Berdengung Mesra

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya ( Taurat ) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisas-nya ( balasan yang sama ).

Barangsiapa melepaskan hak qisas-nya , maka itu menjadi penebus dosa baginya.

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.”

Bu Siska terus membaca terjemahan surah Al-Maidah ayat 45 tersebut berulang kali.

Bu Siska akhirnya keluar dari kamarnya dengan sebuah keputusan yang sudah digenggamnya.

Di ruang tamu tampak seperti ruang pengadilan .

Ayahnya Belinda dan wanita itu tampak seperti terdakwa yang siap menerima hukuman mati padahal tidak membunuh fisik seseorang melainkan telah membunuh hati seseorang.

Hati yang terbunuh membunuh semangat manusia untuk melanjutkan kehidupan di masa depan.

Bu Siska tampak seperti penggugat yang terlihat tenang meskipun hatinya sangat mendidih.

Pak Camat, atasan dari suami Bu Siska dan wanita itu tampak siap memberikan keputusan layaknya seorang hakim.

Bu Lurah, atasan Bu Siska turut hadir sebagai saksi dalam mendampingi Bu Siska agar tabah melalui proses mediasi tersebut.

Bahkan suami wanita itu pun turut hadir menyaksikan istrinya dan suami dari Bu Siska duduk bersimpuh memohon ampunan kepada Bu Siska.

“Tolong maafkan aku, Siska.

Aku melakukannya karena khilaf.

Sungguh aku hanya mencintai dirimu.

Dihatiku hanya ada kamu, sayang.

Sungguh aku sangat menyesal telah mengecewakan hatimu dan juga telah menyakiti hati anak-anak kita.

Kasihan anak-anak jika kita berpisah, istriku.” Ucap Pak Hadi sambil melelehkan air matanya.

“Air mata buaya. Pandai sekali kamu berakting , Mas.

Kau lebih pantas menjadi artis daripada PNS.

Harusnya PNS memberikan teladan yang baik bagi istri,anaknya bahkan masyarakat di luar sana.

Sampulmu bagus tapi isi bukumu buruk.

Semua orang yang terkesima dengan penampilan luarmu akan berbalik arah setelah mengetahui kepribadianmu yang menjijikan itu.” Ucap Bu Siska emosi.

“Iya, Siska. Jangan pernah menilai sampul dari bukunya.

Maka dari itu aku ingin memperbaiki diri agar tidak mengecewakan,tidak menyaki,dan tidak melukai pihak manapun.

Tolong berilah aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Bu Siska diam dalam lelehan air mata yang tak terbendung.

Pak Camat mencoba menengahi.

“Coba dipikirkan lagi. Pikirkan dengan kepala dingin. Pikirkan lagi dengan matang.

Jika Pak Hadi harus dipecat bagaimana dengan nasib anak-anak kalian yang tidak bersalah. Anak-anak tidak tahu masalah orang dewasa.

Anak-anak kalian masih membutuhkan biaya pendidikan.”

“Karena itulah , Pak Camat.

Suamiku ini tidak mau bercerai karena tidak mau dipecat bukan karena merasa bersalah apalagi menyesalinya.”

“Ketahuilah, Bu Siska. Selain pendidikan, anak-anak kalian pasti tidak ingin melihat orang tuanya bercerai.

Mereka ingin mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya yang tetap tinggal dalam satu rumah.” Tambah Pak Camat.

“Akan terasa sangat berat jika kamu berjuang sendiri menafkahi ketiga anakmu itu.

Dalam agama, ayah itu wajib menafkahi anak-anaknya. Baik sandang,pangan,papan bahkan pendidikan yang terbaik .

Jika kalian hidup terpisah, nafkah untuk anak-anak dari Ayah seringnya hilang seperti Qorun yang ditelan bumi .

Walaupun tidak ada istilah mantan Ayah namun faktanya di dunia nyata, mantan suami tidak akan lagi memberi nafkah kepada anak-anak dari mantan istrinya setelah dia memiliki anak lagi dari pasangan yang baru.” Bu Lurah menambahkan sebuah nasihat.

“Siska,sayang.

Aku sungguh menyesal.

Aku janji tidak akan selingkuh lagi.

Aku tidak ada niat untuk selingkuh.

Aku hanya sedang khilaf.

Tolonglah Siska, istriku sayang.

Aku janji akan menafkahi kalian dengan baik.

Membiayai anak-anak sampai kuliah.

