Perlahan-lahan andung dipapah turun dari rumah. Setelah mengunci pintu dan pagar, montor yang membawa andung, meluncur pergi.
"Bawa ke klinik Wak Sabar aja. Belok sini!" Hanna menunjukkan arah jalan menuju klinik.
"Kau punya dokter pribadi? Hebat!"
Perkataan orang itu terdengar seperti ejekan di telinga Hanna. Darahnya tersirap sedikit, tetapi dia berhasil menahan diri. Demi rasa terima kasih pada orang yang bersedia mengantarkan andungnya ke klinik.
"Itu kliniknya di kanan!" tunjuk Hanna.
Pria itu melirik plang nama klinik kecil itu. "Kau yakin di sini bisa mengatasi keadaan nenekmu?" tanya orang itu ragu.
"Biasanya juga kemari. Cepatlah!" Hanna sudah tak sabaran.
Montor pria itu berbelok ke halaman klinik. Dengan sigap dibukanya pintu belakang, tempat Hanna dan andung duduk. Dipapahnya nenek gadis jutek itu berjalan ke klinik. Sementara Hanna sudah lari ke dalam lebih dulu. Kemudian dia keluar lagi sambil mendorong kursi roda.
Andung didudukkan di kursi roda dan didorong masuk.
Resepsionis sudah hapal wajah Hanna dan andung. Wanita tua itu adalah pelanggan tetap klinik. Seorang perawat keluar dari sebuah ruangan. Dia terkejut melihat keadaan andung.
"Kenapa?" tanyanya pada Hanna dengan mata menyelidik.
"Obatnya habis!" sahut Hanna, sambil mencoba alat semprotan di tangannya.
"Bawa masuk!" perintahnya.
Detektif swasta itu mendorong kursi roda andung ke dalam sebuah ruangan tertutup yang mirip ugd. Tempat itu cukup luas. Bisa menampung hingga sepuluh tempat tidur. Ada seorang dokter wanita di situ, dan seorang perawat pria.
"Kenapa?" tanya dokter pada perawat yang mengikuti.
"Asma kambuh tapi obatnya habis!" perawat itu menunjuk botol obat di tangan Hanna.
Dokter dan perawat segera membaringkan andung. Memeriksanya, kemudian memasang masker oksigen yang dihubungkan ke tabung gas besar di bagian samping tempat tidur.
"Pigi daftar dulu. Biar kami tangani di sini!" anjur seorang perawat lain.
Hanna mengangguk. Dia bergegas keluar ruangan, untuk mendaftar di loket. Hatinya mulai tenang sekarang.
"Daftar pasien masuk, Kak." kata Hanna pada petugas loket. Tak banyak pasien yang mengantri di ruangan darurat itu.
"Nama pasien? Punya kartu periksa di sini tidak?" tanya petugas.
"Ada, Kak. Bentar ...." Hanna membuka tas pinggang yang sejak dia berangkat subuh belum dilepas. Dipilihnya beberapa kartu periksa, kartu puskesmas, rumah sakit dan klinik ini.
"Ini!" Diulurkannya kartu periksa klinik dengan nama andung.
"Atas nama ibu Saripah ya?" Ulang petugas tadi.
"Iya!" Angguk Hanna.
Petugas tadi mulai bekerja dan mengetik di komputernya. Tak lama dia mengangkat kepala. "Sudah ada tindakan dan bantuan darurat di ruangan. Ini biaya administrasinya." Sebuah kertas dengan angka tercetak, disodorkan pada Hanna.
Kepala Hanna sedikit berputar melihat angka yang tertera. Dibukanya tas pinggang. Uang hasil dagang hari ini, bahkan belum dihitungnya.
"Sebentar ya, Kak ... awak hitong dulu duetnya." Hanna menyingkir ke samping agar tidak mengganggu pendaftaran orang lain.
Petugas loket itu membiarkan Hanna menghitung uangnya. Lembaran demi lembaran uang yang kusut, dikeluarkan di meja kecil dekat loket. Hanna merapikan uang-uang kertas itu dengan mata berkaca-kaca. "Semoga cukup, ya Allah ... tolong kami," harapnya dalam hati.
