RIHANNA Bakul Kue
Note:
Waah kita bertemu lagi nih. Author ngadain give away untuk novel ini hloo.. jangan lupa kasih rating bintang, tap favorit, vote, like dan komen yaa..
******
Di satu kota kecil di Sumatera Utara.
Jam sudah menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Seorang gadis sedang mengikat kotak plastik di jok motor. Selesai yang satu, dia menumpukkan kotak lain di atasnya. Kemudian mengikat lagi dengan kuat. Dicobanya menggoyangkan kedua kotak itu untuk meyakinkan keamanan. Barang bawaan itu tidak bergeser lagi dari kedudukannya.
"Aku jalan, Kak. Sebentar lagi subuh!" serunya pada seorang wanita yang sedang sibuk dengan pekerjaan, di teras rumahnya.
"Ya! Hati-hati ko di jalan!" sahutnya tanpa menoleh.
"Iya, Kak!" jawab gadis yang sudah duduk di atas sepeda motor bututnya. Dicobanya menyalakan motor dengan starter, tapi tak berhasil. Akhirnya gadis itu turun lagi dan menginjak engkol motor beberapa kali.
Wanita di teras, mengangkat kepalanya melihat hal itu. Pemandangan biasa setiap gadis muda itu akan menjalankan motor.
"Cak ko beli busi baru. Biar tak payah ko engkol-engkol terus," sarannya.
"Tak payah kok, Kak. Anggap aja kek olahraga," sahut gadis itu tersenyum lebar.
"Kereta ko itu yang udah kepayahan. Udah tua kali dia. Tulang-tulangnya udah osteoporosis!" Wanita itu tak kalah sigap menyahuti.
"Pulang nanti langsung kumandikan dan kuselimuti dia, biar encoknya tak kumat!" balas gadis itu tertawa renyah, seiring dengan suara motor menyala.
"Hahahaa ... kalok udah kenak repet Kakak, baru dia mau nyala." Dua wanita itu tertawa kecil.
"Assalamu'alaikum, Kak," pamit gadis itu. Motornya melaju perlahan, keluar dari halaman menuju gang.
"Wa'alaikum salam," sahut wanita itu pelan, sembari tersenyum tipis.
*
*
Udara dingin dini hari sehabis hujan kemarin malam, menggigilkan tulang. Jaket flanel usang yang dikenakannya, tak terlalu bisa diandalkan.
Motor itu terus melaju membelah jalanan yang mulai dilewati beberapa kendaraan. Angkot dan pick up penuh sayur, melintas menuju pasar. Dia menyukai jalanan lengang di pagi subuh. Jauh dari hiruk pikuk suara klakson dan teriakan para pengguna jalan yang jengkel pada kemacetan.
Akhirnya motor itu sampai juga di halaman sebuah mesjid, tepat saat azan subuh berkumandang. Beberapa mobil dan motor sudah terparkir di situ. Dengan segera dikuncinya motor dan berlari menuju toilet wanita. Dalam lima menit, dia sudah keluar lagi. Gadis itu dengan cepat masuk ke mesjid. Hari Minggu biasanya mesjid lebih ramai. Akan sulit mencari saf kosong jika terlalu lambat.
Selesai sholat subuh, gadis itu mendorong motornya ke arah stand jualan.
"Bismillah ...," gumamnya.
Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu pagi, mesjid menyediakan halamannya untuk dipakai sebagai pasar dadakan. Dia adalah penyewa tetap di sana.
Dengan cekatan, tangannya membuka ikatan tali dan menurunkan kotak plastik dari jok motor. Kedua kotak besar itu dipindahkan ke atas meja. Isinya dikeluarkan dan disusun dengan rapi. Semua persiapan itu selesai dalam beberapa menit saja. Dia sudah siap untuk mengais rejeki hari itu.
Perhitungan waktunya akurat. Tak lama menunggu, jamaah mesjid mulai keluar. Suasana makin ramai dengan suara tawar-menawar dan pertanyaan para pembeli.
"Hanna, apa Ko mau lontong untuk sarapan?" tawar seorang wanita muda yang berjualan di sebelah standnya.
"Belom ada uangku, Kak. Pantang berutang pagi-pagi." Senyum Hanna.
"Ah ... kalau sama kau, tak apalah. Macam kita tak kenal aja pon," sahut wanita itu lagi. Hanna hanya tersenyum tipis.
"Macam mana kabar Andung Ipah sekarang? Udah lama kali aku tak ke sana." tanya wanita itu lagi.
"Masih sama, Kak. Namanya juga udah berumor," sahut Hanna. Dia berdiri dari duduk, ketika seorang pembeli datang ke dekat mejanya.
"Boleh tengok dulu kuenya, Kak. Baru masak ini semua. Masih hangat." Hanna menawarkan kue-kue di mejanya.
Orang yang lewat itu berhenti dan memperhatikan kue-kue yang disusun rapi di meja. Tampaknya dia tertarik, hingga memutar tubuhnya ke arah Hanna.
"Kue ini berapa, Kak?" tunjuknya.
