Pertemuan Tak Terduga

Belinda pulang ke rumah dalam keadaan sangat lelah setelah mengikuti kegiatan Pramuka bermalam di sekolahnya. Ada perasaan kesal karena Felik sebagai ketua Pradana Ambalan di SMA nya itu selalu menempel kayak perangko dalam acara Penerimaan Tamu Ambalan tersebut.

Menciptakan gosip berantai bahwa dirinya adalah pacar sang Kak Pradana sehingga diperlakukan khusus oleh kakak-kakak Pramuka senior lainnya. Membuat Belinda kesulitan mendapatkan pacar sang kakak kelas yang ia sukai. Semua terhalang tingkah Felik yang tergila-gila pada Belinda.

Belinda membiarkan rambut panjangnya yang terlihat minta dikeramas itu tergerai kusam sepinggang. Ia berlari kecil setelah membuka pintu gerbang rumahnya.

Ia ingin cepat – cepat mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang sangat capek.

Namun tersandung sepatu wanita yang tak dilihatnya meskipun warnanya mencolok tergeletak di atas teras rumahnya.

Sepatu merah berhak tinggi. Dan itu bukan sepatu milik Ibunya.

“Sepatu siapa ini?” tanya Belinda sambil memasukkan kaki kanannya ke dalam sepatu itu.

“Kebesaran. Berarti ini bukan punya Ibu. Kalau punya Ibu pasti pas di kakiku. Dan Ibu tidak suka warna merah.

Sepatu siapa nih?

Apa ada tamu??

Kok sepi???” Belinda bicara sendiri.

Tanpa mengetuk pintu rumahnya yang selalu tertutup namun tak terkunci itu, Belinda langsung memasuki rumahnya. Melewati ruang tamu dan ruang keluarga yang terlihat sepi.

Tapi saat masuk ke kamarnya, Belinda terkejut bukan main mendapati sosok wanita yang tengah berbaring di ranjang tidurnya.

Wanita seusia Ibunya masih mengenakan seragam kantor seperti seragam kantor Ayahnya terkejut melihat Belinda yang menatapnya tajam. Segera wanita itu mengaitkan kancing baju nya yang terbuka bagian atasnya setengah dada. Terlihat bra merahnya.

Belinda semakin terkejut ketika Ayahnya muncul dari arah belakangnya.

“Dia teman Ayah, sedang pusing.” Ucap Pak Hadi sambil mengajak wanita itu keluar dari kamar anaknya.

“Teman Ayah pusing??? Aku pusing gak pernah diperhatikan Ayah!!!

Kenapa membawa orang asing masuk di kamarku, Ayah!!!

Apa Ibu, tahu!!!”

Teriak Belinda tak digubris oleh Ayahnya yang sedang di mabuk cinta wanita bukan Ibunya Belinda itu. Pak Hadi justru membawa wanita itu ke kamarnya.

Belinda menangis melihat kaos singlet Ayahnya ada di atas ranjang tempat tidurnya. Ia mengambil kaos singlet itu dan melemparnya keluar kamarnya.

Kaos singlet Ayahnya tercium wangi sewangi parfum yang dikenakan oleh wanita itu saat melintasinya tadi.

“Ya Alloh... Aku harus telepon Ibu sekarang juga.”

Tanpa berganti pakaian, Belinda langsung berlari menuju wartel terdekat dari rumahnya. Dengan gemetar ia menekan tombol nomor telepon rumah neneknya setelah nomor ponsel Ibunya tidak ada respon. Mungkin pulsanya habis.

“Halo, Bu,ini aku...”

“Iya, ada apa Belinda?”

“Ibu kapan pulang?”, ucap Belinda menahan tangisnya.

“Mungkin lusa. Menunggu Om kamu yang dari Kalimantan datang. Biar bisa gantian menjaga Nenekmu yang sedang sakit.”

“Nenek sudah pulang dari rumah sakit kan Bu?”

“Sudah tadi pagi. Ada apa telepon Ibu?”

Belinda bingung , ngomong atau tidak ya tentang peristiwa yang baru saja dialaminya itu???

“Enggak ada apa-apa ,Bu. Kangen masakan Ibu. Jangan lama-lama di sana ya Bu. Amar dan Amir main terus.” Belinda pun berbohong.

Mulutnya kaku untuk menyampaikan kebenaran.

“Ayahmu dirumah kan? Ibu mau bicara dengan Ayahmu?”

Jantung Belinda pun berdegup kencang.

“Aku di wartel, Bu...”

“Loh kok telepon di wartel?? Apa telepon rumah kita rusak??”

