini sambil menari lincah tarian Bollywood yang menghipnotis semua penonton saat acara perpisahan sekolah dan acara panggung kemerdekaan dari kampung ke kampung.
Belinda diperlakukan istimewa bak artis sejuta umat. Sungguh Belinda sangat malu saat mengingatnya. Belinda menolaknya karena menurutnya dia tidak setampan pria yang dikejar-kejar banyak wanita. Meskipun dia sangat setia mengikuti perjalanan hidupnya , ikut memperbaiki dirinya ketika Belinda mulai belajar mengenakan hijab. Namun berbeda dengan hari ini. Hari ini entah mengapa dia terlihat begitu tampan dan begitu bersinar menyinari hati Belinda yang tidak ingin menjadi gelap.
“ Maukah kau menjadi guru privat mengajiku, Ustadzah Belinda? , “ ucap Felix yang selalu menggoda Belinda dengan pertanyaan yang sama. Sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban namun sanggup menghentikan hujan di hati Belinda. Belinda hanya tersenyum sambil menerima payung yang diberikan pria itu untuknya. Sebuah payung yang membuat hatinya tiba-tiba bersemangat untuk ikhlas. Sebuah payung yang mengantarkan Belinda pada sosok yang mungkin di kirim oleh Allah SWT sebagai pengganti. Benarkah?
“ Iya. Aku ke sini untuk mengingatkanmu untuk segera sholat maghrib, Belinda?” ucap Felix seperti orang yang mampu membaca pikirannya Belinda saja.
Astaghfirullahhal’adzim, Belinda!!!
Masa iya shalat maghrib nya ditinggalkan gara-gara ditinggalkan kekasih menikah dengan jodohnya! Oh, Belinda. Sungguh kau tidak pantas menjadi seorang ustadzah yang setiap hari mengajarkan doa sholat ke murid-muridnya. Padahal sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2, Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan , “ Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Maka mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. Itulah petunjuk dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 153 ketika Allah SWT menguji keimananmu. Butiran-butiran hujan yang deras menghantam payung yang memayungi Belinda seakan-akan berbisik dihatinya untuk menyadarkan pikirannya agar berprasangka baik kepada Allah SWT.
Belinda pun segera berlari dengan payung yang meneduhkan imannya dan memberikan harapan untuk masa depan. Mungkin masa depannya akan bersama dengan seseorang yang masih kuat berjuang untuk berhasil mendapatkan cintanya? Pria yang turut berlari menyusuri pesisir pantai bersamanya ini menuju masjid terdekat. “Mas Felix. Bolehkah aku bahagia, Ya Allah???” Teriak Belinda dalam hatinya bersamaan dengan hujan yang tak kunjung reda.
“Tidak boleh, Bu. Jangan bunuh diri. Ibu tidak boleh melakukannya. “
“Untuk apa Ibu hidup jika harus menanggung malu seperti ini. Semua orang menyalahkan Ibu. Kamu tidak tahu apa-apa, Bel. Ibu sudah berusaha menjadi istri yang baik tapi malah Ayahmu selingkuh. Rasanya sakit sekali. Oh, anakku.... “ Ucap Bu Riska , Ibunya Belinda.
“Tapi, Bu, tolong jangan bunuh diri. Allah Maha Penyayang kepada Ibu. Bertahanlah, Bu. Bersabarlah Ibuku sayang. Ingat anak-anak Ibu. Aku dan Si Kembar yang masih sangat membutuhkan Ibu. “
“Bisa-bisanya kamu menyuruh Ibu untuk bertahan dan bersabar. Kamu tidak tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Coba nanti kalau kamu sudah berumah tangga. Kamu akan merasakan yang lebih sakit daripada Ibu. “ ucap Bu Riska penuh dengan tumpahan air mata yang jatuh membasahi tangannya yang terus-menerus memukul dadanya yang kesulitan bernapas.
Belinda berusaha sekuat tenaga menghentikannya. Memeluk Ibunya yang siap untuk terjun ke laut. Mengabaikan ucapan Ibunya yang tak sengaja menyakiti hatinya. Belinda berusaha memahami kondisi Ibunya yang sedang ditimpa kesulitan menerima kenyataan pengkhianatan Ayahnya itu.
Belinda memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Ibunya kepadanya itu karena ucapan tersebut muncul secara tidak sengaja. Ucapan yang muncul saat orang putus asa tidak bisa menerima takdir Allah?
“Kenapa takdir Ibu seperti ini, Bel?Apakah sudah ditakdirkan dari Allah kalau Ibu memiliki suami berselingkuh?!”
Belinda tidak bisa menjawabnya. Hanya diam dan menangis. Belinda juga tidak tahu takdir itu apa.
“Allah tidak sayang sama Ibu, Bel. Kalau sayang kenapa memberikan keburukan pada kehidupan Ibu. Iya kan, Bel!” Bu Riska berteriak dan terus memberontak berusaha melepaskan diri dari pelukan kuat anaknya tersebut.
Byuuuuuuur....!
Belinda kehilangan kekuatannya untuk menahan Ibunya yang berusaha menyingkirkan pelukannya tersebut.
Bu Riska berhasil lolos dari pelukan Belinda namun justru tanpa sengaja kedua tangannya itu membuat Belinda terdorong ke laut. Sang Ibu pun terkejut setengah mati melihat anaknya lah yang jatuh ke laut. Karena itu bukanlah tujuannya. Tujuannya adalah menginginkan kematian dirinya dengan cara menenggelamkan diri ke laut.
“Tidaaak.... Belinda,Oh anakku... Ibu minta maaf. Astaghfirullahhal’adzim.... Tolong Ya Alloh....” Bu Siska masih ingat Allah dengan kalimat thoyibahnya yang tak sadar ia ucapkan saat meminta pertolongan kepada siapapun yang berada di sekitarnya.
Di dalam lautan, Belinda berusaha berenang untuk bisa naik ke permukaan. Sambil terus berdzikir di dalam hatinya yang dipenuhi oleh ketakutan luar biasa.
“Ya Allah... Aku masih ingin hidup. Aku tidak ingin mati sekarang. Apalagi seperti ini. Tolong selamatkan aku, Ya Allah....” Belinda tak bisa menahan nafasnya lagi dilautan tersebut.
Beberapa orang yang sedari tadi duduk-duduk menikmati lautan di atas jembatan beton yang terbentang sepanjang 100 meter lebih menjorok ke lautan Pantai Cilacap segera berlari untuk memberikan pertolongan kepada Belinda . Secepat kilat mereka berlari meskipun jembatan beton tersebut ditengahnya berlubang-lubang jika tidak hati-hati bisa terperosok jatuh ke lautan juga.
Byuuuuuuur!
Bu Siska akhirnya menceburkan dirinya ke laut demi menyelamatkan Belinda. Orang-orang yang terdiri lima bapak-bapak dan tujuh pemuda berusaha menyelamatkan Belinda dan Buu Siska bak Tim Penyelamat Pantai yang mahir menyelamatkan korban tenggelam.