Bukankah cita-cita kita adalah agar Belinda bisa kuliah menjadi Bidan yang sukses membuka Rumah Bersalin sendiri??

Amar dan Amir , kita ingin si kembar sukses menjadi jaksa yang menegakkan keadilan. Menjadi jaksa yang tidak mengubur kebenaran??”

“Ternyata kamu masih ingat ya, Mas. Sayangnya saat sedang selingkuh kau lupa janjimu itu.”

“Sekarang aku benar-benar serius ingin menepati janjiku .

Janji menjadikan anak-anak kita Bidan dan Jaksa.

Sayang, tolong berikanlah aku kesempatan kedua.”

“Pikirkanlah anak-anakmu, Bu Siska.

Bertahan demi anak InsyaAlloh kesuksesan anak-anakmu kelak akan membuatmu bahagia.” Bisik Bu Lurah ke telinga Bu Siska yang duduk disampingnya itu.

Pandangan Bu Siska mendapati ketiga anak-anaknya itu yang sedang mengintip dari ruang tengah. Mengamati sebuah pertemuan keluarga yang ingin dianggapnya hanya mimpi buruk namun saat bangun mimpi buruk itu harus mereka jalani.

“Aku akan memaafkanmu, Mas, tapi dengan syarat.”

“Apapun syaratnya akan aku lakukan demi utuhnya cinta kita kembali.” Ucap Pak Hadi tanpa pikir panjang.

“Mana bisa utuh kembali, Mas, gelas yang sudah pecah seperti ini???” teriak Bu Siska sambil melemparkan gelas berisi minuman teh hangat ke tembok yang berdiri kokoh satu meter dari keberadaan wanita itu.

Pyar!!!

Belinda terkejut.

Apalagi wanita itu sangat terkejut.

Begitu juga dengan semua yang hadir dalam ruangan yg dipenuhi ketegangan itu.

Semua piring dan gelas dalam satu lemari telah remuk berkeping-keping seremuk hati Bu Siska.

Setiap hari Bu Siska melampiaskan kemarahannya kepada benda-benda tersebut.

Dia lempar satu per satu di depan suaminya. Anak-anak menjadi saksi bisu sebisu Ayahnya yang tidak mampu berkata apa-apa setelah Bu Siska melaporkan perselingkuhannya ke Pak Camat dan telah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.

“Maafkan aku, Mbak Siska. Aku sangat menyesal.

Aku membalas luka dihatiku dengan menambah luka yang sama.

Aku salah karena membalas perbuatan suamiku yang selingkuh dengan berselingkuh juga.

Aku hanya ingin suamiku merasakan sakit yang sama seperti rasa sakit yang dia berikan untukku.

Namun saat selingkuh ternyata hatiku semakin sakit ketika perbuatanku menyebabkan luka baru di dalam kehidupan orang lain.

Bahkan kehidupan anak-anakku pun sampai tak terurus.

Anak-anakku yang masih kecil harus menanggung akibat dari aksi balas dendamku ini.

Harusnya aku mengantar mereka yang masih TK dan SD ke sekolah,menyiapkan bekal untuk mereka.

Tapi aku malah membiarkan mereka tidak sekolah.” Wanita itu menangis sejadi-jadinya tampak menyesali perbuatannya.

“Karena itulah aku tidak mau membalas luka yang kalian gores ini dengan cara yang sama.

Aku ingin kalian berdua merasakan penderitaan yang lebih dari apa yang aku rasakan ini.

Kalau aku harus kehilangan cintaku.

Maka kalian harus kehilangan pekerjaan kalian.

Bagaimana?

Bukankah itu jauh lebih baik daripada aku selingkuh juga?” ucap Bu Siska tampak sudah bisa menenangkan dirinya.

“Siska sayang. Tolong jangan seperti ini. Kalau aku menganggur bagaimana dengan sekolah anak-anak kita???”

“Mbak Siska tolong aku. Bagaimana anak-anak ku kalau aku tidak kerja?”

“Lebih baik tidak sekolah kan kalau orang tuanya sibuk selingkuh?”

“Aku mohon Bu Siska .

Aku ingin memperbaiki kesalahanku.

Aku ingin fokus mengurus anak-anakku.”

“Serahkan saja sama suami kamu.”

“Suamiku sekarang menganggur , Mbak.

Suamiku dipecat setelah terjaring satpol PP saat bersama selingkuhannya berada di dalam kamar hotel.” Wanita itu menangis perih mengingatnya.

Suaminya hanya bisa mematung saja ditempat duduknya.