Belinda terdiam lama, kebingungan mau menjawab apa.

“Belinda...”

“Iyaa Bu... Aku habis pulang ke rumah terus mau main kerumah temanku sebentar. Terus kepikiran Ibu karena Ibu gak ada di rumah tadi.

Jadi langsung keluar aja dari rumah. Dan telepon Ibu di wartel.”

Belinda gugup menjawabnya.

“Mau Maghrib kok main sih, Bel.”

“Gak papa ya Bu sebentar saja kok. Sekalian mau mencari Amar dan Amir.

Sudah ya Bu. Semoga Nenek lekas sembuh. Salam buat Nenek.”

Klik. Belinda langsung menutup teleponnya.

Entah mengapa langkah kaki Belinda menuju keberadaan Felik dirumah kosnya itu. Rumah besar yang disewa keluarga Felik selama Felik sekolah negeri di Cilacap.

Terlihat Felik sedang memainkan bola basket, olahraga favoritnya. Apa tidak lelah 3 hari 2 malam menggembleng adik-adik junior Pramuka nya itu?

Pulang ke rumah langsung main basket?? Memang ia tidak pernah lelah untuk mendengar keluhan Belinda, pujaan hatinya itu.

“Apa yang akan kamu lakukan jika Ayahmu ketahuan selingkuh dan membawa selingkuhannya masuk ke rumah?"

“Aku akan membunuhnya.”

“Apa maksudmu membunuhnya.”

“Maaf bercanda.”

“Jangan bercanda!”

“Sabar dulu , Bel. Jangan kasih tahu Ibumu dulu. Nanti Ibumu terluka. Biarkan Ibumu saja nanti yang mengetahuinya sendiri. Bagaimana?”

“Dasar Nini Pelet!!!”

“Nini Pelet???”

“ Kalau bukan Nini pelet lantas disebut apa!

Pasti wanita itu menggunakan ilmu pelet untuk menaklukkan Ayahku.

Kalau kamu lihat wajah wanita itu tadi pasti kau akan setuju denganku.

Wanita itu jelek. Tidak cantik. Tentu saja sangat dan sangat cantik Ibuku ketimbang Nini pelet.”

“Apa mau aku temani untuk mencambuk Nini pelet itu dengan cemeti amarrasulli?”

“Jangan bercanda. Dia bukan Mak Lampiiiiiiiirrr!” Belinda teriak.

“Iya Bel. Berteriak lah, Bel ,biar hatimu lega.”

Belinda menangis. Felik hanya bisa menatapnya kasihan.

“Baiklah aku akan mengasah pisaunya dulu.”

“Untuk apa Bel?!”

“Katanya membunuhnya.” Sambil bergegas pulang.

“Seriusss, Belinda!!!”

Felik pun menyeret Belinda masuk kerumahnya.

*************

Pertemuan tak terduga kali ini pun membuat Belinda menangis dan marah.

Jika pertemuan yang dulu, Belinda menangis karena syok dan sedih mendalam keluarganya hancur berkeping-keping oleh wanita yang disebut pelakor itu.

Belinda marah karena Ayahnya menampar dirinya, menuduh dirinya yang melaporkan pelakor itu ke Ibunya.

Sedangkan Ibunya justru menyalahkan Belinda karena tidak melaporkan kejadian tersebut langsung ke Ibunya. Kenapa harus tetangga depan rumah yang melaporkannya.

Belinda sebagai saksi kunci hanya bisa tertunduk bersalah saat diinterogasi bahkan mendapatkan ucapan buruk dari Ibunya.

Sekarang Belinda menangis karena ia bingung kenapa Alloh SWT harus mempertemukan kembali dirinya dengan orang yang sangat ia cintai namun tidak bisa memilikinya?

Haruskah marah ? Bukankah kita tidak boleh marah kepada Alloh???

Kita harus sabar. Iya, sabar adalah kekuatan menahan diri dari cobaan yang datang menimpa. Dimana cobaan itu datang tanpa menunggu kesiapan hati kita untuk menghadapinya.

Afnan dengan lembut berusaha menghentikan tangisan Belinda agar tidak menarik perhatian penghuni lomba. Afnan membawa Belinda pergi meninggalkan ruangan lomba itu.

Mengajaknya berkeliling kampus yang tidak ada aktivitas mahasiswa di hari Minggu.

“Bagaimana kabarmu, Belinda?

Sudah 1 tahun lebih kita tidak bertemu ya, Bel?”Afnan memulai pembicaraan setelah lama berjalan-jalan dalam keheningan.

“Oh...iyaa. Waktu berjalan sangat lambat dalam hidupku, Mas.”