Dengan nafas yang terengah-engah dan takbir yang mengharukan, Bu Siska dan Belanda berhasil di bawa ke tepian. Allah pun memberikan pertolonganNya lagi melalui perantara seorang dokter yang kebetulan di saat kejadian sedang berada di tepi pantai, mengisi waktu luangnya untuk bisa menikmati indahnya matahari terbenam di pantai tersebut.
Dokter perempuan itu pun dengan cekatan melakukan tindakan RJP kepada keduanya. Hari itu dua nyawa berhasil diselamatkan.
Ambulance datang membawa korban tenggelam yang selamat itu ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Tak pernah terbayangkan berakhir di ruang IGD. Belinda dan Ibunya sangat syok dengan tragedi mengerikan yang baru saja dialaminya itu.
“Kau selalu saja membuat masalah, Siska. Kenapa tidak mati saja tadi!” ucap suaminya yang sedang kerasukan pelakor. Istrinya sudah terlihat seperti bunga yang layu.
Bu Siska hanya bisa menangis sejadi-jadinya terdengar oleh seluruh pasien yang berada di ruang IGD tersebut. Perawat datang untuk menenangkan Bu Siska. Sedangkan Belinda semakin syok menyaksikan Ayahnya yang pergi begitu saja setelah melontarkan kalimat buruk pada Ibunya tadi. Dirinya pun sebagai anaknya tidak dipedulikan sedikitpun karena perhatian sudah beralih ke pelakor yang telah memporak-porandakan keluarganya.
“Siska, anakku. Bersabarlah. Seandainya bunuh diri itu boleh, pastinya semua orang akan membunuh dirinya sendiri ketika mengalami putus asa dalam menemukan jalan keluar di setiap permasalahan hidup yang menimpanya.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Ucap Nenek Belinda sambil memberikan Al-Qur’an terjemahan surah An-Nisa ayat 29 tersebut.
Nenek Belinda dengan lembut menasehati anaknya yang sedang putus asa itu.
“ Apabila ada orang yang sengaja meminum racun untuk mengakhiri hidupnya,maka kelak diakhirat nanti ia akan menenggak racun terus – menerus.
Seseorang yang naik ke atas gedung kemudian menjatuhkan diri hingga tewas, maka ia akan di azab di neraka seperti cara dirinya bunuh diri itu.
Apakah kamu mau, anakku, menjadi penduduk neraka jahanam karena bunuh diri menjatuhkan diri ke laut?” ucap Nenek sambil memeluk Bu Siska.
Bu Siska menggeleng lemah.
Kakek Belinda pun ikut menasehati anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Siska, anak Ayah yang tercinta. Apabila seseorang tertimpa musibah itu tidak boleh meminta mati. Karena menginginkan kematian adalah cara berpikir yang salah dan menyesatkan.
Istighfarlah anakku. Coba kau buka surah Al-Baqarah ayat 153, Nak. Allah memanggil orang-orang yang beriman agar memohon pertolongan Nya dengan sabar dan sholat.
Allah itu dekat dalam penderitaan HambaNya . Allah terlibat dalam kesulitan – kesulitan Hamba Nya .
Karena itulah bertahanlah anakku. Jadikanlah Al-Qur’an itu sebagai pelipur lara.
Apabila kamu bersabar dari musibah yang membuatmu gelisah,gundah dan kesulitan untuk menerimanya maka Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu bahkan walaupun hanya tertusuk duri.
Kamu harus bersabar dan mengintrospeksi diri.
Sesungguhnya Allah akan menjadikan kemudahan setelah adanya kesulitan. Yakinlah dengan firman Allah yang disebutkan hingga dua kali yaitu di ayat kelima dan keenam surah Al-Insyirah.
Berinteraksilah dengan Al-Qur’an agar Allah memberikanmu jalan keluarnya.” Nasehat kakek Belinda yang menyejukkan hati Bu Siska.
“Lihatlah anak-anakmu , Belinda.” Ucap sang Nenek.
“Kuatlah demi cucu-cucu Kakek yang sholeh dan sholehah ini.”
“Aku gak mau Ibu dan Ayah bercerai.” Celetuk si kembar, Amir yang masih mengenakan seragam SMPnya.
“Aku malu, Bu jadi anak broken home.” Ucap si kembar satunya, Amar.
Belinda jadi tak bersemangat untuk mengikuti Ujian Nasional SMA yang akan dimulai esok lusa.
******
Belinda berusaha untuk selalu bangkit ditengah kekacauan hatinya yang bertebaran kenangan masa lalu yang tak bisa dihapus secara permanen. Kenangan itu menghilang ketika Belinda sibuk beribadah kepada Allah SWT. Namun kenangan itu tiba-tiba muncul di saat cobaan datang lagi.
Kenangan yang tidak ingin di ingat. Namun ingatan itu kini tiba-tiba datang menghantui di saat dirinya mengenang cintanya kepada Afnan.
Bahkan di saat Felik yang masuk tanpa permisi dalam mimpi indahnya. Membuat Belinda terbangun disepertiga malam terakhir.
“ Aku pikir aku bermimpi bertemu dengan Mas Afnan menanam bunga mawar di taman bunga yang sangat luas dan indah, tapi kenapa tiba-tiba berubah jadi Mas Felik??” Belinda bergumam dalam hatinya.
Pagi-pagi sekali Belinda dan Lia sudah berada di sekolah. Kantor kepala sekolah yang tak pernah sepi oleh canda tawa mereka. Belinda tersenyum-senyum sendiri bahkan sesaat menangis saat memandangi ponselnya.
Membuat Lia yang sedari tadi duduk di depannya merasa dicuekin karena seperti ngomong dengan tembok saat mencurahkan kisah drama paginya mulai dari nyiapin sarapan, nyetrika seragam kerja suami hingga mengantar anak keduanya yang masih TK ke rumah orangtuanya. Karena sekolah TK nya berdampingan dengan rumah orangtuanya itu. Sedangkan anak pertamanya bersekolah di sini, di sekolah yang dirinya pimpin. Kelas 6 SD.
“Apakah kau sedang melihat video porno, Bel?!”
Belinda terkejut. Bisa-bisanya mengajukan pertanyaan yang tidak sopan seperti itu.
“Hus ,ngawur kamu. Mataku ini bersih ya. Bersih dari pandangan kotor seperti itu!”
Lia tertawa sambil melihat data murid-muridnya yang akan mengikuti lomba Tahfidz di salah satu universitas Islam Surabaya.
“ Bersih apanya. Setiap hari pekerjaanmu adalah mengotori kantorku dengan meratapi akun Facebook dan Instagramnya Ustadz Afnan.”
“ Aku sedih. Hari ini dia tersenyum di Instagramnya. Tuh lihat.”
Plak!!! Lia memukul Belinda dengan penggaris plastik.