Pak Camat segera mengakhiri pertemuan itu.

“Baiklah sesuai dengan permintaan Bu Siska. Silakan tanda tangani surat perjanjian perdamaian berikut ini.

Pak Hadi silakan ditulis janji-janji yang tadi kamu ucapkan di sini.” Pak Camat menyodorkan selembar kertas yang nanti akan diketik oleh sekretarisnya.

“Berterima kasihlah kamu kepada istrimu yang telah mencabut gugatan cerai nya demi keharmonisan rumah tangga kalian bersama anak-anak.” Ucap Pak Camat.

Belinda dan si kembar tersenyum bahagia karena orang tuanya gagal bercerai.

“Terima kasih istriku.

Terimakasih Pak Camat.” Pak Hadi tampak senang.

“Namun demi kebaikan bersama, maka tindak disiplin pegawai tetap saya terapkan.

Salah satu dari kalian akan pindah dari kantor yang sekarang.

Sehingga tidak ada komunikasi lagi diantara kalian berdua.

Kalian harus menandatangani perjanjian pemutusan hubungan baik sebagai teman biasa, teman selingkuh maupun rekan kerja.”

Wanita itu pun terpaksa menerima sanksi penurunan jabatan dan dipindah ke kecamatan di desa yang jauh dari ibu kota selama 3 tahun.

Sedangkan Pak Hadi tetap bekerja di kantor yang sekarang namun jabatannya turun satu tingkat selama 3 tahun.

Pak Hadi pun mau tidak mau harus menyetujui keinginan Bu Siska untuk mengelola semua keuangan rumah tangga.

Sehingga gaji Pak Hadi hanya bisa diambil oleh Bu Siska .

Semua gajinya diserahkan kepada Bu Siska agar tidak ada lagi pengeluaran gelap di dalam rumah tangganya.

Semua diutamakan untuk pendidikan anak-anak.

Dan Bu Siska menangis dalam pelukan Bu Lurah yang terus membisikkan kata sabar untuknya.

“Sabar , Bu Siska. Kamu pasti bisa melaluinya dengan baik.

Bertahanlah sekuat batu karang di tengah -tengah lautan.

Istiqomah beribadah kepada Allah agar hatimu tenang walaupun gelombang rumah tangga datang silih berganti menerjang perjalanan bahtera rumah tanggamu.”

Bu Siska memilih menyelamatkan pernikahannya meskipun kapal rumah tangganya hampir tenggelam akibat sang nahkoda rumah tangga kehilangan kendali dalam mengarungi samudera pernikahan.

*****

Di kantor Rumah Tahfidz. Secangkir kopi panas diabaikan tak disentuh berjam-jam.

“Ternyata sangat berat menjalani keputusan yang aku ambil waktu itu."

Afnan menghela nafas panjangnya.

Afnan meminum kopi yang telah menjadi dingin itu.

“Ya Alloh , sedingin ini kah aku memperlakukan Belinda di masa lalu? Sehingga aku tidak nyaman menjalani hidupku saat ini.

Apalagi sejak bertemu dengannya lagi. Hatiku menjadi dingin kepada istriku.

Astaghfirullahhal’adzim...”

Afnan kembali menghitung hasil sewa rumah kosnya yang memang khusus ia donasikan untuk menambah Kafalah atau honor guru-guru ngaji di Rumah Tahfidz yang tidak cukup jika hanya diambilkan dari uang infak bulanan santri.

Arshan, bendahara sekaligus sahabat Afnan datang mengetuk pintu.

Tok. Tok. Tok.

“Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikummussalam. Iya, silakan masuk.”

Arshan duduk di sofa kantor. Di depan sisi kanan tempat duduk direktur.

“Ini total pembayaran infak bulanan santri, Ustadz Afnan.”

“Apakah semua santri membayar dengan lancar?”

“Ada beberapa santri yang belum membayar infak bulan ini.

Untuk santri yang belum membayar selama 1 tahun juga ada. Beberapa adalah santri yang sama di setiap tahunnya.”

“Iya, sudah dibiarkan saja.”

“Apa sebaiknya kita mencoba untuk mengingatkan wali santri ya ustadz agar lebih memperhatikan anak-anak nya yang mengaji di sini.”

“Jangan. Dulu pernah saya ingatkan justru besoknya anaknya tidak masuk ngaji.

Kasihan melihat anak -anak terlantar tidak berani berangkat ngaji karena orangtuanya tidak mau membayar infak bulanan. Jadi saya ajak mereka untuk mengaji kembali walaupun orang tuanya tidak mau membayar."