“Apakah kau baik-baik saja selama ini, Bel. Aku penasaran dengan kabarmu.”

“Aku tidak baik-baik saja, Mas.” Belinda tidak tahu kenapa harus begitu jujur menjawab pertanyaan Afnan tersebut.

“Kau terlihat pucat,Bel. Apakah kau sakit?”

“Tidak, Aku sehat kok.”

Afnan mengeluarkan thermogun alat pengukur suhu tubuh dari dalam tas nya. Sejak pembelajaran Tatap Muka mulai diberlakukan kembali ditengah pandemi covid 19, Afnan selalu membawa thermogun tersebut kemanapun ia pergi selain hand sanitizer.

Afnan langsung mendekatkan alat pengukur suhu tubuh tersebut ke kening Belinda.

Tit.tit.tit. Indikator lampu merah menyala mengedipkan angka 38 derajat Celcius.

“Kau demam Belinda. Ayok aku antar ke dokter.” Ucap Afnan panik.

Belinda terkejut mendapati dirinya demam padahal sebelumnya badannya terasa dingin.

“Kenapa aku bisa demam?” sambil menyentuh dahinya dengan punggung tangannya yang terasa hangat.

“Iya benar. Kenapa aku bisa panas seperti ini??”

“Ayok aku antar ke dokter terdekat.”

“Memangnya aku anak kecil yang demam langsung dibawa ke dokter??”

“Kalau begitu istirahatlah di sini dulu, Bel. “ Menyuruh Belinda untuk duduk di teras kelas yang sedang dilewatinya saat ini.

Belinda duduk sesuai perintah Afnan.

“Tunggu sebentar ya, Bel. Aku akan membelikan Paracetamol untukmu di apotik terdekat.”

“Kenapa kau muncul lagi di dalam hidupku, Mas Afnan?” Pertanyaan Belinda menghentikan langkah Afnan yang akan membeli obat di apotek.

“Aku hanya....”

“Seharusnya kau tidak menyapaku,Mas.”

“Aku juga tidak tahu kenapa langkahku tiba-tiba menghampirimu.”

“Harusnya kau menghilang saja dari hidupku.”

“Aku pun tidak sengaja melihatmu di sini. Dan entah kenapa kau masih seperti magnet yang membuatku tertarik untuk mendekatimu.”

“Kenapa... kenapa... kenapa seperti itu...Mas...”

“Maaf, Belinda.”

“Maaf?? Kau selalu minta maaf padaku.”

“Iya ,Belinda tolong maafkan aku.”

“Kenapa kau hanya bisa mengatakan maaf sejak batalnya pernikahan kita?”

ucap Belinda sambil berdiri kemudian meninggalkan Afnan yang terdiam seribu bahasa.

“Apakah kau mau menjadi istriku lagi, Belinda?” Tiba-tiba Afnan mengucapakan pertanyaan tak terduga yang membuat langkah Belinda terhenti begitu saja.

Afnan menghampirinya.

“Menikahlah denganku, Belinda.”

Belinda menoleh dimana Afnan sudah berdiri tenang disampingnya.

Tiba-tiba tanpa disadarinya, Belinda tersenyum mendengar ucapan Afnan. Senyuman Afnan melelehkan hati Belinda yang tiba-tiba bermekaran.

Percakapan mereka pun kembali ke masa lalu yang indah.

Dari arah jam 12, kehadiran Lia merubah suasana hati Belinda.

Lia tengah menghampiri keberadaan mereka berdua seperti banteng yang siap menyeruduk lawan. Kebetulan sekali hari ini Belinda mengenakan kerudung berwarna merah.

Mata Lia berapi – api . Kedua tangannya masing-masing meremas bagian samping gamisnya. Menahan emosi yang siap ia ledakkan kepada Belinda.

Belinda pun segera membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari kejaran Lia. Seperti tertangkap basah oleh istri sah saat kepergok sedang berduaan mesra dengan suaminya.

“Aku bukan pelakor,kenapa aku lari,sih”, jerit Belinda dalam hatinya.

Lia sempat menundukkan kepalanya kepada Afnan saat melewatinya sebagai tanda menghormati Afnan yang kini juga mengajar di kampus tersebut.

Afnan tidak bisa bertindak apapun. Membiarkan Belinda meninggalkan dirinya dalam kebingungan melihat dua sahabat yang bertingkah seperti anak TK. Seperti Tom & Jerry yang tak pernah akur padahal selama ini Belinda dan Lia tak pernah berkejar-kejaran seperti itu di depannya.