“Aduh, sakit, tahu gak sih, Lia. Ini namanya kekerasan fisik oleh atasan terhadap bawahannya.” Sambil memegang kepalanya yang berjilbab hijau lemon dan tidak sakit sih.
“ Segera blokir akunnya!!!”
“ Enggak mau.”
“Kalau tidak aku pecat kamu.”
“Serius???”
“Iya, lah.”
“Terus aku makan apa???”
“Mau sih makan hati terus!”
“Hati ayam atau hati sapi,hehehe.”
“Hatimu!!!” Lia mencubit lengan Belinda sampai merah saking kesalnya.
“ Aoooowwww. Astaghfirullahhal’adzim. Ini beneran sakit, Lia...”
“Biar kamu sadar bahwa melototin suami orang itu dosa besar.”
“ Aku kan bukan pelakor jadi tenang saja enggak bakalan aku rebut Mas Afnan dari istrinya itu.”
“ Gejala memang seringnya tidak dirasakan oleh si calon pelakor.”
“ Memang nya siapa yang mau jadi pelakor???”
“ Kamu lah.”
“Astaghfirullohal’adzim.” Belinda balas mencubit kedua pipi Lia yang tembem.
“ Nih baca.” Sambil menyodorkan Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31.
Belinda pun manut saja membaca terjemahannya.
“ Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara ***********, dan janganlah menampakkan perhiasannya auratnya kecuali kepada yang biasa terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya auratnya, kecuali kepada suami mereka,...”
“Pinter sekali Ustadzah Belinda.”
Belinda pun berlari menuju kelas mengajar mengajinya di lantai 3. Sebuah kelas Bimbingan Baca Qur’an dengan Metode Ummi yang selalu bersih dan wangi membuat anak-anak bersemangat dalam menghafal Al-Qur’an.
Tahun ini Belinda mengajar kelas Ummi Jilid 6 dan Tahfidz juz 30 dan juz 29,yang terdiri dari siswa kelas 5 SD. Sebelumnya Belinda memegang kelas Al-Qur’an Level 1 dan Tahfidz juz 1.
“ Isti’dadan.”
“Siap. Allah Akbar.”
“Nun sukun atau tanwin jika bertemu salah satu huruf Lam, Ro dibaca tidak dengung atau jelas.”
“ Maksudnya bagaimana ustadzah?” tanya salah satu murid.
“ Iya,us, sy belum paham.”
“ Baik, anak-anak. Ustadzah akan menjelaskan. Tolong dengarkan dengan baik ya.”
“Siap.”
“ Jadi seperti ini, ketika ada Nun Sukun bertemu dengan huruf Lam atau huruf Ro, maka Nun Sukunnya kita cuekin saja alias dianggap tidak ada. Begitu anak-anak.”
“Ohhh...”
“ Contohnya bisa dilihat di buku Ummi nya masing-masing ya.
Di baris pertama ada nun sukun bertemu huruf Ro,maka cara bacanya adalah langsung Arro aahustaghnaa.
Bukan Anro aahustaghnaa.
Nun sukunnya tidak usah dibaca.”
Semua murid menirukan membaca Umminya setelah Belinda memberikan contoh cara membaca idghom bilagunnah tersebut.
“Betul sekali, Belinda. Memang sudah seharusnya mantan suami,eh salah ya,hehehe. Maaf.
Maksudku mantan calon suami kamu seharusnya dicuekin alias dianggap tidak ada. Tidak usah dilihat seperti nun sukun bertemu dengan huruf Lam atau huruf Ro itu.”
“Nah itu dia masalahnya.”
“Apa?” sambil memilih buah salad mana yang akan dimakan terlebih dahulu.
“ Mantan calon suamiku itu manusia. Bukan huruf Hijaiyah apalagi Nun Sukun.”
Lia langsung menyumbat mulut Belinda dengan buah jeruk yang dipilihnya.
“Hmmmm... Masam banget jeruknya, Liaaa.”
“Buanglah mantan di tempat sampah. Oke”. Sambil menyuapi paksa Belinda dengan buah strawberry yang tidak disukai Belinda.
“ Sudah aku buang kok. Sudah tidak ada lagi dihatiku.”
“Apanya yang kamu buang,hah. Buktinya kamu masih jadi pengikut setia akun sosial media nya. Bahkan chat wa darinya pun belum kamu hapus. Barang-barang pemberiannya masih tersimpan dilemari.
Kalau tak ada niat jadi pelakor ya harusnya sudah berhenti mengikuti akun medsos nya. Riwayat chat dihapus bahkan sangat perlu untuk diblokir nomer wa nya.
Semua hadiah darinya ya dibuang atau disumbangkan saja kalau layak diberikan ke orang lain.
Itulah cara agar kamu tidak berharap lagi pada dia yang sudah jadi suami orang.
Paham, Belinda ku sayang.”
“ Ternyata mengikhlaskan seseorang itu tidak semudah makan buah salad yang tidak disukai ya, Lia.”
Lia menghela nafas panjang. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin agar sahabatnya itu bisa menghapus sang mantan dari pikiran dan hatinya. Agar tidak berandai-andai menjadi istri kedua yang diawali dengan menjadi pelakor terlebih dahulu.
“ Tolong latih anak-anak yang terpilih ikut lomba Tahfidz ya, Ustadzah Belinda.”
“ Loh ,bukannya ada Ustadzah Fatimah yang selama ini melatihnya?”
“Darurat. Anaknya yang di pondok sakit sehingga saat ini Ustadzah Fatimah sedang dalam perjalanan menuju pondok.”
“Ya Allah, sembuhkanlah anaknya ustadzah Fatimah.”
“Aamiin.”
“ Ingat, Belinda.Khoirukum man’ta’allamal qur’aana wa’allamah.”
“Sebaik-baik diantara kamu sekalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. “ jawab Belinda menerjemahkan sebuah hadits Riwayat Muslim tentang keutamaan belajar Al-Qur’an.
Senjata paling ampuh dalam menundukkan Belinda disaat mood mengajarnya terjun payung akibat cobaan hidup yang tiba-tiba menghinggapi dirinya.
“Silakan kembali ke kelas ya,us”.
“Sebentar,us, aku mau menghabiskan salad buahnya dulu. Belum sarapan.” Perut Belinda pun membunyikan bel kelaparannya bersamaan dengan bel masuk setelah jam istirahat pertama habis.
Saat mengajar Al-Qur’an, Belinda merasakan ketenangan mengalir di dalam tubuhnya. Hatinya merasakan bahagia saat muroja’ah bersama murid-muridnya. Masalah yang tertimbun dalam pikiran seketika hilang terobati oleh bacaan Al-Qur’an.
Masalah yang menumpuk dihati seketika menghilang kesedihannya. Selain mendapatkan pahala saat membacanya , Al-Qur’an juga mendatangkan kebaikan-kebaikan dalam doa yang kita panjatkan.