Pria, detektif swasta itu melihat apa yang dilakukan gadis kasar itu. Dia memotretnya diam-diam dan mengirimkan pada Tuan Kamal Prabuseno, foto Hanna yang sedang menghitung uang receh di meja klinik. Disebutkannya juga apa yang terjadi pada nenek gadis itu.
Sebuah pesan balasan masuk dengan segera. Detektif itu tersenyum. Dia menyimpan ponselnya dan melangkah mendekati loket yang kosong.
"Berapa biaya untuk nenek gadis itu?" tanya Daniel, si detektif swasta.
Petugas loket mengangkat wajahnya dan memandang penuh tanda tanya. "Anda siapa?" tanyanya.
"Saya orang asing yang ingin membantu membayar biaya nenek gadis itu!" jawab Daniel jujur.
"Bicarakan dulu dengan keluarga pasien. Kami tidak---"
Ucapan petugas loket mengambang di udara, karena Daniel sudah meninggalkannya, dan berjalan ke arah Hanna.
"Sini kertas pendaftarannya!" Daniel mengambil kertas yang tergeletak di meja.
"Hei!" seru Hanna terkejut. "Balekkan sini!" perintah Hanna dengan mata tajam.
"Tuan Kamal menyuruhku membayar biaya nenekmu. Jadi, simpan saja uangmu itu." Daniel melirik ke arah uang-uang kertas kusut dan logaman bulat di meja.
Hanna tersinggung melihat lirikan merendahkan yang dilayangkan Daniel.
"Ini uang halal yang awak dapat dengan kerja keras sejak pagi subuh. Ko tak berhak merendahkan hasil keringat orang lain!" bentak Hanna emosi.
"Ssttt ... jangan berisik di sini!" tegur salah seorang keluarga pasien yang sedang menunggu.
"Dengar, Nona. Ayahmu hanya ingin membantu biaya perawatan nenekmu!" kata Daniel dengan suara rendah.
"Aku tak butuh bantuannya!" sahut Hanna ketus, sambil terus menghitung uangnya.
"Masih kurang sedikit, pikirnya. Nanti minta tempo dulu. Trus buka celengan," pikir Hanna.
Hanna merebut kertas pembayaran dari tangan Daniel. Dia berbalik menuju loket pendaftaran.
"Kak, duet awak masih kurang dua puluh tiga ribu lagi. Bisa tempo sebentar? Awak balek rumah ambil celengan...." tawar Hanna.
Petugas itu tersenyum dan mengangguk. Dia telah hapal wajah Hanna yang selalu membawa neneknya periksa ke situ. Dan selalu minta tempo bayar. Tapi semua tagihan tetap dilunasinya. Terlebih lagi, Dokter Sabar sudah mengingatkan untuk tidak mempersulit Hanna. Itu sebabnya dia tak langsung menerima tawaran bantuan dari pria asing itu.
Pembayaran pendaftaran andung sudah selesai. Petugas loket menyerahkan kwitansi dengan jumlah yang dibayar Hanna. Gadis itu masih berhutang dua puluh tiga ribu lagi.
"Persiapkan juga biaya obat, dan rawat inapnya," pesan petugas.
Hanna mengangguk. "Terima kasih, Kak. Akan kuusahakan, kalau memang harus rawat inap," jawab Hanna getir.
Hanna mengambil kertas kwitansinya. Sekarang dia harus pulang untuk membuka celengan. Tapi sebelumnya, harus lihat kondisi andung dulu. Dia masuk ke ruangan darurat. Dilihatnya keadaan andung yang sudah bisa bernapas dengan baik.
"Andung ...."
Hanna berjalan cepat ke arah tempat tidur di ujung ruangan. Dipeluknya tubuh renta yang terlihat lelah itu. Hanna bisa lihat kalau andung sangat lemah. Entah berapa lama paru-parunya kekurangan oksigen. Tapi jari-jari tangan andung yang mengusap punggungnya, telah memberinya kekuatan.
Hanna mengangkat kepala, menatap sedih ke arah wanita tua itu dan berjanji dalam hati. "Aku harus berusaha lebih keras lagi. Tak boleh membiarkan andung terus menderita!"
"Kak, dipanggil Dokter!" seorang perawat berdiri di depan tempat tidur.