“Iya itu orang tua yang tidak bertanggungjawab, ustadz.”

“Kita harus memahami kondisi lingkungan di sini, ustadz.

Yang gratis memang untuk anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang orang tuanya bercerai sehingga tidak dinafkahi dengan baik oleh orangtuanya yang sudah berpisah.

Untuk anak MBR tetap kita kasih diskon 50 persen bahkan jika ada orang tua yang bukan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah namun tidak mampu tetap kita diskon 50 persen.

Sistem pembayaran uang bulanan kita tetap infak berbasis shodaqoh disesuaikan kemampuan wali santri.

Walaupun ada wali santri yang tidak peduli, tapi Alhamdulillah banyak wali santri yang peduli dengan pendidikan akhirat anaknya.

Buktinya banyak juga wali santri yang membayar infak bulanan lebih dari yang kita tetapkan.”

“Tapi, kadang saya heran.”

“Kenapa harus heran?”

“Ingin anaknya bisa membaca Al-Qur’an bahkan menjadi penghafal Al-Qur’an namun acuh dengan administrasinya.

Padahal di status WhatsApp nya sering makan enak di rumah makan, kuliner jajanan viral, liburan kesana kemari, apa itu tidak pakai uang ya???”

“Jangan iri.”

“Gak iri. Hanya heran saja.

Kalau untuk urusan dunia bahkan siap mempertaruhkan segalanya. Tanah sawah dijual buat anaknya bisa sukses.

Tapi untuk urusan akhirat kok melempem, ya ustadz.”

“ Sabar ustadz Arshan.” Ucap Afnan sambil tersenyum.

“Honor guru ngajinya nanti kita unduh di akhirat.

Sekarang kita belajar ikhlas dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid kita.

Keikhlasan yang bisa menjadi ladang amal kita dalam memberikan ilmu yang bermanfaat sebagai amal yang menerangi alam kubur kita nanti.

Semua ada perjuangan dan pengorbanannya dalam menegakkan agama Islam.

Dan rezeki itu tidak hanya berupa uang saja.

Rezeki bisa berupa kesehatan, keharmonisan rumah tangga , kemudahan dalam mendidik anak-anak menjadi generasi Qur’ani atau diselamatkan oleh Alloh SWT dari segala macam bahaya.”

“Iya ,betul sekali Ustadz. Seandainya waktu itu aku tidak terlambat. Mungkin aku ikut menjadi korban kecelakaan kereta api. Mungkin itu cara Alloh SWT menyelamatkan aku dengan membuatku ketinggalan kereta walaupun hanya 5 menit tidak bisa naik kereta.

Meskipun uang tiket melayang tapi Alhamdulillah nyawaku masih selamat.”

“Iya. Bersyukurlah karena Allah masih mempercayakan dirimu sebagai guru ngaji sekaligus bendahara di sini.

Alloh tidak meridhoimu yang ingin buka usaha di desa dengan meninggalkan guru ngaji karena gaji guru ngaji yang sedikit tapi InsyaAlloh berkah.”

Arshan nyengir. Sambil melirik sebuah jam couple yang melingkar di pergelangan tangan Afnan .

“Sudah jam 9 malam, waktunya anak-anak pulang dan ustadz ustadzah nya menerima Kafalah.” Ucap Afnan sambil tersenyum.

“Ganti saja yang baru jam tangannya.”

Afnan terkejut karena sahabat nya itu masih mengenali jam couple yang dipakainya.

“Oh... Iya.. haruskah aku beli yang baru?”

“Harus . Apalagi hari ini gajian. Sayang kalau uangnya nganggur.”

“Haruskah aku menggantinya?

Bukankah jam nya bagus?”

“Bagus, sih. Tapi bahaya.”

“Maksudmu... Bahaya...seperti apa... Meledak gitu???” Afnan kehabisan akal dalam mencari pernyataan yang tepat.

“Iya benar sekali. Suatu hari nanti akan meledak jika dipakai terus. Apalagi sampai dipandangi berjam-jam seperti tadi.”

***

Di kamarnya, Belinda menemukan sebuah jam couple pemberian Afnan, yang tersimpan rapi dalam lemarinya.

“Haruskah aku buang???

Eh, jangan. Kan jamnya cantik.

Boleh dipakai enggak ya?

Tapi kalau sampai Lia melihatnya bisa-bisa jamnya dirampas dan dimusnahkan seperti tas selempang yang itu, dibakar Lia.