Benar sekali. Salah satu cara untuk melupakan tragedi buruk dalam hidup kita adalah menyibukkan diri dengan Al-Qur’an. Membacanya menyuburkan iman kita yang layu bahkan kering saat diterjang badai kehidupan.
Menghafalkannya akan menolong kita dari bahaya dunia. Mentadaburinya akan memberikan petunjuk di saat jiwa sedang digoncang masalah yang kita rasa tidak sanggup untuk menerimanya.
Namun, ketika berada di rumah. Saat jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saat malas mengerjakan ibadah Sunnah. Karena beribadah saat sendirian itu tidak semudah membaca Al-Qur’an bersama dengan murid-murid dikelas.
Belinda kembali bersedih menatap langit-langit kamar kosnya. Matanya sulit terpejam memikirkan masa depan cintanya nanti.
“Kamu, belum tidur kan Belinda?” sebuah chat wa muncul di layar ponsel Belinda yang tergeletak di samping bantalnya.
“ Belum.” Jawab Belinda singkat.
“ Aku tidak bisa tidur karena memikirkan dirimu, Belinda.”
Belinda kaget membaca chat tersebut. Di balas atau cukup dibaca saja ya. Belinda langsung duduk dan terdiam memikirkan cara membalasnya. Ah, mulai deh. Kumah lagi nih perasaannya si Felik menggoda Belinda.
“Good Night.”
“ Jangan tidur dulu, Bel. Ada yang harus aku sampaikan padamu saat ini juga.”
“Besok.”
“Nanti hilang.”
Belinda berhenti membalas. Felik justru melakukan panggilan telepon wa. Belinda mengabaikannya. Ditinggal ke kamar mandi. Nyari camilan di kulkas yang ada di dapur bersama. Ngobrol sebentar sama tetangga kos yang sedang mencuci baju di malam hari.
Saat kembali ke kamarnya, ponsel Belinda masih memanggil dalam mode getar. Dan terus bergetar di atas kasurnya. Belinda sampai heran dengan kegigihan Felik mengejar cintanya. Melihat Felik yang terus berjuang mengharapkan cintanya seperti melihat diri sendiri saat sedang bercermin.
“Assalamu’alaikum , Belinda.”
“Wa’alaikummussalam.”
“Terima kasih, Belinda karena berkenan menjawab telepon dariku.”
“Mas Felik, sekarang jam berapa ya?”
“ Jam sebelas.”
“Malam atau pagi.”
“ Iya ya ternyata sudah malam.” Felik tertawa kecil.
“Aku mau tidur, besok ngajar,gak libur.”
“ Aku mau setor Hafalan, Ustadzah Belinda.”
“Apa!”
“ Aku ingin melanjutkan hafalanku yang macet sejak kau memutuskan untuk menikah dengan pria lain namun gagal. Jujur, aku sangat senang sekali mengetahuinya.”
“Kok jahat banget sih bahagia diatas kesedihanku.”
“Iya. Aku bahagia bisa setor Hafalan lagi ke kamu.”
“Aku tidak mengizinkannya.”
“A’udzubillahi minasyaithonirrojiim .”
“Cari guru pembimbing yang laki-laki dong Mas Felik. Bukan aku. Aku kan perempuan. Bukan mahramnya.”
“ Bismillahirrahmanirrahim.”
“Setornya lewat rekaman audio saja, Mas Felik.”
“Tabarokalladzii biyadihilmulk. Wahuwa ‘alaa kulli syain’qodiir.”
Belinda melempar ponselnya ke kasur.
“Alladzii kholaqolmauta walhayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa. Wahuwal ‘aziizul ghofuur.”
Belinda mengubah suara ponselnya menjadi loud speaker. Felik terus membaca surah Al-Mulk ayat demi ayat dengan lancar namun tajwidnya masih berantakan.
Belinda membiarkan Felik membacanya dengan tidak Tartil tersebut.
Entah mengapa suara mengaji Felik terasa seperti murotal malam yang biasa Belinda dengarkan di Radio Suara Muslim Surabaya. Meskipun tidak seindah tilawahnya ustadz Hanan Attaki, namun anehnya Belinda pun akhirnya tertidur pulas. Suara mengaji Felik menjadi murotal pengantar tidur Belinda ke alam mimpi yang indah.
Pagi disambut cerahnya sinar matahari. Menyambut anak-anak yang terpilih lomba Tahfidz sedang dalam perjalanan menuju lokasi lomba. Udara yang segar habis hujan diwaktu shubuh menyapa anak-anak yang sedang muroja’ah juz 29 dan juz 30 di dalam mobil sekolah yang melaju dengan kecepatan sedang.
Sepanjang perjalanan, Belinda menyimak hafalan anak-anak dengan tenang.
“Ustadzah Belinda, mohon doanya ya,us , biar tidak grogi nanti.” Ucap Ifa sambil menggulung ujung jilbabnya.
“ InsyaAlloh. Pasti ustadzah doakan agar semuanya bisa mengikuti lomba Tahfidz dengan lancar.”
“ Aamiin.”
“ Lihat,nih,us, tanganku dingin banget. “ ucap Dini sambil menyentuh punggung tangan Belinda.
“ MasyaAlloh dinginnya. Sama , ustadzah juga membeku nih anak-anak.”
“ Iya, us, tangan ustadzah dingin banget kayak es batu di freezer.”
“Kita yang lomba kok ustadzah yang grogi sih. Aneh dan lucu.” Celetuk Alvis yang terkesan tenang.
“Kan Ustadzah guru Tahfidz kalian, sudah pasti hati kita terhubung, anak-anak.”
“Masa sih ,us.” Ucap Vito tak percaya.
“ Iya lah. Nanti ketika kalian maju lomba, pasti hati ustadzah deg-degan juga, khawatir kalau kalian tidak lancar saat mengikuti lombanya.
Tapi baik kalah atau memenangkan kompetisi lomba ,tetap kalian itu sudah menjadi juara di hati ustadzah.
Menang Lomba Tahfidz adalah bonus bagi penghafal Al-Qur’an karena bisa mengetahui seberapa kuat hafalannya saat diuji oleh tim penguji lomba yang disaksikan banyak orang.”
“Iya ,us, tenang saja ,kalah atau menang tetap Alhamdulillah. Iya kan teman – teman ?” tanya Galang.
“ Iya. InsyaAllah.” Jawab anak-anak kompak.
“ Juara atau tidak tetap menambah hafalan ya anak-anak sholih...” pinta Belinda.
“InsyaAllah, siap.” Jawab anak-anak selalu menyejukkan hati.
“Semoga kalian bisa mengharumkan nama sekolah ya anak-anak hebat.”
“Aamiin Ya Allah”.
“ Semoga kita bisa mengharumkan nama Ustadzah Belinda juga ya teman-teman?” Ucap Ifa.
“Aamiin Ya Robbal’alamiin...”
Ada-ada saja kelakuan mereka yang membuat Belinda tersipu malu.
“Seharum bunga mawar ya,us.” Kata Bela.