Hanna menoleh dan menyeka air matanya. "Iya!" sahutnya. Perawat itu pergi lagi.
"Andung, Hanna pergi tanya Dokter dulu yaa...." bisiknya di dekat telinga andung, yang dijawab dengan anggukan kepala.
Hanna meninggalkan nenek, dan berjalan ke meja dokter di dekat pintu masuk ruangan.
"Ya, Dokter," sapa Hanna.
"Duduklah...." Dokter itu mengangkat kepalanya sebentar, kemudian menulis lagi.
Hanna duduk di kursi depan meja dokter. Dia menunggu. Tapi dokter itu masih sibuk menulis. Itu membuat perasaan Hanna makin gelisah. "Apakah itu catatan kesehatan andung? Apakah ada penyakit lain?" pikirnya risau.
Pada akhirnya, dokter menutup kertas catatan itu, menyusunnya dalam tumpukan, kemudian mengambil kertas lain. "Nenek apa tadi namanya?" tanya dokter mencari-cari berkas.
"Saripah!" kata Hanna.
"Saripah ...," gumaman dokter terdengar. Dia sedang mencari berkas dengan nama andung. Dokter akhirnya menemukannya. Kertas itu dibaca ulang sebentar. Lalu dokter mengangkat kepala dan melihat pada Hanna.
"Apa Kakak punya keluarga yang lain?" tanyanya serius. Hanna menggeleng sedih dan menunduk.
"Ada! Dia masih punya ayah!" terdengar satu suara pria yang memaksa ikut serta dalam pembicaraan.
Dokter dan Hanna menoleh terkejut. Hanna melotot ke arah Daniel, tetapi pria itu tak peduli.
"Anda siapa?" tanya dokter dengan dahi mengerut.
"Saya orang yang bekerja pada ayahnya," jawab Daniel percaya diri.
"Awak tak kenal sama dia, Dok!" kata Hanna tegas.
"Dia bilang, dia orang ayahnya Kakak ...." Dokter itu ingin memastikan lagi.
"Awak pon tak tahu ayah yang disebutkannya siapa! Awak tak pernah melihatnya. Takotnya mengaku-ngaku, nanti awak diculeknya pulak!"
Jawaban Hanna sangat pedas. Dia menolak mengenal pria asing dan orang lain yang disebutkannya.
Dokter itu menatap tajam pada pria asing itu. Dia ikut waspada. "Karena anda bukan keluarga pasien, silakan keluar!" ujarnya tegas.
Dokter mengangguk pada security. Pria itu mendekat. "Ada yang bisa dibantu, Dok?" tanyanya.
"Yang bukan keluarga pasien, dilarang masuk ke sini!" kata tajam itu diarahkan pada Daniel yang terperangah.
Security langsung sigap, mengajak Daniel keluar. "Tolong jangan ribut di sini. Pasien perlu istirahat!" katanya dingin.
"Aku disuruh ayah gadis itu membantu. Aku memang bukan keluarganya, tapi mewakili ayahnya!" bantah Daniel, menolak pergi.
"Jangan kek gitu, Bang. Ini tempat orang sakit berobat. Kalok abang biken ribut di sini, aku pun tak segan lagi!" Security itu bergeming. Dua lengannya dibentang, menghadang Daniel mendekati Hanna.
"Bang, jangan betekak di sini. Keluar!" kata seorang perawat, melihat Daniel masih ingin protes.
*
*
Ket.:
Montor : mobil.
Pigi : pergi.
Minta tempo : minta tenggang waktu.
Culek : culik. Langgam bahasa Melayu di Sumatera Utara, sering mengganti huruf i di akhir suku kata, menjadi e, dalam percakapan. Misal: Balik, jadi balek.
Betekak : beradu argumen. Berbantahan.
********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Alim Hadi rahmat
ttp semangat y thor..ttp jga kesahatan..salam succes sllu..
para penyintas 2 smg akan muncul berikutnya..ttp blm bs move on dri karya itu tuk yg laen sepenuhnya..🙂🙂
2022-10-04
6
Tety Novianty
padahal udah update banyak tp pembaca mana puas hahaha, semangat kk
2022-10-04
6
Rosnila Sari
ok Thor.... next... semangat up-nya👍
2022-10-04
6