Ah, sungguh kejam dia.

Menakutkan ternyata punya sahabat seperti Lia.

Dipakai atau tidak dipakai barang pemberian mantan tetap saja saja aku mengingat kenangan itu setiap hari.

Kenapa harus dibuang?

Ada-ada saja Lia itu.

Jejak sang mantan harus dibuang dilautan agar tidak bisa dikenang lagi.

Lia..Lia..”

Tok. Tok. Tok. Pintu kamar kosnya diketuk seseorang.

“Belinda, ada paket untukmu.”

“Oh, Iya, sebentar.”

Belinda penasaran setelah menerima paket tersebut.

“Perasaan aku tidak belanja apa-apa.

Gimana mau belanja. Uangku sudah menipis dipertengahan bulan.

Paket dari siapa,nih?”

Setelah dibuka, Belinda ingin menangis . Perhatian sang mantan meracuni kehidupannya di masa kini.

Sebuah tulisan tangan yang ia kenal membuat nya ingin tersenyum saat membacanya.

“Belinda, semoga kau menyukainya. Maaf telah membuat layar ponselmu retak waktu itu.”

“Ya Alloh haruskah aku senang dengan pemberian ini?”sambil meraih Ponselnya yang masih retak karena belum ada uang untuk mengganti layarnya. Kemudian menyandingkan nya dengan ponsel yang baru, sebuah pinsel pemberian Afnan tersebut.

“Bagus. Mahal. Sayang banget kalau ditolak, iya kan?” dipeluklah ponsel pemberian Afnan tersebut.

***

Afnan berkali-kali mencoba untuk mengirimkan pesan WhatsApp. Namun selalu ia urungkan.

“Belinda , kenapa kau pura-pura tidak melihatku waktu di restauran itu?” setelah diketik langsung dihapus.

“Belinda, apakah kau marah?” Hapus pesan.

“Belinda, aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi?” Hapus.

“Belinda mau kah kau menemuiku lagi?” Dihapus lagi.

“Belinda keluarlah, aku sudah didepan rumah kosmu sekarang.” Tak sengaja terkirim.

“Astaghfirullahhal’adzim, kenapa bisa terkirim...”

“Ternyata belum dibaca. Masih centang abu-abu.

Sebelum centang biru harus aku hapus.”

Belinda berhasil membaca pesan dari Afnan.

Afnan terkejut hingga tak sengaja membunyikan klakson mobilnya.

Belinda segera keluar dari kamarnya kosnya. Inilah pesan yang ia tunggu selama ini. Sehingga ia belum memblokir nomor telepon Afnan meskipun sudah diperingatkan oleh sahabatnya.

Ternyata Afnan pun masih menyimpan nomor telepon Belinda.

“Aku gak percaya kalau itu kamu Mas Afnan.

Aku harus membuktikannya sendiri.” Sambil membuka pintu depan rumah kos nya.

Sebuah mobil Avanza Veloz hitam melaju perlahan melintasi depan rumah kosnya.

Kedua pandangan mereka pun saling bertemu menahan perasaan. Afnan memandang lembut ke arah Belinda yang berdiri tepat di balik pintu gerbang rumah kosnya.

Belinda ingin menghentikan mobil yang berjalan seperti siput itu namun mulut nya terkunci seperti pintu gerbang yang terkunci rapat di atas jam 9 malam.

***

Di Sekolah. Sabtu adalah jadwal murid-murid Belinda untuk menyetorkan Hafalannya. Belinda mengajar dengan ditemani candaan muridnya yang tidak membuatnya melupakan kejadian semalam.

“Ustadzah hari ini gak pakai bedak ya.”

“Kok, tahu.”

“Pucat.”

“Ustadzah pake lipstik warna apa sih?”

“Brown...eh cokelat.. pokoknya warna nude lah warna bibir.”

“Jelek.”

“Biasanya pipinya ustadzah itu merona kemerah-merahan ya, kenapa sekarang enggak ya?”

“Skincare ustadzah habis.”

“Beli dong us biar cantik.”

“Uangnya habis.”

“Minta sama Pak Felik aja, us. Nanti aku yang mintakan kalau ketemu.”

“Adduuuuuhhhh, kalian ini. Ayok fokus mengaji.

Dasar bocah-bocah yang sedang mengalami masa puber.

Terkadang memuji terkadang bikin marah.”

“Pak Felik loh suka diam-diam lewat sekolah kita . Mobilnya warna hitam.”

Deg. Benarkah???