“ Tahu aja kalau ustadzah suka bunga mawar.” Balas Belinda.
“Ustadzah kan cantik seperti bunga mawar.” Ucap Ifa, Dini, dan Bela bersamaan.
“Pipinya Ustadzah merona.” Ucap Galang, Vito dan Alvis tak kalah kompaknya.
“MasyaAllah... Murid-muridnya ustadzah memang luar biasa. Pandai memuji membuat ustadzah terbang melayang -layang di angkasa”.
“ Aduh,us, jangan ,nanti jatuh,sakit.” Canda Vito.
“Makanya jangan memuji ustadzah,oke.”
Semua tertawa riang.
Anak-anak zaman sekarang bahkan wajah gurunya pun diamati apakah memakai skincare atau tidak. Efek kebanyakan nonton yang glowing-glowing di YouTube atau Tik tok.
Aksi anak-anak dihalaman parkir universitas mencuri perhatian peserta lain yang juga baru tiba dilokasi.
“ Alhamdulillah luar biasa. Bersama Ustadzah Belinda tambah semangat. Membangun generasi Qur’ani. Allahu Akbar. Yes yes yes.”
Yel-yel penyemangat yang diucapkan anak-anak dengan ceria membuat Belinda tersenyum hangat.
Satu per satu murid Belinda maju di atas panggung untuk memilih surah dari juz 30 dan juz 29 secara acak. Murid-muridnya telah berusaha semaksimal mungkin mempersembahkan Hafalan terbaiknya. Alhamdulillah berjalan dengan lancar saat sambung ayat juz 29.
Namun, murid terakhir yang tampil yaitu Ifa tiba-tiba tersendat saat membacakan surah An-Naba’ yang dipilihnya itu. Ifa pun terdiam seribu bahasa ketika melanjutkan ayat dari surah Al-Fajr. Padahal Hafalan tersebut sudah ia hafal diluar kepala. Bahkan saat sambung ayat di kelas, Ifa selalu menjadi yang paling lancar dalam menyambung ayat selanjutnya.
Sepertinya Ifa kesulitan mengendalikan rasa groginya diatas panggung. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya dalam mengikuti lomba. Apalagi disaksikan oleh semua peserta dari semua sekolah Islam se kota Surabaya.
Ada apa dengan anak ini? Belinda bertanya-tanya dalam hatinya.
“ Ustadzah,maaf ya.”
“Iya,gak papa, kamu sudah hebat berani tampil di atas panggung.”
“ Aku tiba-tiba lupa,us, karena dibelakang ustadzah,ada...” tiba-tiba berhenti melanjutkan kata-katanya.
“Dibelakang ustadzah ada apa,Ifa?” tanya Belinda penasaran sambil menoleh ke belakang.
“ Paling kebelet pipis kan kamu, If?” celetuk Alvis.
“ Ih, enggak,kok.”
“ Apa tenggorokanmu sakit,ya , Fa? Kemarin kan pas latihan kamu batuk-batuk terus.” Ucap Dini.
“ Enggak kok, aku sudah gak batuk lagi,sudah sembuh.”
“Lalu apa?” tanya Belinda lagi.
“ Dibelakang ustadzah ada...”
“Hantu.”canda Belinda.
“ Ah, ustadzah kok gitu.” Ifa ngambek deh.
Kemudian anak-anak berhamburan keluar ruangan untuk mencairkan suasana ketegangan yang begitu terasa di ruangan lomba ini. Aula kampus. Ada bazar jajanan di sekitar halaman luar aula tersebut. Mereka asyik jalan-jalan dan jajan sendiri tanpa didampingi Belinda.
Belinda pun mulai jenuh menunggu pengumuman juara lomba Tahfidz yang akan diumumkan satu jam lagi. Ditambah harus membalas chat dari Lia yang terus menanyakan hasil lombanya. Sehingga Belinda sibuk dengan ponselnya.
Dari arah jam 2, datang seseorang yang sangat mengejutkan hatinya.
“Assalamu’alaikum, Ustadzah Belinda.” Pria itu menyapa dengan hangat sehangat sinar matahari. Langsung duduk di kursi yang kosong di sebelahnya Belinda.
Deg. Hati Belinda pun mengenali suara familiar itu. Namun tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat dengan jelas pemilik suara indah itu.
Dag Dig dug. Tiba-tiba hati Belinda berdebar dengan tempo sangat cepat. Nada hatinya menjadi berirama tak beraturan.
“Wa’alaikummussalam...” jawab Belinda sambil beranjak berdiri namun dengan wajah masih tertunduk pada ponselnya.
Pria itupun ikut berdiri sehingga Belinda semakin berdebar kencang membuatnya salah kirim chat wa dan ponselnya tiba-tiba terjatuh.
Bug.
Spontan pria itu mengambilkan ponsel Belinda yang berakhir retak layarnya. Seretak hatinya yang mengalami pertemuan tak terduga itu. Tiba-tiba Belinda menangis karena hatinya masih berdebar kencang untuk Afnan.
Belinda pulang ke rumah dalam keadaan sangat lelah setelah mengikuti kegiatan Pramuka bermalam di sekolahnya. Ada perasaan kesal karena Felik sebagai ketua Pradana Ambalan di SMA nya itu selalu menempel kayak perangko dalam acara Penerimaan Tamu Ambalan tersebut.
Menciptakan gosip berantai bahwa dirinya adalah pacar sang Kak Pradana sehingga diperlakukan khusus oleh kakak-kakak Pramuka senior lainnya. Membuat Belinda kesulitan mendapatkan pacar sang kakak kelas yang ia sukai. Semua terhalang tingkah Felik yang tergila-gila pada Belinda.
Belinda membiarkan rambut panjangnya yang terlihat minta dikeramas itu tergerai kusam sepinggang. Ia berlari kecil setelah membuka pintu gerbang rumahnya.
Ia ingin cepat – cepat mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang sangat capek.
Namun tersandung sepatu wanita yang tak dilihatnya meskipun warnanya mencolok tergeletak di atas teras rumahnya.
Sepatu merah berhak tinggi. Dan itu bukan sepatu milik Ibunya.
“Sepatu siapa ini?” tanya Belinda sambil memasukkan kaki kanannya ke dalam sepatu itu.
“Kebesaran. Berarti ini bukan punya Ibu. Kalau punya Ibu pasti pas di kakiku. Dan Ibu tidak suka warna merah.
Sepatu siapa nih?
Apa ada tamu??
Kok sepi???” Belinda bicara sendiri.
Tanpa mengetuk pintu rumahnya yang selalu tertutup namun tak terkunci itu, Belinda langsung memasuki rumahnya. Melewati ruang tamu dan ruang keluarga yang terlihat sepi.
Tapi saat masuk ke kamarnya, Belinda terkejut bukan main mendapati sosok wanita yang tengah berbaring di ranjang tidurnya.