Belinda berusaha menaiki salah satu tangga di kampus menuju lantai 2. Belinda bingung harus bersembunyi di mana.

“Belinda, berhenti.”

“Gak mau.”

“Aku bilang stop.”

“Tangkap aku kalau bisa.”

Keduanya ngos-ngosan menelusuri tangga tersebut. Berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

“Jangan membuat ku marah, Bel.”

“Laa Taghdhob walakal Jannah.

Janganlah marah, bagimu surga, Lia.”

“Aku bilang turun ke sini. Ini perintah.”

“Asal kamu tidak marah, aku akan turun.”

“Karena itu janganlah menciptakan marah dihatiku, Belinda.”

“Lia, aku takut sama kamu.”

“Takutlah sama Alloh yang melihat kelakuanmu tadi.”

“Memangnya aku melakukan apa?”

“Kalau tidak melakukan kesalahan kenapa lari saat melihatku?”

“Tatapanmu itu yang menyuruhku untuk lari.”

“Kata siapa? Kau tiba-tiba lari karena merasa bersalah kan? sehingga aku mengejarmu.”

“Coba sebutkan apa salahku?”

“Pertama. Berdua-duaan dengan mantan pacar mantan calon suami.

Kedua. Menggodanya dengan senyuman.

Ketiga. Merayunya dengan tangisan agar dia kasihan sehingga mengajakmu menikah lagi dengannya.

Betul kan?”

“Waahhh... Apa kau seorang paranormal, Lia?

Bagaimana kau bisa mendengar kalau Mas Afnan tadi mengajakku untuk menikah dengannya?”

“Apa katamu. Dugaan ku sungguh benar itu???!!!”teriak Lia menggetarkan anak tangga.

Secepat kilat Lia menaiki tangga dan berhasil menangkap Belinda yang tidak bisa menghindar karena terjadi sesuatu pada kakinya. Belinda malah mengangkat kedua tangannya.

“Kenapa kau angkat tangan,Bel. Aku bukan polisi yang akan memenjarakanmu karena menjadi wanita penggoda suami orang.” Ucap Lia sambil menarik kerudung Belinda sekuat tenaganya hingga hampir terlepas. Kerudung Belinda menjadi sangat tidak rapi.

“Astaghfirullahhal’adzim, Lia... Kakiku kram. Kesemutan. Sakit sekali. Salah satu menghilangkan nyeri dan mati rasa saat kesemutan ya begini mengangkat kedua tangan.

Kau malah menambah rasa sakit ku dengan menjambak kerudungku.

Rambutku jadi kelihatan.”

“Sini aku jambak sekalian rambutmu itu.”

Belinda langsung merapikan kerudungnya dan rambutnya yang berantakan sambil menangis.

Lia menjadi bersalah melihatnya.

“Kaki yang mana yang kesemutan?”

“Telapak kaki yang kiri.”

“Coba gerak-gerakkan ke atas dan ke bawah. Lalu pijat perlahan. InsyaAllah segera hilang nyerinya.”

Belinda menuruti perintah Lia. Perlahan nyerinya benar-benar hilang padahal tadi sempat mati rasa.

“Tolong hilangkan rasa cinta yang tersisa di hatimu untuk Ustadz Afnan itu, Bel?”

“Iya,Lia.”

“Bisa-bisanya kamu meninggalkan murid-muridmu hanya untuk mengenang masa lalu.

Seperti anak bebek yang mengekor kemanapun induknya pergi bahkan jatuh ke jurang karena mengira jurang itu sungai.”

“Sudah sana turun, Lia, sepertinya tadi terdengar suara pengumuman lomba.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Kenapa kamu marah-marah sih Lia. Kenapa memperlakukan aku seperti aku sedang selingkuh. Aku kan bukan pelakor???!!!”

“Jika aku istrinya ,aku pasti sudah membunuhmu,Bel!”

“Ya Alloh... segitunya kau padaku. Baru saja ketemu.”

“Aku tidak akan membiarkan mantan pacar bahkan mantan calon istri bertemu dengan suamiku secara diam-diam dibelakangku!”

“Aku gak diam-diam kok. Gak sengaja ketemu tadi.”

“Jika kau tidak berniat menjadi pelakor maka putuskan tali silaturahim dengan sang mantan demi kebaikan bersama.”

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturohim.”

“Jangan berdalil untuk kemaksiatan.

Memutus tali silaturohim dengan mantan itu wajib hukumnya bahkan jika hati kalian pun tidak berdebar lagi saat bertemu kembali.

Apalagi saat bertemu kembali hatimu masih berdebar.

Itu sinyal yang sangat berbahaya dalam hubungan selanjutnya.