“Berhenti di kafe depan sebelah kiri itu loh us nungguin ustadzah pulang tapi saat lihat ustadzah langsung buru-buru masuk mobil dan kabur.”

“Waaaahhhhh .... Haruskah ustadzah marah.”

“Jangan,us,dosa. Nanti gak bisa masuk surga.” Ucap Dini, juara 2 lomba Tahfidz.

“Sabar,us, biar disayang Alloh.” Ucap Bela yang berhasil meraih juara 1 Lomba Tahfidz di kampus Islam waktu itu.

“Kok ustadzah Belinda pacaran sih sama Pak Felik?”

“Enggak pacaran. Dosa.”

“Ohhh... Berarti mau menikah ya us?”

“Kapan ustadzah menikah?”

“Pak Felik keren banget ya daripada ustadz Afnan.” Celetuk Ifa.

“Astaghfirullahhal’adzim! Ayok jangan bercanda terus.

Sini siapa yang mau setor hafalannya duluan.

Kalau gak setor gak boleh pulang!”

***

Di Rumah Tahfidz. Afnan mengajar setiap Sabtu siang selama 2 jam.

Rumah Tahfidz yang didirikan Afnan berbeda dengan rumah Tahfidz pada umumnya. Kegiatan Belajar Mengajar di rumah Tahfidz lain hanya 1 jam hanya hafalan saja.

Sedangkan di rumah Tahfidz milik Afnan kegiatan mengajinya berlangsung 2 jam.

1 jam pertama untuk menghafal Al-Qur’an.

1 jam kedua untuk Bimbingan Baca Quran atau yang dikenal dengan istilah BBQ.

“Saya akan memulai pembelajaran BBQ hari ini. Anak-anak, tolong diperhatikan dengan baik,ya.”

“Baik,ustadz.”

“ Nun sukun atau tanwin jika bertemu salah satu huruf ta tsa Jim, dal dzal zai, sin syin, shod dhod, tho dho, fa qof kaf, dibaca dengung yang lama.

1 setengah Alif atau 3 harokat.

Hukum bacaannya. Ikhfa Haqiqi.”

Anak-anak menirukan kembali pengertian hukum tajwid tersebut sambil menyimak peraga di depannya.

“Jangan lupa didengungkan yang lama ya anak-anak. 3 harokat atau 3 hitungan.

Hitung dengan jari dulu. Seperti ini.”Afnan mencontohkan gerakan jari berhitung 123.

“Jika sudah paham bisa dihitung didalam hati.

Paham anak-anak.”

“Paham, ustadz.”

***

Usai mengajar. Belinda turun ke bawah. Menuju ke masjid. Persiapan sholat ashar.

“Kenapa hatiku berdengung sangat lama ketika mengingat kejadian semalam sih?

Semalam itu mimpi apa bukan sih?

Ah,bingung.”

***

Di rumah Tahfidz dalam perjalanan menuju masjid. Persiapan untuk mengumandangkan adzan waktu ashar.

“Hatiku kembali berdengung mesra sejak bertemu denganmu, Belinda...” bisik Afnan dalam hatinya.

***

Afnan dan Belinda ditempat yang berbeda.

“Astaghfirullahhal’adzim...”

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama ,hukum Alloh,

Jika kamu beriman kepada Alloh dan hari kemudian, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.

Qur’an surah An-Nur ayat 2.

Kemudian diasingkan dari kampungnya selama satu tahun penuh.”

Bisikan tegas seperti alarm didalam hati Belinda.

“Sesungguhnya hukuman pezina yang telah menikah adalah dirajam dengan batu sampai meninggal dunia.

Ayat rajam tertera di dalam Taurat, tetapi mereka mencoba untuk menyembunyikannya ketika salah seorang dari mereka membaca kitab Taurat di depan Rasulullah.

Sedangkan umat Islam melaksanakan hukuman rajam walaupun ayatnya telah dihapus oleh Alloh.

Karena kaum muslimin mengetahui tentang hukum rajam ini dan Rasulullah beserta para khilafah yang empat , Khulafaur Rasyidin melaksanakan hukum tersebut.

Sesungguhnya teks ayat rajam telah dihapus dari Al-Qur’an ,namun hukumnya masih berlaku sampai hari kiamat tiba sebagai pembeda antara umat Islam dengan Bani Israil.”

Afnan menceramahi dirinya sendiri di dalam hatinya yang bergejolak, sesuai dengan kitab Al-Kabair karya Imam Adz – Dzahabi yang dipelajarinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!