Wanita seusia Ibunya masih mengenakan seragam kantor seperti seragam kantor Ayahnya terkejut melihat Belinda yang menatapnya tajam. Segera wanita itu mengaitkan kancing baju nya yang terbuka bagian atasnya setengah dada. Terlihat bra merahnya.
Belinda semakin terkejut ketika Ayahnya muncul dari arah belakangnya.
“Dia teman Ayah, sedang pusing.” Ucap Pak Hadi sambil mengajak wanita itu keluar dari kamar anaknya.
“Teman Ayah pusing??? Aku pusing gak pernah diperhatikan Ayah!!!
Kenapa membawa orang asing masuk di kamarku, Ayah!!!
Apa Ibu, tahu!!!”
Teriak Belinda tak digubris oleh Ayahnya yang sedang di mabuk cinta wanita bukan Ibunya Belinda itu. Pak Hadi justru membawa wanita itu ke kamarnya.
Belinda menangis melihat kaos singlet Ayahnya ada di atas ranjang tempat tidurnya. Ia mengambil kaos singlet itu dan melemparnya keluar kamarnya.
Kaos singlet Ayahnya tercium wangi sewangi parfum yang dikenakan oleh wanita itu saat melintasinya tadi.
“Ya Alloh... Aku harus telepon Ibu sekarang juga.”
Tanpa berganti pakaian, Belinda langsung berlari menuju wartel terdekat dari rumahnya. Dengan gemetar ia menekan tombol nomor telepon rumah neneknya setelah nomor ponsel Ibunya tidak ada respon. Mungkin pulsanya habis.
“Halo, Bu,ini aku...”
“Iya, ada apa Belinda?”
“Ibu kapan pulang?”, ucap Belinda menahan tangisnya.
“Mungkin lusa. Menunggu Om kamu yang dari Kalimantan datang. Biar bisa gantian menjaga Nenekmu yang sedang sakit.”
“Nenek sudah pulang dari rumah sakit kan Bu?”
“Sudah tadi pagi. Ada apa telepon Ibu?”
Belinda bingung , ngomong atau tidak ya tentang peristiwa yang baru saja dialaminya itu???
“Enggak ada apa-apa ,Bu. Kangen masakan Ibu. Jangan lama-lama di sana ya Bu. Amar dan Amir main terus.” Belinda pun berbohong.
Mulutnya kaku untuk menyampaikan kebenaran.
“Ayahmu dirumah kan? Ibu mau bicara dengan Ayahmu?”
Jantung Belinda pun berdegup kencang.
“Aku di wartel, Bu...”
“Loh kok telepon di wartel?? Apa telepon rumah kita rusak??”
Belinda terdiam lama, kebingungan mau menjawab apa.
“Belinda...”
“Iyaa Bu... Aku habis pulang ke rumah terus mau main kerumah temanku sebentar. Terus kepikiran Ibu karena Ibu gak ada di rumah tadi.
Jadi langsung keluar aja dari rumah. Dan telepon Ibu di wartel.”
Belinda gugup menjawabnya.
“Mau Maghrib kok main sih, Bel.”
“Gak papa ya Bu sebentar saja kok. Sekalian mau mencari Amar dan Amir.
Sudah ya Bu. Semoga Nenek lekas sembuh. Salam buat Nenek.”
Klik. Belinda langsung menutup teleponnya.
Entah mengapa langkah kaki Belinda menuju keberadaan Felik dirumah kosnya itu. Rumah besar yang disewa keluarga Felik selama Felik sekolah negeri di Cilacap.
Terlihat Felik sedang memainkan bola basket, olahraga favoritnya. Apa tidak lelah 3 hari 2 malam menggembleng adik-adik junior Pramuka nya itu?
Pulang ke rumah langsung main basket?? Memang ia tidak pernah lelah untuk mendengar keluhan Belinda, pujaan hatinya itu.
“Apa yang akan kamu lakukan jika Ayahmu ketahuan selingkuh dan membawa selingkuhannya masuk ke rumah?"
“Aku akan membunuhnya.”
“Apa maksudmu membunuhnya.”
“Maaf bercanda.”
“Jangan bercanda!”
“Sabar dulu , Bel. Jangan kasih tahu Ibumu dulu. Nanti Ibumu terluka. Biarkan Ibumu saja nanti yang mengetahuinya sendiri. Bagaimana?”
“Dasar Nini Pelet!!!”
“Nini Pelet???”
“ Kalau bukan Nini pelet lantas disebut apa!
Pasti wanita itu menggunakan ilmu pelet untuk menaklukkan Ayahku.
Kalau kamu lihat wajah wanita itu tadi pasti kau akan setuju denganku.
Wanita itu jelek. Tidak cantik. Tentu saja sangat dan sangat cantik Ibuku ketimbang Nini pelet.”
“Apa mau aku temani untuk mencambuk Nini pelet itu dengan cemeti amarrasulli?”
“Jangan bercanda. Dia bukan Mak Lampiiiiiiiirrr!” Belinda teriak.
“Iya Bel. Berteriak lah, Bel ,biar hatimu lega.”
Belinda menangis. Felik hanya bisa menatapnya kasihan.
“Baiklah aku akan mengasah pisaunya dulu.”
“Untuk apa Bel?!”
“Katanya membunuhnya.” Sambil bergegas pulang.
“Seriusss, Belinda!!!”
Felik pun menyeret Belinda masuk kerumahnya.
*************
Pertemuan tak terduga kali ini pun membuat Belinda menangis dan marah.
Jika pertemuan yang dulu, Belinda menangis karena syok dan sedih mendalam keluarganya hancur berkeping-keping oleh wanita yang disebut pelakor itu.
Belinda marah karena Ayahnya menampar dirinya, menuduh dirinya yang melaporkan pelakor itu ke Ibunya.
Sedangkan Ibunya justru menyalahkan Belinda karena tidak melaporkan kejadian tersebut langsung ke Ibunya. Kenapa harus tetangga depan rumah yang melaporkannya.
Belinda sebagai saksi kunci hanya bisa tertunduk bersalah saat diinterogasi bahkan mendapatkan ucapan buruk dari Ibunya.
Sekarang Belinda menangis karena ia bingung kenapa Alloh SWT harus mempertemukan kembali dirinya dengan orang yang sangat ia cintai namun tidak bisa memilikinya?
Haruskah marah ? Bukankah kita tidak boleh marah kepada Alloh???
Kita harus sabar. Iya, sabar adalah kekuatan menahan diri dari cobaan yang datang menimpa. Dimana cobaan itu datang tanpa menunggu kesiapan hati kita untuk menghadapinya.
Afnan dengan lembut berusaha menghentikan tangisan Belinda agar tidak menarik perhatian penghuni lomba. Afnan membawa Belinda pergi meninggalkan ruangan lomba itu.
Mengajaknya berkeliling kampus yang tidak ada aktivitas mahasiswa di hari Minggu.
“Bagaimana kabarmu, Belinda?