Pertama. Kamu akan sulit move on, sulit melepaskan dia.

Begitu juga dengan dia yang berpisah denganmu bukan karena kalian saling menyakiti.

Tetapi cinta kalian yang begitu dalam dan ingin disatukan dalam pernikahan

terhalang tembok restu orang tua .

Kedua. Cinta kalian itu bisa bersemi kembali . Dan membuat dia mengabaikan pasangannya sekarang.

Membuatmu tidak bisa melihat laki-laki lain yang selama ini setia dan tulus mencintaimu.

Ketiga. Nafsu cintamu bisa menjadi liar dan akhirnya memaksa dia untuk meninggalkan pasangannya. Begitu juga dengan dia akhirnya mau mencampakkan istrinya yang baik hanya demi kamu.

Sadarlah Belinda. Dia bukan jodohmu.”

Belinda tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya perkataan Lia ada benarnya juga. Hati Belinda masih berdebar untuk sang mantan.

Saat bertemu lagi dengan Afnan ,hati Belinda memang tiba-tiba menginginkan kembali untuk bisa menjadi istrinya. Rasa cinta itu kembali memenuhi ruang dihatinya. Mawar dihatinya tiba-tiba kembali bermekaran. Berharap merekah dengan indah dan menebarkan keharuman dalam hidupnya lagi.

“Pemenang ketiga Lomba Tahfidz diraih oleh Ananda....” Mendengar suara itu Lia segera menuruni tangga dengan langkah cepat. Meninggalkan Belinda yang sedang merenungi kesalahannya.

Tiba-tiba hujan datang.

“Kenapa hujan selalu identik dengan kesedihanku.

Apakah langit mewakili perasaaanku yang sedang kacau hari ini?” ucap Belinda bicara sendiri sambil menuruni tangga.

Sebuah perasaan yang tidak ingin dirasakan Belinda.

“Allohumma shoyyiban Nafi’aa. Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”

Tak sengaja pandangan matanya menemukan keberadaan Afnan yang terlihat sedang mencarinya. Melihat Afnan yang melemparkan senyum manisnya untuk dirinya itu , Belinda memutuskan untuk menghilang dari pandangan Afnan yang tengah berlari kecil mencoba menghampirinya dengan obat Paracetamol ditangannya.

Belinda berlari sekencang angin yang selalu datang menemani hujan. Tak sadar ia melarikan diri sampai ke halaman parkir.

Dan melihat seorang pria keluar dari mobil Alphard putih.

Pria tampan itu selalu muncul disaat hujan .Membuka payungnya perlahan. Berjalan dibawah hujan yang tak membasahi setelan jas putihnya.

Tersenyum menghampiri Belinda yang selalu terkejut dengan kehadiran Felik.

Ponsel Belinda berdering.

“Bagaimana, Belinda, Apakah aku sudah terlihat seperti Pangeran Berkuda Putih?”tanya Felik dari sebrang sana.

Belinda bingung. Candaan macam apa ini.

“Apakah hatimu berdebar melihat pangeran berkuda putih yang sedang menghampirimu ini, Belinda...”. Ucap Felik menggoda Belinda.

Belinda pun mikir keras. Perasaan dirinya memang pernah mengatakan pangeran berkuda putih,tapi dimana dan kapan?

Langkah Felik semakin mendekati Belinda.

Seketika Belinda teringat sesuatu. Lalu mengecek riwayat chat wa nya dengan Lia.

“Bagaimana Alvis tadi saat maju lomba Tahfidz nya, Bel?

Apakah lancar hafalannya?

Apakah lancar sambung ayatnya?”

Dan seterusnya Lia mengirim pesan dengan pertanyaan yang sama untuk semua murid yang mengikuti lomba Tahfidz hari ini. Membuat Belinda capek menjawabnya. Belinda mengirimkan beberapa pesan untuk mengakhiri pertanyaan berulang dari Lia tersebut.

“Lia yang baik hati.” Chat terkirim.

“Datang saja ke sini kalau penasaran.” Chat terkirim.

Tiba-tiba muncul sebuah chat baru.

“Belinda, nanti aku jemput ya?”Isi pesan baru tersebut.

Belinda tidak menyadarinya dan tetap menulis.

“Hatiku sedang berdebar menunggu pangeran berkuda putih datang menjempuku hari ini.”

Sebenarnya Belinda ingin bercanda dengan Lia.

Akan tetapi pesan candaan itu malah terkirim ke nomor WhatsApp nya Felik disaat Afnan menyapanya tadi.

Oh.... Tidaaaaak. Belinda malu mengingatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!