"Yang sebelah sini, harga sama semua, seribu lima ratus. Kalau yang sini, dua ribuan, Kak." Hanna menjawab cepat.
"Sama ajalah seribu lima ratus semua," tawar calon pembelinya.
Hanna tersenyum manis. "Ini yang seribu lima ratusan, Kak."
"Aku buat jual lagi, Kak. Kalau beli segitu, gak ada lagi untungnya buatku." Pembeli itu membujuk.
"Kalau segitu, rugi aku, Kak. Tak nutup modalnya," tolak Hanna.
"Ya sudah, kalok tak mau!" orang itu pergi meninggalkan meja Hanna.
Gadis itu tak berlama-lama memikirkan calon pembeli tadi. Seorang ibu paruh baya sedang menghampirinya dan tersenyum lebar.
"Hanna, masih ada kue-kuemu? Ada arisan nanti di rumah. Kue-kuemu paling cocok untuk arisan!" katanya.
"Masih ada, Bu'e. Ibuk pembeli pertama," sahut Hanna ramah.
"Ibuk mau kue yang mana?" tanyanya sambil mengeluarkan kotak karton, untuk mengemas kue-kue pesanan.
Satu jam kemudian.
"Kak, bungkuskan lontong dua ya ...," pesan Hanna pada penjual lontong sayur di sebelah, yang disambut dengan suka cita.
"Kok udah ko bereskan? Apa udah habes semua?" tanya penjual lontong pada Hanna.
"Belom semua, Kak. Sisa ini pesanan Bu Menik. Tadi dia sms, minta dibawakan kalau awak pulang," jelasnya.
"Berarti udah habes la itu," koreksi penjual lontong.
"Hehehe ... kek gitu ya, Kak?" Senyumnya sambil membereskan kotak-kotak plastik ke atas motor.
"Ini, lontongmu." Penjual lontong menyerahkan plastik bungkusan. Hanna meletakkannya dalam kotak plastik di atas motor.
Calon pembeli sebelumnya, datang lagi. "Kok udah dibereskan, Kak? Aku mo beli!" katanya.
"Udah habes, Kak," sahut Hanna sambil mengangkat kotak kue terakhir, dan menyusunnya dalam kotak plastik besar.
"Itu, masih ada!" tunjuknya pada kotak di tangan Hanna.
"Udah pesanan orang ... ini, Kak," jawab Hanna.
"Masih pesanan, kan? Biar untukku aja. Kubayar sekarang. Kakak tak capek-capek lagi ngantarkan barang tu ke tempat lain!" desaknya.
"Maaf, Kak ... gak bisa awak kek gitu. Kakak cari aja di stand si Tiur. Kue-kuenya juga enak, kok." Hanna menunjuk stand lain.
"Ya udh, kalok gak mau. Baru jual kue aja udah sombong kali!" gerutu orang itu sembari pergi.
Hanna tertegun sebentar, sampai penjual lontong menegurnya. Orang itu kenapa?"
"Tak tau aku, Kak," jawab Hanna.
Dia melanjutkan lagi mengikat kotak plastik besar di atas jok motor bututnya. Setelah semua beres, dirapikannya segala sampah dan membuangnya ke tempat sampah.
"Awak pulang duluan ya, Kak," pamit Hanna pada penjual sebelahnya. Dituntunnya motor menuju gerbang mesjid.
"We, awak duluan ya," pamitnya pada pedagang-pedangang lain yang dilewatinya.
"Pecah telor. Ko yang pertama habes hari ini, hebat!" seru salah satu pedangang.
"Ayo semangat! Jangan kalah sama Hanna!" yang lain menyemangati.
"Semangat!" sahut yang lain. Hanna tersenyum sambil mengangkat kepalan tangannya. Kemudian motor kembali didorong ke pintu gerbang mesjid.
"Udah mo pulang?" tanya seorang pria paruh baya.
Hanna memanggilnya Wak Sabar, karena namanya Sabarudin. Selentingan yang didengarnya, dulu Wak Sabar suka pada ibunya. Tapi ibu Hanna terpikat pria kota, yang kemudian menjadi ayahnya.
"Iya, Wak. Udah tinggal ngantarin pesanan Bu Menik," jawab Hanna.
"Cemana Wak Ipah?" tanyanya.
"Masih seperti biasa, Wak," balas Hanna.
"Kalau habis obatnya, bawa aja langsung ke tempat praktek," anjurnya.
"Iya, terima kasih."
Hanna mengangguk, Kemudian mulai mengulang rutinitas menyalakan motor, sebelum bisa berjalan, membelah jalanan yang mulai padat.
*
*
Ket.
Repet : Omelan
******
Hai ... hai ... readers semua. Ini novel ketiga. Mengambil tema berbeda. Sedikit bacaan ringan dan menyegarkan, pelepas penat.
Jangan lupa baca dua novel author lainnya.. 🥰🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Lea_Rouzza
cam mn ni ka ak mampir y
2024-05-29
1
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
izin mampir baca ya kak othor 🙏🙏
2023-04-19
3
Bakulgeblek
gksah ada give awaypun ttp setia gw thor...
kesengsem sama penyintasmu...
2023-04-01
1