Sudah 1 tahun lebih kita tidak bertemu ya, Bel?”Afnan memulai pembicaraan setelah lama berjalan-jalan dalam keheningan.
“Oh...iyaa. Waktu berjalan sangat lambat dalam hidupku, Mas.”
“Apakah kau baik-baik saja selama ini, Bel. Aku penasaran dengan kabarmu.”
“Aku tidak baik-baik saja, Mas.” Belinda tidak tahu kenapa harus begitu jujur menjawab pertanyaan Afnan tersebut.
“Kau terlihat pucat,Bel. Apakah kau sakit?”
“Tidak, Aku sehat kok.”
Afnan mengeluarkan thermogun alat pengukur suhu tubuh dari dalam tas nya. Sejak pembelajaran Tatap Muka mulai diberlakukan kembali ditengah pandemi covid 19, Afnan selalu membawa thermogun tersebut kemanapun ia pergi selain hand sanitizer.
Afnan langsung mendekatkan alat pengukur suhu tubuh tersebut ke kening Belinda.
Tit.tit.tit. Indikator lampu merah menyala mengedipkan angka 38 derajat Celcius.
“Kau demam Belinda. Ayok aku antar ke dokter.” Ucap Afnan panik.
Belinda terkejut mendapati dirinya demam padahal sebelumnya badannya terasa dingin.
“Kenapa aku bisa demam?” sambil menyentuh dahinya dengan punggung tangannya yang terasa hangat.
“Iya benar. Kenapa aku bisa panas seperti ini??”
“Ayok aku antar ke dokter terdekat.”
“Memangnya aku anak kecil yang demam langsung dibawa ke dokter??”
“Kalau begitu istirahatlah di sini dulu, Bel. “ Menyuruh Belinda untuk duduk di teras kelas yang sedang dilewatinya saat ini.
Belinda duduk sesuai perintah Afnan.
“Tunggu sebentar ya, Bel. Aku akan membelikan Paracetamol untukmu di apotik terdekat.”
“Kenapa kau muncul lagi di dalam hidupku, Mas Afnan?” Pertanyaan Belinda menghentikan langkah Afnan yang akan membeli obat di apotek.
“Aku hanya....”
“Seharusnya kau tidak menyapaku,Mas.”
“Aku juga tidak tahu kenapa langkahku tiba-tiba menghampirimu.”
“Harusnya kau menghilang saja dari hidupku.”
“Aku pun tidak sengaja melihatmu di sini. Dan entah kenapa kau masih seperti magnet yang membuatku tertarik untuk mendekatimu.”
“Kenapa... kenapa... kenapa seperti itu...Mas...”
“Maaf, Belinda.”
“Maaf?? Kau selalu minta maaf padaku.”
“Iya ,Belinda tolong maafkan aku.”
“Kenapa kau hanya bisa mengatakan maaf sejak batalnya pernikahan kita?”
ucap Belinda sambil berdiri kemudian meninggalkan Afnan yang terdiam seribu bahasa.
“Apakah kau mau menjadi istriku lagi, Belinda?” Tiba-tiba Afnan mengucapakan pertanyaan tak terduga yang membuat langkah Belinda terhenti begitu saja.
Afnan menghampirinya.
“Menikahlah denganku, Belinda.”
Belinda menoleh dimana Afnan sudah berdiri tenang disampingnya.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, Belinda tersenyum mendengar ucapan Afnan. Senyuman Afnan melelehkan hati Belinda yang tiba-tiba bermekaran.
Percakapan mereka pun kembali ke masa lalu yang indah.
Dari arah jam 12, kehadiran Lia merubah suasana hati Belinda.
Lia tengah menghampiri keberadaan mereka berdua seperti banteng yang siap menyeruduk lawan. Kebetulan sekali hari ini Belinda mengenakan kerudung berwarna merah.
Mata Lia berapi – api . Kedua tangannya masing-masing meremas bagian samping gamisnya. Menahan emosi yang siap ia ledakkan kepada Belinda.
Belinda pun segera membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari kejaran Lia. Seperti tertangkap basah oleh istri sah saat kepergok sedang berduaan mesra dengan suaminya.
“Aku bukan pelakor,kenapa aku lari,sih”, jerit Belinda dalam hatinya.
Lia sempat menundukkan kepalanya kepada Afnan saat melewatinya sebagai tanda menghormati Afnan yang kini juga mengajar di kampus tersebut.
Afnan tidak bisa bertindak apapun. Membiarkan Belinda meninggalkan dirinya dalam kebingungan melihat dua sahabat yang bertingkah seperti anak TK. Seperti Tom & Jerry yang tak pernah akur padahal selama ini Belinda dan Lia tak pernah berkejar-kejaran seperti itu di depannya.
Belinda berusaha menaiki salah satu tangga di kampus menuju lantai 2. Belinda bingung harus bersembunyi di mana.
“Belinda, berhenti.”
“Gak mau.”
“Aku bilang stop.”
“Tangkap aku kalau bisa.”
Keduanya ngos-ngosan menelusuri tangga tersebut. Berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
“Jangan membuat ku marah, Bel.”
“Laa Taghdhob walakal Jannah.
Janganlah marah, bagimu surga, Lia.”
“Aku bilang turun ke sini. Ini perintah.”
“Asal kamu tidak marah, aku akan turun.”
“Karena itu janganlah menciptakan marah dihatiku, Belinda.”
“Lia, aku takut sama kamu.”
“Takutlah sama Alloh yang melihat kelakuanmu tadi.”
“Memangnya aku melakukan apa?”
“Kalau tidak melakukan kesalahan kenapa lari saat melihatku?”
“Tatapanmu itu yang menyuruhku untuk lari.”
“Kata siapa? Kau tiba-tiba lari karena merasa bersalah kan? sehingga aku mengejarmu.”
“Coba sebutkan apa salahku?”
“Pertama. Berdua-duaan dengan mantan pacar mantan calon suami.
Kedua. Menggodanya dengan senyuman.
Ketiga. Merayunya dengan tangisan agar dia kasihan sehingga mengajakmu menikah lagi dengannya.
Betul kan?”
“Waahhh... Apa kau seorang paranormal, Lia?
Bagaimana kau bisa mendengar kalau Mas Afnan tadi mengajakku untuk menikah dengannya?”
“Apa katamu. Dugaan ku sungguh benar itu???!!!”teriak Lia menggetarkan anak tangga.
Secepat kilat Lia menaiki tangga dan berhasil menangkap Belinda yang tidak bisa menghindar karena terjadi sesuatu pada kakinya. Belinda malah mengangkat kedua tangannya.
“Kenapa kau angkat tangan,Bel. Aku bukan polisi yang akan memenjarakanmu karena menjadi wanita penggoda suami orang.” Ucap Lia sambil menarik kerudung Belinda sekuat tenaganya hingga hampir terlepas. Kerudung Belinda menjadi sangat tidak rapi.
“Astaghfirullahhal’adzim, Lia... Kakiku kram. Kesemutan. Sakit sekali. Salah satu menghilangkan nyeri dan mati rasa saat kesemutan ya begini mengangkat kedua tangan.
Kau malah menambah rasa sakit ku dengan menjambak kerudungku.
Rambutku jadi kelihatan.”
“Sini aku jambak sekalian rambutmu itu.”
Belinda langsung merapikan kerudungnya dan rambutnya yang berantakan sambil menangis.
Lia menjadi bersalah melihatnya.
“Kaki yang mana yang kesemutan?”
“Telapak kaki yang kiri.”
“Coba gerak-gerakkan ke atas dan ke bawah. Lalu pijat perlahan. InsyaAllah segera hilang nyerinya.”
Belinda menuruti perintah Lia. Perlahan nyerinya benar-benar hilang padahal tadi sempat mati rasa.
“Tolong hilangkan rasa cinta yang tersisa di hatimu untuk Ustadz Afnan itu, Bel?”
“Iya,Lia.”
“Bisa-bisanya kamu meninggalkan murid-muridmu hanya untuk mengenang masa lalu.
Seperti anak bebek yang mengekor kemanapun induknya pergi bahkan jatuh ke jurang karena mengira jurang itu sungai.”
“Sudah sana turun, Lia, sepertinya tadi terdengar suara pengumuman lomba.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Kenapa kamu marah-marah sih Lia. Kenapa memperlakukan aku seperti aku sedang selingkuh. Aku kan bukan pelakor???!!!”
“Jika aku istrinya ,aku pasti sudah membunuhmu,Bel!”
“Ya Alloh... segitunya kau padaku. Baru saja ketemu.”
“Aku tidak akan membiarkan mantan pacar bahkan mantan calon istri bertemu dengan suamiku secara diam-diam dibelakangku!”
“Aku gak diam-diam kok. Gak sengaja ketemu tadi.”
“Jika kau tidak berniat menjadi pelakor maka putuskan tali silaturahim dengan sang mantan demi kebaikan bersama.”
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturohim.”
“Jangan berdalil untuk kemaksiatan.
Memutus tali silaturohim dengan mantan itu wajib hukumnya bahkan jika hati kalian pun tidak berdebar lagi saat bertemu kembali.
Apalagi saat bertemu kembali hatimu masih berdebar.
Itu sinyal yang sangat berbahaya dalam hubungan selanjutnya.
Pertama. Kamu akan sulit move on, sulit melepaskan dia.
Begitu juga dengan dia yang berpisah denganmu bukan karena kalian saling menyakiti.
Tetapi cinta kalian yang begitu dalam dan ingin disatukan dalam pernikahan
terhalang tembok restu orang tua .
Kedua. Cinta kalian itu bisa bersemi kembali . Dan membuat dia mengabaikan pasangannya sekarang.
Membuatmu tidak bisa melihat laki-laki lain yang selama ini setia dan tulus mencintaimu.
Ketiga. Nafsu cintamu bisa menjadi liar dan akhirnya memaksa dia untuk meninggalkan pasangannya. Begitu juga dengan dia akhirnya mau mencampakkan istrinya yang baik hanya demi kamu.
Sadarlah Belinda. Dia bukan jodohmu.”
Belinda tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya perkataan Lia ada benarnya juga. Hati Belinda masih berdebar untuk sang mantan.
Saat bertemu lagi dengan Afnan ,hati Belinda memang tiba-tiba menginginkan kembali untuk bisa menjadi istrinya. Rasa cinta itu kembali memenuhi ruang dihatinya. Mawar dihatinya tiba-tiba kembali bermekaran. Berharap merekah dengan indah dan menebarkan keharuman dalam hidupnya lagi.
“Pemenang ketiga Lomba Tahfidz diraih oleh Ananda....” Mendengar suara itu Lia segera menuruni tangga dengan langkah cepat. Meninggalkan Belinda yang sedang merenungi kesalahannya.
Tiba-tiba hujan datang.
“Kenapa hujan selalu identik dengan kesedihanku.
Apakah langit mewakili perasaaanku yang sedang kacau hari ini?” ucap Belinda bicara sendiri sambil menuruni tangga.
Sebuah perasaan yang tidak ingin dirasakan Belinda.
“Allohumma shoyyiban Nafi’aa. Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”
Tak sengaja pandangan matanya menemukan keberadaan Afnan yang terlihat sedang mencarinya. Melihat Afnan yang melemparkan senyum manisnya untuk dirinya itu , Belinda memutuskan untuk menghilang dari pandangan Afnan yang tengah berlari kecil mencoba menghampirinya dengan obat Paracetamol ditangannya.
Belinda berlari sekencang angin yang selalu datang menemani hujan. Tak sadar ia melarikan diri sampai ke halaman parkir.
Dan melihat seorang pria keluar dari mobil Alphard putih.
Pria tampan itu selalu muncul disaat hujan .Membuka payungnya perlahan. Berjalan dibawah hujan yang tak membasahi setelan jas putihnya.
Tersenyum menghampiri Belinda yang selalu terkejut dengan kehadiran Felik.
Ponsel Belinda berdering.
“Bagaimana, Belinda, Apakah aku sudah terlihat seperti Pangeran Berkuda Putih?”tanya Felik dari sebrang sana.
Belinda bingung. Candaan macam apa ini.
“Apakah hatimu berdebar melihat pangeran berkuda putih yang sedang menghampirimu ini, Belinda...”. Ucap Felik menggoda Belinda.
Belinda pun mikir keras. Perasaan dirinya memang pernah mengatakan pangeran berkuda putih,tapi dimana dan kapan?
Langkah Felik semakin mendekati Belinda.
Seketika Belinda teringat sesuatu. Lalu mengecek riwayat chat wa nya dengan Lia.
“Bagaimana Alvis tadi saat maju lomba Tahfidz nya, Bel?
Apakah lancar hafalannya?
Apakah lancar sambung ayatnya?”
Dan seterusnya Lia mengirim pesan dengan pertanyaan yang sama untuk semua murid yang mengikuti lomba Tahfidz hari ini. Membuat Belinda capek menjawabnya. Belinda mengirimkan beberapa pesan untuk mengakhiri pertanyaan berulang dari Lia tersebut.
“Lia yang baik hati.” Chat terkirim.
“Datang saja ke sini kalau penasaran.” Chat terkirim.
Tiba-tiba muncul sebuah chat baru.
“Belinda, nanti aku jemput ya?”Isi pesan baru tersebut.
Belinda tidak menyadarinya dan tetap menulis.
“Hatiku sedang berdebar menunggu pangeran berkuda putih datang menjempuku hari ini.”
Sebenarnya Belinda ingin bercanda dengan Lia.
Akan tetapi pesan candaan itu malah terkirim ke nomor WhatsApp nya Felik disaat Afnan menyapanya tadi.
Oh.... Tidaaaaak. Belinda malu mengingatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!